Kamis, 01 Juni 2017

Pidato Bung Karno - Pancasila sebagai Dasar Negara (1)

Pancasila sebagai Dasar Negara (1)
(Kursus Presiden Sukarno tentang Pancasila di Istana Negara, 26 Mei 1958.)

Saudara­-saudara,

Saya diminta untuk memberi kursus mengenai Pancasila. Dan sebagai dikatakan oleh saudara Pamuraharjo tadi, kursus tak dapat selesai dalarn satu uraian. Karena itu, akan diadakan kursus Pancasila ini beberapa kali, dan malam ini akan saya mulai dengan memberikan kepada saudara­saudara satu kursus pendahuluan, inleiding. Jadi pada malam ini belum saya kupas sila­sila daripada Pancasila itu. Belum saya kupas Ketuhanan Yang Maha Esa. Belum saya kupas Perikemanusiaan. Belum saya kupas Kebangsaan. Belum saya kupas Kedaulatan Rakyat. Belum saya kupas Keadilan Sosial. Melainkan saya akan memberi kata pembukaan lebih dahulu.

Saudara mengerti dan mengetahui, bahwa Pancasila adalah saya anggap sebagai Dasar daripada negara Republik indonesia. Atau dengan bahasa Jerman: satu weltanschauung di atas mana kita meletakkan Negara Republik Indonesia itu. Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakinyakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke ha­ nyalah dapat bersatu­padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnyasatu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakitpenyakit yang telah kita lawan berpuluh­puluh tahun yaitu penyakit terutarna sekali, Imperialisme.

Perjuangan sesuatu bangsa, perjuangan melawan Imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendirisendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap­tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mernpunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain­lain sebagainya.
Tadi saya katakan, bahwa tiap­tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai sifat­sifat perjuangan sendiri. Coba saudara­saudara bandingkan, misalnya caranya bangsa Amerika dulu memerdekakan negerinya daripada kolonialisme Inggris, dengan caranya bangsa India memerdekakan dirinya daripada kolonialisme Inggris. Dengan caranya bangsa Indonesia memerdekakan dirinya dari kolonialisme Belanda. Atau dengan caranya rakyat Rusia menggugurkan Kapitalisme.

Jikalau saudara­saudara bandingkan caranya rakyat atau bangsa­bangsa atau golongan­ golongan ini berjuang, saudara­saudara akan melihat perbedaanperbedaan. Perbedaan­ perbedaan yang ditentukan oleh keadaankeadaan obyektif. Dus bukan perbedaan­ perbedaan bikinan seseorang pemimpin. Tidak! Tetapi perbedaan­perbedaan karena sebab­sebab obyektif yang berbeda. Saya akan kemukakan perbedaan­perbedaan itu sebagai contoh, menguraikan kepada saudarasaudara beberapa perbeda­an antara cara berjuangnya orang Amerika melawan kolonial­isme Inggris, cara berjuangnya rakyat India melawan kolonial­isme Inggris, cara berjuangnya rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, cara berjuangnya Rusia menggugurkan kapitalisme.

Dari uraian ini nanti saudara­saudara akan mengerti perlunya, sekali lagi perlunya bagi kita persatuan itu. Dari uraian ini saudara­saudara akan mendapat pengertian bahwa perjuang­an bangsa Indonesia hanyalah dapat berhasil, jikalau seluruh rakyat Indonesia masuk di dalam satu kancah perjuangan.

Perjuangan bangsa Indonesia, saudara­saudara, yang sudah kita alami berpuluh­puluh tahun ini, berbeda daripada misalnya perjuangan rakyat India. Oleh karena imperialisme yang kita tentang adalah pula lain daripada imperialisme yang ditentang oleh bangsa India. Imperialisme itu bermacam­macam, mem­punyai corak­corak sendiri, sifat­sifat sendiri, terutama sekali pada waktu ia lahir. Pada saat sesuatu imperialisme lahir, pada saat sesuatu imperialisme tumbuh, imperialisme itu membawa corak sendiri. Tergantung daripada ibunya. Dan ibu imperial­isme ialah Kapitalisme. Sebagaimana anak bayi manusia pada waktu lahirnya telah membawa sifat watak sendiri, tergantung daripada sifat watak orang tuanya maka demikian pula imperialisme pada waktu lahirnya membawa corak watak sendiri tergantung daripada induknya, yaitu Kapitalisme.

Nanti di dalam pertumbuhannya, dalam bahasa asingnya: di dalam uitgroei, sifat dan watak imperialisme­imperialisme itu lantas mendekati satu sama lain, bahkan kadang­ kadang men­jadi satu konglomerat daripada imperialisme­imperialisme yang tak mudah lagi kita bisa membedakan sifat wataknya satu daripada yang lain. Kalau kita melihat perjuangan rakyat atau lebih tegas, orang Amerika, menentang kolonialisme Inggris sehingga akhirnya bisa mengadakan declaration of indepen­dence sebagai yang saya ucapkan di dalam pidato 20 Mei yang lalu, pada tahun 1776, dan kita selidiki siapa yang sebenarnya berjuang, saudara akan melihat bahwa terutama sekali kaum atasan yang berjuang.


Revolusi Amerika bukan revolusi rakyat. Tetapi revolusi daripada kaum atasan di bawah pimpinan Thomas Jefferson, Thomas Paine, George Washington dan lain­lain. Revolusi mereka berhasil membentuk satu tentara yang tentara ini bertempur dengan tentara Inggris di Amerika dan yang akhirnya dapat mengalahkan tentara Inggris itu, sehingga tentara Amerika ini bisa menang. Dus revolusi Amerika terhadap kepada kolonialisme Inggris, adalah satu revolusi yang tidak meliputi seluruh rakyat. Bagaimana revolusi India? Saya memakai perkataan revolusi di dalam arti yang luas.

Jangan mengira bahwa revolusi adalah selalu disertai dengan peng­gunaan senjata, dalam arti yang luas revolusi adalah satu perubahan yang hebat sekali. Cepat. Di dalam pidato pembelaan diri saya, tatkala saya diperiksa di muka hakim Hindia Belanda, saya telah mensitir ucapan seorang profesor yang termasyhur bahwa revolusi adalah eine umgestaltung von grundauf, artinya perubahan dari bawah sama sekali. Di dalam arti itu saya memakai perkataan revolusi India terhadap kepada kolonialisme Inggris. Revolusi India ini dilakukan oleh siapa? Pada hakekatnya revolusi India dilakukan oleh satu kelas middenstand dan bordjuasi India. Kelas menengah dan kelas borjuis India. Dengan mempergunakan tenaga daripada rakyat.



Berbeda dengan Amerika, Amerika boleh dikatakan revolusinya tidak mempergunakan seluruh tenaga rakyat, tetapi sekadar satu kelas, kelasnya George Washington, kelasnya Thomas Jefferson, kelasnya Thomas Paine, kelasnya Paul Rellier dan lain­lain sebagainya, yang berhasil membentuk tentara dan tentara ini bertempur dengan tentara Inggris. Revolusi India adalah revolusi daripada kaum pertengahan, middenstand dan borjuasi, dengan memperguna­kan tenaga daripada rakyat. Nanti akan saya jelaskan lebih luas.

Revolusi Indonesia dan di sinipun saya pakai perkataan revolusi itu dalam arti yang seluas­luasnya, dus, jangan hanya berpikir dalam istilah 17 Agustus ’45, tetapi berpikirlah dalam istilah sebagai yang saya uraikan dalam pidato 20 Mei yang lalu, istilah gerakan nasional seluruhnya, revolusi Indonesia adalah revolusi seluruh rakyat. Maka revolusi Indonesia bisa berhasil, – ini nanti saya terangkan, – ialah oleh karena revolusi Indonesia, revolusi seluruh rakyat. Ya kelas buruh, ya kelas tani, ya kelas borjuis kecil, ya kelas pertengahan kecil, ya kelas ambtenaren­bond, ya kelas pemuda­pemuda seluruh rakyat. Berbeda dengan di India, rakyat ikut sebagai kuda tunggangan. Saya tadi berkata: India revolusinya ialah revolusi daripada kaum per­tengahan dan kaum borjuis yang naik. dengan mempergunakan atau menunggangi rakyat jelata.

Satu contoh lain daripada revolusi demikian ini ialah revolusi Perancis, revolusi Perancis yang mulai meledak pada tahun 1789, mulai meledaknya, tetapi dalam persiapannya terutama sekali persiapan pikiran, sudah lebih dahulu daripada tahun 1789, revolusi Perancis ini juga satu revolusi daripada kelas borjuis, kelas pertengahan yang tadinya tidak mendapat alam, karena alam perusahaan di dalam tangannya kaum feodal, kaum gereja, tetapi yang sekarang merebut alam yaitu kelas pertengahan dan kelas borjuis, merebut alam dari tangannya kaum feodal dan kaum gereja dengan mempergunakan tenaga rakyat jelata. Seperti pada hakekatnya revolusi India. Revolusi Indonesia kataku adalah revolusi daripada seluruh rakyat.

