Tampilkan postingan dengan label Sukarno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sukarno. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 November 2017

Jawab Saya Pada Saudara Muhammad Hatta



Hari Lebaran adalah hari perdamaian. Memang jikalau saya di sini memberi jawab atas kritiknya saudara Hatta yang tempohari disiarkannya di dalam pers tentang soal non-koperasi, maka itu bukanlah sekali-kali karena saya mau “berdebat-debatan”, bukanlah buat “bertengkaran”, bukanpun karena saya gemar akan “pertengkaran” itu.

Saya adalah orang yang terkenal senang akan perdamaian dengan sesama bangsa. Saya ada­lah malahan sering-sering mendapat praedicaat “mabok akan persatuan”, “mabok akan perdamaian”. Saya cinta sekali akan perdamaian nasional, dan selamanya akan membela pada perdamaian nasional itu. Tetapi saya pandang soal non-cooperation itu kini belum selesai difikirkan dan diper­timbangkan, belum selesai dianalisir dan dibestudir, belum selesai dibicarakan secara onpersoonlijk dan zakelijk. Saya minta publik me­mandang tulisan saya ini sebagai pembicaraan sesuatu soal yang maha penting secara onpersoonlijk dan zakelijk, dan tidak sebagai “serangan” atau “pertengkaran”, – walaupun orang lain tak bisa membicarakan se­suatu hal zonder menyerang dan bertengkar.

Saya memandang perlu sekali pembicaraan soal non-kooperasi itu saya teruskan, karena pembi­caraan itu adalah berguna dan berfaedah bagi pergerakan Rakyat Indo­nesia seumumnya. Sebagaimana mitsalnya dulu pertukaran-fikiran antara Kautsky dan Bernstein tentang soal benar-tidaknya Marxisme dikoreksi ada sangat berfaedah bagi ilmu Marxisme sendiri, sebagaimana pula pertukaran-fikiran antara Kautsky dan Van Kol c.s. tentang sosialisme dan koloniaal-politiek ada sangat berharga bagi pengetahuan tentang seluk-beluknya imperialisme, sebagaimana mitsalnya lagi pertukaran­fikiran antara H. A. Salim dan saya tentang baik-jeleknya nasionalisme ada sangat meninggikan penghargaan pada nasionalisme kinipun saya pandang pertukaran-fikiran tentang soal “non-cooperation dan Tweede Kamer” secara onpersoonlijk dan zakelijk ada berguna dan berfaedah bagi perjoangan kita mengejar Indonesia-Merdeka!



Saya mulai jawab saya ini dengan lebih dulu mengoreksi. Mengoreksi “salah-wisselnya” sdr. Hatta, di mana sdr. Hatta itu menulis, bahwa saya menyebutkan kepadanya seorang cooperator, yakni bahwa “menurut faham Ir. Sukarno, seseorang yang mau duduk dalam Tweede Kamer, sekalipun ia membanting tenaga sehaibat-haibatnya, berjoang di sana dengan mati­matian menentang imperialisme Belanda, orang itu adalah seorang cooperator”. Kapankah saya pernah berkata atau men-suggereer, bahwa sdr. Hatta, dengan sukanya duduk dalam Tweede Kamer itu, menjadi seorang cooperator? Saya tidak pernah berkata atau men­suggereer yang demikian itu. Saya tidak pernah menuduh, bahwa sdr. Hatta sudah jungkir-balik atau bersalto-mortaal menjadi orang coope­rator.

Saya hanyalah tempohari menulis, bahwa: “pada saat yang seorang nasionalis-non-cooperator masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan, ya, pada saat yang ia di dalam azasnya suka masuk dalam sesuatu dewan kaum pertuanan itu, sekalipun dewan itu bernama Tweede Kamer atau Volkenbond, pada saat itu ia melanggar azasnya yang disendikan pada keyakinan atas adanya pertentangan-kebutuhan antara kaum pertuanan dan kaumnya sendiri. Pada saat itu, ia menjalankan politik yang tidak principieel lagi, menjalankan politik yang di dalam hakekatnya melanggar azas non-koperasi!”

Memang di dalam “Fikiran Rakyat” nomor 29, – di dalam “Primbon Politik” atas pertanyaan seorang pembaca dari Jakarta -, saya dengan lebih terang lagi menulis bahwa sdr. Hatta kini belum menjadi seorang cooperator, tetapi hanyalah berobah menjadi seorang non-coope­rator yang non-koperasinya tidak prinsipiil lagi. Memang terhadap pada sdr. Mohammad Hatta, yang dulu selamanya saya kenal sebagai orang non-cooperator yang 100%, saya tak mau dengan gampang-gampang saha­ja berkata bahwa non-koperasi sudah dibuang samasekali!



