Sabtu, 29 Desember 2018

Pesona Wisata Bahari Lamongan

Dari jendela bus pariwisata yang kami kendarai, aku melihat hamparan laut pantai utara terbentang begitu luas dan biru. Perlahan bus pariwisata kami menyusuri jalan yang dikenal dengan nama jalur Pantura, di daerah Tuban, Jawa Timur. Laju bus makin cepat menuju lokasi Wisata Bahari, Lamongan.

Dari kejauhan, tampak banyak bus yang parkir di sepanjang bahu jalan. Akhirnya bus pun berhenti di depan pintu masuk. Dengan cepat saya dan sekitar 90 penumpang lainnya turun dari dua bus menuju lokasi wisata. Agak kaget melihat begitu banyaknya pengunjung yang memadati lokasi WBL. Hari itu, 18 Mei 2011 sungguh banyak sekali pengunjung yang datang ke WBL yang dulu dikenal dengan nama Tanjung Kodok.



Di area parkir, berjejer puluhan bus dan kendaraan dengan plat nomor dari berbagai kota di Jawa. Di sudut lain, tampak ratusan orang memadati lokasi di depan lokasi Wisata Bahari Lamongan.
Rombongan saya segera menuju kearah gerbang masuk yang ditandai dengan Patung Kepiting Raksasa di sisi atas. Jam menunjukkan pukul 11:30 WIB ketika saya dan rombongan yang terdiri dari anak anak SD dan beberapa Bapak/ Ibu Guru berdiri menunggu di luar gerbang masuk, sementara Beberapa Panitia masuk untuk membeli tiket.

Kurang lebih setengah jam, diantara kerumunan pengunjung yang luar biasa, saya dan rombongan akhirnya mendapatkan tiket masuk berupa Gelang. Setiap tiket berharga Rp.55.000 untuk lokasi masuk ke berbagai Wahana di WBL dan Goa/ Kebun Binatang Maharani.

Gelang segera dibagikan ke seluruh anggota rombongan. Di pintu masuk semua gelang diperiksa oleh petugas. Akhirnya kami pun masuk ke area utama WBL. Dari situ rombongan di bagi sekitar 10-15 anak dan satu Guide. Terus terang saya baru pertama kali mengunjungi tempat wisata ini, jadi sama sekali tidak tahu ada apa sebenarnya di lokasi tersebut. Saya dan beberapa anak pun segera memasuki berbagai wahana, dimulai dari Rumah Kucing, yang menurut saya sama sekali tidak menarik.

Kemudian dilanjutkan ke lokasi lain. Saya melihat ada semacam permainan ketangkasan, yaitu menembak. Dan lagi lagi hal tersebut tidak menarik sama sekali. Sampai di sini saya masih bertanya-tanya seperti apakah sebenarnya WBL itu. Lalu tibalah saya dan rombongan di sebuah tempat "Bioskop 3D" akan tetapi antriannya sangat banyak. Sehingga terpaksa kami lewati. Begitu juga Rumah Sakit Hantu.

Wahana berikutnya kami masuk ke Wahana Bajak Laut yang berisi tentang suasana di kapal bajak laut. Dari situ saya baru bisa menyimpulkan bahwa WBL sebenarnya mirip dengan (DUFAN) Dunia Fantasi Jakarta.

Kemudian dilanjutkan ke Wahana Rumah Kaca. Sebenarnya ada wahana 4G yang sebenarnya cukup menantang, akan tetapi anak anak tidak bersedia naik. Akhirnya kami menuju ke Crazy Car, semacam Roller Coaster. Tim saya sekitar 12 anak semua naik ke wahana ini. Ada cukup banyak wahana yang terpaksa di lewati, karena ternyata anak anak lebih suka berenang di kolam renang.
Goa Maharani

Dari lokasi WBL, perjalanan wisata dilanjutkan ke Maharani. Yang ternyata adalah sebuah kebun binatang dan goa stalaktit dan stalakmit. Ada berbagai hewan seperti harimau, siamang, Rusa dll yang mengisi kebun binatang ini.

Kemudian saya memasuki Goa Maharani, yang berisi stalaktit dan stalakmit, Ada juga koleksi bebatuan. Bahkan ada juga fosil Tectona Grandis (kayu jati). Goa ini bisa menjadi wisata jaman pra sejarah. Ada juga batu berwarna hijau yang mirip mirip Cryptonite. Akhirnya semua lokasi sudah dikunjungi, kami segera meninggalkan Lamongan, kembali ke Jawa Tengah. Melewati Jalur Pantura.
Saya menyimpulkan, lokasi ini sangat saya rekomendasikan untuk dikunjungi siswa siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Kamis, 27 Desember 2018

Bagaimana Keadaan Pendidikan Multukultural di Indonesia?

