Rabu, 30 November 2016

Kendala dalam Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah Dasar

Pada bulan maret 2016 kemarin, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah Dasar. Tujuan dari gerakan tersebut yaitu agar peserta didik, terutama di tingkat pendidikan dasar, menjadi insan berbudaya literasi. 

Gerakan tersebut digagas berdasarkan kepedulian atas rendahnya kompetensi peserta didik Indonesia dalam bidang matematika, sains, dan membaca. 

Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik Indonesia (selain
matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA).



PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya menjadi terampil membaca untuk mendukung mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat. 

baca juga : 

Peran Perpustakaan dalam Gerakan Literasi Sekolah

Dalam Gerakan Literasi Sekolah Dasar, perpustakaan SD disebut sebagai sarana literasi yang penting dengan didukung adanya sudut baca dan area baca.

Perpustakaan SD berfungsi sebagai sebagai pusat pengelolaan pengetahuan dan sumber belajar di SD yang dikelola oleh kepala SD. Keberadaan perpustakaan dengan jumlah koleksi yang memadai dan jenis koleksi buku yang tepat bagi siswa dapat meningkatkan minat baca siswa SD.

Sudut Baca Kelas adalah sebuah sudut di kelas yang dilengkapi dengan koleksi buku yang ditata secara menarik untuk menumbuhkan minat baca peserta didik.

Sementara itu, area baca meliputi lingkungan sekolah (serambi, koridor, halaman, kebun, ruang kelas, tempat ibadah, tempat parkir, ruang UKS, ruang kepsek, ruang guru, ruang tunggu orang tua, toilet dll.) yang dilengkapi oleh koleksi buku untuk memfasilitasi kegiatan membaca peserta didik dan warga sekolah. Siswa sekolah Dasar dikepung dengan buku yang tersebar di setiap sudut sekolah. 

Ketiga jenis sarana tersebut diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran membaca para siswa sekolah dasar. 

Di lain pihak, selain berusaha menyediakan sarana yang representatif untuk kegiatan membaca buku, Gerakan Literasi Sekolah juga mewajibkan siswa untuk membaca buku selama 15 menit sebelum dan sesudah pelajaran berlangsung.

Selain itu, sistem pengajaran harus menggunakan buku sebagai komponen utama, pendidikan berbasis buku.


Kendala yang Menghadang Pelaksanaan Gerakan Literasi Informasi

Secara teori, Gerakan Literasi Sekolah memang sudah menjabarkan secara detail bagaimana langkah yang harus dilakukan. Akan tetapi dalam praktiknya hal tersebut tidak mudah dilakukan karena terbentur dengan berbagai kendala yaitu :


Sosialisasi yang Kurang Massiv

Gerakan Literasi merupakan gerakan nasional, namun gaungnya masih belum terdengar. Pemerintah hanya menggunakan media internet untuk menyampaikan informasi sepenting ini. Akibatnya hanya sedikit orang yang mengetahui. Pihak yang bertugas menjalankan gerakan tersebut, yakni instansi sekolah dasar yang terdiri kepala sekolah, guru dan pustakawan masih belum memahami secara detail apakah yang dimaksud dengan literasi. Untuk itu perlu diadakan sosialisasi yang jelas dan terukur demi tercapainya tujuan gerakan literasi sekolah misalnya dengan mengadakan bintek.

Kurangnya Tenaga Pustakawan Profesional


Pustakawan merupakan tenaga profesional yang mengelola perpustakaan. Dia bertanggung jawab terhadap pengelolaan perpustakaan dan pelayanan perpustakaan. Selain itu dia juga memiliki kewajiban untuk merencanakan program kerja perpustakaan. Apabila sebuah sekolah tidak memiliki tenaga pustakawan, Gerakan Literasi Informasi bisa gagal total. 

Kebijakan Pendidikan yang tidak ramah dengan perpustakaan


Pendidikan Dasar dengan segala kebijakannya mulai dari sistem pengajaran, anggaran untuk perpustaakaan hampir semua tidak memedulikan bidang perpustakaan. Cara mengajar dalam pendidikan di Indonesia juga hanya bertumpu pada keahlian guru dalam ceramah. Hal tersebut sudah turun temurun sejak zaman dahulu. Padahal seiring dengan kemajuan teknologi, metode pembelajaran juga harus berubah. Murid seharusnya tidak semata bergantung pada guru dalam meningkatkan kualitas pendidikannya.

Sarana dan prasarana yang Kurang Representatif


Gedung perpustakaan, koleksi buku, meja, kursi dan perangkat komputer merupakan sarana dan prasarana yang harus dipersiapkan dengan baik agar gerakan literasi sekolah dapat berlangsung. Akan tetapi sampai sekarang masih ada sekolah dasar yang sarana dan prasarananya kurang lengkap dan kurang representatif.

Artikel Terkait