Sayapun tidak pernah ada ingatan, bahwa: “Bukan sikap dan cara berjoang lagi yang menjadi ukuran orang radikal atau tidak, melainkan memboikot atau duduk di dalam parlemen”. Saya tidak per­nah men-suggereer, bahwa semua orang yang duduk di dalam dewan ada orang yang tidak-radikal, yakni bahwa semua orang yang duduk di dalam dewan adalah orang yang “lunak”. Amboi, saya tokh mitsalnya menge­tahui, bahwa kaum C.R. Das c.s. bahwa kaum O.S.P., bahwa kaum komunis sama berjoang dalam dewan atau parlemen. Saya tokh menge­tahui, sebagaimana juga tiap-tiap orang mengetahui, bahwa kaum C.R. Das c.s. adalah kaum yang radikal, bahwa kaum O.S.P. adalah kaum yang radikal, bahwa kaum komunis adalah kaum yang radikal, ya, radikal­-mbahnya-radikal. Saya tokh dengan terang sekali di dalam keterangan saya tentang non-kooperasi itu menulis, bahwa:

 “Ada orang yang menganjurkan duduk di Tweede Kamer buat menjalankan politik-opposisi dan politik-obstruksi, dan memperusahakan Tweede Kamer itu menjadi mimbar prodeo bagi perjoangan. Politik yang demikian itu boleh dijalankan, dan memang sering dijalankan. Tetapi politik yang demikian itu tidak cocok dengan azas nationalist-non-­cooperator. Kaum komunis atau kaum O.S.P. atau kaum C.R. Das c.s. yang berpolitik demikian, memang bukan kaum nationalist-non-cooperator, – walaupun mereka tentu sahaja radikal dan menurut prinsipnya.”

 Perhatikanlah kalimat yang akhir ini. Perhatikanlah bagaimana saya tak lupa menyebut kaum C.R. Das c.s., dan kaum komunis, yang suka duduk dalam dewan atau parlemen itu, kaum yang radikal dan yang menurut prinsipnya sendiri-sendiri. Tetapi perhatikanlah pula bagaimana saya berkata, bahwa mereka memang bukan kaum nationalist-non-coopera­tor. Mereka memang tak pernah menyebutkan diri nationalist-non­-cooperator. Mereka memang tidak berhaluan non-koperasi. Ya, mereka memang anti azas-perjoangan non-koperasi! …


Sekarang saya mau menyelidiki,  apakah benar “keris Ierlandia” yang saya pakai untuk bertahan, kemudian menikam diri saya sendiri? Pem­baca masih ingat: “keris Ierlandia” itu saya pakai, untuk menjadi contoh dari luar-negeri, bahwa kaum nationalist-non-cooperator Ierlandia juga memboikot Westminster, walaupun Westminster ada suatu parlemen yang 100%. “Keris Ierlandia” itu saya pakai untuk membuktikan, bahwa, di mana kaum nationalist-non-cooperator Ierlandia bersemboyan “jangan­lah pergi ke Westminster, tinggalkanlah Westminster itu, dirikanlah Westminster sendiri!” – maka kita, kaum nationalist-non-cooperator Indonesia harus pula menolak duduk di dalam parlemen di kota Den Haag. “Keris Ierlandia” itu telah ditangkis oleh sdr. Mohammad Hatta, dan katanya dibalikkan menjadi menikam diri saya sendiri, karena … Westminster adalah Westminster, dan Den Haag adalah Den Haag. Dengan benar sekali sdr. Mohammad Hatta menulis:

 “Dahulu Inggeris dan Ierlandia dipandang sebagai satu negeri, seperti Nederland dan Belgia sebelum tahun 1830. Jadinya Ierlandia tidak dipandang sebagai jajahan Inggeris, seperti Indonesia jajahan Belanda, melainkan dipandang sebagai satu bagian daripada kerajaan Inggeris. Sebab itu namanya Great Britain and Ireland, – Britania Besar dan Ierlandia. Sebab kedua-duanya tergabung jadi satu negeri, maka kedua-duanyapun mempunyai satu parlemen bersama. Wakil-wakil Ierlandia di dalam Parlemen di Westminster tidak dipilih oleh Rakyat Inggeris, melainkan diutus oleh Rakyat Ierlandia sendiri … Sebab Ierlan­dia sebagian yang terkecil daripada kerajaan Britania Besar dan Ierlandia, jumlah wakil-wakil yang diutusnyapun jauh lebih kecil daripada wakil-wakil Inggeris. Mereka senantiasa kalah suara. Dan oleh karena itu kaum kapitalis Inggeris senantiasa dapat menindas dan memperkosa Rakyat Ierlandia. Jadinya, kalau Ierlandia mau merdeka, mau terlepas daripada kungkungan Inggeris, haruslah ia melepaskan diri dari parlemen bersama, memecah persatuan Britania dan Ierlandia, kembali kepada diri sendiri dan mendirikan “Kita sendiri” …

 Juist, saudara Mohammad Hatta! Mereka, Rakyat Ierlandia, senantiasa kalah suara. Mereka senantiasa kalah stem. Mereka senantiasa dapat ditindas dan diperkosa oleh kaum kapitalis Inggeris. Tetapi bukan karena itu sahaja mereka mendirikan “Sinn Fein”, bukan karena itu sahaja mereka mendirikan “Kita sendiri”! Mereka mendirikan “kita sendiri” dan menjalankan politik “kita sendiri” ialah pertama sekali dan terutama sekali untuk mendidik Rokh Kemerdekaan Ierlandia. Mereka mendirikan “kita sendiri” dan menjalankan politik “kita sendiri” ialah untuk me­nyukupi syarat-syarat jasmani dan rokhani bagi sesuatu kehidupan yang merdeka. Mereka mendirikan “kita sendiri” dan menjalankan politik “kita sendiri” ialah tidak sahaja karena nafsu negatif meninggalkan dewan di mana mereka senantiasa kalah stem, tetapi ialah terutama juga karena kehendak yang positief mau mendidik jasmani dan rokhani Rakyat.