Ada hubungan erat  di antara Demokrasi, dan Pendidikan Multikulturalisme. Ini bisa dipahami dari definisi keduanya. Demokrasi 1adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Sementara, pendidikan multikulturalisme2 dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Dari pengertian demokrasi di atas, kita bisa memungut kata antara lain, kebebasan politik, hak, bebas dan setara. Sementara, dari definisi tentang pendidikan multikulturalisme terkandung makna keragaman. Hubungan di antara keduanya bisa dijelaskan dalam kalimat, pemahaman yang benar tentang keragaman merupakan sebuah hal yang wajib dipahami dan dilaksanakan dalam rangka menuju kehidupan demokrasi yang yang sehat dan beradab yang menghargai dan mengakomodasi kebebasan politik secara bebas dan setara. Ini berarti pendidikan multikulturalisme menjadi landasan penting yang dapat mempercepat laju demokrasi sebuah bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia.



Sebelum lebih jauh melihat implementasi pendidikan multikulturalisme, ada baiknya kita menengok ke belakang. Sejarah pendidikan multikulturalisme di Indonesia bisa dirunut pada kegigihan Bung Karno menemukan formula yang tepat untuk menggambarkan keragaman di Indonesia. Kegigihan tersebut membuahkan ungkapan monumental yaitu Bhinneka Tunggal Ika 3 yang diucapkan oleh Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Ini menandai bahwa perbedaan dan keragaman merupakan hal yang tidak menghalangi persatuan dan kesatuan.
Melalui sejarah pula, urgensi pendidikan multikulturalisme dalam rangka berdemokrasi juga bisa dipahami. Sejak awal, Republik Indonesia merupakan negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem bernegara. Berangkat dari itu, menjadi kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia untuk bersama-sama mempercepat laju demokrasi demi meneruskan cita-cita pendirian negara Republik Indonesia. Sebaliknya, menghambat laju demokrasi sama saja hendak menggagalkan tujuan pendirian Republik Indonesia.
Meskipun begitu, setelah tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, hambatan terhadap proses pendidikan multikulturalisme masih saja terjadi. Apalagi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa, perbedaan dan keragaman menjadi hal yang tabu kala itu. Hasil dari perbuatan orde baru tersebut masih bisa kita rasakan hingga sekarang.
Di berbagai tempat dan situasi, baik masyarakat maupun pemerintah masih belum sepenuhnya bisa menyadari bahwa sejak awal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur. Yang lebih menyedihkan, adanya tindakan kriminal yang dilakukan sekelompok orang terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda. Contohnya kasus pembakaran masjid di Papua dan kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Cikeusik.
Berdasarkan semua itu, penyelenggaraan pendidikan multikulturalisme menjadi sesuatu yang sangat mendesak. Sayangnya, keseriusan pemerintah dalam melaksanakan pendidikan multikulturalisme dirasa belum maksimal. Ini ditandai dengan : (1)belum adanya  landasan hukum yang cukup kuat untuk melaksanakan pendidikan multikulturalisme, (2) Di lapangan, keberadaan pendidikan multikulturalisme juga belum bisa dirasakan.
Undang-Undang yang dianggap menjadi landasan hukum pendidikan multikulturalisme adalah UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Akan tetapi menurut penulis, UU ini masih menimbulkan multitafsir terutama jika dikaitkan dengan pendidikan multikulturalisme. Harus ada UU yang secara implisit mewajibkan penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Di lain pihak, dalam lingkungan pendidikan dasar di mana penulis beraktivitas sehari-hari, kurikulum pendidikan yang ada cenderung mengajarkan penyamaan berbagai karakter siswa yang pada dasarnya berbeda. Sistem pendidikan yang ada, belum mampu mengakomodasi keragaman yang dimiliki oleh peserta didik. Ini menyebabkan pendidik mau tidak mau harus menihilkan adanya perbedaan di kalangan peserta didik dan secara tidak langsung membenarkan asumsi bahwa semua peserta didik sama dalam segala hal.
Akhirnya, penulis tiba pada kesimpulan bahwa melaksanakan pendidikan multikulturalisme di Indonesia memang bukan hal yang mudah. Kultur dan budaya masa lalu bangsa Indonesia yang cenderung menolak adanya perbedaan menjadi masalah yang harus segera dicari solusinya. Di satu sisi, budaya menjadi identitas bangsa, akan tetapi di sisi lain, budaya bisa menjadi penghambat pendidikan multikulturalisme. Situasi ini menjadi pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan dengan baik oleh pemerintah.

Catatan Kaki
1.      Wikipedia, “Demokrasi”.https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada tanggal 16 September 2015 pukul 02.00
2.      Hanum, Farida. Pentingnya Pendidikan Multikulturalisme dalam Mewujudkan Demokrasi di Indonesia.

3.       Kaskus. “Sejarah dan asal usul Bhinneka Tunggal Ika menjadi Semboyan Indonesia “,https://www.kaskus.co.id/thread/52ee07f4a3cb17674f8b4699/sejarah-dan-asal-usul-bhinneka-tunggal-ika-menjadi-semboyan-indonesia/1,diakses pada tanggal 16 September pukul 02.20.

