Hari ini adalah hari Senin. Gibran sedang bersiap pergi ke sekolah. Setelah berpamitan kepada ayah dan ibu, dengan langkah gontai Ia berjalan menuju ke arah sepeda di depan rumah. Wajahnya terlihat sedih dan tidak bersemangat. Siswa kelas 5 SD Negeri 4 Surakarta itu sepertinya sedang kecewa.
Ayah yang sedari tadi memperhatikan putra kesayangannya terlihat sedih, juga nampak menghela nafas panjang. Semalam, sebelum tidur, dengan mata berbinar-binar, Gibran bercerita bahwa Ardi, temannya baru saja dibelikan ayahnya sebuah sepeda berwarna hitam dengan ban yang masih berwarna hitam legam.
“Gibran, anakku, kamu pasti ingin dibelikan sepeda baru ?,” tanya Ayah.
“Iya yah, kira-kira kapan Ayah membelikan Gibran sepeda baru,”tanya Gibran.
“Nak, maafkan Ayah, belum bisa membelikan sepeda baru buat Gibran,”kata Ayah.
“Insya Allah, bulan depan ayah akan membelikan sepeda baru,”sambung Ayah.
“Iya Ayah,”sahut Gibran sambil berlalu membuka pintu kamar tidurnya.
Ayah hanya terdiam memandang ke depan, kosong.
Sambil mengayuh Sepeda yang sudah agak rusak, Gibran melamun membayangkan seandainya ia memiliki sepeda baru. Hatinya pasti sangat senang dan sepeda baru tersebut akan selalu dirawat dengan baik.
Tiba-tiba Gibran terkejut ketika roda sepedanya menabrak bungkusan plastik berwarna hitam yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Setelah meminggirkan sepedanya, Gibran lalu memungut bungkusan tersebut.
Dengan segera ia membuka bungkusan misterius itu. Alangkah terkejutnya saat melihat bungkusan tersebut.
Isinya ternyata adalah uang yang sudah ditata rapi dan sepertinya baru saja diambil dari Bank karena ada slip pengambilan di dalam bungkusan plastik tersebut. Seketika mengalirlah keringat dingin di tubuh Gibran, dengan segera ia masukkan bungkusan tersebut ke dalam tasnya. Untunglah bungkusan tersebut muat di dalam tas Gibran.
Gibran bimbang apakah harus pulang kemudian bercerita kepada ayah atau langsung berangkat ke Sekolah yang jaraknya sudah sangat dekat. Ia putuskan untuk membawa uang puluhan juta tersebut ke Sekolah.
Tiba di Sekolah, bel tanda upacara pun berbunyi. Gibran mencoba bersikap wajar, meskipun ia sangat takut, jangan-jangan ada temannya yang mengetahui ada uang puluhan juta di dalam tasnya.
Selama mengikuti Upacara, Gibran nampak gelisah.
Saat pelajaran sudah dimulai, ia juga mulai tidak tenang.
“Gibran, apa yang sedang kamu pikirkan ?” tanya Ibu Guru karena melihat Gibran terlihat gelisah.
“Ehmm, tidak bu Guru, Gibran tidak memikirkan apa-apa, Gibran sedang konsentrasi dengan pelajaran,”jawab Gibran sambil berdebar-debar.
“Ya Sudah, kalau begitu,”kata Ibu Guru.
Waktu pun menunjukkan pukul 12.30. Saatnya pulang pun tiba. Ia berlari menuju parkir sepeda, dan bergegas mengendarai sepedanya tersebut.
Dikayuhnya pedal sepedanya dengan tergesa-gesa. Rasanya jarak sekolah dan rumahnya siang ini terasa sangat jauh.
Tak berapa lama, Gibran dan sepeda tuanya tiba juga di rumah sederhana. Ayah juga baru pulang kerja.
“Assalamualaikum,”Gibran menyampaikan salam.
“Waalaikumsalam,”jawab Ayah.
Dengan tergesa-gesa, Gibran lalu menggandeng tangan ayah, dan mengajak masuk ke kamar Gibran. Tentu saja Ayah heran.
“Gibran, ada apa ini?,”selidih ayah.
“Sebentar yah, ini penting sekali,”jawab Gibran terengah-engah.
Gibran lalu membuka tas lalu mengambil dan membuka bungkusan tersebut.
“Astaghfirullah Gibran, kamu dapat uang dari mana?,”Ayah nampak terkejut dan bersiap-siap untuk marah.
“Aku menemukan uang itu di jalan, Ayah,”jawab Gibran.
Ayah lalu memeriksa isi bungkusan itu, beliau menemukan slip pengambilan. Di dalamnya tertulis nama lengkap dan alamat orang yang mengambil uang tersebut.