Mereka menjalankan apa yang oleh Arthur Griffith, bapaknya politik “Sinn Fein”, diajarkan: “Lupakanlah bangsa Inggeris, bekerjalah seakan-akan tidak ada bangsa Inggeris di dunia. Janganlah hidup di dalam harapan akan kebaikan Britania, yang memang tak pernah ada, dan mem­bikin kamu menjual kamu-punya nyawa. Percayalah pada diri sendiri. Negerimu adalah lebih berharga daripada negeri Inggeris, kebun-perta­mananmu adalah yang paling indah. Peliharakanlah kebun-pertamanan­mu itu!” “Kamu harus meninggalkan Westminster, bukan sahaja karena di Westminster itu rantai-rantai-perbudakan kita digemblengnya, – kamu harus meninggalkan Westminster ialah terutama untuk menggembleng sendiri kamu-punya senjata-Rokh, satu-satunya senjata yang bisa meng­hancurkan rantai-rantai-perhambaan kita!”



Begitulah Arthur Griffith berkata. Begitulah pula bathinnya ajaran Thomas Davis dari Ierlandia-tua, atau bathinnya ajaran Franz Deak dari Hongaria-sediakala: didikan psychologis, didikan bathin, didikan Rokh yang tidak karena “kalah suara” atau “kalah stem” di dalam parlemen sahaja. Saudara Mohammad Hatta mengetahui hal ini. Saudara Moham­mad Hatta, oleh karenanya, sangat mengharamkan sekali, kalau saudara itu memandang politik “Sinn Fein” hanya sebagai “real-politiek” belaka.



Tetapi memang saudara Hatta di dalam tempo yang akhir-akhir ini senang sekali pada “real-politiek”. Memang saudara Hatta itu menuduh kita “beralasan sentimen, perasaan sahaja, dan tidak berdasar kepada real-politiek”. Memang stand-punt saudara Hatta itu mendapat pembelaan keras di dalam “Utusan Indonesia” dari seorang saudara (Sjahrir?) yang menyebutkan diri “real-politieker”.



Tetapi karena real-politiek adalah real-politiek, maka saya bertanya pada saudara Hatta: kalau Ierlandia di dalam parlemen Westminster sela­manya kalah stem, kalau Ierlandia di dalam parlemen Westminster ditelan samasekali oleh Inggeris, tidakkah Indonesia di dalam parlemen Den Haag lebih-lebih-lagi ditelan sama-sekali oleh negeri Belanda? Kalau bangsa Ierlandia itu memboikot Westminster, di mana mereka mempunyai kursi­-kursi pilihan sendiri, di mana mereka ada hak dipilih dan memilih, di mana mereka dus ada hak passief kiesrecht dan actief kiesrecht, – tidakkah kita bangsa Indonesia harus lebih-lebih-lagi memboikot parlemen di Den Haag, di mana kita hanya bisa dipilih sahaja dan tak berhak ikut memilih, yakni di mana kita hanya mempunyai passief kiesrecht sahaja? Kalau bangsa Ierlandia sudah tidak sudi duduk di Westminster di mana mereka mempunyai lebih dari seratus kursi, tidakkah saudara Hatta harus juga memboikot parlemen di Den Haag di mana saudara Hatta itu, – real-politiek adalah real-politiek! – , dengan kaum radikal yang lain-lain hanya bisa mendapat beberapa kursi sahaja?



0, memang, benar perkataan sdr. Hatta: di dalam parlemen orang dengan kaum opposisi yang lain-lain bisa “menjatuhkan pemerintah”, di dalam parlemen orang bisa menggugurkan minister-minister dari kursi­-kursinya. Di dalam parlemen orang bisa membikin kabinet-kabinet “menggigit debu”. Tetapi, kalau ini dibikin alasan orang harus suka masuk parlemen, maka dengan redeneering saudara Hatta itu, bangsa Ierlandia-pun di dalam parlemen Westminster bersama-sama kaum oppo­sisi yang lain-lain bisa “menjatuhkan pemerintah”, menggugurkan minister-minister dari kursinya, membikin kabinet-kabinet “menggigit debu”. Dengan redeneering

sdr. Hatta itu, maka “Sinn Fein”-pun tidak boleh lagi “menyinnfeini” parlemen Westminster itu!



Lagi pula: jatuhnya pemerintah di dalam parlemen Den Haag, gugur­nya minister-minister dari kursinya, menggigitnya debu kabinet-kabinet Belanda, – itu samasekali belum berarti Indonesia menjadi merdeka! Jatuhnya pemerintah di dalam parlemen Den Haag hanyalah berarti jatuhnya systeem-pemerintahan yang ada.

Selama Indonesia masih menjadi “bakul nasinya” negeri Belanda, selama Indonesia masih men­jadi “gabus di atas mana negeri Belanda terapung-apung”, selama masih ada perkataan “Indie verloren rampspoed geboren, Indonesia-Merdeka, Nederland bangkrut”, selama keadaan masih begitu, maka kemerdekaan Indonesia tidaklah tergantung pada berdiri atau jatuhnya sesuatu pemerintah di negeri Belanda, atau pada teguh atau gugurnya ministerie-­ministerie di parlemen Den Haag. Selama keadaan masih begitu, maka menurut “real-politiek” bagi kita bangsa Indonesia kursi di dalam Tweede Kamer hanyalah berarti … kursi di dalam Tweede Kamer belaka!