Mengunjungi Lumpur Kesongo, Fenomena Alam yang Unik

Berawal dari sebuah diskusi dengan teman teman tentang aksara Jawa, Kerajaan Medang Kamulan, Ajisoko dan Bledug Kuwu, kami merencanakan mengunjungi kerajaan Medang Kamulan yang konon ada di wilayah Kabupaten Grobogan. Perjalanan tersebut memang membawa kami ke sebuah tempat bernama Medang Kamulan dan sebuah tempat bernama Kesongo.

Mengenai Medang Kamulan, hampir tidak banyak hal yang menunjukkan bahwa tempat tersebut pernah menjadi kerajaan. Saya justru tertarik dengan sebuah tempat bernama Kesongo.

Kawasan Lumpur Kesongo memiliki luas 119,1 ha, yang terdiri dari 3 tipe habitat. Ketiga tipe tersebut adalah kawasan semburan lumpur, kawasan rawa dan kawasan padang rumput (savanna). Kawasan semburan lumpur merupakan kawasan yang dipenuhi oleh lumpur yang keluar dari perut bumi, pada daerah ini tidak ada vegetasi yang bisa hidup. goasentono.blogspot.com

Maka saya dan empat orang teman, pada 17 September 2011 mengadakan perjalanan ke Kesongo yang terletak di koordinat 7°9’20″S 111°15’13″E di Kecamatan Gabus, kabupaten Grobogan. Waktu menunjukkan pukul 10.30 WIB ketika kendaraan yang saya kendarai berbelok ke utara memasuki jalan di sebelah Terminal Sulursari, kemudian melewati rel kereta api, kurang lebih 500m di perempatan kami berbelok ke kanan. Kondisi jalan tidak terlalu bagus. Kurang lebih 20 menit, kami tiba di kawasan Sumber Lumpur Kesongo.

Di bawah ini merupakan kawasan di sisi selatan Sumber Lumpur Kesongo. Ada sekawanan burung Bangau Tongtong yang sedang terbang.



Memasuki area sumber lumpur Kesongo, waktu menunjukkan jam 11.00 WIB, namun kondisi tidak terlalu panas, karena memang agak mendung. Kami disambut hamparan rumput Grinting (Cynodon dactylon)yang sangat luas. Sekawanan kerbau yang dibiarkan secara liar untuk mencari makan. Dan yang menarik, ada sekawanan burung Belibis yang sedang bergerombol, yang berhasil saya ambil gambar dari kejauhan. Hal ini sekaligus membuktikan tentang informasi yang saya dapatkan dari website Perhutani.




Kawasan kesongo juga merupakan habitat beberapa jenis burung (aves) seperti Bangau tong-tong (leptotilos javanicus), manyar jambul (Ploccus manyar), belibis (Dendrocygna javanica), Belibis Batu (Dendrocygna javanica), Alap-alap capung (Microhierax frigillarius).

Kawasan rumput yang luas, burung belibis yang sedang terbang bergerombol adalah fenomena yang menarik. Lalu langkah kaki kami mulai memasuki fenomena yang tidak kalah eksotik, yakni kawasan kedua dari Kesongo yaitu Kawasan Semburan Lumpur. Saya agak merasa aneh ketika mendengar suara berdesis di sekitar saya. Ternyata suara tersebut berasal dari letupan lumpur yang keluar dari dalam tanah. Memang benar saya melihat sebuah tempat yang benar benar berbeda dengan kawasan sebelumnya. Tampak di kanan kiri saya, bekas bekas letupan lumpur yang mirip miniatur gunung berapi.

Jumlahnya tidak bisa saya hitung. Dan yang luar biasa, letupan lumpur tersebut masih aktif, mulai dari yang kecil sampai yang agak besar. Sekilas memang mirip dengan fenomena lumpur di Bledug Kuwu. Yang membedakan letusannya memang tidak sebesar Bledug kuwu. Tapi justru inilah yang menarik,  letupan di Kesongo berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lain, sehingga meninggalkan banyak sekali bukit bukit kecil, seperti tampak pada gambar di bawah ini.



Gambar diatas merupakan aktivitas letupan lumpur yang terjadi di Kesongo. Menurut penduduk sekitar, biasanya juga ada ledakan besar yang disebut dengan Kurdo.






Sedangkan gambar di atas merupakan kawasan rawa, dimana terdapat rumput Mlingi, tempat minum sekawanan burung burung dan juga hewan ternak seperti kerbau.

Kami beristirahat sejenak di sebuah gardu kayu yang dipenuhi gambar Semar. Bagi saya, Kesongo memang merupakan sebuah tempat yang menarik untuk dikunjungi. Menarik dari segi cerita atau legenda karena konon disitulah tempat Ajisoko menghukum Joko Linglung. Selain itu Kesongo merupakan sebuah kawasan ekologi yang juga menarik untuk diketahui dan dikunjungi.
Setelah beristirahat kami meninggalkan kawasan Kesongo. Sebuah tempat wisata di Kabupaten Grobogan yang selama ini terlupakan. Akses masuk yang cukup sulit mungkin menjadi penghambat mengapa jarang orang yang berkunjung ke tempat tersebut.