Revolusi Sovyet, saya lebih setuju memakai perkataan revolusi Sovyet dan janganlah memakai perkataan revolusi Rusia, sebab tatkala saya di Sovyet Uni saya mengucapkan Sovyet Rusia, saya diprotes oleh orang­orang yang berasal misalnya daripada Usbekistan dari Giorgia, mereka memprotes, kami bukan Rusia, kami dari selatan bukan bangsa Rusia. Kami ini orang Usbekistan. Kami orang Giorgia. Jadi negara kami namanya bukan Sovyet Rusia, sebab Sovyet Rusia cuma lor, utara saja. Negara kami yang besar yang terdiri dari sekian banyak Republik­republik Sosialis, negara kami ini adalah Sovyet Uni. Bukan Sovyet Rusia. Saya, dus, lebih senang memakai perkataan Sovyet Uni. Nah revolusi Sovyet, bukan revolusi Rusia, tetapi revolusi Sovyet adalah revolusi daripada kelas proletar dan tani menggugurkan kapitalisme.

Dus di dalam revolusi Sovyet ini apa yang dinamakan bordjuasi bukan saya tidak ikut, malahan menjadi objek penggempuran. Dari beberapa contoh ini, saudara­saudara merasakan dan melihat perbedaan­perbedaan. Saya tadi berkata bahwa tiap­tiap revolusi membawa sifat dan watak sendiri yang ditentukan oleh keadaan­keadaan objektif. Objektif imperial­ismenya, objektif induk daripada imperialisme itu, juga objektif keadaan daripada rakyat yang berrevolusi.

Jadi sifat corak sesuatu revolusi ditentukan oleh keadaan objektif daripada apa yang dihantam oleh revolusi dan daripada apa yang menghantam. Keadaan yang dihantam, yaitu imperialisme, itu berbeda­beda saudara­saudara, membawa corak­corak sendiri dan corak­corak ini ditentukan oleh induknya, kataku tadi. Kalau kita melihat imperialisme­imperialisme di dunia ini dan sebagai tadi saya katakan, terutama sekali saya melihat, pada waktu ia lahir, bukan terutama sekali pada waktu sedang uitgroei, pada waktu ia lahir, tegas dan jelas ada perbedaan­perbedaan. Perbedaan­perbedaan, saya ulangi, daripada induk­induknya pula.

Kapitalisme­kapitalisme, saudara­saudara, mempunyai corak objektif tergantung daripada keadaan­keadaan bahan­bahan bagi kapitalisme itu. Sesuatu negeri misalnya, saudara­saudara, yang penuh dengan bahan­bahan untuk kapitalisme, terutama bahan­ bahan yang dinamakan bahan­bahan dasar, basis grondstoffen, sesuatu negeri yang banyak basis grondstoffen, kapitalisme misalnya berbeda dengan sesuatu negeri yang kekurangan basis grondstoffen. Ada negeri yang kekurangan basis grondstoffen en toh mempunyai kapitalisme yang basis grondstoffennya itu, yah terutama sekali, ambil dari negeri lain, beli dari negeri lain. Negeri yang demikian itu mempunyai Kapitalisme lain daripada negeri yang basis grondstoffennya banyak.

Amerika, saudara­saudara, Inggris, negeri Belanda, Spanyol dan lain­lain negara adalah beberapa negara yang mempunyai kapitalisme, dan oleh karena­nya menjalankan imperialisme. Saya ambil contoh Amerika, Inggris, negeri Belanda, Spayol, sebagai klassieke voorbeelden oleh contoh­contoh klasiek daripada kolonialisme dan imperial­ isme. Amerika dulu mempunyai koloni, Inggris mempunyai kolonikoloni, malahan Inggris mempunyai empire yang di situ matahari tak pernah terbenam karena luasnya empirenya, di mana matahari terbenam lantas terbit lagi. Di sana terbenam, sudah terbit lagi di sini. Negeri Belanda mempunyai koloni, Spanyol dulu banyak koloninya, sekarang tinggal beberapa restan.
Masing­masing kok mempunyai sifat corak sendiri­sendiri. Apa sebabnya? Sebabnya ialah sebagai saya katakan, induknya, kapitalismenya, mempunyai corak sifat­sifat sendiri­sendiri, dan apa sebab induknya mempunyai corak sifat sendiri ini? Oleh karena negerinya mempunyai sifat corak sendiri­sendiri terutama sekali mengenai bahan­ bahan grondstoffen untuk kapitalisme itu. Amerika adalah satu negeri yang mempunyai banyak basis grondstoffen, satu negeri yang boleh dikatakan lengkap dengan segala hal.

Apa toh basis grondstoffen kapitalisme itu? Yah, terutama sekali biji besi, arang batu, metal­metal logam­logam lain, dan lain sebagainya. Itu adalah basis grondstof bagi kapitalisme. Amerika adalah satu negeri yang penuh dengan basis grondstoffen. Inggris demikian pula, tetapi lebih kurang dari Amerika. Arang batu punya, biji besi punya tetapi takk begitu banyak, sehingga banyak membeli biii besi dari Ruhr. Bahkan pada tahun ‘ 14­‘ 18, ada peperangan besar yang dinamakan peperangan dunia pertama, tak lain tak bukan ialah rebutan biji besi Ruhr, Ruhr­gebied. Negeri Belanda adalah satu negeri yang basis grondstoffennya lebih kurang lagi. Biji besi tak ada, harus beli dari Ruhr­gebied, arang batu yang sedikit di Limburg, Spanyol adalah satu negeri yang basis grondstoffennya juga sedikit sekali. Biji besi tidak ada, arang batu tidak ada, sedikit sekali.

Karena basis grondstoffen Amerika berbeda banyaknya daripada basis grondstoffen Inggris, Belanda, Spanyol, maka kapitalisme di empat negeri ini berbeda­beda. Karakteristiknya boleh dikatakan kapitalisme Amerika, saya ulangi lagi, saya meninjau pada lahirnya imperialisme, tidak di dalam uitgroei­nya yang sekarang ini. sekarang ini sudah kita menghadapi imperialisme internasional yang roman mukanya boleh dikata­ kan hampir sama semua. Tetapi pada permulaannya imperial­isme lahir, dilahirkan oleh kapitalisme Amerika yang lebih kaya basis grondstoffen daripada imperialisme Inggris yang dilahir­kan oleh kapitalisme Inggris yang kurang sedikit basis grondstoffen; imperialisme Belanda dilahirkan oleh kapitalisme Belanda yang kurang lagi basis grondstoffen, imperialisme Spanyol dilahirkan oleh kapitalisme Spanyol yang sama sekali miskin grondstoffennya.

Kalau saya bandingkan empat kapital­isme ini, empat kapitalisme dengan imperialisme, maka berhubung dengan perbedaan banyaknya grondstoffen itu, boleh saya katakan Amerika adalah kapitalisme royal. Inggeris kapitalisme setengah royal. Belanda kapitalisme setengah kikir. Spanyol kapitalisme kikir. Imperialisme, ialah anak daripada kapitalisme itu, tabiatnya ya lain­lain. Yang anak daripada kapitalisme royal tabiatnya liberal. Liberal imperialisme.
Sekali lagi saya peringatkan, ialah pada saat lahirnya liberal imperialisme. Yang dianakkan oleh kapitalisme setengah royal, ialah Inggris, adalah imperialisme semi liberal. Semi artinya setengah. Yang diperanakkan oleh kapitalisme setengah kikir, adalah imperialisme semi ortodoks. Yang dilahirkan oleh kapitalisme kikir adalah imperialisme ortodoks.

Dus, pada mulanya imperialisme Amerika adalah imperialisme liberal. Imperialisme Inggris adalah imperialisme semi liberal, imperial­isme Belanda adalah imperialisme semi ortodoks, imperialisme Spanyol adalah imperialis ortodoks. Di dalam segala tindak­ tanduknya saudara melihat perbedaannya. Imperialisme yang liberal terhadap kepada rakyat yang dikolonisir, luas dada, liberal, ini boleh, itu boleh, lapang dada. Yang ortodoks sangat menindas kepada rakyat yang dikolonisir. Yang semi liberal, setengah menindas setengah lapang dada. Yang semi ortodoks adalah setengah ya kasih jalan sedikit­sedikit, untuk boleh berpikir, boleh ini boleh itu. Tetapipun menindas.

Apa sebab saudara­saudara? Kok imperialisme Inggris semi liberal? Imperialisme Belanda semi ortodoks, imperialisme Amerika liberal? Imperialisme Spanyol ortodoks? Sebabnya, saya buat perbandingan sekarang, supaya lebih terang bagi saudarasaudara, ialah imperialisme Inggris di India dan imperialisme Belanda di Indonesia. Nanti saudara mengerti: O, Bung Karno itu ke situlah maunya. Mau menerangkan kepada saudara­ saudara bahwa reaksi kepada imperialisme Belanda ini tak boleh lain daripada seluruh rakyat bersatu padu, yang nantinya sampai menjadi dasar uraian Pancasila.

