Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Februari 2018

Cerita Pendek Anak tentang Cinta Tanah Air

Contoh cerita pendek di bawah ini bertema tentang Cinta Tanah Air Indonesia. Silakan disimak.

Ingin Menjadi Petugas Upacara


Hari Senin telah tiba. Seperti biasa, murid-murid SD Negeri 4 Sukamaju wajib mengikuti Upacara Bendera. Akan tetapi, Bayu selalu merasa malas mengikuti kegiatan upacara bendera. Murid kelas lima tersebut menganggap upacara bendera itu hanya membuat capek dan lelah.
Kemudian bel tanda upacara bendera pun berbunyi. Semua anak berjalan menuju ke lapangan sekolah. Bayu berjalan dengan sangat pelan.
“Ah, upacara lagi, upacara lagi,” bisik Bayu sambil berjalan menuju lapangan. Semua murid berbaris rapi sesuai dengan kelasnya masing-masing.


“Siaaapp Gerak!” teriak Rian, sang pemimpin upacara dengan lantang.
Bayu mengikuti perintah sang pemimpin upacara dengan sangat malas. Selama upacara berlangsung, Bayu hampir selalu menggerutu dalam hati. Baginya, upacara terasa sangat lama.
Setelah menahan lelah, akhirnya upacarapun selesai, Bayu segera berlari menuju kelas dengan gembira. Sejenak ia duduk di kursi lalu meluruskan kakinya.
Tak berapa lama, Ibu Guru kelas 5 masuk ke ruang kelas. Sesuai jadwal, pelajaran hari ini adalah IPS yang kebetulan membahas tema tentang perjuangan para pahlawan bangsa dalam merebut kemerdekaan.
“Selamat pagi, anak-anak,” kata Ibu Guru memulai pelajaran.
“Selamat Pagi, Ibu Guru,” Anak-anak menjawab serempak.
“Anak-anak, pagi ini kita akan belajar tentang sejarah,”kata Ibu Guru.
“Sejarah sangat penting untuk kita ketahui, agar kita memiliki rasa cinta tanah Air Indonesia,” Tambah Ibu Guru.
Ibu Guru sangat pintar bercerita. Beliau bercerita tentang kisah perjuangan Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beliau bercerita dengan penuh ekspresi sehingga murid-murid terdiam dan menyimak dengan seksama setiap ucapan Ibu Guru.
Diceritakan oleh Ibu Guru, bahwa pada saat bangsa Indonesia belum merdeka, sangat susah untuk menunjukkan identitas sebagai bangsa Indonesia. Bahkan untuk mengibarkan bendera merah putih sangat dilarang oleh penjajah baik Belanda maupun Jepang. Bung Karno bersama dengan para pejuang lainnya akhirnya berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bendera Merah putih dikibarkan saat itu sebagai simbol Indonesia memiliki kedaulatan sendiri tanpa campur tangan penjajah.
“Anak-anak, bangsa  Indonesia memprokamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun sebelum itu, pada saat Jepang berkuasa, rakyat Indonesia tidak diperbolehkan untuk mengibarkan bendera merah putih,” Kata Ibu Guru.
“Bendera yang boleh dikibarkan adalah bendera Jepang,” Ibu Guru menambahkan.
“Mengapa rakyat Indonesia tidak boleh mengibarkan bendera merah putih, Ibu Guru?” Zahra bertanya.
“Karena, Jepang menganggap Indonesia merupakan bagian dari Jepang yang tidak boleh memiliki bendera sendiri,” Jawab Ibu Guru.
“Siapa yang berani mengibarkan bendera merah putih akan ditembak oleh tentara Jepang,” Sambung Ibu Guru.
“Kalau begitu, zaman dahulu tidak ada orang yang upacara bendera, bu?” Bayu bertanya.
“Ada, namun bendera yang dihormati adalah bendera Jepang, Bayu,” Jawab ibu Guru.
“Jadi anak-anak, alasan utama mengapa kalian tiap hari Senin mengikuti upacara bendera adalah agar kalian memiliki rasa cinta tanah air, memiliki disiplin dan juga untuk menghargai jasa para pahlawan,” Ibu Guru menambahkan.
“Coba kalian bayangkan seandainya kalian hidup di zaman penjajahan Jepang, pasti sangat susah bukan?” Tanya Ibu Guru.
“Iya bu”, Jawab anak-anak serempak.
Untuk sejenak Bayu terdiam. Ia sangat menyesal telah bersikap malas-malasan saat mengikuti Upacara bendera.  Ia bertekad dalam hati, pada hari Senin berikutnya akan mengikuti Upacara Bendera dengan disiplin dan tertib. Bayu ingin menghargai jasa para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan Bayu ingin menjadi petugas Upacara seperti Rian yang berteriak lantang.
“Siaaaappp Gerak!”