Manfaat Menguasai Literasi Baca Tulis bagi Anak Sekolah

Literasi baca tulis merupakan salah satu literasi dasar yang semestinya dikuasai setiap insan di negeri ini. Tidak heran, pada masa-masa awal mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, guru akan sangat serius mengajari muridnya mengenal abjad. Setelah itu, dengan telaten, guru akan mengajari mereka menulis dan kemudian membaca.

Salah satu di antara enam literasi dasar yang perlu kita kuasai adalah literasi baca-tulis. Membaca dan menulis merupakan literasi yang dikenal paling awal dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya tergolong literasi fungsional dan berguna besar dalam kehidupan sehari-hari.



Saat itu, mungkin saja kemampuan membaca buku pada setiap anak cenderung sama, namun seiring perjalanan waktu, kemampuan antar anak akan saling berbeda. Hal itu tentu saja tergantung pada intensitas anak membaca buku. Semakin sering anak membaca, semakin bagus pula kemampuannya untuk memahami kata-kata dan hasilnya, ia akan lebih mudah memahami pelajaran.[1]

Sayangnya, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Berdasarkan data Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun. [2]

Minat baca masyarakat juga sangat rendah jika dibandingkan dengan minat baca Bambang Hartono, peraih medali perunggu cabang olahraga bridge, sekaligus pemilik PT. Djarum Kudus. "Saya dulu kalau mau berhasil sepekan bisa membaca lima judul. Satu hari di luar jam kerja minimal 200 halaman. Jadi tiga jam saya baca ", kata Bambang Hartono.[3]

Fakta tersebut mau tidak mau membuat pemerintah berupaya keras meningkatkan minat baca,  yaitu meningkatkan kemampuan literasi baca tulis manusia Indonesia. Sebab sumber daya manusia merupakan aset terbesar bagi bangsa untuk bersaing dengan orang asing. Untuk itulah perlu dipaparkan alasan tujuan dari literasi baca tulis. Penguasaan literasi baca tulis sangat penting dan bermanfaat dengan alasan antara lain.

1. Menguasai literasi baca tulis akan membuat para pelajar lebih mudah menguasai pelajaran.
Semakin banyak kosakata yang mereka kuasai, semakin mudah mereka menyerap pelajaran. Kita bisa belajar dari tiga tokoh pahlawan yang gemar membaca buku sejak masih bersekolah. Para pahlawan itu menjadikan kegemaran membaca sejak masih bersekolah. Kita perlu salut dengat perjuangan mereka. Meskipun saat itu memperolah buku sangat sulit, namun dengan tekad kuat, mereka terus membaca, belajar dan belajar.

2. Menguasai literasi baca tulis menumbuhkan imajinasi.
Pernahkah kalian menonton film semacam Superman, Spiderman, Ketika Cinta Bertasbih ? atau film apapun. Industri film berkembang pesat sedemikian rupa karena adanya imajinasi sang penulis, imajinasi sang sutradara. Begitupun karya sastra. Ronggeng Dukuh Paruk, Laskar Pelangi dan lain-lain adalah karya yang lahir dari imajinasi para penulis.

3. Menguasai literasi baca tulis melatih otak agar fokus.
Di antara riuhnya informasi yang datang melalui sosial media, terkadang membuat kita tidak fokus. Untuk melatih agar otak kita fokus, cobalah untuk membaca buku, dengan serius tapi santai. Kita perlu meluangkan waktu khusus untuk membaca dengan tanpa gangguan gawai.

4. Menguasai literasi baca tulis membuat kita memiliki empati.
Rasa empati tumbuh berawal dari mengamati kemudian memahami. Membaca buku fiksi yang alur ceritanya terkadang membuat kita meneteskan air mata, bisa menumbuhkan rasa empati kita terhadap orang lain. Misalnya sebuah cerita fiksi yang menceritakan tentang kehidupan tokoh utama secara detail, mau tidak mau akan tergambar dalam benak kita bagaimana sosok tokoh tersebut lalu membandingkan dengan orang-orang di sekitar kita yang mengalami keadaan yang hampir sama misalnya miskin, sakit dan lain-lain.

5. Menguasai literasi baca tulis menjadi dasar menguasai literasi lainnya.
Ada enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015, sementara literasi pertama yang harus dikuasai dengan baik adalah literasi baca tulis. Penguasaan literasi baca tulis yang baik akan membantu kita menguasi literasi lain.


referensi :

[1]https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/buku-literasi-baca-tulis/
[2] https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180326160959-282-285982/minat-baca-masyarakat-indonesia-masih-rendah
[3]https://sport.detik.com/g-sport/4161830/ini-hobi-orang-terkaya-ri-yang-juga-atlet-bridge-bambang-hartono

Berapa Tarif Penerbitan SIM Berdasar Peraturan Pemerintah ?

Menurut anda berapakah tarif penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM )?