“Gibran, sebaiknya kita kembalikan saja uang ini ke pemiliknya,” kata Ayah.
“Iya, Ayah,”Gibran setuju.
“Kita harus pergi ke alamat yang tertulis di slip pengambilan ini,”kata Ayah.
“Sekarang, yah?” tanya Gibran.
“Setelah salat Dzuhur kita segera ke rumah orang itu Gibran,”sahut Ayah.
“Baik, yah.”
Dengan mengendarai sepeda motor, Ayah memboncengkan Gibran menuju ke alamat rumah orang yang tertera pada kertas slip pengambilan. Tibalah di tempat yang dituju.
Setelah memarkir sepeda motor, Ayah dan Gibran masuk ke rumah tersebut.
“Assalamuaaikum,”kata Ayah
“Waalaikum salam,”terdengar suara seorang pria dari dalam rumah.
“Apa benar ini rumah pak Ahmad Subarjo?,”tanya ayah.
“Iya, saya sendiri, ada apa ya?,”tanya Pak Ahmad
“Begini pak, apakah bapak merasa kehilangan sesuatu?” tanya Ayah.
“Betul sekali, saya kehilangan uang. Dari mana bapak tahu?”
“Maaf pak, berapakah jumlah uang yang hilang?,”tanya ayah.
“lima puluh juta rupiah, saya akan mengantar uang itu ke rumah teman saya, tapi sepertinya terjatuh,”kata Pak Ahmad sedih.
“Begini pak, kebetulan tadi pagi, anak saya, Gibran menemukan uang bapak,” kata Ayah.
“Ini, uangnya pak, silakan diperiksa,”kata Ayah sambil menyerahkan bungkusan uang.
“Alhamdulillah, terima kasih pak Roni, uangnya utuh,”kata pak Ahmad gembira.
“Nak, kamu telah mengembalikan uang bapak, sebagai ganti kejujuranmu, bapak akan membelikan kamu sepeda,”kata Pak Ahmad.
“Ah, tidak usah repot-repot pak Ahmad,”kata Ayah.
“Saya tidak repot kok pak, saya ikhlas,”kata Pak Ahmad.
“Lebih baik, sekarang kita makan siang dulu, setelah itu bersama-sama pergi ke toko sepeda,”ajak Pak Ahmad.
Pagi ini, Gibran gembira sekali. Setelah berpamitan kepada ayah ibu, ia berlari menuju ke arah sepeda barunya dan mengayuh dengan riang menuju sekolah.
Ayah yang sedari tadi memperhatikan putra kesayangannya terlihat sedih, juga nampak menghela nafas panjang. Semalam, sebelum tidur, dengan mata berbinar-binar, Gibran bercerita bahwa Ardi, temannya baru saja dibelikan ayahnya sebuah sepeda berwarna hitam dengan ban yang masih berwarna hitam legam.
“Gibran, anakku, kamu pasti ingin dibelikan sepeda baru ?,” tanya Ayah.
“Iya yah, kira-kira kapan Ayah membelikan Gibran sepeda baru,”tanya Gibran.
“Nak, maafkan Ayah, belum bisa membelikan sepeda baru buat Gibran,”kata Ayah.
“Insya Allah, bulan depan ayah akan membelikan sepeda baru,”sambung Ayah.
“Iya Ayah,”sahut Gibran sambil berlalu membuka pintu kamar tidurnya.
Ayah hanya terdiam memandang ke depan, kosong.
*
Sambil mengayuh Sepeda yang sudah agak rusak, Gibran melamun membayangkan seandainya ia memiliki sepeda baru. Hatinya pasti sangat senang dan sepeda baru tersebut akan selalu dirawat dengan baik.
Tiba-tiba Gibran terkejut ketika roda sepedanya menabrak bungkusan plastik berwarna hitam yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Setelah meminggirkan sepedanya, Gibran lalu memungut bungkusan tersebut.
Dengan segera ia membuka bungkusan misterius itu. Alangkah terkejutnya saat melihat bungkusan tersebut.
Isinya ternyata adalah uang yang sudah ditata rapi dan sepertinya baru saja diambil dari Bank karena ada slip pengambilan di dalam bungkusan plastik tersebut. Seketika mengalirlah keringat dingin di tubuh Gibran, dengan segera ia masukkan bungkusan tersebut ke dalam tasnya. Untunglah bungkusan tersebut muat di dalam tas Gibran.
Gibran bimbang apakah harus pulang kemudian bercerita kepada ayah atau langsung berangkat ke Sekolah yang jaraknya sudah sangat dekat. Ia putuskan untuk membawa uang puluhan juta tersebut ke Sekolah.