Imperialisme Inggris di India, – sudah saya tidak bicarakan imperialisme Amerika di Filipina, saudarasaudara sudah tahu, memang tadinya itu liberal sekali. Tatkala Filipina jatuh di dalam tangan imperialisme Amerika, lekas mereka buka sekolah ini, buka sekolah itu, buka ini buka itu, kesan pada rakyat Filipina laksana: bolehlah bolehlah, sehingga di dalam tempo 1904 sampai 1947, kurang daripada 50 tahun, Filipina boleh menjadi satu bangsa yang merdeka tetapi ya dengan beberapa injeksi­injeksi dari Amerika. Sebaliknya kita melihat di India sampai ada perjuangan rakyat yang hebat, di Indonesia pun ada perjuangan yang hebat.

Di Filipina dulu ada perjuangan rakyat Filipina yang hebat menentang imperialisme Spanyol yang ortodoks itu tadi. Imperialisme Spanyol itu sama dengan imperialisme Portugis sekarang yang di Timor, wah ortodoks­nya bukan main. Di pulau Timor itu, misalnya, salah sedikit, masuk penjara dengan rantai dibelenggu, sampai sekarang. Coba kalau saudara datang di bagian Timor, di Atamboa yang hanya beberapa kilometer dari daerah kolonisasi Portugis. Saudara mendengar keluhan rakyat di sana, bukan main caranya rakyat ditindas, tidak diberi banyak sekolahan, cuma beberapa sekolah. Main penjara, main penjara. Persis seperti imperialisme Spanyol di Filipina dahulu itu, ortodoks.

Saudara mengetahui sejarah daripada pemimpin­pemimpin Filipina yang termasyhur! Itu semuanya pemimpin­pemimpin Filipina yang menentang Spanyol. Namanya Dr. Rizal, misalnya, yang ditembak zonder banyak proses oleh orang Spanyol. Namanya harum di ingatan kita. Dia adalah pemimpin­pemimpin besar rakyat Filipina menentang imperial­isme Spanyol yang ortodoks. Saudara mendengar nama pemim­pin Apollomario Mabini, juga pemimpin Filipina menen­tang imperialisme Spanyol.

Saudara mendengar nama Aquinaldo, juga Aquinaldo adalah pemimpin Filipina menen­ tang imperialisme Spanyol. Memang perjuangan rakyat Filipina menentang imperialisme, di waktu imperialisme Spanyol Ortodoks. Sebaliknya, rakyat Filipina yang berjuang terhadap imperialisme Amerika tidak sehebat perjuangan yang telah dilakukan di bawah pimpinan Rizal, atau Aquinaldo, atau Mabini. Sebabnya ialah perbedaan antara sifat corak imperial­isme ini.
Sekarang saya mau jelaskan kepada saudara­saudara lebih jelas, imperialisme Inggris di India, imperialisme Belanda di Indonesia. Saya tadi telah berkata kepada saudara, bahwa Inggris adalah negeri yang basis grondstoffennya boleh dikatakan agak cukup. Biji besi ada, batu bara ada, keperluan­keperluan untuk membangunkan kapitalisme ada. Boleh dikatakan Inggris bisa membangunkan kapitalisme tanpa bantuan basis grondstoffen negeri lain. Karena itu pagi­pagi, saudara­saudara, kapitalisme Inggris sudah berkembang biak. Pagi­pagi kapitalisme Inggris sudah memproduksi barang­barang hasil produksi yang banyak sekali. Pagi­pagi kapitalisme Inggris itu sudah menderita overproductie.

Di negeri Inggris sendiri saudara melihat pagi­pagi reaksi kaum buruh terhadap kepada kapitalisme Inggris itu meledak. Gerakan kaum buruh yang paling dulu ialah justru di Inggris. Oleh karena memang kapitalisme di Inggris pagi­pagi sudah tumbuh. Penindasan kaum buruh mendirikan bulu roma kita. Anak­anak kecil umur 8, 9 tahun sudah dikerjakan 13, 14 jam. Gerakan kaum buruh dimulailah di Inggris, bukan gerakan kaum buruh revolusioner, tetapi gerakan kaum buruh yang dipimpin oleh Robert Owen, dipimpin kemudian oleh orang­orang seperti Kale Hardy, Sidney Webb, Beatrice Webb. Dan kemudian gerakan ini bertumbuh menjadi labour party di dalam bidang politiknya. Gerakan kaum buruh di Inggris pagi­pagi telah bangkit sebagai reaksi terhadap kepada kapitalisme Inggris yang pagi­pagi sudah tumbuh itu tadi. Bahkan kapitalisme Inggris ini pagi­pagi sudah menderita penyakit overproductie.

Terlalu banyak produksi yang tidak bisa dijual di Inggris sendiri. Tiap made in England, dulu sangat termasyhur, made in England. Belakangan baru timbul made in Germania, belakangan timbul lagi made in Japan, made in England, made in Germania. Semuanya itu kemudian menjadi asal sebab dari peperangan dunia yang pertama. Saingannya begitu hebat sampai meledak menjadi peperangan. Tapi pagi­pagi sudah kita melihat made in England. Produksi yang banyak sekali dan yang tidak bisa dijual habis di tanah Inggris.

Made in England kita bisa baca di segala barangbarang terutama sekali barang­barang terbuat dari besi, martil made in England, gunting made in England, pisau made in Eng­ land, mesin penjahit made in England, yah segala barang­barang made in England. Demikian pula barang­barang hasil tenun, saudara­saudara mengetahui sendiri bahwa mesin uap dan mesin tenun mula­mula di Inggrislah didapatkan orang. Sebagai pemun­ culan daripada aktivitet•kapitalisme itu, mesin uap, mesin pintal, mesin tenun, made in Inggris semuanya. Hasil daripada pemintalan dan penenunan ini menjadi barang­barang yang terbaik, seperti barang­barang wol, mengalami juga overproductie. Tak bisa habis dijual di Inggris, dicarikan pasar di luar Inggris, sampai sekarang saudara­saudara mengetahui bahwa wol Inggris paling jempol.

Nah, kapitalisme di situ saudara­saudara pagi­pagi subur, tetapi pagi­pagi pula menghadapi persoalan over­productie, pagipagi dus terpaksa mencari pasaran untuk over­ productie itu di luar negeri. Dan ini yang bernama imperialisme. Imperialisme dalam arti yang modern. Dus, barang­barang ini dibawa ke negeri orang lain untuk dijual di negeri orang lain itu, terutama sekali dibawa ke India.

Nah, sekarang yang penting yang saudara harus pegang betul betul, dus, imperialisme Inggris yang datang ke India seperti diketahui, rakyat India 300, pada waktu itu belum 300, tapi 230 juta, toh sudah menjadi pasar yang hebat. 230 juta manusia yang harus membeli overproductie ini. Dus, imperial­isme Inggris ke India itu terutama sekali adalah imperialisme dagang. Handels­imperialisme. Membawa barang ke India untuk dijual di India. Nah agar supaya rakyat India, saudara­saudara, membeli barangbarang overproductie ini yang berupa gunting, berupa pisau, berupa sepeda, berupa mesin jahit, berupa bahan pakaian, agar supaya rakyat India ini bisa membeli, suka membeli, ingin membeli, maka politik daripada imperialisme Inggris di India itu adalah politik yang lain daripada imperialisme Belanda di Indonesia.

Agar supaya sesuatu bangsa, rakyat suka membeli, koopwil dan koopkracht bangsa itu tidak boleh dimatikan sama sekali. Kemauan membeli dan kemampuan membeli. Rakyat India dibuat, dijadikan satu bangsa tidak mati kutunya sama sekali, sebab kalau mati kutunya sama sekali tidak bisa membeli. Karena itulah imperialisme Inggris di India pagi­pagi sudah mengadakan sekolahan, bahkan pagi­pagi telah mengadakan University.

Saudara­saudara dapat membaca di dalam kitab sejarah India, bahwa waktu kita di sini belum mendengar nama sekolah tinggi dan nama university, di India, Inggris sudah buka beberapa university. Koopkracht dan Koopwil daripada rakyat India tidak dimatikan sama sekali, tetapi saudara­saudara, India adalah satu bangsa yang telah mempunyai satu kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh. Kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh ditimpa oleh barang­barang hasil daripada overproductie Inggris. Padahal kelas pertengahan dan kelas borjuis India ini ingin mencari laba, membikin uang, cari uang daripada penjualan barang­barang bikinan kelas pertengahan dan kelas borjuis India sendiri.
Jadi yang paling merasa mendapat saingan dari handels­imperialisme Inggris itu, ialah justru kelas pertengahan dan kelas borjuis, yang opkomend dari India ini. Oleh karena itu gerakan menentang imperialisme Inggris ini, mula­mula terutama sekali keluarnya dari kelas inilah. Yang kemudian membentuk di India itu Indian National Conggress tahun 1885. Pemimpin­pemimpinnya ialah kaum kapital. Saya tidak bicara tentang Gandhi, itu belakangan, tetapi pemimpin­pemimpin India yang mula­mula itu, ya semuanya kapitalis­kapitalis. Semuanya pengusaha­pengusaha.