Ternyata tarif penerbitan SIM ditentukan bukan menurut anda atau tetangga anda, tetapi menurut pemerintah. Tentu saja pemerintah yang kami maksud adalah Pemerintah Republik Indonesia, bukan pemerintah Malaysia apalagi pemerintah Amerika Serikat.

Tarif penerbitan SIM tertulis dengan jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010
Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Penjelasan tarif tersebut dimulai dari  Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi :

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia meliputi penerimaan dari:
a. penerbitan Surat Izin Mengemudi;
b. pelayanan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator;
c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan;
d. penerbitan Surat Tanda Coba Kendaraan;
e. penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor;
f. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor;
g. penerbitan Surat Mutasi Kendaraan Ke Luar Daerah;
h. penerbitan Surat Izin Senjata Api dan Bahan Peledak;
i. penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
j. penerbitan Surat Keterangan Lapor Diri;
k. penerbitan Kartu Sidik Jari (Inafis Card); dan
l. denda pelanggaran lalu lintas.

lalu ayat 2 yang berbunyi,

Jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf k adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Dan di bawah ini ringkasan lampiran Peraturan Pemerintah tersebut yang ada hubungannya dengan tarif penerbitan SIM :

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Regident Pengemudi

SIM Golongan A
Baru  Rp120.000
Perpanjangan Rp80.000

SIM Golongan B I
Baru Rp120.000
Perpanjangan Rp80.000

SIM Golongan B II
Baru Rp120.000
Perpanjangan Rp80.000

SIM Golongan C
Baru Rp100.000
Perpanjangan Rp75.000

SIM Golongan D
Baru Rp50.000
Perpanjangan Rp30.000

Internasional (dulu dibuat di IMI)
Baru Rp250.000
Perpanjangan Rp225.000

Klinik mengemudi
Baru Rp50.000
Perpanjangan Rp50.000

PNBP Regident Kendaraan Bermotor 

STNK
Roda 2 & 3 Rp50.000
Roda 4 / < Rp75.000
Pengesahan Rp. 0,-

STCK
Roda 2 & 3 Rp25.000
Roda 4 / < Rp25.000

TNKB
Roda 2 & 3 Rp30.000
Roda 4 / < Rp50.000

BPKB Baru
Roda 2 & 3 Rp80.000
Roda 4 / < Rp100.000

BPKB Balik Nama (dulu tidak ada)
Roda 2 & 3 Rp80.000
Roda 4 / < Rp100.000

Mutasi kendaraan (dulu tidak ada)
Roda 2 & 3 Rp75.000
Roda 4 / < Rp75.000

Berlaku mulai tanggal 26 Juni 2010

sumber :
Hukum Online

AKP I Nyoman Bratasena

Rabu, 26 Desember 2018

Pengalaman Snorkeling di Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu

Atas inisiatif dari mas Edi, supervisor Inbound, maka diadakanlah acara jalan jalan sekadar untuk menghilangkan penat melayani konsumen. Beliau Pulau Seribu/ Kepulauan Seribu, Jakarta Utara sebagai tempat tujuan wisata kali ini. Awalnya beliu memiliki alternatif tempat wisata sepeti Anyer namun akhirnya diputuskan memilih kepulauan Seribu. Saya sendiri belum pernah mengunjungi kepulauan tersebut.

Tibalah hari yang dirancanakan, di sela sela kesibukan kantor yang luar biasa membuat kami jenuh, kami bersiap berangkat ke Pulau Seribu. Kira kira pukul 6 pagi saya dan lima orang teman lainnya naik Transjakarta (busway) dengan tarif Rp3500 menuju ke arah Ancol. Rutenya dari Daan Mogot-Harmoni-Senen-Ancol (kalo nggak salah ). Dan inilah pengalaman pertama saya naik Transjakarta, saya baru tahu kalau dengan Rp3500 kita bisa berkeliling jakarta.

Perjalanan berlangsung aman terkendali. Setelah kurang lebih 1 jam kami tiba di Ancol, kemudian membayar biaya masuk ke Ancol Rp.10000 (tahun 2007).

Untuk menuju ke Kepulauan Seribu kita harus menuju Ke Dermaga Marina Ancol yang masih berada di area Kawasan wisata Ancol. Setelah berjalan kaki 15 menit, sampailah di dermaga. Disitu berjejer dari dermaga 1 sampai dengan dermaga 23 (paling ujung).

Saya lupa di dermaga mana jika harus ke Kepulauan Seribu, (anda bisa bertanya kepada orang orang yang ada di situ). Belakangan saya baru tahu, ternyata kita juga bisa pergi ke Kepulauan Seribu melalui Muara Angke.

Kami harus naik speedboat untuk sampai ke kepulauan seribu. Satu persatu kami mulai masuk ke Speedboat, setelah terisi sekitar 30 penumpang, speedboat mulai melaju ke Kepulauan Seribu. Meskipun dilengkapi dengan pelampung, tapi ini adalah pengalaman pertama naik speedboat di laut lepas, saya agak takut juga he he.

