Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Desember 2018

Bagaimana Keadaan Pendidikan Multukultural di Indonesia?

Ada hubungan erat  di antara Demokrasi, dan Pendidikan Multikulturalisme. Ini bisa dipahami dari definisi keduanya. Demokrasi 1adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Sementara, pendidikan multikulturalisme2 dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Dari pengertian demokrasi di atas, kita bisa memungut kata antara lain, kebebasan politik, hak, bebas dan setara. Sementara, dari definisi tentang pendidikan multikulturalisme terkandung makna keragaman. Hubungan di antara keduanya bisa dijelaskan dalam kalimat, pemahaman yang benar tentang keragaman merupakan sebuah hal yang wajib dipahami dan dilaksanakan dalam rangka menuju kehidupan demokrasi yang yang sehat dan beradab yang menghargai dan mengakomodasi kebebasan politik secara bebas dan setara. Ini berarti pendidikan multikulturalisme menjadi landasan penting yang dapat mempercepat laju demokrasi sebuah bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia.



Sebelum lebih jauh melihat implementasi pendidikan multikulturalisme, ada baiknya kita menengok ke belakang. Sejarah pendidikan multikulturalisme di Indonesia bisa dirunut pada kegigihan Bung Karno menemukan formula yang tepat untuk menggambarkan keragaman di Indonesia. Kegigihan tersebut membuahkan ungkapan monumental yaitu Bhinneka Tunggal Ika 3 yang diucapkan oleh Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Ini menandai bahwa perbedaan dan keragaman merupakan hal yang tidak menghalangi persatuan dan kesatuan.
Melalui sejarah pula, urgensi pendidikan multikulturalisme dalam rangka berdemokrasi juga bisa dipahami. Sejak awal, Republik Indonesia merupakan negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem bernegara. Berangkat dari itu, menjadi kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia untuk bersama-sama mempercepat laju demokrasi demi meneruskan cita-cita pendirian negara Republik Indonesia. Sebaliknya, menghambat laju demokrasi sama saja hendak menggagalkan tujuan pendirian Republik Indonesia.
Meskipun begitu, setelah tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, hambatan terhadap proses pendidikan multikulturalisme masih saja terjadi. Apalagi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa, perbedaan dan keragaman menjadi hal yang tabu kala itu. Hasil dari perbuatan orde baru tersebut masih bisa kita rasakan hingga sekarang.
Di berbagai tempat dan situasi, baik masyarakat maupun pemerintah masih belum sepenuhnya bisa menyadari bahwa sejak awal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur. Yang lebih menyedihkan, adanya tindakan kriminal yang dilakukan sekelompok orang terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda. Contohnya kasus pembakaran masjid di Papua dan kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Cikeusik.
Berdasarkan semua itu, penyelenggaraan pendidikan multikulturalisme menjadi sesuatu yang sangat mendesak. Sayangnya, keseriusan pemerintah dalam melaksanakan pendidikan multikulturalisme dirasa belum maksimal. Ini ditandai dengan : (1)belum adanya  landasan hukum yang cukup kuat untuk melaksanakan pendidikan multikulturalisme, (2) Di lapangan, keberadaan pendidikan multikulturalisme juga belum bisa dirasakan.
Undang-Undang yang dianggap menjadi landasan hukum pendidikan multikulturalisme adalah UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Akan tetapi menurut penulis, UU ini masih menimbulkan multitafsir terutama jika dikaitkan dengan pendidikan multikulturalisme. Harus ada UU yang secara implisit mewajibkan penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Di lain pihak, dalam lingkungan pendidikan dasar di mana penulis beraktivitas sehari-hari, kurikulum pendidikan yang ada cenderung mengajarkan penyamaan berbagai karakter siswa yang pada dasarnya berbeda. Sistem pendidikan yang ada, belum mampu mengakomodasi keragaman yang dimiliki oleh peserta didik. Ini menyebabkan pendidik mau tidak mau harus menihilkan adanya perbedaan di kalangan peserta didik dan secara tidak langsung membenarkan asumsi bahwa semua peserta didik sama dalam segala hal.
Akhirnya, penulis tiba pada kesimpulan bahwa melaksanakan pendidikan multikulturalisme di Indonesia memang bukan hal yang mudah. Kultur dan budaya masa lalu bangsa Indonesia yang cenderung menolak adanya perbedaan menjadi masalah yang harus segera dicari solusinya. Di satu sisi, budaya menjadi identitas bangsa, akan tetapi di sisi lain, budaya bisa menjadi penghambat pendidikan multikulturalisme. Situasi ini menjadi pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan dengan baik oleh pemerintah.

