Beberapa hari yang lalu, pada tanggal 21 November 2016, Gubernur Jawa Tengah, baru saja mengumumkan
Upah Minimum Kabupaten se-Jawa Tengah. Sayangnya pustakawan dan
guru honorer tidak tersentuh UMK.
Menulis artikel tentang perpustakaan apalagi tentang tenaga perpustakaan yang sering disebut pustakawan itu ibarat sedang bersiul ketika angin sedang bertiup kencang, tidak terdengar apalagi terbaca oleh siapa-siapa. Akan tetapi mau bagaimana lagi, saya sudah tidak tahan lagi untuk menulis artikel tentang nasib pustakawan terutama pustakawan Sekolah Dasar. Ibarat kentut, mau nggak mau ya harus dikeluarkan agar tidak sakit
Riwayat Pekerjaan Sebagai Pustakawan Sekolah Dasar
Cerita tentang bagaimana saya terlibat dalam dunia pustakawan dan perpustakaan bermula dari enam tahun yang lalu. Sebelumnya, dunia perpustakaan adalah dunia yang asing bagi saya. Hingga pada suatu hari saya diberitahu Bapak saya tentang adanya perkuliahan D2 Perpustakaan Universitas Terbuka di kota saya. Meskipun agak malas, akhirnya saya mendaftar dan mengikuti kuliah hingga akhirnya lulus pada tahun 2013.
baca juga:
Pada tahun 2011, ketika saya baru menginjak semester 2, ibu saya bilang bahwa ada lowongan untuk menjadi pustakawan di Sekolah Dasar di desa saya. Saya mendaftar untuk menjadi tenaga wiyata bakti dan diterima.
Saat itu di kompleks SD sudah ada gedung perpustakaan yang baru dibangun dengan kondisi 60 persen. Kondisinya tentu saja masih jauh di bawah perpustakaan besar di China. Akan tetapi menurut informasi dari kepala sekolah, dalam waktu yang tidak lama akan datang bantuan berupa buku.
|
http://sd2wojo.blogspot.co.id/2014/04/perpustakaan-sd-2-wojo.html |
Benar saja tidak lama berselang, datanglah bantuan berupa buku yang kira-kira berjumlah 900 judul, 4500 eksemplar. Jumlah yang sangat banyak, apabila kita rata-rata harga perbuku Rp50.000 berarti harga buku tersebut senilai Rp225.000.000 Sebuah jumlah yang sangat besar.
Berkardus-kardus buku bantuan perpustakaan itu satu persatu dimasukkan ke dalam gedung perpustakaan yang belum jadi 100 persen kemudian saya hitung untuk melakukan
cross check,dan Alhamdulillah jumlahnya sesuai.
Langkah berikutnya saya melakukan pengolahan bahan pustaka yang biasa dilakukan para pustakawan lainnya mulai dari memberi stempel, membuat bibliografi, mengklasifikasi, memberi label, menempel barcode, mengelompokkan, menjajarkan dalam rak, memberi sampul, membuat kartu perpustakaan dan lain-lain.
Oiya dalam hal ini saya menggunakan software Ms. Excel dan software Slims (Senayan Library Automation System) untuk membantu pekerjaan saya sebagai pustakawan. Slims benar-benar sangat
powerfull dalam mempermudah seorang pustakawan. Selain gratis cara pemakainnya juga sangat mudah.
Proses pengolahan bahan pustaka berlangsung sangat lama kira-kira enam bulan lebih. Setelah itu barulah kegiatan pelayanan bahan pustaka dimulai. kegiatan tersebut berlangsung cukup menyenangkan, para siswa dengan antusias masuk ke gedung perpustakaan baik itu untuk membaca buku, meminjam bahkan ada yang datang ke perpustakaan hanya untuk bermain-main. Namun aturan-aturan dasar perpustakaan seperti larangan makan dan minum, larangan gaduh tidak berlaku di perpustakaan sekolah dasar.
Tak terasa enam tahun berlalu dan hari ini saya juga hampir menyelesaikan S1 Perpustakaan. Namun seiring waktu berlalu hinggaplah rasa jenuh. Kegiatan menunggu para siswa meminjam buku di sekolah menimbulkan rasa bosan. Namun faktor utama munculnya rasa jenuh adalah honor yang begitu kecil (namun tetap saya syukuri).
Bapak Ibuk pustakawan yang bukan PNS pasti tahu berapa honor pustakawan sekolah dasar yang diterima setiap bulan. Untuk itu di hadapan saya sekarang muncul dua pertanyaan pilihan, tetap bekerja sebagai pustakawan atau meninggalkan profesi pustakawan. Jika meninggalkan profesi pustakawan saya berfikir sayang sekali jika buku senilai 200 juta lebih tersebut tidak ada yang mengelola.
Pertanyaan itulah yang akhir-akhir ini sering muncul.
Landasan Hukum yang Jelas dan Lengkap Tentang Perpustakaan
Akan tetapi agar tulisan ini tidak terbatas hanya sebagai ajang keluh kesah tentang nasib pustakawan SD yang pada tahun 2017 sepertinya tetap masih kurang jelas, saya akan menyampaikan ide atau gagasan yang mudah-mudahan bisa dibaca oleh yang terkait. Keberanian menulis ini tentu tidak lepas dari iklim demokrasi yang sedang santer-santernya dihembuskan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam demokrasi siapa saja berhak menyampaikan pendapat melalui lisan maupun tulisan. Penyampaian pendapat juga dipayungi UUD 1945.
Untuk itu saya mencoba memberi saran terhadap perkembangan dunia perpustakaan. Perpustakaan sebagai garda terdepan dalam membangun budaya membaca dan membangun keahlian literasi informasi bagi para siswa hendaknya dikelola dengan benar dan serius oleh pemerintah.
Upaya setengah-setengah yang dilakukan terhadap kemajuan sumber daya manusia justru akan menghabiskan anggaran namun tidak ada hasil. Akan tetapi jika ada upaya yang serius untuk mengembangkan minat baca melalui perpustakaan akan muncul generasi baru bangsa Indonesia yang melek literasi dengan output mewujudkan SDM yang produktif.
Semua rencana tersebu harus dipayungi
Landasan hukum yang jelas dan lengkap tentang perpustakaan.
Memang benar sudah ada UU yang mengatur tentang Perpustakaan yaitu UU no 43 tahun 2007. Dalam UU tersebut juga sudah ada aturan tentang perpustakaan. Misalnya adanya kewajiban untuk Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.
Akan tetapi dalam praktiknya, sekolah masih merasa kesulitan untuk mengaplikasikan anggaran tersebut. Kesulitan tersebut kemungkinan disebabkan tidak adanya payung hukum yang jelas dan bersifat memaksa. Untuk itu harus ada peraturan pemerintah yang menjelaskan tentang teknis pelaksanaan pengelolaan perpustakaan, sistem pengangkatan CPNS pustakawan, sumber anggaran perpustakaan, gaji pustakawan, jenjang karir profesional pustakawan dan sebagainya khususnya di lingkungan sekolah dasar.
Peraturan yang jelas dari pemerintah bukan hanya memperbaiki nasib pustakawan melainkan juga akan memicu pustakawan untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengembangkan perpustakaan demi tercapainya tujuan pembinaan minat baca dan menciptakan keahlian literasi informasi anak bangsa.