Berapa tarifnya saya nggak tahu, karena saya sudah bayar Rp125.000 untuk biaya selama berwisata ke Kepulauan Seribu yang meliputi, transpor, penginapan, makan dll.

Perlahan lahan Speedboat meninggalkan kota Jakarta, gedung gedung tinggi sudah mulai hilang dari pandangan, berganti dengan birunya air laut. Dan kepenatan, kesibukan kota Jakarta sejenak terlupa seiring menjauhnya Speedboat kami dari Kota Jakarta

Selama perjalanan, ternyata hujan turun cukup lebat, karena takut maka hampir semua penumpang mulai memakai pelampung yang sudah disediakan. Kami bisa melihat air hujan yang jatuh kelaut begitu derasnya dan terkadang justru menakutkan, bayangan akan indahnya lautan lenyap saat itu. Terkadang speedboat kami juga bertabrakan dengan ombak.


Setelah 2 jam, kami tiba juga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.Kami turun dari Speedboat dan berjalan 300 m menuju ke penginapan kami, yang ternyata terletak di depan dermaga Pulau Pramuka. Jarak dermaga hanya 50 m dari penginapan kami. Waaah senengnya punya rumah dekat dengan laut.



Ganti baju saya langsung aja menceburkan diri di perairan dermaga Pulau Pramuka, yang kebetulan sedang sepi, Ditemani anak anak kecil yang mungkin sudah terbiasa dengan laut. Huahh..Seger badan bisa mandi dilaut. Eh nggak taunya  gatal karena ubur ubur….

Setelah makan siang dengan menu makanan laut, kegiatan dimulai dengan snorkeling di Pulau Semak Daun. Dari Pulau Pramuka, kami naik ojek menuju kearah Pulau Pramuka. Tak lupa kami menyewa perlengkapan Snorkeling. Perlahan Ojek perahu dengan 20an penumpang mulai meninggalkan Pulau Pramuka menuju Pulau Semak Daun.

Dari perahu saya melihat hamparan laut biru yang membentang begitu luasnya. Rasa nyaman saya rasakan saat wajah tersapu angin dan sesekali percikan air membasahi wajah. Ketika perahu berjalan pelan, tak tahan, saya mencelupkan kaki di perairan Pulau Seribu. Teman teman yang sudah siap dengan peralatan snorkeling bahkan segera menceburkan diri karena sudah tidak sabar.

Saya yang baru kali ini akan melakukan snorkeling menunggu sampai perahu berhenti. Dalam waktu yang relatif singkat, kami tiba di Pulau Semak Daun. Inilah foto Pulau Semak Daun.(saya tidak sempat mendokumentasi, gambar saya ambil dari sini, )



Ternyata memang benar pulau ini hanya terdiri dari semak dan daun. Kami diarahkan oleh pemandu wisata ke pulau ini, karena kondisi pulau ini cocok untuk para pemula belajar snorkeling. Lagi lagi saya menatap hamparan laut biru dengan kerlipan cahaya matahari yang terpantul. Pokoknya kereen..

Kemudian saya memakai perlengkapan snorkeling yang terdiri dari masker, snorkel, dan kaki katak. Dan mulailah saya mengelilingi perairan sekitar Pulau Semak Daun. Saya memang hobi renang, tapi baru kali ini melakukan snorkeling.


Rasanya memang benar benar melihat keindahan lain dari lautan Indonesia. Rasanya seperti melihat aquarium, tapi aquarium raksasa, ada ikan ikan kecil yang sesekali lewat. sedang asyik menikmati pemandangan bawah laut, samar samar terdengar ada yang kakinya tertusuk bulu babi. “Bulu Babi” adalah suatu binatang laut yang 95% tubuhnya terdiri dari duri-duri. Duri-duri yang “sedikit” beracun ini sangatlah rapuh. Dan kalau terkena kaki/ tangan cara mengobatinya adalah dengan urin? ha Urin yang bener? air kencing ya? ya ya bener. Karna Urin mengandung amoniak.

Kalau di Pulau semak daun saja sudah begitu bagusnya, bagaimana kira kira di lokasi lain ya?.Penginnya sih ke Seluruh Pulau di Pulau Seribu, tapi hari sudah sore, dan ojek perahupun tiba menjemput kami. Sebelum pulang kami mampir ke pabrik pengolaha atau pasar ikan ya? Yang jelas pasar ikan ini terapung di tengah laut.

Setelah sholat, mandi, acara malam hari adalah makan malam dengan menu laut, yang sayang sekali saya tidak begitu suka, tapi temen temen lain begitu lahap menyantap makanan laut itu.

Kami baru pulang dari Kepulauan seribu besok paginya. Kembali melihat gedung gedung Jakarta, dan terbayang macet dan sibuknya kota Jakarta. Tapi dalam hati berkata “kapan kapan saya akan ke Pulau seribu lagi”…

Jakarta, Desember 2007

Penjelasan tentang Literasi Numerasi

Gerakan literasi numerasi merupakan salah satu gerakan literasi nasional yang wajib dikuasai para pelajar dan  masyarakat luas. Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara) dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita. Kemampuan ini ditunjukkan dengan kenyamanan terhadap bilangan dan cakap menggunakan keterampilan matematika secara praktis untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Kemampuan ini juga merujuk pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis, misalnya grafik, bagan, dan tabel.