Catatan Kaki
1.      Wikipedia, “Demokrasi”.https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada tanggal 16 September 2015 pukul 02.00
2.      Hanum, Farida. Pentingnya Pendidikan Multikulturalisme dalam Mewujudkan Demokrasi di Indonesia.

3.       Kaskus. “Sejarah dan asal usul Bhinneka Tunggal Ika menjadi Semboyan Indonesia “,https://www.kaskus.co.id/thread/52ee07f4a3cb17674f8b4699/sejarah-dan-asal-usul-bhinneka-tunggal-ika-menjadi-semboyan-indonesia/1,diakses pada tanggal 16 September pukul 02.20.

Manfaat Menguasai Literasi Baca Tulis bagi Anak Sekolah

Literasi baca tulis merupakan salah satu literasi dasar yang semestinya dikuasai setiap insan di negeri ini. Tidak heran, pada masa-masa awal mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar, guru akan sangat serius mengajari muridnya mengenal abjad. Setelah itu, dengan telaten, guru akan mengajari mereka menulis dan kemudian membaca.

Salah satu di antara enam literasi dasar yang perlu kita kuasai adalah literasi baca-tulis. Membaca dan menulis merupakan literasi yang dikenal paling awal dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya tergolong literasi fungsional dan berguna besar dalam kehidupan sehari-hari.



Saat itu, mungkin saja kemampuan membaca buku pada setiap anak cenderung sama, namun seiring perjalanan waktu, kemampuan antar anak akan saling berbeda. Hal itu tentu saja tergantung pada intensitas anak membaca buku. Semakin sering anak membaca, semakin bagus pula kemampuannya untuk memahami kata-kata dan hasilnya, ia akan lebih mudah memahami pelajaran.[1]

Sayangnya, minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Berdasarkan data Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun. [2]

Minat baca masyarakat juga sangat rendah jika dibandingkan dengan minat baca Bambang Hartono, peraih medali perunggu cabang olahraga bridge, sekaligus pemilik PT. Djarum Kudus. "Saya dulu kalau mau berhasil sepekan bisa membaca lima judul. Satu hari di luar jam kerja minimal 200 halaman. Jadi tiga jam saya baca ", kata Bambang Hartono.[3]

Fakta tersebut mau tidak mau membuat pemerintah berupaya keras meningkatkan minat baca,  yaitu meningkatkan kemampuan literasi baca tulis manusia Indonesia. Sebab sumber daya manusia merupakan aset terbesar bagi bangsa untuk bersaing dengan orang asing. Untuk itulah perlu dipaparkan alasan tujuan dari literasi baca tulis. Penguasaan literasi baca tulis sangat penting dan bermanfaat dengan alasan antara lain.

1. Menguasai literasi baca tulis akan membuat para pelajar lebih mudah menguasai pelajaran.
Semakin banyak kosakata yang mereka kuasai, semakin mudah mereka menyerap pelajaran. Kita bisa belajar dari tiga tokoh pahlawan yang gemar membaca buku sejak masih bersekolah. Para pahlawan itu menjadikan kegemaran membaca sejak masih bersekolah. Kita perlu salut dengat perjuangan mereka. Meskipun saat itu memperolah buku sangat sulit, namun dengan tekad kuat, mereka terus membaca, belajar dan belajar.

