Rabu, 26 Desember 2018

Kisah Dewi Sartika Sang Pahlawan Pendidik Rakyat Jelata

Salah satu tokoh pendidikan di Indonesia yang layak diketahui biografinya oleh para pendidik dan peserta didik adalah Dewi Sartika. Beliau lahir di Bandung, 4 Desember 1884. Kiprah Dewi Sartika dalam merintis pendidikan di Indonesia layak mendapat apresiasi dan penghargaan baik dari Pemerintah maupun generasi muda bangsa Indonesia,

Atas jasa-jasanya dalam bidang pendidikan, pada tahun 1966  Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada Dewi Sartika.

Masa Kecil


Dewi Sartika merupakan anak dari Raden Rangga Somanegara, patih Bandung. Ibunya bernama Raden Ayu Rajapermas, putri Bupati Bandung, Raden Adipati Wiranatakusumah IV. Namun, masa indah bersama kedua orang tuanya tidak bertahan lama. Pada saat Dewi Sartika berusia enam tahun, ayahnya diasingkan ke Ternate karena dituduh melakukan pembunuhan terhadap pejabat nomor satu di Bandung.

Setelah peristiwa tersebut, Dewi tinggal bersama pamannya, seorang patih di Cicalengka. Di sanalah karirnya sebagai pendidik informal dimulai.


Pada usia yang masih belia, Dewi Sartika kecil, sudah mulai menunjukkan bakat mengajarnya. Dengan memanfaatkan ilmu yang didapatnya pada saat masih bersama orang tuanya, ia mendidik anak-anak pembantu. Dewi mengajari mereka baca tulis. Akibat dari intensnya pengajaran yang diberikan, anak-anak tersebut mulai pandai membaca dan menulis. Hal tersebut mengakibatkan banyak orang heran, mengingat pada saat itu pendidikan membaca dan menulis hanya boleh diterima oleh anak-anak bangsawan.

Mendirikan sekolah untuk kaum perempuan


Tahun berganti, Dewi Sartika berfikir untuk memperluas pengajarannya. Beliau bermaksud mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum perempuan. Cita-cita terwujud pada tahun 1904 ketika beliau sudah kembali di Bandung. Beliau mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Untuk itu Dewi Sartika banyak memberikan pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga. Semakin besarnya sekolah yang didirikannya, beliau terbentur masalah dana. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Perkembangan Sakola Istri semakin pesat, di beberapa wilayah Pasundan jumlah Sakola Istri mulai bertambah, Sekolah tersebut dikelola perempuan-perempuan Sunda yang bermaksud meneruskan cita-cita Dewi Sartika.

Jika dihitung, pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

sumber:
1. https://biografi-biodata-profile.blogspot.co.id/2012/04/biodata-biografi-dewi-sartika.html
2. https://www.biografiku.com/2011/09/biografi-dewi-sartika.html
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika

Artikel Terkait