Senin, 05 Februari 2018

Cerpen Anak tentang Olahraga

Daffa masih tetap bersemangat berlari meskipun siang hari semakin terik. Keringat yang membasahi tubuhnya sama sekali tak dihiraukannya.

Bersama dengan tujuh rekannya dari Kabupaten Grobogan, hari ini mereka sedang bersemangat berlatih ketahanan fisik di GOR Purwodadi. Latihan keras pun dilakukan karena kurang dari seminggu, Daffa akan mengikuti pertandingan bola voli antar kabupaten di GOR Jatidiri, Semarang.

"Kalian harus disiplin dalam latihan,"Kata Pak Sujarwo, setelah semua pemain beristirahat.
"Siap pak," sahut Daffa, Arman, naufal, Ridha, Yasin, Agung, Agus dan Reno.
"Terutama kamu Daffa, bagaimana kondisi kakimu?" tanya Pak Sujarwo
"Masih sedikit nyeri pak, namun saya optimis, bisa bertanding dengan maksimal," jawab Daffa.
"Syukurlah, sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing dan jaga kesehatan, jangan sampai sakit," Perintah Pak Sujarwo.



Kemudian, ke-8 anak tersebut pun pulang. Daffa sudah dijemput ayah sejak tadi. Sepeda motor roda dua milik Ayah pun melaju menuju ke rumah yang letaknya sekitar lima belas kilometer.

Daffa merupakan murid kelas 5 SD Negeri 4 Surtakarta. Ia mulai menyukai olahraga bola voli sejak kelas 2 SD. Ia terampil melakukan passing bawah maupun atas. Sepertinya, ia memiliki bakat alami

Keterampilan spike didapat pada saat kelas 4 SD. Ayah yang selalu memantau perkembangan Daffa segera mencari cara agar Daffa selalu berprestasi. Kegigihan Daffa dalam berlatih bola Voli dan semangatnya yang pantang menyerah membuat ayah kemudian memberikan kesempatan kepada Daffa untuk mengikuti kursus bola voli.

baca juga : Cerita Pendek Anak tentang Kejujuran

Sejak itu, prestasi Daffa pun meningkat drastis. Beragam prestasipun didapatkan oleh Daffa dan timnya mulai dari juara antar desa, juara kecamatan hingga juara se-kabupaten Grobogan. Daffa memiliki spike yang sangat keras dan akurat. Umpan yang disajikan rekan satu SDnya yaitu Arman selalu berhasil diselesaikan dengan baik.

Akan tetapi, ada peristiwa yang cukup mengkhawatirkan, pada saat pertandingan antar kecamatan se-Kabupaten Grobogan, dalam pertandingan final, kaki Daffa terkilir karena pendaratan yang kurang sempurna setelah melakukan spike.

Siang itu, sambil meringis kesakitan, Daffa terpincang-pincang sambil memegangi kakinya.

Dari bangku penonton,  pendukung dari Kecamatan Surtakarta pun menahan nafas sekaligus cemas, jangan-jangan tim Daffa akan kalah karena cedera kaki yang diderita Daffa.

Daffa sendiri ingin rasanya berhenti bermain, namun skor pertandingan yang saling kejar mengejar membuat Daffa mengurungkan niatnya, ditambah lagi dukungan dari pendukung yang begitu bergelora, membuat semangat Daffa bangkit kembali. Iapun masuk ke arena pertandingan kembali dengan gagah berani.

Perjuangan Daffa dan teman-temannya berakhir dengan sangat memuaskan, akhirnya Daffa dan timnya memenangkan pertandingan setelah melewati deuce berkali-kali.

Suara kemenangan membahana memenuhi GOR Purwodadi. Mata Daffa nampak berkaca-kaca karena terharu.

Akan tetapi ada sosok yang lebih terharu sekaligus bangga. Ya, itu adalah sosok Ayah . Beliau begitu bangga dengan putra tercintanya yang menjadi bintang lapangan pada pertandingan siang itu.