2. Menguasai literasi baca tulis menumbuhkan imajinasi.
Pernahkah kalian menonton film semacam Superman, Spiderman, Ketika Cinta Bertasbih ? atau film apapun. Industri film berkembang pesat sedemikian rupa karena adanya imajinasi sang penulis, imajinasi sang sutradara. Begitupun karya sastra. Ronggeng Dukuh Paruk, Laskar Pelangi dan lain-lain adalah karya yang lahir dari imajinasi para penulis.

3. Menguasai literasi baca tulis melatih otak agar fokus.
Di antara riuhnya informasi yang datang melalui sosial media, terkadang membuat kita tidak fokus. Untuk melatih agar otak kita fokus, cobalah untuk membaca buku, dengan serius tapi santai. Kita perlu meluangkan waktu khusus untuk membaca dengan tanpa gangguan gawai.

4. Menguasai literasi baca tulis membuat kita memiliki empati.
Rasa empati tumbuh berawal dari mengamati kemudian memahami. Membaca buku fiksi yang alur ceritanya terkadang membuat kita meneteskan air mata, bisa menumbuhkan rasa empati kita terhadap orang lain. Misalnya sebuah cerita fiksi yang menceritakan tentang kehidupan tokoh utama secara detail, mau tidak mau akan tergambar dalam benak kita bagaimana sosok tokoh tersebut lalu membandingkan dengan orang-orang di sekitar kita yang mengalami keadaan yang hampir sama misalnya miskin, sakit dan lain-lain.

5. Menguasai literasi baca tulis menjadi dasar menguasai literasi lainnya.
Ada enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015, sementara literasi pertama yang harus dikuasai dengan baik adalah literasi baca tulis. Penguasaan literasi baca tulis yang baik akan membantu kita menguasi literasi lain.


referensi :

[1]https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/buku-literasi-baca-tulis/
[2] https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180326160959-282-285982/minat-baca-masyarakat-indonesia-masih-rendah
[3]https://sport.detik.com/g-sport/4161830/ini-hobi-orang-terkaya-ri-yang-juga-atlet-bridge-bambang-hartono

Rabu, 26 Desember 2018

Penjelasan tentang Literasi Numerasi

Gerakan literasi numerasi merupakan salah satu gerakan literasi nasional yang wajib dikuasai para pelajar dan  masyarakat luas. Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara) dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang terdapat di sekeliling kita. Kemampuan ini ditunjukkan dengan kenyamanan terhadap bilangan dan cakap menggunakan keterampilan matematika secara praktis untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Kemampuan ini juga merujuk pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis, misalnya grafik, bagan, dan tabel.





Sekilas gerakan ini membuat kita berfikir bahwa gerakan literasi numerasi sama dengan pengetahuan matematika. Pada kenyataannya tidaklah seperti itu, numerasi berbeda dengan kompetensi matematika. Memang benar, keduanya berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama, tetapi perbedaannya terletak pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan tersebut. Pengetahuan matematika saja tidak membuat seseorang memiliki kemampuan numerasi. Numerasi mencakup keterampilan mengaplikasikan konsep dan kaidah matematika dalam situasi real sehari-hari, saat permasalahannya sering kali tidak terstruktur.