Orang­orang kaya dari gerakan ini dibantu oleh milyuner­milyuner, misalnya Tata. Tata yaitu satu pengusaha milyuner, membantu keras kepada gerakan ini, oleh karena Tata­ pun merasa mendapat saingan hebat daripada produksi besi dari Inggris. Tata ialah pengusaha besi. Pabriknya besar di Jamsithpoor. Dia membikin barang besi, membikin gunting, membikin pisau, membikin meja dari besi, bikin ini bikin itu. Lhoo ini impor dari Inggris, terutama sekali dari Birmingham. Wah, dus Tata ya sangat merasa mendapat saingan. Tata membantu kepada gerakan ini.

Begitu pula milyuner Birla, membantu keras kepada gerakan ini, bahkan Birla itu sahabat karib daripada Mahatma Gandhi. Bahkan Mahatma Gandhi ini ditembak orang di rumahnya Birla. Saya tadi menceriterakan bahwa gerakan daripada kaum pertengahan dan borjuis India ini menunggangi rakyat India. Coba saudara­saudara lihat, semboyan daripada gerakan di sana itu, terutama sekali apa? Semboyan ekonomisnya, ialah Swadesi. Yah, tentu gerakan swadesi itu mempunyai harga­harga moril yang tinggi sekali bagi bangsa.

Ya, tentu gerakan Swadesi itu adalah baik bagi bangsa. Sebab dianjurkan kepada bangsa untuk membuat sendiri keperluan hidupnya. Swa artinya sendiri, desi dari perkataan desa; desa yaitu negeri sendiri. Swadesi artinya dari desa sendiri, dari negeri sendiri. Sebagai slogan memang baik sekali. Tetapi tidak baiknya gerakan Swadesi ini ialah ia punya kekolotan. Artinya kekolotan, tidak mau kepada kemodernan.

Memang keadaan rakyat India yang hendak dipergunakan oleh kaum pertengahan dan kaum bordjuasi ini tidak bisa diajak kepada kemodernan, tidak bisa menggerakkan rakyat berpuluh­puluh, beratus­ratus milyun: ayo kita bersama­sama mengada­kan pabrik modern. Ayo kita bersama­sama mengadakan listrik. Tidak! Tidak bisa usaha mengadakan pabrik modern, mengadakan listrik, mengadakan kereta api, mengadakan kapal udara, segala modern. Hanya bisa oleh sekelompok orang yang banyak uang, yaitu kapitalisten atau oleh organisasi negara. tetapi mengajak rakyat jelata untuk modern­ isme, tidak bisa.
Nah, inilah salah satu cacat daripada gerakan Swadesi. Oleh karena gerakan swadesi itu di bawah pimpinan Mahatma Gandhi yang tidak mau kepada kemodernan. Bahkan Gandhi memberi kepada rakyat satu falsafah anti mesin. Dikatakan bahwa mesin itu bikinan setan. Ya, ini perkataan Gandhi, devilswork. Gandhi tidak mau kepada mesin, sebab dia melihat mesin di Eropa Barat menjadi alat penindasan manusia. Memang dipergunakan oleh kapitalisten di Eropa Barat sebagai alat penindasan. Maka oleh karena itu Iantas Gandhi berkata: jangan pakai mesin, mesin adalah devilswork. Buatan Setan. Dia anti kepada segala kemodernan. Ia punya cita­cita adalah satu cita­cita sosial yang kolot.

Gandhi tidak mempunyai politik ideologi, tidak punya cita­cita politik yang jelas. Kalau ditanya kepada Gandhi: Gandhi ji, apakah cita­cita politik daripada tuan? Apakah Republik, apakah monarki, apakah Negara Kesatuan, apakah Federalisme? Gandhi tidak bisa menjelaskan dengan tegas. Paling­paling ia menjawab: Swa radj, Swa artinya sendiri, radj artinya raja, pemerintah. Swa radj artinya pemerintah sendiri. Paling­paling itu, kita mesti mengejar swa radj, swa radj. Cita­cita politiknya tidak tegas, entah Republik entah monarki, entah Negara Kesatuan, entah negara Federal entah dominan status, tidak tegas. Swa radj, segala swa radj, sebaliknya ia mempunyai cita­cita sosial. Jadi cita­cita kemasyarakatan.

Dan apa yang ia cita­citakan yaitu satu masyarakat yang di situ tidak ada penindasan, yang di situ tidak ada pengisapan, tetapi juga yang di situ tidak ada mesin­mesin, tidak ada pabrik­pabrik. Ia punya cita­cita sosial yaitu manusia dengan manusia hidup tenteram, rukun, tiap­tiap orang mempunyai sebidang tanah kecil, tanam makanan rakyatnya sendiri, tanam pohon kapasnya sendiri, memintal ia punya benang sendiri, menenun sendiri. Tidak perlu lokomotif, tidak perlu ini itu. Rakyat harus hidup dalam satu suasana tenteram.

Nah, ini yang saya namakan kolotnya gerakan swadesi. Tetapi pada hakekatnya gerakan swadesi ini adalah satu penentangan terhadap kepada imperialisme, sebab di dalam praktiknya gerakan swadesi bukan sekadar positif dari segi positifnya menanam kapas sendiri, memintal benang, menenun sendiri. Tidak! Tetapi juga mempunyai bidang negatifnya, yaitu tidak mau membeli barang bikinan Inggris. Yang dinamakan boycot action. Tidak boleh rakyat ter­utama sekali anggota­anggota dari Indian National Conggress membeli barang­barang buatan Inggris. Bahkan eksesnya barang­barang buatan Inggris kadang­kadang diserbu, dibawa ke luar, ditumpuk, ditimbun, dibakar. Seperti yang terjadi di Chouri Chora.

Dengan gerakan swadesi ini maka handels imperialisme Inggris menjadi lumpuh. Karena seluruh rakyat tidak mau membeli barang­barang buatan Inggris itu, padahal doel daripada handels imperialisme Inggris ialah agar supaya rakyat India membeli barang­barangnya. Ditentang oleh gerakan swadesi, diboikot barang­barang Inggris, dan rakyat India mengadakan gerakan swadesi positif, membikin barang sendiri. Tetapi di dalam bidang kaum pertengahan dan kaum borjuasinya ia memakai mesin­mesin pula. Saudara­saudara kalau datang di Bombay misalnya, sekarang, di Calcuta, saudara akan melihat pabrik­pabrik tenun yang hebat. Tata yang begitu membantu dengan uang kepada gerakan Gandhi, ia adalah industriil besi yang besarnya hanya dikalahkan oleh industriil Jepang Yawata Kaisha.

Dus, saudara­saudara, jelas, gerakan India adalah satu gerakan yang sebenarnya daripada kaum pertengahan dan kaum borjuasi yang timbul dengan mempergunakan rakyat jelata. Ada baiknya saya di sini menerangkan kepada saudara hal kenapa gerakan India itu tidak mempergunakan kekerasan? Memang saudara­saudara, situasinya lain daripada kita. Kita mempergunakan kekerasan, mengadakan physical revolution, karena kita pada bulan Agustus menghadapi imperialisme yang hendak kembali, dan pada waktu itu ada kesempatan baik sekali untuk merampas senjata dari tangan Jepang. Bahkan di waktu pendudukan Jepang, dan tidak boleh saudara­saudara lupakan, kita tiga setengah tahun mendapat mendapat kesempatan baik untuk melatih kita punya diri mempergunakan senjata.

Di India tidak. Kesempatan yang sedemikian itu tidak ada, bahkan sekali lagi Gandhi keluar dengan ia punya falsafah, yang bukan saja menentang devils­work yang berupa mesin, berupa segala hal yang modern, tetapi juga menentang penggunaan kekerasan. Ia punya falsafah ialah apa yang dinamakan Ahimsya, tidak boleh mempergunakan kekerasan dan bikin saja kekerasan pisik. Bahkan mempergunakan kekerasan batin juga tidak boleh. Jangan menyakiti hati orang lain, begitu pula jangan menyakiti badan orang lain. Ahimsya! Yang di dalam pemunculan bidang politiknya, berupa gerakan Satyagraha, ekonomis bikin barang sendiri, jangan beli barang Inggris, ekonomis. Bidang politik­nya, yang keluar daripada falsafah Ahimsya ini, ialah Satyagraha.

Satyagraha artinya setia kepada kebenaran. Bagaimana setia kepada kebenaran? Tidak mau ikut atau membantu kepada yang salah. Tidak mau ikut tidak mau membantu kepada yang salah, dus, di dalam bidang politiknya jangan kerjasama dengan pihak Inggris, sebab pihak Inggris itu salah.

Dus, non cooperation. Lha ini perkataan yang termasyhur, non cooperation. Jangan kerjasama dengan pihak yang salah. Mau jadi ambtenar Inggris keluarlah, letakkan kau punya jabatan. Dan kalau engkau tetap jadi ambtenar Inggris, engkau ikut juga punya ke­ salahan. Jangan menjadi hakim di kehakiman Inggris, jangan menjadi guru di sekolahan Inggris, jangan menjadi anggota dari sesuatu dewan yang dibikin oleh Inggris.