Tiba di Sekolah, bel tanda upacara pun berbunyi. Gibran mencoba bersikap wajar, meskipun ia sangat takut, jangan-jangan ada temannya yang mengetahui ada uang puluhan juta di dalam tasnya.
Selama mengikuti Upacara, Gibran nampak gelisah.
Saat pelajaran sudah dimulai, ia juga mulai tidak tenang.
“Gibran, apa yang sedang kamu pikirkan ?” tanya Ibu Guru karena melihat Gibran terlihat gelisah.
“Ehmm, tidak bu Guru, Gibran tidak memikirkan apa-apa, Gibran sedang konsentrasi dengan pelajaran,”jawab Gibran sambil berdebar-debar.
“Ya Sudah, kalau begitu,”kata Ibu Guru.
Waktu pun menunjukkan pukul 12.30. Saatnya pulang pun tiba. Ia berlari menuju parkir sepeda, dan bergegas mengendarai sepedanya tersebut.
Dikayuhnya pedal sepedanya dengan tergesa-gesa. Rasanya jarak sekolah dan rumahnya siang ini terasa sangat jauh.
Tak berapa lama, Gibran dan sepeda tuanya tiba juga di rumah sederhana. Ayah juga baru pulang kerja.
“Assalamualaikum,”Gibran menyampaikan salam.
“Waalaikumsalam,”jawab Ayah.
Dengan tergesa-gesa, Gibran lalu menggandeng tangan ayah, dan mengajak masuk ke kamar Gibran. Tentu saja Ayah heran.
“Gibran, ada apa ini?,”selidih ayah.
“Sebentar yah, ini penting sekali,”jawab Gibran terengah-engah.
Gibran lalu membuka tas lalu mengambil dan membuka bungkusan tersebut.
“Astaghfirullah Gibran, kamu dapat uang dari mana?,”Ayah nampak terkejut dan bersiap-siap untuk marah.
“Aku menemukan uang itu di jalan, Ayah,”jawab Gibran.
Ayah lalu memeriksa isi bungkusan itu, beliau menemukan slip pengambilan. Di dalamnya tertulis nama lengkap dan alamat orang yang mengambil uang tersebut.
“Gibran, sebaiknya kita kembalikan saja uang ini ke pemiliknya,” kata Ayah.
“Iya, Ayah,”Gibran setuju.
“Kita harus pergi ke alamat yang tertulis di slip pengambilan ini,”kata Ayah.
“Sekarang, yah?” tanya Gibran.
“Setelah salat Dzuhur kita segera ke rumah orang itu Gibran,”sahut Ayah.
“Baik, yah.”
Dengan mengendarai sepeda motor, Ayah memboncengkan Gibran menuju ke alamat rumah orang yang tertera pada kertas slip pengambilan. Tibalah di tempat yang dituju.
Setelah memarkir sepeda motor, Ayah dan Gibran masuk ke rumah tersebut.
“Assalamuaaikum,”kata Ayah
“Waalaikum salam,”terdengar suara seorang pria dari dalam rumah.
“Apa benar ini rumah pak Ahmad Subarjo?,”tanya ayah.
“Iya, saya sendiri, ada apa ya?,”tanya Pak Ahmad
“Begini pak, apakah bapak merasa kehilangan sesuatu?” tanya Ayah.
“Betul sekali, saya kehilangan uang. Dari mana bapak tahu?”
“Maaf pak, berapakah jumlah uang yang hilang?,”tanya ayah.
“lima puluh juta rupiah, saya akan mengantar uang itu ke rumah teman saya, tapi sepertinya terjatuh,”kata Pak Ahmad sedih.
“Begini pak, kebetulan tadi pagi, anak saya, Gibran menemukan uang bapak,” kata Ayah.
“Ini, uangnya pak, silakan diperiksa,”kata Ayah sambil menyerahkan bungkusan uang.
“Alhamdulillah, terima kasih pak Roni, uangnya utuh,”kata pak Ahmad gembira.
“Nak, kamu telah mengembalikan uang bapak, sebagai ganti kejujuranmu, bapak akan membelikan kamu sepeda,”kata Pak Ahmad.
“Ah, tidak usah repot-repot pak Ahmad,”kata Ayah.
“Saya tidak repot kok pak, saya ikhlas,”kata Pak Ahmad.
“Lebih baik, sekarang kita makan siang dulu, setelah itu bersama-sama pergi ke toko sepeda,”ajak Pak Ahmad.
***
Pagi ini, Gibran gembira sekali. Setelah berpamitan kepada ayah ibu, ia berlari menuju ke arah sepeda barunya dan mengayuh dengan riang menuju sekolah.