Tidak! Kemerdekaan sesuatu negeri, kemerdekaan negeri mana saha­ja, kemerdekaan bangsa mana sahadja, – dus bukan sahaja bagi Ierlan­dia -, adalah tergantung daripada tinggi-rendahnya “ke-Sinn-Fein-an” daripada negeri itu atau bangsa itu! Sebagaimana Ierlandia mengerti, bahwa ia punya politik “Sinn Fein” adalah perlu, bukan sahaja karena di Westminster “kalah stem”, tetapi ialah terutama untuk bekerja positif menyusun Gedong-Kemerdekaannya sepanjang jasmani dan rokhani; sebagaimana “Sinn Fein” Ierlandia adalah terutama sekali suatu

self-reliance yakni pendidikan diri sendiri; sebagaimana “Sinn Fein” Ierlandia itu adalah terutama sekali untuk membesarkan “revolutionaire lading” yang ada di dalam udara Ierlandia, – maka kitapun harus menjalankan non-koperasi itu terutama sekali untuk menyusun rokhaninya Gedong­ Kemerdekaan kita, untuk self-reliance kita, untuk “revolutionaire lading” daripada masyarakat kita.



Saya mengetahui, bahwa di dalam politik adalah taktik dan adalah azas. Saya mengetahui, bahwa tidak selamanya taktik itu bisa sesuai dengan azas. Sayapun mengetahui, bahwa taktik itu kadang-kadang terpaksa bertentangan dengan azas. Saudara Mohammad Hatta sendiri mencatat, bahwa saya di dalam “Fikiran Rakyat” pernah menulis, “bahwa prinsip tidak selalu bisa dijalankan dengan taktik”. Tetapi saudara Mohammad Hatta lupa, bahwa taktik itu hanyalah boleh menyimpang dari azas jikalau terpaksa menyimpang dari azas, jikalau ada keadaan yang “terpepet”, jikalau ada force-majeure, dan jikalau tidak bersifat “pengkhianatan” daripada azas samasekali. Mitsalnya taktiknya Lenin yang bernama N.E.P., taktik yang bertentangan dengan azas communisme karena mengasih jalan pada particulier-kapitalisme, taktik itu adalah ia jalankan karena bahaya kelaparan ada memaksa kepadanya mengadakan N.E.P. Te.tapi saudara Hatta sudah suka duduk di dalam Tweede Kamer zonder ada sesuatu hal yang memaksa kepadanya buat bersikap yang demikian itu, zonder ada sesuatu hal yang “memepetkan” kepadanya ber­buat yang demikian itu, zonder ada force-majeure yang tak mengizinkan bersikap lain yang demikian itu. Saudara Hatta malahan ketidak­-keberatannya menerima candidatuur Tweede Kamer itu ialah ketidak­keberatan “in principe”, yakni ketidak-keberatan sepanjang azas, – ketidak-keberatan dus, yang tidak lagi sebagai taktik, tidak lagi sebagai “muslihat”, tetapi ketidak-keberatan sepanjang bathin-bathinnya perkara dan dasar-dasarnya perkara. Memang inilah yang membikin kita menyebut­kan non-koperasinya saudara Hatta itu suatu non-koperasi yang tidak principiil lagi, suatu non-koperasi yang tidak 100% lagi menghormati azas-azasnya nationalist-non-cooperator. Memang inilah yang membikin kita berkata, bahwa saudara Hatta itu telah “menjalankan politik yang di dalam hakekatnya melanggar azas non-koperasi”. Memang hanya inilah juga yang membikin kita mitsalnya berani berkata bahwa kita meng­hendaki non-koperasi yang principiil, walaupun di antara kawan-sefaham kita mitsalnya ada orang-orang yang bekerja advocaat dan “bersumpah” setia kepada G.G. atau Koningin, – “bersumpah” setia kepada G.G. atau Koningin yang terpaksa diyjalankan oleh tiap-tiap.orang advocaat sebagai formaliteit, sebagaimana sdr. Hatta juga, nanti kalau terpilih menjadi anggauta Tweede Kamer dan masuk dalam Tweede Kamer, sebagai for­maliteit akan terpaksa “bersumpah” setia kepada Grondwet Belanda, – Grondwet Belanda yang menetapkan Indonesia sebagai milik negeri Belanda. Atau tidak benarkah bahwa tiap-tiap anggauta Tweede Kamer harus bersumpah setia pada Grondwet itu?

Perkara non-koperasi bukanlah perkara perjoangan sahaja, perkara non-koperasi adalah juga perkara azas-perjoangan. Azas-perjoangan inilah yang harus kita pegang teguh sebisa-bisanya. Azas-perjoangan inilah yang tidak mengizinkan seorang nationalist-non-cooperator pergi ke Den Haag.



Sudah barang tentu, saudara Hatta di Den Haag tidak akan foya-foya sahaja. Saudara Hatta di Den Haag akan berjoang, akan membanting tulang, akan mengeluarkan tenaga, akan memandi keringat beranggar dengan kaum imperialis dan kapitalis. Saudara Hatta di Den Haag akan berkelahi mati-matian dengan musuh kita yang angkara-murka. Saudara Hatta, dengan sukanya pergi ke Den Haag itu, tidak berbalik menjadi lunak, tidak berbalik menjadi orang “apem”, tidakpun berbalik men­jadi orang yang tidak radikal.