Satyagraha dan sekalikali jangan memperguna­kan kekerasan, membandellah, ham­ balela. Membandel, jangan ikut, jangan mau dan jikalau kau ditangkap, ya sudah. Biarlah, masuk di dalam penjara, biarlah, jangan melawan. Dipukuli polisi­polisi di sana itu, pada zaman itu sama dengan polisi Belanda di sini, mem­punyai pentung, yang namanya lathi, meskipun engkau punya kepala hampir pecah kena pukulan lathi, jangan membantah,membandellah, hambalela. Beribu­ribu, berpuluh­puluh ribu, pada satu saat, 76.000 kaum gerakan Satyagraha ini dimasukkan di dalam penjara. Itu adalah bidang politiknya, non cooperation. Bidang ekonomisnya, swadesi.

Nah, begitulah asal mulanya gerakan India, oleh karena menghadapi handels­ imperialisme. Kita bagaimana? Kita sekarang mulai menguraikan kita sendiri. Persatuan daripada tiap golongan, sedang di India kaum pertengahan dan kaum borjuis yang merasa mendapat saingan dan pukulan hebat daripada impor handelsimperialisme, yang menentang kepada handels­ imperialisme Inggris ini, dengan mempergunakan rakyat India agar rakyat India tidak mau membeli barang­barang bikinan Inggris, swadesi, satyagraha, memang akhirnya berhasil.

Pihak imperialisme Inggris kewalahan dan pada tahun 1947, India diberi kemerdekaan yang mempunyai Dominion­Status dan di dalam tahun 1950 tanggal 26 Januari oleh rakyat India Dominion Status ini diganti dengan Republik India, tetapi masih di dalam Commonwealth. Indonesia bagaimana? Indonesia tidak menghadapi hanya handels­ imperialisme. Apa sebabnya? Sebabnya ialah negeri Belanda adalah satu negeri yang miskin, yang kekurangan basis grondstoffen. Saudara saudara tahu sejarah daripada imperialisme Belanda di Indonesia. Mula­mula, dan kalau saudara membaca “Indonesia Menggugat”, mula­mula orang Belanda itu datang di sini sekadar untuk membeli barang­barang seperti cengkeh, pala, beli ini beli itu, hasil­hasil pertanian di sini.

Kalau ditinjau sejarah yang lebih tua, begini: dulu, di abad XV, XVI, orang Eropa sudah mengenal cengkeh, pala, sutera bikinan Tiongkok dan sebagainya. Tetapi barangbarang ini pala, cengkeh, sutera bikinan Tiongkok ada juga cat merah dan lain­lain sebagainya, didatangkan ke Eropa ini tidak seperti sekarang. Jalannya dulu ialah barang­barang dari Indonesia, pala, cengkeh, barang­barang dari India, barang­barang dari Tiongkok dan lain­lain sebagainya, semuanya boleh dikatakan dikumpulkan di Tiongkok lebih dulu. Dari Tiongkok lalu melalui ialan jalan karavan, kafilah­kafilah, melalui Sentral Asia, Asia Tengah, padang pasir Gobi, muncul di Midden Oosten, Middle East, yaitu di Libanon. Dari situ di bawa ke kota di sebelah laut Adriatic, Venesia.

Dari kota Venesia diambil oleh perahu­perahu, kapal­kapal pedagang dari Inggris, dari Belanda, dari negerinegeri lain­lain, dus, pada waktu itu, Venesia adalah satu kota transito. Barang­barang dari Tiongkok melalui Sentral Asia, pergi ke Libanon ke Venesia, dari Venesia disebarkan ke Eropa Barat. Pada waktu itulah Venesia naik dia punya kedudukan. Pada waktu itu Istana­istana di Venesia yang indah, yang sampai sekarang menjadi kekaguman orang, dibuat. Kalau saudara datang ke Venesia sekarang, saudara melihat Istana dari marmer, itu buatan zaman itu. Gereja San Marco buatan dari zaman itu. Istana Togen, buatan dari zaman itu.

Abad XIV, XV, XVI, dan belakangan ini tukang mengambil cengkeh, pala dan lain­lainnya itu, mempunyai hasrat untuk mencari sendiri jalan pengambilan barang­barang ini. Lantas dikirimlah orang­orang untuk mencari jalan. Saudara tahu sejarah Vasco de Gama, Bartolomeus Diaz, sejarahnya Cornelis de Houtman dan lain­lain itu, mereka itu mencari jalan ke tempat cengkeh, pala, merica, sutera ini. Mencarinya jalan ada yang ke Barat terus dan dia terdampar di Amerika yaitu Columbus, dan dia bertepuk dada, merasa menemukan Amerika. Padahal tidak.

Lebih dulu daripada Columbus ialah Amerigo Vesvucci yang menemukan Amerika, – kalau boleh memakai perkataan menemukan, – sebagian ke Barat, sebagian dari negeri Belanda dan Spanyol, mengelilingi Tanjung Harapan, ujung paling selatan dari Afrika, masuk Lautan Hindia, ketemulah tempat­tempat merica dan cengkeh itu. Nah, dus, bisa ketemu jalan ini, saudara­saudara, – belum ada terusan Suez, – datanglah apa yang di dalam kitab saya, saya namakan imperialisme Belanda kuna.

Dus, sekadar mengambil bahan­bahan ini tadi, mengambil cengkeh, merica, pala dan lain­lain sebagainya, dibawa ke Eropa, melewati Tanjung Harapan, dibawa ke Eropa, dijual di Eropa dengan banyak laba. Di situ negeri Belanda mulai naik, sehingga pada abad XVII negeri Belanda mengalami abad keemasan. Orang Belanda sendiri menamakan abad XVII itu de gouden eeuw. Yaitu laba daripada pengambilan sini, pulang dijual, berangkat lagi, pulang, jual. Nah, uang laba ini, saudara­saudara, sebetulnya bertumpuk­tumpuk. Dibawa kemana uang laba ini? Apakah op potten, dicelengi terus, di negeri Belanda? Tidak. Terutama sekali kelihatan di Inggeris kapitalisme timbul, di Jerman kapitalisme timbul, uang ini dibawa ke Indonesia kembali, dan ditanamkan di Indonesia. Inilah asal mula daripada imperialisme Belanda modern di Indonesia. Uang ditanamkan di Indonesia dalam pelbagai obyek. Ada yang dijadikan pabrik gula, ada yang kebun­kebun teh, ada yang kebun­kebun karet, ada yang dijadikan tempat pertam­ bangan dan sebagainya.

Dus, imperialisme modern di Indonesia adalah imperialisme penanaman uang. Di dalam ilmu ekonomi uang yang demikian ini dinamakan finanz kapital. Dus imperialisme Belanda di Indonesia adalah imperialismenya finanz kapital. Indonesia oleh imperialisme finanz kapital ini dijadikan tempat pengambilan basis grondstoffen untuk kapitalisme di negeri Belanda. Uang ditanamkan di sini, misalnya di dalam kebun karet atau dalam kebun kelapa sawit dan sebagainya. Ini kelapa sawit atau karet, ini menjadi basis grondstoffen. Misalnya minyak kelapa sawit dibawa ke negeri Belanda, minyak ini menjadi salah satu basis grondstof untuk pabrik sabun dan lain­lain sebagainya. Hasil daripada produksi ini dengan bahan kelapa sawit, dibawa lagi ke Indonesia, dijual di Indonesia.

Jadi akhirnya menjadi tempat pengambilan bahan­bahan untuk kapitalisme di negeri Belanda, juga menjadi tempat­tempat penjualan produksi di negeri Belanda itu. Tetapi yang paling mendalam di dalam peri­kehidupan kita, ialah terutama sekali penanaman modal. Di sini dibangunkan perkebunan, industri­industri tetapi semuanya perkebunan­ perkebunan dan industri­industri imperialisme, dengan uang ini tadi, finanz kapital.
Nah, agar supaya perkebun­an atau industri­industri itu tadi bisa berjalan dengan sebaik­ baiknya, harus dipenuhi beberapa hal yang berbeda sekali daripada syarat­syarat berkembangnya handels­imperialisme.

Handels­imperialisme, saya ulangi lagi, bisa berkembangbiak kalau rakyatnya mempunyai koopwil dan koopkracht. Handels­imperialisme dengan sendirinya mampus, kalau rakyatnya tidak bisa dan tidak mau beli. Tetapi finanz kapital mempunyai eisen lain. Mau menanamkan modal di sini, dijadikan onderneming. Onderneming pegunungankah atau onderneming di tanah datarkah. Mau tanam tembakau di daerah Yogyakarta atau Solo. Mau tanam tebu di lembah sungai Berantas misalnya.

Bagaimana bisa tanam tebu di lembah sungai Berantas? Atau bisa tanam tembakau di lembah Bengawan Solo? Sekitar Solo dan Yogyakarta dan sebagainya.) harus menyewa tanah, sebab tanah milik daripada rakyat. Agar supaya sewa tanah ini dimungkinkan, diadakannya ordonansi yang dinamakan grondhuurordonnantie, pada pertengahan abad ke­19, yang memberi kesempatan kepada pengusaha asing menyewa tanah daripada rakyat untuk ditanami tebu, untuk ditanami tembakau, untuk ditanami apapun, agar supaya laba bisa tinggi, sewa tanahnya jangan mahal. Agar supaya sewa tanah tidak mahal, levensstandaard daripada rakyat ditekan, handels­imperialisme malahan agak menaikkan levens­standaard, artinya dipiara, koopwil en koopkracht.