Sekilas gerakan ini membuat kita berfikir bahwa gerakan literasi numerasi sama dengan pengetahuan matematika. Pada kenyataannya tidaklah seperti itu, numerasi berbeda dengan kompetensi matematika. Memang benar, keduanya berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama, tetapi perbedaannya terletak pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan tersebut. Pengetahuan matematika saja tidak membuat seseorang memiliki kemampuan numerasi. Numerasi mencakup keterampilan mengaplikasikan konsep dan kaidah matematika dalam situasi real sehari-hari, saat permasalahannya sering kali tidak terstruktur.

Sebagai contoh, seorang siswa belajar bagaimana membagi bilangan bulat dengan bilangan bulat lainnya. Ketika bilangan yang pertama tidak habis dibagi, maka akan ada sisa. Biasanya siswa diajarkan untuk menuliskan hasil bagi dengan sisa, lalu mereka juga belajar menyatakan hasil bagi dalam bentuk desimal. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hasil bagi yang presisi (dengan desimal) sering kali tidak diperlukan sehingga sering kali dilakukan pembulatan. Secara matematis,
kaidah pembulatan ke bawah dilakukan jika nilai desimalnya lebih kecil daripada 5, pembulatan ke atas jika nilai desimalnya lebih besar daripada 5, dan pembulatan ke atas atau ke bawah bisa dilakukan jika nilai desimalnya 5. Namun, dalam konteks real, kaidah itu tidaklah selalu dapat
diterapkan. Contohnya, jika 40 orang yang akan bertamasya diangkut dengan minibus yang memuat 12 orang, secara matematis minibus yang dibutuhkan untuk memuat semua orang itu adalah 3,333333. Jumlah itu tentu tidak masuk akal sehingga dibulatkan ke bawah menjadi 3 minibus.

Akan tetapi, jika sebuah tempat duduk hanya boleh diduduki oleh satu orang saja, artinya ada 4 orang tidak mendapatkan tempat duduk. Oleh karena itu, jumlah minibus yang seharusnya dipesan adalah 4 buah. Perlu dicermati bahwa numerasi membutuhkan pengetahuan matematika yang dipelajari dalam kurikulum. Akan tetapi, pembelajaran matematika itu sendiri belum tentu menumbuhkan kemampuan numerasi.

Literasi numerasi bisa segera dilaksanakan dalam berbagai lingkup antara lain keluarga, sekolah, dan masyarakat. Bagaimana pelaksanaannya, secara lengkap bisa dibaca pada materi pendukung literasi numerasi.

Kisah Dewi Sartika Sang Pahlawan Pendidik Rakyat Jelata

Salah satu tokoh pendidikan di Indonesia yang layak diketahui biografinya oleh para pendidik dan peserta didik adalah Dewi Sartika. Beliau lahir di Bandung, 4 Desember 1884. Kiprah Dewi Sartika dalam merintis pendidikan di Indonesia layak mendapat apresiasi dan penghargaan baik dari Pemerintah maupun generasi muda bangsa Indonesia,

Atas jasa-jasanya dalam bidang pendidikan, pada tahun 1966  Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada Dewi Sartika.

Masa Kecil


Dewi Sartika merupakan anak dari Raden Rangga Somanegara, patih Bandung. Ibunya bernama Raden Ayu Rajapermas, putri Bupati Bandung, Raden Adipati Wiranatakusumah IV. Namun, masa indah bersama kedua orang tuanya tidak bertahan lama. Pada saat Dewi Sartika berusia enam tahun, ayahnya diasingkan ke Ternate karena dituduh melakukan pembunuhan terhadap pejabat nomor satu di Bandung.

Setelah peristiwa tersebut, Dewi tinggal bersama pamannya, seorang patih di Cicalengka. Di sanalah karirnya sebagai pendidik informal dimulai.


Pada usia yang masih belia, Dewi Sartika kecil, sudah mulai menunjukkan bakat mengajarnya. Dengan memanfaatkan ilmu yang didapatnya pada saat masih bersama orang tuanya, ia mendidik anak-anak pembantu. Dewi mengajari mereka baca tulis. Akibat dari intensnya pengajaran yang diberikan, anak-anak tersebut mulai pandai membaca dan menulis. Hal tersebut mengakibatkan banyak orang heran, mengingat pada saat itu pendidikan membaca dan menulis hanya boleh diterima oleh anak-anak bangsawan.