"Ibu, lihatlah putra tercintamu, hari ini ia menjadi bintang, "bisik ayah dalam hati.
"Semoga Ibu melihat dari alam keabadian," Ayah terisak teringat Ibu yang sudah meninggal dunia.

"Ayyahh," bisik Ibu pelan.
"Iya, Ibu," kata Ayah sambil menggenggam tangan Ibu.
"Maafkan, Ibu, sepertinya Ibu tak sanggup lagi menemani Daffa dan ayah lebih lama," kata Ibu dengan terbata-bata.
"Ibu, jangan bilang seperti itu, Allah akan menyembuhkan Ibu," kata ayah sambil berlinang air mata.
"Ibu, titip Daffaa," Suara Ibu semakin pelan.
"Ibu...," Ayah semakin erat menggenggam tangan Ibu.
"Inna lillahi wainna ilaihi rajiun," Ayah tertunduk pilu.

Ibu meninggal pada saat Daffa kelas dua SD karena penyakit kanker. Sejak itu, Ayah membesarkan Daffa seorang diri.

Dan kurang dari seminggu lagi, Daffa akan bertanding di GOR Jatidiri Semarang. Ayah dengan penuh semangat selalu mengantar Daffa untuk mengikuti latihan di GOR.

Minggu, 04 Februari 2018

Cerita Pendek Anak tentang Kejujuran

Hari ini adalah hari Senin. Gibran sedang bersiap pergi ke sekolah. Setelah berpamitan kepada ayah dan ibu, dengan langkah gontai Ia berjalan menuju ke arah sepeda di depan rumah. Wajahnya terlihat sedih dan tidak bersemangat. Siswa kelas 5 SD Negeri 4 Surakarta itu sepertinya sedang kecewa.
Ayah yang sedari tadi memperhatikan putra kesayangannya terlihat sedih, juga nampak menghela nafas panjang. Semalam, sebelum tidur, dengan mata berbinar-binar, Gibran bercerita bahwa Ardi, temannya baru saja dibelikan ayahnya sebuah sepeda berwarna hitam dengan ban yang masih berwarna hitam legam.
“Gibran, anakku, kamu pasti ingin dibelikan sepeda baru ?,” tanya Ayah.
“Iya yah, kira-kira kapan Ayah membelikan Gibran sepeda baru,”tanya Gibran.
“Nak, maafkan Ayah, belum bisa membelikan sepeda baru buat Gibran,”kata Ayah.
“Insya Allah, bulan depan ayah akan membelikan sepeda baru,”sambung Ayah.
“Iya Ayah,”sahut Gibran sambil berlalu membuka pintu kamar tidurnya.
Ayah hanya terdiam memandang ke depan, kosong.