Kita mengetahui ini semuanya. Kita, sebagai tahadi kita kemukakan, juga mengetahui bahwa mitsalnya kaum C.R. Das, kaum O.S.P., kaum komunis, yang duduk di dewan atau di par­lemen itu, bukan duduk di situ buat foya-foya, bukan duduk di situ buat menjadi lunak, bukan duduk di situ menjadi kaum “apem”, tetapi adalah di situ berjoang dan tetap bersikap radikal.



Tetapi sekali lagi saya ingatkan: mereka memang bukan kaum nationalist-non-cooperator, mereka memang tak pernah menamakan diri nationalist-non-cooperator, mereka memang tidak berazas-azasnya natio­nalist-non-cooperator, – mereka malahan memang anti azas nationalist­non-cooperator! Lagi pula: kalau hanya buat berjoang sahaja, di Volksraad-pun orang bisa berjoang!



Nationalist-non-cooperator harus tetap memandang parlemen Belanda sebagai parlemen kaum sana. Nationalist-non-cooperator harus menge­tahui bahwa parlemen Den Haag itu adalah penjelmaannya, symbool-nya, belichaming-nya, koloniseerend Holland yang mengereh dan menjajah kita. Nationalist-non-cooperator harus mengetahui bahwa parlemen Den Haag itu adalah justru salah satu alat-kekuasaannya koloniseerend Holland, salah satu machts-apparaatnya koloniseerend Holland, yang ia dus, sebagai nationalist-non-cooperator harus ingkari, harus “Sinn-Feini” secara principiil. Ierlandia, Ierlandia sepuluh-limabelas tahun yang lalu, adalah mengasih contoh:

Jikalau Ierlandia dengan aktif dan passif kiesrecht-nya di Westminster tokh sudah “menyinnfeini” Westminster itu, apalagi kita yang hanya mempunyai passif kiesrecht sahaja di parlemen Den Haag. Jikalau Ierlandia dengan lebih dari seratus kursinya di Westminster sudah “menyinnfeini” Westminster itu, apalagi kita yang dengan kaum radikal lain kini hanya bisa mengumpulkan beberapa kursi sahaja! Memang kita harus mengerti, – sebagai Ierlandia mengerti bahwa non-cooperation tidaklah tergantung daripada “kalah stem” atau “menang stem”, tetapi ialah suatu azas-perjoangan positif yang terutama sekali mendidik diri sendiri dan menyusun kekuatan diri sendiri.

 Kekuatan sendiri ini harus kita susun. Kekuatan sendiri ini, tenaga sendiri ini, machtsvorming sendiri ini harus kita utamakan sebab hanya dengan machtsvorming di Indonesia yang teguh dan sentausa, hanya dengan machtsvorming di Indonesia yang berupa machtsvorming-bathin dan machtsvorming-lahir, hanya dengan machtsvorming di antara Rakyat Indonesia sendiri kita bisa mendengung-mendengungkan suara kita men­jadi suaranya guntur, menghaibatkan tenaga kita menjadi tenaganya gempa, untuk menggugurkan segala kapitalisme dan imperialisme. Karena itu sekali lagi: seterusnya tolaklah kursi di Den Haag, dan buat ini hari terimalah saya punya silaturakhmi!


“Fikiran Rakyat”, 1933

Selasa, 07 November 2017

Boleh Ber-wanhoopstheorie atau Tidak Boleh Ber-wanhoopstheorie ?



Salah seorang pembaca F.R. adalah meminta keterangan lebih jelas tentang soal yang saya stempel dengan nama “wanhoopstheorie”. Di bawah inilah bunyi suratnya:

Redactie FIKIRAN RAKYAT

Yang terhormat..

Dulu sudah diterangkan apa artinya wanhoopstheorie, dan oleh Redaksi, sudah dapat ketentuan, bahwa theorie tersebut sungguh jelek karena tidak “berkemanusiaan”.

Akan tetapi saudara, apakah tidak betul bahwa adanya pergerakan swadesi, adanya bango-bango kooperasi, adanya werkloozen-commitee yang berarti juga masuk kolom “berkemanusiaan” itu tidak boleh dikata menutup luka, dan tidak bikin hilangnya penyakit yang senyatanya? Ba­nyaknya kesengsaraan yang diderita oleh rakyat itu,- oleh karena rakyat itu MANUSIA, dus bukan barang – apakah tidak bisa meng-electriseer tubuhnya rakyat sendiri? Saya yakin, bahwa pertolongan-pertolongan kepada rakyat yang masuk kolom “berkemanusiaan” itu tidak akan menda­tangkan buah yang BESAR. Jika luka-lukanya rakyat itu di-onderhoud, apakah tidak bisa melupakan penjakit yang ADA dalam tubuhnya?

Kemudian saya mengharap jawaban Redaksi yang akan memuaskan.

Wassalam, S. D.

Karena soal ini tak cukup saya jawab dengan sepatah-dua-patah ­kata dalam “Primbon Politik”, maka saya mau membicarakannya di sini dengan sedikit lebar.