Mendirikan sekolah untuk kaum perempuan


Tahun berganti, Dewi Sartika berfikir untuk memperluas pengajarannya. Beliau bermaksud mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum perempuan. Cita-cita terwujud pada tahun 1904 ketika beliau sudah kembali di Bandung. Beliau mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Untuk itu Dewi Sartika banyak memberikan pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga. Semakin besarnya sekolah yang didirikannya, beliau terbentur masalah dana. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Perkembangan Sakola Istri semakin pesat, di beberapa wilayah Pasundan jumlah Sakola Istri mulai bertambah, Sekolah tersebut dikelola perempuan-perempuan Sunda yang bermaksud meneruskan cita-cita Dewi Sartika.

Jika dihitung, pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

sumber:
1. https://biografi-biodata-profile.blogspot.co.id/2012/04/biodata-biografi-dewi-sartika.html
2. https://www.biografiku.com/2011/09/biografi-dewi-sartika.html
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika

Kritik Paulo Freire Terhadap Pendidikan Gaya Bank

Di planet yang lebih dari separo penghuninya menderita kelaparan, karena ketidakmampuan negara-negara dalam menghidupi mereka, dimana kita tak bisa begitu saja meneriakkan hak asasi setiap orang untuk pangan dan perumahan, Freire membangkitkan kesadaran di hati setiap orang untuk bertindak mengubah kenyataan yang  membelenggu.1. Freire yang dimaksud oleh Made Pramono tersebut memiliki nama lengkap Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan yang lahir di Brasil pada 19 September 1921.

Apa yang telah dilakukan Paulo Freire  semasa hidupnya khususnya dalam dunia pendidikan telah menginspirasi banyak orang di dunia untuk turut menyumbangkan tenaga dan pikiran demi menolak pendidikan yang menindas manusia.


Ditambah lagi, alasan pemilihan tersebut  disebabkan dengan adanya realita di dunia pendidikan tanah air, di mana seandainya Freire masih hidup saat ini, ia akan menyebutnya dengan ungkapan banking education.  Manusia dalam sistem pendidikan bangking education dalam kacamata Freire hanya berperan sebagai bank. Bank, sebagaimana yang kita ketahui merupakan tempat menyimpan uang para nasabah. Dalam dunia perbankan, ada dua pihak yaitu nasabah dan bank. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, ada juga dua pihak yang terlibat, Guru dan murid. Guru sebagai nasabah memiliki ilmu pengetahuan yang akan ditabung, sedangkan siswa yang berperan sebagai bank, akan menerima ilmu pengetahuan secara apa adanya.

Banking Education dianggap menindas masyarakat oleh karena2:
  1. Memitologisasikan realitas sesuatu yang mana oleh individu dianggap sekadar sebagai penonton yang harus beradaptasi
  2. Menolak dialog
  3. Menjadikan siswa sebagai obyek yang harus dibantu
  4. Menghalangi kreativitas
  5. Gagal untuk mengakui keberadaan umat manusia yang historis


Kritik Freire terhadap dunia pendidikan yang anti dialog memang cukup keras, apalagi jika kritik tersebut dialamatkan pada dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi Freire menggunakan bahasa yang revolusioner yang menyebutkan bahwa pendidikan gaya bank merupakan bentuk penindasan.

Pendidikan di Indonesia yang masih terkungkung dalam budaya feodalisme sebagai akibat dari budaya masa lalu ditambah dengan pemerintahan masa orde baru yang anti dialog menyebabkan kritik Paulo Freire belum bisa diterima sepenuhnya. Budaya kritik dan mengakui perbedaan di antara sesama manusia masih belum diterima banyak kalangan. Bisa jadi, mengkritik pendidikan sebagai bentuk penindasan yang dilakukan oleh para guru terhadap muridnya bisa dianggap melanggar sopan santun dan etiket.
Akan tetapi, kritik Freire masih tetap relevan sebagai evaluasi unuk mencapai fungsi dan tujuan pendidikan nasional3 yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berarti, pendidikan gaya bank yang anti demokrasi bukan saja dikritik oleh Freire tetapi juga bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Selain menyematkan istilah penindasan untuk pendidikan gaya bank, Freire menganggap pendidikan gaya bank merupakan bentuk antagonisme. Untuk itu Freire menyusun sepuluh daftar antagonisme yaitu4 :
(1)   Guru mengajar, murid belajar;
(2)   Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa;
(3)   Guru berpikir, murid dipikirkan;
(4)   Guru bicara, murid mendengarkan;
(5)   Guru mengatur, murid diatur;
(6)   Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti;
(7)   Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya;
(8)   Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri;
(9)   Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid- murid;
(10)         Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Dengan demikian, menjadi tugas segenap kalangan pendidikan maupun yang peduli dengan pendidikan tanah air untuk bersama-sama menghapus metode pendidikan gaya bank yang masih ada di tanah air.

Catatan kaki :
Santoso, Listiyono, dkk. , , Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), 126.
2 Ibid., hal. 142.
3 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003  Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, pasal 3.

Ummu Dawatul Choiro, “Pembelajaran menurut Paulo Freire,” https://umuchoiro.blogspot.co.id/2013/11/pembelajaran-menurut-paulo-freire.html(akses 29 Oktober 2015