Sebagai contoh, seorang siswa belajar bagaimana membagi bilangan bulat dengan bilangan bulat lainnya. Ketika bilangan yang pertama tidak habis dibagi, maka akan ada sisa. Biasanya siswa diajarkan untuk menuliskan hasil bagi dengan sisa, lalu mereka juga belajar menyatakan hasil bagi dalam bentuk desimal. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hasil bagi yang presisi (dengan desimal) sering kali tidak diperlukan sehingga sering kali dilakukan pembulatan. Secara matematis,
kaidah pembulatan ke bawah dilakukan jika nilai desimalnya lebih kecil daripada 5, pembulatan ke atas jika nilai desimalnya lebih besar daripada 5, dan pembulatan ke atas atau ke bawah bisa dilakukan jika nilai desimalnya 5. Namun, dalam konteks real, kaidah itu tidaklah selalu dapat
diterapkan. Contohnya, jika 40 orang yang akan bertamasya diangkut dengan minibus yang memuat 12 orang, secara matematis minibus yang dibutuhkan untuk memuat semua orang itu adalah 3,333333. Jumlah itu tentu tidak masuk akal sehingga dibulatkan ke bawah menjadi 3 minibus.

Akan tetapi, jika sebuah tempat duduk hanya boleh diduduki oleh satu orang saja, artinya ada 4 orang tidak mendapatkan tempat duduk. Oleh karena itu, jumlah minibus yang seharusnya dipesan adalah 4 buah. Perlu dicermati bahwa numerasi membutuhkan pengetahuan matematika yang dipelajari dalam kurikulum. Akan tetapi, pembelajaran matematika itu sendiri belum tentu menumbuhkan kemampuan numerasi.

Literasi numerasi bisa segera dilaksanakan dalam berbagai lingkup antara lain keluarga, sekolah, dan masyarakat. Bagaimana pelaksanaannya, secara lengkap bisa dibaca pada materi pendukung literasi numerasi.

Kisah Dewi Sartika Sang Pahlawan Pendidik Rakyat Jelata

Salah satu tokoh pendidikan di Indonesia yang layak diketahui biografinya oleh para pendidik dan peserta didik adalah Dewi Sartika. Beliau lahir di Bandung, 4 Desember 1884. Kiprah Dewi Sartika dalam merintis pendidikan di Indonesia layak mendapat apresiasi dan penghargaan baik dari Pemerintah maupun generasi muda bangsa Indonesia,

Atas jasa-jasanya dalam bidang pendidikan, pada tahun 1966  Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada Dewi Sartika.

Masa Kecil


Dewi Sartika merupakan anak dari Raden Rangga Somanegara, patih Bandung. Ibunya bernama Raden Ayu Rajapermas, putri Bupati Bandung, Raden Adipati Wiranatakusumah IV. Namun, masa indah bersama kedua orang tuanya tidak bertahan lama. Pada saat Dewi Sartika berusia enam tahun, ayahnya diasingkan ke Ternate karena dituduh melakukan pembunuhan terhadap pejabat nomor satu di Bandung.

Setelah peristiwa tersebut, Dewi tinggal bersama pamannya, seorang patih di Cicalengka. Di sanalah karirnya sebagai pendidik informal dimulai.


Pada usia yang masih belia, Dewi Sartika kecil, sudah mulai menunjukkan bakat mengajarnya. Dengan memanfaatkan ilmu yang didapatnya pada saat masih bersama orang tuanya, ia mendidik anak-anak pembantu. Dewi mengajari mereka baca tulis. Akibat dari intensnya pengajaran yang diberikan, anak-anak tersebut mulai pandai membaca dan menulis. Hal tersebut mengakibatkan banyak orang heran, mengingat pada saat itu pendidikan membaca dan menulis hanya boleh diterima oleh anak-anak bangsawan.

Mendirikan sekolah untuk kaum perempuan


Tahun berganti, Dewi Sartika berfikir untuk memperluas pengajarannya. Beliau bermaksud mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum perempuan. Cita-cita terwujud pada tahun 1904 ketika beliau sudah kembali di Bandung. Beliau mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Untuk itu Dewi Sartika banyak memberikan pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga. Semakin besarnya sekolah yang didirikannya, beliau terbentur masalah dana. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Perkembangan Sakola Istri semakin pesat, di beberapa wilayah Pasundan jumlah Sakola Istri mulai bertambah, Sekolah tersebut dikelola perempuan-perempuan Sunda yang bermaksud meneruskan cita-cita Dewi Sartika.