Apakah yang tempohari saya stempel nama dengan wanhoops-theorie itu? Di dalam F.R. nomor percontohan adalah antara lain-lain tertulis sebagai berikut:

“Bukan wanhoops-theorie yang hanya bersandar kepada perasaan saha­ja, dus subyektif sahaja, dapat menyelamatkan pergaulan-hidup. Apakah kata kaum wanhoops-theorie itu? Mereka berkata: Rakyat kurang, keras bergeraknya. Moga-moga belasting dinaikkan. Moga-moga gaji-upahnya diturunkan. Moga-moga segala hal menjadi mahal, biar rakyat menjadi makin sengsara. Kalau sudah sengsara sekali, rakyat tentu mau bergerak lebih haibat!”

Wanhoops-theorie itu ada teorinya orang yang putus-asa, dan juga kejam, oleh karena tidak punya kasihan pada rakyat. Orang yang demi­kian itu bergerak untuk bergerak, dan tidak untuk meringankan nasibnya rakyat. Dan juga teorinya yang mengajarkan, bahwa rakyat itu dengan begitu sahaja akan sedar jika kemelaratan itu lebih haibat daripada se­karang, ternyatalah tidak betul. Oleh karena jika teori itu betul, tentulah rakyat Indonesia sekarang sudah sedar. Rakyat hanyalah akan sedar tentang nasibnya bukan sahaja oleh karena kemelaratan, tetapi juga oleh karena didikan. Malahan banyak rakyat yang terlalu sekali sehari-hari menderita kesengsaraan, lantas seperti tidak mempunyai cita-cita, yakni lantas menjadi apathis. Rakyat yang apathis itu tidak bisa begitu-sahaja dapat dipakai di dalam perjoangan menuntut perbaikan nasibnya. Maka dari itu justa dan durhakalah mereka yang mengadjurkan teori, bahwa ketidak-sedarannya rakyat Indonesia itu ialah karena tindasan di sini kurang haibat. Kepada “warhoofden” dan “politiek idioten” ini kami bertanya apakah kesengsaraan yang beratus-ratus tahun diderita oleh kita itu, tidak cukup untuk menyedarkan rakyat? Harus bagaimanakah haibatnya kemelaratan itu untuk menyedarkan rakyat? … Sebagai kaum yang ernstig, kita harus menentang wanhoops-theorie itu. Pemimpin yang berwanhoops-theorie adalah pemimpin yang menunjukkan tidak bisanya menggerakkan rakyat. Ia ada pemimpin yang putus-asa.

Ia membuk­tikan, bahwa ia sendiri lemah bathinnya. Ia mau mengobati orang sakit, tetapi mengharap supaya si orang sakit itu harus lebih dulu menjadi lebih sakit! Ia sebenarnya adalah kejam, tiada kasihan pada rakyat …

Begitulah sebagian daripada tulisan dalam F.R. tempohari.

Pembaca yang ingin baca lagi artikel “wanhoopstheorie” itu dengan saksama, bisa mendapatkan artikel itu dalam F.R. nomor percontohan kaca 12-14.



Wanhoops-theorie memang masih ada sahadja yang menjalankan. Wanhoops-theorie itu sering kita dapatkan dalam kalangan kaum pemim­pin-muda yang menyebutkan dirinya ultra-ultra-ultra-radicaal, yakni yang menyebutkan dirinya merah-mbahnya-merah. Wanhoops-theorie itu boleh­lah misalnya saya sesuaikan dengan apa yang dulu oleh Lenin disebutkan “Kinderkrankheit des Radikalismus”, – yakni “penyakit anak-anak dari­pada radicalisme”.



Wanhoops-theorie memang masih haruslah kita tentang, oleh karena dalam hakekatnya, ia adalah teori kejam, teori yang tidak “berkemanusiaan”. Sebab tidakkah kita kejam, kalau kita mengharap dan mendoakan rakyat lebih-lebih lagi menjadi sengsara dan tertindas, katanya supaya rakyat lantas suka bergerak?

Tidakkah kita dalam hakekatnya tak ber­kemanusiaan, ya, anti kemanusiaan, kalau kita mengharap supaya belasting ditambah lagi, hak-hak dipersempitkan lagi, penghasilan dikurangi lagi, malaise lebih mengamuk lagi, hantu maut lebih mendekati lagi,– katanya supaya rakyat lantas sedar dan suka berjoang? Tidakkah kita dus:

b e r dosa, kalau kita menjalankan wanhoop-stheorie itu?



Kita tidak boleh ber-wanhoops-theorie. Kita harus memandang kesengsaraan rakyat sekarang ini sudah di atas puncaknya, sudah cukup lebih dari cukup buat membikin rakyat menjadi sedar dan bergerak, asal saha­ja kita bisa mendidik rakyat kepada kesedaran itu. Kita tidak boleh lupa, bahwa kita bergerak itu tidak buat hanya bergerak sahaja, – de beweging niet om de beweging tetapi bahwa kita bergerak ialah untuk meri­ngankan beban-beban rakyat dan mengenakkan peri-kehidupan rakyat. Kita, oleh karenanya, tidak boleh mengharap supaya rakyat menjadi makin cilaka, walaupun, katanya, “tambahnya kecilakaan itu ialah supaya rakyat suka bergerak mendatangkan Indonesia-Merdeka”.