Finanz kapital imperialisme malahan menekan supaya sewa tanah tidak terlalu tinggi. Sewa tanah itu ditentukan oleh levensstandaard, standar hidup daripada rakyat. Rakyat yang standar hidupnya rendah akan sudah senang menerima sewa yang murah. Kecuali sewa tanah, finanz kapital yang menanamkan modalnya di sini itu memerlukan kaum buruh. Juga kaum buruh ini harus kaum buruh yang upahnya rendah. Kalau kaum buruh itu upahnya tinggi, labanya kurang bagi kaum imperialis.

Dus, diusahakan dengan segala macam agar supaya kaum buruh upahnya rendah. Sampai kita pernah mengalami satu waktu, upah kaum buruh 8 sen, satu orang sehari. Dihitung­hitung hidupnya rakyat Indonesia bahkan pernah segobang seorang sehari. Tetapi upah buruh pernah di suatu tempat itu 8 sen sehari, 12 sen seorang sehari. Paling­ paling 25 sen seorang sehari. Minimumloon, rakyat Indonesia dijadikan minimum­ leidster, ini istilah daripada seorang Belanda sendiri, daripada orang yang selalu saya sitir  yaitu Dr. Uwender, yang mengata­kan bahwa rakyat Indonesia itu adalah minimum­ leidster, segalanya itu minimum, kebutuhan­kebutuhannya ya minimum, kebutuhan makanannya minimum, pakaian minimum, segala­nya minimum, upahnya pun minimum sehingga konklusinya ialah yang sering saya katakan rakyat Indonesia adalah een volk van koelies en een koelie onder de natie.

Inilah efek dan usaha daripada finanz kapital imperialis. Jangan diajarkan kepada rakyat kebutuhan­kebutuhan yang bukan­bukan. Sekolah­sekolah jangan lekas­lekas diberi, paling­paling sekolah yang sudah paling minimum. Di India tidak, kata saya tadi, pada tahun 1865 kalau tidak salah, Universitas yang pertama dibuka. Kita, saudara­saudara, sampai permulaan abad sekarang ini, tidak mengenal akan universitas. Sekolahnya sekolah rendah semuanya, sekolah menengah hanya untuk orang Belanda sendiri atau puteraputera daripada pegawai Indonesia. Dan sistemnya nyata, sistem membikin kita menjadi kaum buruh. Saya pernah duduk di dalam sekolah rendah.

Permulaan abad sekarang ini, padahal waktu itu sudah tahun 1915, sebagai murid daripada sekolah rendah itu saya masih diajar ilmu ukur dengan meetketting, rante ukur itu, kita murid­murid harus bisa mengukur halaman, mengukur sebidang tanah, tak lain tak bukan agar supaya nanti bisa menjadi mandor ukur. Jadi standar hidup direndahkan sekali, saudara­saudara. Bahkan demikian jauhnya usaha merendahkan levenstandaard kita ini, sehingga dulu, kelas pertengahan kita dan kelas borjuasi dulu sama sekali akhirnya juga padam. Dulu misalnya kita membikin bahan pakaian kita sendiri.

Saudara kalau baca di dalam kitab­kitab yang ditulis oleh komisi minderwelvaarkomisi atau kitab yang ditulis oleh Kroevaart, saudara masih bisa membaca bahwa di dalam abad ke­18, kita ini masih selfsupporting di dalam lapangan tekstil. Ya bukan tekstil mesin, tetapi tekstil tenunan. Sebagaimana saudara lihat di pulau­pulau Indonesia Timur sekarang, masih ada di sana selfsupporting barang tenun sendiri, misalnya di Sumba, di pulau Kisan dan lain­lain. Itu masih selfsupporting, tetapi sebagai tadi saya katakan sebagian daripada laba finanz kapital ini, dijadikan industri di negeri Belanda antara lain industri tenun Twente, oleh industri tenun ini saudara­saudara, matilah sama sekali minddenstand kita yang tadinya bisa membuat tekstil.

Jadi meskipun di satu pihak finanz kapital ini merendahkan standar hidup rakyat, oleh karena memang demikianlah eisen daripada finanz kapital tetapi sebaliknya handels kapital Belanda yang datang di sini membawa tekstil daripada Twente mematikan kelas pertengahan kita dan kelas borjuis. Bisa mematikan oleh karena impor yang dibawa ke sini adalah impor yang amat murah sekali tidak sebagai impor Inggris di India. Impor di

India itu mengenali kwaliteiten, ada kualitet yang hebat­hebat, sebagaimana sampai sekarang saudara mengetahui wol daripada Inggris kualitet tinggi, untuk menjual barang kualitet tinggi ini memerlukan koopwil dan koopkrahct daripada rakyat.

Impor tekstil dari negeri Belanda ke sini bukanlah tekstil kualitet tinggi bukan tekstil untuk kaum wanita yang berupa bembergzijde, bukan kain wol yang hebat­hebat seperti bikinan Leincheser. Tidak! Impor kebanyakannya berupa blaco, kain mori, paling­paling kain hitam, kain merah, cita­cita yang murah. Saya mengalami saudara­saudara, dulu kain cita yang saya pakai enam sen satu elo.

Dulu ukurannya itu elo, 70 cm. Jadi laage kwaliteiten, dan itu tidak memerlukan satu bangsa yang levensstandaard­nya harus dinaikkan. Cukup dengan satu bangsa yang levens­standaard­nya memenuhi eisen daripada finanz kapital imperialisme itu. Se­ hingga saudara­saudara, akhirnya kita ini menjadi satu bangsa kelas kecil. Kita tidak mempunyai orang­orang yang kaya, seperti di India. Di India mempunyai Burla, mempunyai Tata, mempunyai famili Nehru, Mothilal Nehru, bapaknya Jawaharlal Nehru itu bukan main dia milyunernya, – orang bilang, – dia cucikan dia setrikakan baju­ bajunya itu di London. Tidak mau cucian di Alahabat, meskipun dia diam di Alahabat. Pakaian kotor­kotor dikirim ke London, cuci di London, disetrika di London. Orang kaya di Indonesia tidak ada, semuanya kelas kecil.

Pegawai, kelas kecil, tidak ada pegawai tinggi. Paling­paling yang paling tinggi vaitu Bupati atau Adipati. Tetapi yang lain­lain ialah klerk­klerk, paling­paling opseter­opseter. Dalam tentara KNIL, berapa orang yang jadi kapten? Tidak ada. Satu orang atau dua orang Mayor. Yang lain itu paling­paling sersan. Pendek segala hal yang besar ialah Belanda, yang kecil­kecil Indonesia sampai kepada rakyat jelatanya merupakan minimum leidster. Kaum buruh ada yang mendapat 8 sen sehari, tani ya tani kecil, tidak ada tani besar. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus mempunyai grootbezit, tidak, tetapi saya hanya mengatakan bahwa rakyat Indonesia itu hanyalah rakyat kecil.

Berhubung dengan itu saudara­saudara, maka aksi untuk meruntuhkan imperialisme itu haruslah terdiri dari gabungan semuanya yang kecil ini. Di India bisa dipergunakan kekuatan dari kaum borjuis dan middenstand. Di Amerika kekuatan dari borjuis dan middenstand, yang bisa mengadakan satu Angkatan Perang. Saudara tahu bagaimana di Amerika permulaan revolusi itu? Yaitu di waktu beberapa orang pedagang teh melemparkan tehnya di dalam laut oleh karena impor teh harus membayar pajak. Itulah meletusnya revolusi di Amerika, ialah membuang teh di dalam laut, yang dimulai oleh kaum pengusaha. Di India gerakan nasional bertulang punggung kepada kaum borjuasi nasional. Kita tidak. Kita tidak mempunyai borjuasi nasional. Sudah tidak mempunyai.

Dulu di dalam abad ke­16, 17, 18 kita mempunyai borjuasi nasional yang bisa selfsupporting di atas lapangan tekstil misalnya, tetapi di dalam abad ke­20 akhir 19 tidak ada kelas borjuasi nasional ini.

Dus gerakan melawan imperialisme itu adalah gerakan daripada segala golongan yang kecil. Sifatnya sudah lain, saudarasaudara. Di sana borjuasi nasional yang menunggangi rakyat jelata, di Indonesia tidak bisa berjalan yang demikian itu. Di Indonesia gerakan nasionalnya ialah gerakan daripada rakyat jelata tok. di dalam segala macam. Ambtenar­ ambtenar kecil duduk di dalamnya. Dari pihak pengusaha­pengusaha ada duduk di dalamnya, tapi kecil. Semuanya kecil.