*

Sambil mengayuh Sepeda yang sudah agak rusak, Gibran melamun membayangkan seandainya ia memiliki sepeda baru. Hatinya pasti sangat senang dan sepeda baru tersebut akan selalu dirawat dengan baik.
Tiba-tiba Gibran terkejut ketika roda sepedanya menabrak bungkusan plastik berwarna hitam yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Setelah meminggirkan sepedanya, Gibran lalu memungut bungkusan tersebut.
Dengan segera ia membuka bungkusan misterius itu. Alangkah terkejutnya saat melihat bungkusan tersebut.
Isinya ternyata adalah uang yang sudah ditata rapi dan sepertinya baru saja diambil dari Bank karena ada slip pengambilan di dalam bungkusan plastik tersebut. Seketika mengalirlah keringat dingin di tubuh Gibran, dengan segera ia masukkan bungkusan tersebut ke dalam tasnya. Untunglah bungkusan tersebut muat di dalam tas Gibran.
Gibran bimbang apakah harus pulang kemudian bercerita kepada ayah atau langsung berangkat ke Sekolah yang jaraknya sudah sangat dekat. Ia putuskan untuk membawa uang puluhan juta tersebut ke Sekolah.
Tiba di Sekolah, bel tanda upacara pun berbunyi. Gibran mencoba bersikap wajar, meskipun ia sangat takut, jangan-jangan ada temannya yang mengetahui ada uang puluhan juta di dalam tasnya.
Selama mengikuti Upacara, Gibran nampak gelisah.
Saat pelajaran sudah dimulai, ia juga mulai tidak tenang.
“Gibran, apa yang sedang kamu pikirkan ?” tanya Ibu Guru karena melihat Gibran terlihat gelisah.
“Ehmm, tidak bu Guru, Gibran tidak memikirkan apa-apa, Gibran sedang konsentrasi dengan pelajaran,”jawab Gibran sambil berdebar-debar.
“Ya Sudah, kalau begitu,”kata Ibu Guru.
Waktu pun menunjukkan pukul 12.30. Saatnya pulang pun tiba. Ia berlari menuju parkir sepeda, dan bergegas mengendarai sepedanya tersebut.
Dikayuhnya pedal sepedanya dengan tergesa-gesa. Rasanya jarak sekolah dan rumahnya siang ini terasa sangat jauh.
Tak berapa lama, Gibran dan sepeda tuanya tiba juga di rumah sederhana. Ayah juga baru pulang kerja.
“Assalamualaikum,”Gibran menyampaikan salam.
“Waalaikumsalam,”jawab Ayah.
Dengan tergesa-gesa, Gibran lalu menggandeng tangan ayah, dan mengajak masuk ke kamar Gibran. Tentu saja Ayah heran.
“Gibran, ada apa ini?,”selidih ayah.
“Sebentar yah, ini penting sekali,”jawab Gibran terengah-engah.
Gibran lalu membuka tas lalu mengambil dan membuka bungkusan tersebut.
“Astaghfirullah Gibran, kamu dapat uang dari mana?,”Ayah nampak terkejut dan bersiap-siap untuk marah.
“Aku menemukan uang itu di jalan, Ayah,”jawab Gibran.
Ayah lalu memeriksa isi bungkusan itu, beliau menemukan slip pengambilan. Di dalamnya tertulis nama lengkap dan alamat orang yang mengambil uang tersebut.
“Gibran, sebaiknya kita kembalikan saja uang ini ke pemiliknya,” kata Ayah.
“Iya, Ayah,”Gibran setuju.
“Kita harus pergi ke alamat yang tertulis di slip pengambilan ini,”kata Ayah.
“Sekarang, yah?” tanya Gibran.
“Setelah salat Dzuhur kita segera ke rumah orang itu Gibran,”sahut Ayah.
“Baik, yah.”
Dengan mengendarai sepeda motor, Ayah memboncengkan Gibran menuju ke alamat rumah orang yang tertera pada kertas slip pengambilan. Tibalah di tempat yang dituju.
Setelah memarkir sepeda motor, Ayah dan Gibran masuk ke rumah tersebut.
“Assalamuaaikum,”kata Ayah
“Waalaikum salam,”terdengar suara seorang pria dari dalam rumah.
“Apa benar ini rumah pak Ahmad Subarjo?,”tanya ayah.
“Iya, saya sendiri, ada apa ya?,”tanya Pak Ahmad
“Begini pak, apakah bapak merasa kehilangan sesuatu?” tanya Ayah.
“Betul sekali, saya kehilangan uang. Dari mana bapak tahu?”
“Maaf pak, berapakah jumlah uang yang hilang?,”tanya ayah.
“lima puluh juta rupiah, saya akan mengantar uang itu ke rumah teman saya, tapi sepertinya terjatuh,”kata Pak Ahmad sedih.
“Begini pak, kebetulan tadi pagi, anak saya, Gibran menemukan uang bapak,” kata Ayah.
“Ini, uangnya pak, silakan diperiksa,”kata Ayah sambil menyerahkan bungkusan uang.
“Alhamdulillah, terima kasih pak Roni, uangnya utuh,”kata pak Ahmad gembira.
“Nak, kamu telah mengembalikan uang bapak, sebagai ganti kejujuranmu, bapak akan membelikan kamu sepeda,”kata Pak Ahmad.
“Ah, tidak usah repot-repot pak Ahmad,”kata Ayah.
“Saya tidak repot kok pak, saya ikhlas,”kata Pak Ahmad.
“Lebih baik, sekarang kita makan siang dulu, setelah itu bersama-sama pergi ke toko sepeda,”ajak Pak Ahmad.

***

Pagi ini, Gibran gembira sekali. Setelah berpamitan kepada ayah ibu, ia berlari menuju ke arah sepeda barunya dan mengayuh dengan riang menuju sekolah.