Sebab sebagai di dalam F.R. nomor percontohan itu juga sudah saya terangkan: asal sahaja kita tahu cara-caranya bekerja sebagai pemimpin, maka, tidak boleh tidak, Tentu rakyat sudah bisa disedarkan dengan kesengsaraan sekarang ini. Dan jikalau kaum wanhoops-theorie mem­bantah bahwa “wanhoops-theorienya” itu ialah karena takut bahwa rakyat menjadi mengantuk kalau nasibnya diperbaiki sehingga lupa atau men­jauhkan datangnya Indonesia-Merdeka, maka saya menjawab: Inipun menunjukkan kaum wanhoops-theorie kurang cakap menjadi pemim­pin! Di dalam F.R. nomor percontohan itu saya menulis, bahwa pemimpin yang pandai adalah “menggerakkan rakyat, sehingga belasting turun, misal­nya dari f 20,- jadi f 15,-.

Ia kasih keinsyafan pada rakyat, bahwa turunnya belasting itu ialah karena tenaga rakyat sendiri. Ia lantas ajak rakyat bergerak terus, menuntut supaya belasting turun lagi, dan kalau terjadi turun lagi, maka ia kasih lagi keinsyafan pada rakyat bahwa ini ialah hasil tenaga rakyat sendiri, – sambil selamanya mengasih keyakinan, bahwa nasib rakyat barulah bisa 100% sempurna kalau Indonesia sudah merdeka, dan oleh karenanya: bahwa rakyat haruslah selamanya memusatkan perdjoangannya kepada usaha mendatangkan Indonesia Merdeka itu! Ia dus bukan pemimpin yang putus-asa, tetapi “pemimpin yang mengolah, pemimpin yang mendidik, pemimpin yang mendadar, pemimpin yang memimpin “. Ia mengerti “bahwa tenaga rakyat barulah menjadi tenaga, kalau saban hari diolah”, di-train sebagai dalam sport.

Ia mengerti, bahwa rakyat juga harus di-train, – “di-train semangatnya, di-train fikirannya, di-train teorinya, di-train keberaniannya, di-train tenaganya, di-train segala­-galanya” !



Sekali lagi, kita harus menolak dan menjauhi semua wanhoops­theorie. Rakyat sudah sengsara. Rakyat sudah cilaka. Rakyat hampir tak kuat memikul bebannya lagi. Kita kaum pemimpin harus ingat akan hal ini.



Saya tidak pernah menyangkal, bahwa kesengsaraan yang ngeri mengelektrisir sekujur badannya rakyat. Saya hanyalah menyangkal dan menolak bahwa kesengsaraan itu harus kita harapkan, dan bahwa kesengsaraan itu harus kita doakan bertambah–nya. Sebab dengan keseng­saraan yang sekarang ada, sudah cukuplah syarat untuk bergerak, asal sahaja kita kaum pemimpin cakap mendidik.



Sayapun tidak pernah berkata, bahwa kita harus “warung-warungan”, “comitee-comiteean”, “swadesi-swadesian”, sahaja. Siapa yang memperhatikan saya punya jawab-jawab dalam “Primbon Politik”, akan mengetahuilah bahwa saya adalah musuh politik “warung-warungan” dan “comitee-comiteean” itu, oleh karena politik yang demikian itu memang “tidak bikin hilangnya penyakit yang senyatanya”. Dan siapa memper­hatikan uraian saya panjang-lebar dalam “Suluh Indonesia Muda”, niscaya mengetahuilah bahwa saya punya keyakinan ialah bahwa swadesi tidak bisa mendatangkan Indonesia-Merdeka, walaupun swadesi itu me­nambah creatief vermogen kita, en dus berfaedah pula.



Kemerdekaan Indonesia dan lenyapnya imperialisme-kapitalisme hanyalah bisa tercapai dengan massa-aksi Marhaen yang bewust, prinsipiil, radikal dan tak pernah kenal akan damai, dengan tenaga Marhaen yang maha-kuasa. Indonesia-Merdeka tak dapat dicapai dengan “warung­warungan” atau “comitee-comiteean”. Indonesia-Merdeka dan perbaikan masyarakat Indonesia hanyalah bisa tercapai kalau kita membongkar penyakit Indonesia itu dalam akar-akarnya dan dalam pokok-pokoknya. Oleh karena itu, maka kalau saya mempropagandakan politik yang “ber­kemanusiaan”, maka itu tidaklah berarti bahwa kita harus “warung­-warungan” atau “comitee-comiteean” sahaja.

Tetapi kita harus menyedarkan dan menyusun kekuatan radikal daripada rakyat, dengan cakap dan pandai. Dan kaum wanhoops-theorie itu ternyatalah tidak bisa menyedarkan dan menyusun kekuatan rakyat! Sebab mereka masih mengharap tambahnya kesengsaraan. Sebab mereka masih mengharap rakyat menjadi lebih cilaka. Sebab mereka masih meng­harap rakyat lebih mendekati lagi bahaya maut. Wanhoopstheorie adalah memang teorinya “pemimpin” yang putus-asa!!



“Fikiran Rakyat”, 1933

Jumat, 03 November 2017

Non Cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa Aksi dan Machtsvorming


Di dalam golongan kaum radikal Indonesia, sekarang tampak tiga aliran:

Satu aliran menghendaki non-cooperation hanya buat dewan-dewan di Indonesia sahaja; satu aliran menghendaki non-cooperation terhadap pada semua dewan-dewan kaum pertuanan, yaitu pendirian saya, sebagai yang ternyata dari karangan saya yang lalu; dan kini ada satu aliran lagi yang menolak sama sekali non-cooperation itu!