Jika dihitung, pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

sumber:
1. https://biografi-biodata-profile.blogspot.co.id/2012/04/biodata-biografi-dewi-sartika.html
2. https://www.biografiku.com/2011/09/biografi-dewi-sartika.html
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sartika

Kritik Paulo Freire Terhadap Pendidikan Gaya Bank

Di planet yang lebih dari separo penghuninya menderita kelaparan, karena ketidakmampuan negara-negara dalam menghidupi mereka, dimana kita tak bisa begitu saja meneriakkan hak asasi setiap orang untuk pangan dan perumahan, Freire membangkitkan kesadaran di hati setiap orang untuk bertindak mengubah kenyataan yang  membelenggu.1. Freire yang dimaksud oleh Made Pramono tersebut memiliki nama lengkap Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan yang lahir di Brasil pada 19 September 1921.

Apa yang telah dilakukan Paulo Freire  semasa hidupnya khususnya dalam dunia pendidikan telah menginspirasi banyak orang di dunia untuk turut menyumbangkan tenaga dan pikiran demi menolak pendidikan yang menindas manusia.


Ditambah lagi, alasan pemilihan tersebut  disebabkan dengan adanya realita di dunia pendidikan tanah air, di mana seandainya Freire masih hidup saat ini, ia akan menyebutnya dengan ungkapan banking education.  Manusia dalam sistem pendidikan bangking education dalam kacamata Freire hanya berperan sebagai bank. Bank, sebagaimana yang kita ketahui merupakan tempat menyimpan uang para nasabah. Dalam dunia perbankan, ada dua pihak yaitu nasabah dan bank. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, ada juga dua pihak yang terlibat, Guru dan murid. Guru sebagai nasabah memiliki ilmu pengetahuan yang akan ditabung, sedangkan siswa yang berperan sebagai bank, akan menerima ilmu pengetahuan secara apa adanya.

Banking Education dianggap menindas masyarakat oleh karena2:
  1. Memitologisasikan realitas sesuatu yang mana oleh individu dianggap sekadar sebagai penonton yang harus beradaptasi
  2. Menolak dialog
  3. Menjadikan siswa sebagai obyek yang harus dibantu
  4. Menghalangi kreativitas
  5. Gagal untuk mengakui keberadaan umat manusia yang historis


Kritik Freire terhadap dunia pendidikan yang anti dialog memang cukup keras, apalagi jika kritik tersebut dialamatkan pada dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi Freire menggunakan bahasa yang revolusioner yang menyebutkan bahwa pendidikan gaya bank merupakan bentuk penindasan.

Pendidikan di Indonesia yang masih terkungkung dalam budaya feodalisme sebagai akibat dari budaya masa lalu ditambah dengan pemerintahan masa orde baru yang anti dialog menyebabkan kritik Paulo Freire belum bisa diterima sepenuhnya. Budaya kritik dan mengakui perbedaan di antara sesama manusia masih belum diterima banyak kalangan. Bisa jadi, mengkritik pendidikan sebagai bentuk penindasan yang dilakukan oleh para guru terhadap muridnya bisa dianggap melanggar sopan santun dan etiket.
Akan tetapi, kritik Freire masih tetap relevan sebagai evaluasi unuk mencapai fungsi dan tujuan pendidikan nasional3 yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berarti, pendidikan gaya bank yang anti demokrasi bukan saja dikritik oleh Freire tetapi juga bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Selain menyematkan istilah penindasan untuk pendidikan gaya bank, Freire menganggap pendidikan gaya bank merupakan bentuk antagonisme. Untuk itu Freire menyusun sepuluh daftar antagonisme yaitu4 :
(1)   Guru mengajar, murid belajar;
(2)   Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa;
(3)   Guru berpikir, murid dipikirkan;
(4)   Guru bicara, murid mendengarkan;
(5)   Guru mengatur, murid diatur;
(6)   Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti;
(7)   Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya;
(8)   Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri;
(9)   Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid- murid;
(10)         Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Dengan demikian, menjadi tugas segenap kalangan pendidikan maupun yang peduli dengan pendidikan tanah air untuk bersama-sama menghapus metode pendidikan gaya bank yang masih ada di tanah air.