Gerakan Sarikat Islam misalnya, Sarikat Dagang Islam yang diadakan mula­mula oleh Kiai Samanhudi, di dalam tahun 1910 begitu setelah Budi Utomo, yah, Sarikat Dagang Islam ya pedagang­pedagang yang kecil bukan pedagang­pedagang seperti Tata, seperti Birla, seperti Nehru. Bapaknya Nehru itu bukan pedagang tetapi advokat besar yang mempunyai andil di dalam beberapa perusahaan. Sarikat Dagang Islarn pun, saudara­ saudara, gerakan daripada pedagang kecil bahkan yang kemudian diubah menjadi Sarikat Islam yang bukan saja pedagang yang masuk di dalamnya tetapi tani kecil, buruh kecil, semuanya yang kecil masuk di dalamnya. Ini yang menjadi kekuatan kita, siap di seluruh Indonesia, golongan kecil, ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya daripada pihak pedagang, ya nelayan, ya kusir, ya tukang bengkel, ya semuanya, kita himpun kekuatannya.

Dus, kita perlukan bagi menangnya gerakan kita satu hikmat persatuan. Kita menghadapi soal ini, saudara­saudara, bagai­mana bisa menumbangkan imperialisme. Yah, kita harus bisa bersatu, mempersatukan tenaganya yang kecil ini, ya tenaganya kaum buruh, ya tenaganya kaum tani, tenaga kaum buruh untuk menghadapi industri­ industri daripada finanz­kapital itu, tenaga­tenaga kaum tani kita butuhkan untuk menentang perkebunan­perkebunan baik di tanah datar maupun di pegunungan, kita butuh­ kan segenap tenaga daripada rakyat Indonesia.

Pada satu waktu saya sampai kepada satu saat yang saya memerlukan satu nama umum bagi sernua yang kecil­kecil ini. Ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya nelayan dan lain­

lainnya ini, semuanya tidak ada yang besar, melainkan kecil­kecil semua­nya, lantas saya beri nama kepada semuanya ini Marhaen. Tidak bisa disebutkan proletar, kataku. Sebab apa yang dinama­kan proletar? Barangkali saudara­saudara sudah mendengar uraian ini, tetapi baiklah sava uraikan sekali lagi.

Apa yang dinamakan proletar? Pak, proletar itu kaum buruh. Tidak jelas! Marilah kita tanya kepada Karl Marx sendiri, dia yang mengadakan perkataan, terkenalnya perkataan proletar, menurut Marx proletar adalah orang yang menjualkan tenaganya kepada orang lain dengan tidak ikut memiliki alat produksi, ini defenisi Marx. Proletar adalah orang yang menjualkan tenaganya kepada orang lain dengan tidak memiliki alat produksi. Sekadar menjual tenaga tok. Tidak ikut memiliki alat produksi.

Apa alat produksi? Kereta api adalah alat produksi. Bahkan gergaji, palu dan lain­lain sebagainya adalah alat­alat produksi. Jikalau engkau menjualkan tenagamu di dalam sesuatu perusahaan tetapi engkau tidak ikut memiliki alat produksi, tidak ikut memiliki pabrik, tidak ikut memiliki mesin, tidak ikut memiliki martil­martil, palu­palu, gergaji­ gergaji di dalam pabrik itu, kamu cuma menjual tenagamu saja, engkau adalah proletar. Dan ini definisi mengenai semua yang menjual tenaga.

Kaum intelektuil pun, insinyur yang menjualkan tenaganya kepada satu perusahaan besar, perusahaan Philips, Unilever apapun, engkau hanya menjual tenagamu sebagai insinyur, dengan tidak ikut memiliki pabrik Unilever, atau pabrik Krupp, engkau adalah proletar, tetapi namanya intelektuil proletar, proletar intelektuil. Padahal, ya rumah, gedung, rumah yang didiami, engkau pergi ke pekerjaan dengan mobil yang mengkilap, engkau adalah insinyur, engkau adalah doktor, engkau adalah ahli kimia, oto yang mengkilap, tidak miskin, tetapi yang engkau jual hanya tenagamu, pikiranmu, tidak ikut memiliki alat produksi, engkau adalah proletar. Dus, si insinyur proletar, si doktor ilmu kimia yang bekerja kepada Bayer misalnya, proletar, cuma ya intelektuil proletar.

Saya memerlukan satu istilah buat ini, si kecil­kecil semuanya itu tadi. Buruh kecil ya proletar, dia masuk di dalam golongan yang saya carikan istilah tani kecil yang perlu juga istilah bagi si tani kecil ini tetapi si tani kecil ini bukan proletar. sebab ia punya alat produksi milik sendiri, si nelayan kecil masuk di dalam golongan yang saya carikan istilah tetapi dia bukan proletar, alat produksi milik dia sendiri. Si tukang gerobak kecil, gaji, ya tidak punya gaji, gerobaknya dia punya sendiri, kudanya yang kurus itu dia punya sendiri. Lha ini namamya apa, saya carikan pada suatu ketika, untuk semua rakyat Indonesia yang kecil­kecil ini.

Ceriteranya ialah pada suatu hari saya berjalan di sebelah selatan kota Bandung, kalau saudara mau tahu desanya, nama desanya Cigereleng. Di Cigereleng saya berjalan jalan di sawah. Pada waktu itu saya memimpin Partai, saya jalan jalan di sana, saya melihat seorang laki­laki sedang menggarap sebidang tanah. Saya tanya: bung, ini tanah siapa?
Gaduh abdi. Pacul ini siapa punya, Gaduh abdi, artinya gaduh abdi itu, saya punya. Gubuk ini siapa punya? Gaduh abdi. Engkau kalau sudah tanam padi ini, hasil padi ini untuk siapa? Buat abdi. Wah engkau kaya? Tidak. Miskin. Maklum cuma begini, dan meskipun tanah punya saya sendiri, pacul saya punya sendiri, hasilnyapun saya punya sendiri, tetapi saya miskin, paling miskin. Coba lihat gubuk itu sudah reyot. Orang ini bukan proletar. Miskin, tetapi proletar, sebab alat produksi milik dia sendiri. Sebaliknya sebagai tadi saya katakan meski­pun mobil mengkilat kalau alat produksi tidak dimilikinya dan dia cuma menjual tenaganya saja, adalah proletar. Orang ini bukan proletar, tetapi miskin, seperti 95% daripada rakyat Indonesia adalah miskin. Saya tanya kepadanya: nama bung siapa? Marhaen, jawab dia.

Timbul ilham, kalau begitu semua rakyat Indonesia yang miskin ini saya namakan Marhaen, ya, yang proletar ya yang bukan proletar, ya yang buruh, ya yang tani, ya yang nelayan, ya tukang gerobak, ya yang pegawai, pendeknya yang kecil­kecil ini semua, Marhaen.
Ini bahan kita untuk digerakkan bersama untuk menumbangkan imperialis, tidak memiliki borjuasi nasional, tidak memiliki tenaga Angkatan Perang seperti sekarang.

Dulu tidak ada Angkatan Perang kita, revolusi Amcrika segera setelah Thomas Jefferson, Thomas Paine, George Washington dan Paul Rellier mengatakan: hayo kita melepas­kan diri dari Inggris, terus dibentuknya Angkatan Perang bahkan George Washington menjadi Panglima Besar daripada Angkatan Perang yang kemudian dipilih menjadi Presiden.

Kita tidak mempunyai Angkatan Perang, kita tidak mempunyai borjuasi nasional, kita harus dan mutlak harus hanya bisa mempergunakan tenaga daripada rakyat jelata sebagai satu verzamelnaam yang saya namakan Marhaen, dus, sejak daripada mulanya atau lebih tegas sejak fase revolusioner, daripada gerakan nasional kita, kita harus bisa memegang panji persatuan.

Sejak daripada fase revolusioner, jangan kira, tadi sudah saya peringatkan bukan, perkataan revolusioner jangan dihubung­hubungkan dengan kekerasan senjata. Sejak dari fase revolusioner, jikalau saya boleh mempergunakan istilah yang saya ucapkan pada pidato 20 Mei, sejak angkatan penegas yang dengan tegas berkata: Indonesia merdeka, itulah satu umgestaltung von grundauf, sejak daripada fase itu kita meng­ hadapi persoalan mempersatukan semua revolutionnaire krachten, semua tenaga­ tenaga revolusioner, yaitu tenaga­tenaga dari segenap Marhaen, Marhaen di dalam arti, sebagai tadi saya katakan ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya tukang gerobak, ya tukang nelayan, ya tukang pedagang, semua rakyat Indonesia yang 95% Marhaen.

Jadi alat kita hanyalah persatuan, jikalau kita tidak berdiri di atas dasar ini, mungkin gerakan kita tidak berhasil. Di Sovyet Uni lain saudara­saudara, di sana ada kelas kapitalis, kelas proletar dan tani, bersama­sama proletar dan tani ini menumbangkan kelas kapitalis. Kita terdiri daripada macam­macam golongan tetapi kecil semuanya, ini harus kita gabung, yaitu menentang imperialisme yang pada hakekatnya ialah finanz­ kapital imperialisme, tetapi saudara­saudara. untuk mempersatukan segenap golongan­ golongan Marhaen ini, yang terdiri dari elemen buruh, elemen tani. elemen pedagang, elemen tukang gerobak, elemen nelayan dan sebagainya itu, kita tentu menghadapi beberapa persoalan. Persoalan kepentingan daripada golongan, persoalan rasa daerah, kepentingan rasa agama, kepentingan lain­lain.

