Kamis, 27 Desember 2018

Bagaimana Keadaan Pendidikan Multukultural di Indonesia?

Ada hubungan erat  di antara Demokrasi, dan Pendidikan Multikulturalisme. Ini bisa dipahami dari definisi keduanya. Demokrasi 1adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Sementara, pendidikan multikulturalisme2 dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Dari pengertian demokrasi di atas, kita bisa memungut kata antara lain, kebebasan politik, hak, bebas dan setara. Sementara, dari definisi tentang pendidikan multikulturalisme terkandung makna keragaman. Hubungan di antara keduanya bisa dijelaskan dalam kalimat, pemahaman yang benar tentang keragaman merupakan sebuah hal yang wajib dipahami dan dilaksanakan dalam rangka menuju kehidupan demokrasi yang yang sehat dan beradab yang menghargai dan mengakomodasi kebebasan politik secara bebas dan setara. Ini berarti pendidikan multikulturalisme menjadi landasan penting yang dapat mempercepat laju demokrasi sebuah bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia.



Sebelum lebih jauh melihat implementasi pendidikan multikulturalisme, ada baiknya kita menengok ke belakang. Sejarah pendidikan multikulturalisme di Indonesia bisa dirunut pada kegigihan Bung Karno menemukan formula yang tepat untuk menggambarkan keragaman di Indonesia. Kegigihan tersebut membuahkan ungkapan monumental yaitu Bhinneka Tunggal Ika 3 yang diucapkan oleh Presiden Soekarno sendiri pada tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Ini menandai bahwa perbedaan dan keragaman merupakan hal yang tidak menghalangi persatuan dan kesatuan.
Melalui sejarah pula, urgensi pendidikan multikulturalisme dalam rangka berdemokrasi juga bisa dipahami. Sejak awal, Republik Indonesia merupakan negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem bernegara. Berangkat dari itu, menjadi kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia untuk bersama-sama mempercepat laju demokrasi demi meneruskan cita-cita pendirian negara Republik Indonesia. Sebaliknya, menghambat laju demokrasi sama saja hendak menggagalkan tujuan pendirian Republik Indonesia.
Meskipun begitu, setelah tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, hambatan terhadap proses pendidikan multikulturalisme masih saja terjadi. Apalagi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa, perbedaan dan keragaman menjadi hal yang tabu kala itu. Hasil dari perbuatan orde baru tersebut masih bisa kita rasakan hingga sekarang.
Di berbagai tempat dan situasi, baik masyarakat maupun pemerintah masih belum sepenuhnya bisa menyadari bahwa sejak awal, bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur. Yang lebih menyedihkan, adanya tindakan kriminal yang dilakukan sekelompok orang terhadap kelompok lain yang dianggap berbeda. Contohnya kasus pembakaran masjid di Papua dan kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Cikeusik.
Berdasarkan semua itu, penyelenggaraan pendidikan multikulturalisme menjadi sesuatu yang sangat mendesak. Sayangnya, keseriusan pemerintah dalam melaksanakan pendidikan multikulturalisme dirasa belum maksimal. Ini ditandai dengan : (1)belum adanya  landasan hukum yang cukup kuat untuk melaksanakan pendidikan multikulturalisme, (2) Di lapangan, keberadaan pendidikan multikulturalisme juga belum bisa dirasakan.
Undang-Undang yang dianggap menjadi landasan hukum pendidikan multikulturalisme adalah UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Akan tetapi menurut penulis, UU ini masih menimbulkan multitafsir terutama jika dikaitkan dengan pendidikan multikulturalisme. Harus ada UU yang secara implisit mewajibkan penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Di lain pihak, dalam lingkungan pendidikan dasar di mana penulis beraktivitas sehari-hari, kurikulum pendidikan yang ada cenderung mengajarkan penyamaan berbagai karakter siswa yang pada dasarnya berbeda. Sistem pendidikan yang ada, belum mampu mengakomodasi keragaman yang dimiliki oleh peserta didik. Ini menyebabkan pendidik mau tidak mau harus menihilkan adanya perbedaan di kalangan peserta didik dan secara tidak langsung membenarkan asumsi bahwa semua peserta didik sama dalam segala hal.
Akhirnya, penulis tiba pada kesimpulan bahwa melaksanakan pendidikan multikulturalisme di Indonesia memang bukan hal yang mudah. Kultur dan budaya masa lalu bangsa Indonesia yang cenderung menolak adanya perbedaan menjadi masalah yang harus segera dicari solusinya. Di satu sisi, budaya menjadi identitas bangsa, akan tetapi di sisi lain, budaya bisa menjadi penghambat pendidikan multikulturalisme. Situasi ini menjadi pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan dengan baik oleh pemerintah.

Catatan Kaki
1.      Wikipedia, “Demokrasi”.https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada tanggal 16 September 2015 pukul 02.00
2.      Hanum, Farida. Pentingnya Pendidikan Multikulturalisme dalam Mewujudkan Demokrasi di Indonesia.

3.       Kaskus. “Sejarah dan asal usul Bhinneka Tunggal Ika menjadi Semboyan Indonesia “,https://www.kaskus.co.id/thread/52ee07f4a3cb17674f8b4699/sejarah-dan-asal-usul-bhinneka-tunggal-ika-menjadi-semboyan-indonesia/1,diakses pada tanggal 16 September pukul 02.20.

Artikel Terkait