Catatan kaki :
Santoso, Listiyono, dkk. , , Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), 126.
2 Ibid., hal. 142.
3 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003  Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, pasal 3.

Ummu Dawatul Choiro, “Pembelajaran menurut Paulo Freire,” https://umuchoiro.blogspot.co.id/2013/11/pembelajaran-menurut-paulo-freire.html(akses 29 Oktober 2015

Selasa, 25 Desember 2018

Mengembangkan Budaya Jawa dengan Membaca Buku



Pengantar

Membaca1 adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Sedangkan menurut Tampubolon2, membaca adalah suatu kegiatan atau cara dalam mengupayakan pembinaan daya nalar. Dua definisi di atas menjelaskan pengertian membaca secara umum, termasuk didalamnya membaca buku, membaca status di sosial media atau membaca sms dari teman sekolah.

Pada zaman modern ini, proses membaca bagi anak-anak Indonesia tidak lahir secara alami, melainkan melalui proses pengajaran dan pendidikan yang dimulai dari bangku sekolah Dasar (SD). SD merupakan sekolah yang mengajarkan hal-hal mendasar sebelum menempuh jenjang yang lebih tinggi. Dimulai dari Kelas 1, saat itu manusia-manusia kecil yang polos dan lugu mulai berkenalan dengan aksara-aksara latin mulai dari huruf a sampai z. Setelah hafal huruf a sampai z, anak-anak tersebut belum bisa mendapatkan informasi apapun kecuali hafalan yang tidak mengandung makna.

Untuk mendapatkan informasi yang lebih bermakna, huruf tersebut harus dirangkai menjadi kata. Lalu, kata dirangkai menjadi kalimat. Kalimat disusun menjadi paragraf, paragraf disusun menjadi essay dan seterusnya. Semakin banyak susunan kata, maka semakin dalam makna yang akan diperoleh pembaca. Ini berarti juga semakin sulit pemahaman. Untuk itulah diperlukan ketekunan agar bisa memahami bacaan yang memiliki jumlah kata yang banyak. Tak heran, seorang Gubernur Jawa Tengah, semasa masih sekolah tak pernah lepas dari buku. Menurut cerita, Pak Ganjar setiap hari senin hingga sabtu Sore rak pernah lepas dari buku, termasuk ketika di WC.

Unsur Budaya Jawa

Kebudayaan Jawa memiliki aspek yang mencakup banyak bidang kehidupan manusia jawa. Menurut Koentjaraningrat3, Jawa dianggap memiliki kebudayaan karena memenuhi tujuh unsur yaitu :
1.      Sistem Bahasa
2.      Sistem Pengetahuan
3.      Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
4.      Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
5.      Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian Hidup
6.      Sistem Religi
7.      Kesenian

Unsur tersebut menjadi urat nadi bagi perkembangan budaya jawa sejak masa lalu hingga sekarang. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, ketujuh unsur tersebut semestinya tidak bersifat statis. Ada perubahan dalam ketujuh unsur tersebut. Misalnya sistem bahasa, jika dulu masyarakat jawa hanya mengenal bahasa jawa, saat ini masyarakat jawa mau tidak mau harus menerima adanya sistem bahasa dari unsur budaya lain, misalnya bahasa Indonesia, yang merupakan perkembangan dari bahasa melayu. Atau dalam sistem pengetahuan, jika pada masa lalu masyarakat jawa hanya mengenal pengetahuan dari orang-orang terdahulu, misalnya pengetahuan tentang kehidupan sehari-hari. Kini, masyarakat jawa mau tidak mau menerima pengetahuan dari masyarakat suku lain.
Semua bentuk perubahan itu berlaku juga pada sistem kekerabatan dan organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi/ mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian. Situasi ini perlu disikapi dengan baik oleh masyarakat jawa, mengikuti perkembangan zaman tapi tetap nguri-uri budaya jawa.