Karena itu sejak mulanya di dalam ide mempersatukan marhaen sudah dimasukkan terutama sekali elemen keaslian Indonesia ialah gotong royong. Gotong royong yang memang salah satu sendi daripada masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu, dan dianjurkan kepada semua golongan ini bahwa kita hanyalah bisa menumbangkan imperialisme itu kalau kita bersatu dan berdiri di atas dasar revolusioner. Diterangkan kepada kaum marhaen terutama sekali kepada kaum marhaen yang menjadi anggota partai saya, sebab kaum marhaen ini di mana­mana, saya bicara secara wetenschappelijk, jangan mengira Bung Karno memakai perkataan marhaen itu karena mengingat PNI dahulu, tidak.

Saya tadi ‘kan berkata, marhaen itu meliputi semua, dus, di dalam partai­partai yang sekarang ini dinamakan PKI ya ada Marhaen, di dalam partai Masyumi ya ada Marhaen, di dalam partai Nahdlatul ‘Ulama ya ada Marhaen, di dalam Gerwani ya ada Marhaen, Marhaen di dalam arti rakyat Indonesia dari segala golongan yang kecil itu tadi, yang tidak bisa diberikan nama kepadanya proletar.

Saya mencari satu istilah baru untuk menggambarkan kekecilan daripada rakyat Indonesia ini, meskipun jumlahnya jutaan tetapi ekonominya kecil, saya carikan satu perkataan, satu istilah yaitu istilah Marhaen. Di dalam arti yang demikian itu, saya pakai perkataan marhaen itu tidak dengan ingatan kepada sesuatu partai. Marhaen daripada semua golongan ini harus dipersatupadukan, karena itu sejak daripada semula Angkatan penegas berkata: harus berdiri di platform revolusioner. Apa yang dinamakan revolusioner, revolusioner di dalam arti umgestaltung von grund auf, perubahan radikal revolusioner di dalam arti cukup dengan kehendak zaman yang cepat revolusioner di dalam arti menentang kepada imperialisme. Semua golongan yang ikut aliran zaman yang cepat semua golongan yang hendak menumbangkan imperialisme, semua golongan itu adalah revolusioner. Ya dari buruh, ya dari tani, ya dari golongan apapun.

Dus istilah revolusioner saudara­saudara, jangan saudara campurkan kepada, misalnya revolusioner harus proletar, atau revolusioner harus orang yang berdiri di atas taraf, di atas platform demokrasi formil, atau revolusioner harus orang sosialis. Sosialis di dalam arti, bukan PSI, tetapi di dalam arti menghendaki masyarakat sama rata sama rasa tanpa kapital­isme. Jangan dihubungkan dengan tiga hal ini. Revolusioner tidak harus hanya orang proletar saja, tidak harus hanya orang sosialis saja, tidak harus hanya orang yang berdiri di atas dasar demokrasi formil. Revolusioner adalah tiap­tiap orang yang menentang imperialisme, revolusioner adalah dus tiap­tiap orang yang mengikuti kehendaknya zaman yang cepat. Misalnya kalau saudara­saudara berkata: tidak, revolusioner harus proletar. Tidak klop, saudara­saudara, sebab ada juga golongan­ golongan proletar yang tidak revolusioner, misalnya gerakan kaun buruh di Inggris yang telah saya ceriterakan, gerakan kaum buruh di Inggris yang terdiri dari proletar­proletar, saudarasaudara.

Sejak daripada pemimpinnya entah yang namanya Mac Donald, sebutlah pemimpin Labourparty Inggris Atlee, sampai kepada anggotanya, taxi driver, atau machineworker atau dockworker, semuanya proletar. Atlee dahulu kaum proletar, Mac Donald adalah kaum buruh pertambangan batubara, proletar. Begitu pula anggota­anggotanya, semuanya proletar tetapi sama sekali tidak revolusioner, sebab misalnya menentang kepada kemerdekaan penuh daripada bangsa­bangsa, menentang kepada gerakan anti kolonialisme 100%, menentang kepada memberi kemerdekaan penuh pada India. Atlee memberi kemerdekaan kepada India, kalau boleh dipakai perkataan memberi, sebab kemerdekaan India adalah hasil keringat rakyat India sendiri, di dalam bentuk dominion status, belakangan kataku tadi wet 1947 dominion status, tahun 1950 oleh perjuangan rakyat India sendiri, dirubah menjadi Republik masih di dalam gabungan common­ wealth. Dus proletar Inggris saudara­saudara, tidak revolusioner, dus tidak klop bahwa perkataan revolusioner harus proletar.

Demikian pula saudara­saudara akan berkata: revo­lusioner itu harus sosialis, di dalam arti tadi masyarakat sama rasa sama rata tanpa kapitalisme. Tidak klop lagi. Misalnya gerakan dari rakyat Mesir, revolusioner yang sekarang memun­cak kepada gerakan di bawah pimpinan Gamal Abdul Nasser, revolusioner tetapi mereka tidak terdiri dari kaum sosialis.

Bahkan aku pernah membaca satu uraian yang menamakan gerakan Amanullah Khan dari Afganistan itu revolusioner, Amanullah Khan adalah seorang raja Afganistan yang di dalam tahun 1926 mencoba menumbangkan imperialisme Inggris. Tetapi gagal. Amanullah Khan sama sekali bukan proletar, sama sekali bukan sosialis, bahkan namanya Khan, kalau bahasa Indonesia Khan itu barangkali Raden Mas Panji Ario. Amanullah Khan di dalam tulisan ini yang ditulis oleh seorang pemimpin besar revolusi. Dus tidak klop kalau kita berkata: revolusioner harus sosialis. Demikian pula tidak klop kalau dikatakan revolusioner harus orang yang berdiri di atas platform demokrasi formil. Apa demokrasi formil itu? Demokrasi yang menghendaki parlemen, pungut suara, stem­ steman itulah yang dinamakan formele democratie.

Dengan cara Parlemen yang begini, jangan berkata bahwa orang revolusioner hanyalah orang yang berdiri di atas platform parlemen­parlemenan, pungutan suara, demokrasi formil, tidak. Seperti Amanullah Khan itu tadi, yang bukan seorang demokrat formil, dia bahkan orang Khan, orang raja yeng memerintah tidak dengan parlemen tetapi toh oleh seorang penulis revolusioner ini dinamakan revolusioner. Nah ini saudara, masukkan di dalam gerakan rakyat, bahwa semua harus revolusioner, artinya semuanya harus menentang imperialisme, sebab siapa menentang imperialisme, buruhkah, tanikah, pegawaikah, orang dari golongan agamakah, sosialis­kah, proletarkah, demokrasi for­ milkah, bukan proletarkah, bukan sosialiskah, bukan demokrasi formilkah, siapa yang menentang imperialisme ada­lah revolusioner. Ini adalah satu slogan mempersatu daripada segenap kaum kecil Indonesia yang tadi kuterangkan.

Dus, gerakan rakyat Indonesia ialah yang akhirnya bisa berhasil menggerakkan 17 Agustus 1945, sebagai yang sudah saya gambarkan pada pidato 20 Mei, demikian pula sejak 17 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan tahun 1950 ternyata satu gerakan persatuan.

Berlainan sekali dengan gerakan India yang pada hakekat­nya ialah gerakan kaum pertengahan dan borjuis menunggangi kaum proletar, berlainan sekali dengan gerakan revolusi Perancis, berlainan dengan gerakan revolusi Amerika. Kita adalah satu gerakan dari seluruh rakyat dengan dasar persatuan dan revolusioner. Nah, saudara­saudara mengerti sekarang background daripada pahampaham ini, dengan background inilah saudara­saudara dicarikan kemudian formulering sebagai weltanschauung agar supaya kita dapat meletakkan negara yang akan kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu di atasnya, yaitu Pancasila, Pancasila kecuali satu weltanschauung adalah alat pemersatu, dan siapa tidak mengerti perlunya persatuan, siapa tidak mengerti bahwa kita hanyalah dapat merdeka dan berdiri tegak merdeka, jikalau kita bersatu, siapa yang tidak mengerti itu, tidak akan mengerti Pancasila.

Kejadian - kejadian yang akhir-­akhir ini, saudara-­saudara, membuktikan sejeias-­jelasnya bahwa jikalau tidak di atas dasar Pancasila kita terpecah belah, membuktikan dengan jelas bahwa hanya Pancasilalah yang dapat tetap mengutuhkan Negara kita, tetap dapat menyelamatkan Negara kita. Oleh karena itu saya harap saudara­saudara nanti kalau saya sudah menguraikan Pancasila ini selalu ingat kepada background yang pada malam ini saya berikan kepada saudara­saudara, bahwa kita membutuhkan persatuan dan bahwa Pancasila adalah kecuali satu weltanschauung adalah satu alat pemersatu daripada rakyat Indonesia yang aneka warna ini. Sekarang saudara­saudara telah pukul 10 lebih 3 menit, saya kira sudah cukuplah sebagai inleiding. Insya Allah dua pekan lagi akan saya mulai mengupas Pancasila, sila per sila.

Sekian. Jakarta, 31 Mei 2012


⏩Download Pidato Bung Karno - Pancasila Sebagai Dasar Negara (1) versi Pdf. ⏪

Artikel Terkait