Tradisi Membaca Buku dalam Budaya Jawa

Melakukan telaah atau penelitian perihal hubungan masyarakat jawa dan buku mungkin membutuhkan waktu khusus. Tapi secara sederhana, untuk mengetahui bagaimana tradisi membaca buku masyarakat jawa bisa dilihat dari seberapa banyak karya tulis yang lahir dari kebudayaan jawa dan bagaimana karya tulis tersebut diakses oleh masyarakat jawa.

Sebelum itu, ada pertanyaan yang tidak kalah penting untuk dikemukakan yaitu sejak kapan masyarakat jawa mengenal karya tulis dan tentu saja aksara. Dalam literatur sejarah, kerap dikemukakan bahwa bukti berupa prasasti menjadi indikator bahwa masyarakat saat itu sudah mengenal aksara. Tapi, sayangnya prasasti dibuat oleh kerajaan. Dengan demikian, besar kemungkinan hanya keluarga kerajaan atau kasta tertentu yang mengenal aksara, sementara rakyat jelata mungkin belum mengenal aksara.
Lalu, bagaimana dengan keberadaan karya tulis yang lahir dalam tatanan masyarakat jawa masa lalu hingga saat ini?

Mengingat bahwa pada masa kerajaan, aksara hanya bisa dibaca oleh keluarga kerajaan atau kasta tertenu, tentu saja tidak banyak karya  tulis yang dihasilkan kebudayaan jawa masa lalu. Tercatat ada beberapa karya tulis yang diciptakan pada masa kerajaan, misalnya : Kitab Negarakartagama dan Kitab Pararaton. Atau banyak tulisan yang ditulis para guru spiritual atau pujangga sekelas R Ng. Ronggowarsito sdengan karyanya Serat Kalatidha, Serat Wirid Hidayat Jati. Pada umumnya karya tulis tersebut merupakan sarana untuk menyampaikan pengajaran spiritual. Anda bisa mendapatkan banyak karya tulis yang dihasilkan masyarakat jawa dalam blog alang-alangkumitir.

Tapi, lagi-lagi seperti juga karya tulis yang hanya beredar di kerajaan, karya tulis yang berisi ajaran spiritual juga beredar terbatas bagi para murid-murid perguruan spiritual saja.

Semua itu menandakan bahwa tidak semua lapisan masyarakat saat itu bebas membaca karya tulis. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa secara umum tradisi membaca dalam tradisi jawa masa lalu masih kurang optimal. Penyebabnya mungkin membaca karya tulis saat itu tidak lebih penting ketimbang belajar ilmu kesaktian atau ilmu kebijaksanaan. Lagi pula ada slogan terkenal yang karib terdengar dalam masyarakat jawa, misalnya kitab teles atau ungkapan Papan Tanpo Tulis di mana untuk mempelajari sesuatu masyarakat jawa kurang menyukai karya tulis sebagai sarana penyebarannya.

Akan tetapi, dalam situasi terkini, menyesuaikan perkembangan zaman merupakan pilihan yang tepat bagi kebudayaan untuk terus hidup dan dihidupi oleh generasi selanjutnya.  Tak ada salahnya melahirkan budaya baru yakni budaya membaca bagi masyarakat jawa yang sebelumnya mungkin hanya dinikmati kelompik tertentu. Secara bersamaan, budaya menulis juga perlu digalakkan.

 
Catatan kaki :
1.      KBBI online
2.      https://www.kajianpustaka.com/2014/01/pengertian-dan-hakikat-membaca.html

3.      https://mbahkarno.blogspot.co.id/2013/09/unsur-unsur-kebudayaan-beserta.html