Aliran yang belakangan ini adalah yang dipropagandakan oleh salah seorang kaum radikal yang pada saat ini masih berada di negeri Eropah. Salah satu keberatan yang diajukannya terhadap pada non-cooperation ialah, bahwa, katanya, non-cooperation itu tak dapat mendatangkan massa­aksi dan machtsvorming.

Benarkah keberatan-keberatan ini?

Keberatan-keberatan ini adalah salah sama sekali!

Sebab bagaimanakah kenyataan?

Kenyataan adalah menunjukkan, bahwa non-cooperation itu di Hindustan bisalah menggerakkan suatu massa-aksi yang menggetarkan seku­jur badannya natie, dan bisa menyusun semangat rakyat yang menurut perkataannya Henriette Roland Holst adalah “tiada bandingannya”, “zonder weerga”, di dunia ini, sebagai ternyata dengan organisasinya Congress yang mengadakan bermacam-macam badan perlawanan yang menyerang kepada musuh.

Kenyataan adalah menunjukkan, bahwa non-cooperation itu di Irlandia, di dalam tahun-tahun 1916-1920, bisa mengadakan massa-aksi yang juga menggetarkan seluruh tubuhnya bangsa, dan bisa pula menyu­sun machtsvorming yang sangat kuasa.

Kenyataan adalah menunjukkan, bahwa non-cooperation di negeri­ negeri lain, misalnya di Hongaria, di Korea, dan lain-lain bisa juga mengadakan massa-aksi dan machtsvorming itu.

Kenyataan adalah pula menunjukkan, bahwa non-cooperation itu di negeri kita sendiri, oleh usahanya kaum Partai Nasional Indonesia, kaum Partai Sarekat Islam, kaum Partindo, kaum Pendidikan Nasional Indonesia, dan juga dulu kaum P.K.I. dan S.R. adalah bisa juga menyalakan massa-aksi dan menyusun machtsvorming, walaupun massa­ aksi dan machtsvorming di sini itu belum sepadan dengan massa-aksi dan machtsvorming di Hindustan atau di Irlandia.

 Dan jikalau pergerakan Hindustan sampai sekarang belum berbuah 100%, jikalau pergerakan Hindustan itu sampai sekarang belum juga mendatangkan Hindustan-Merdeka, jikalau pergerakan Hindustan itu kadang-kadang “menjadi dingin”, maka itu bukanlah salahnya non­-cooperation, tetapi ialah salahnya cara menjalankan non-cooperation itu. Non-cooperation India adalah non-cooperation yang menurut faham saya non-cooperation yang terlalu pasif, yakni suatu non-cooperation yang kurang menyerang, kurang mendesak, kurang mengaanval, kurang mili­tant. Non-cooperation India adalah mempunyai suatu bagian, yang oleh Gandhi sendiri disebutkan “passive-civil-disobedience”, yakni “tidak me­nurut, secara passif”. Jawaharlal Nehru sendiri, ya, malahan juga Sen Gupta yang tokh terkenal “lunak”, pernah minta kepada Gandhi supaya passive-civil-disobedience ini diganti dengan militant-civil-disobedience.

Tetapi karena Gandhi menyandarkan non-cooperationnya itu kepada ilmu “ahimsa”, yang melarang segala sikap penyerangan, maka Gandhi teguh mempertahankan sifat pasif itu. Inilah yang menurut faham saya menjadi sebabnya, yang pergerakan non-cooperation di Hindustan itu kadang-kadang terjangkit penyakit “dingin”. Inilah yang menjadi sebabnya publik luaran sering-sering bertanya, apakah dengan non­cooperation rakyat Hindustan bisa mendatangkan Hindustan-Merdeka.

Non-cooperation kita tidak bersandar pada kepercayaan ahimsa, tidak bersandar pada ajaran “weersta den boze niet”, yakni tidak bersandar pada ajaran menjauhi dan tidak menyerang kepada siapa yang jahat, – tetapi non-cooperation kita adalah, sebagai yang saya terangkan dalam karangan saya yang lalu, kita sandarkan kepada keyakinan dan kenyataan, bahwa antara sana dan sini adalah suatu pertentangan kebutuhan yang tak dapat ditutup atau di-“jembatani”.

Non-cooperation kita adalah, juga sebagai yang sudah saya terangkan, berisi aktiviteit dan radikal­isme,- radikalisme semangat, radikalisme fikiran, radikalisme sepak­ terjang, radikalisme dalam segala sikap lahir dan bathin. Radikalisme inilah yang menolak segala sikap yang pasif, radikalisme inilah yang tak mau tahu akan sikap “diam sahaja jangan menyerang”, radikalisme inilah yang menuntut sikap militant. Kita tidak boleh bersikap “diam sahaja jangan menyerang”, kita harus “keluar dari rumah-rumah kita”, keluar menjalankan penyerangan atas segala pusat-pusat musuh!

Dan di Irlandia? Di Irlandia itu, pergerakan rakyat justru menjadi “dingin”, sesudah non-cooperation tidak lagi dijalankan dengan sepenuh­-penuhnya. Rakyat Irlandia, yang di bawah panji-panjinya non-cooperation seolah-olah tak dapat ditundukkan, tak dapat dikalahkan, tak dapat di bubarkan aksinya walaupun Inggeris mengirimkan bedil dan meriam dan tank dan mitralyur, ya walaupun Inggeris mengadakan barisan “sarekat hejo” yang bernama barisan “Black and Tans”,  rakyat Irlandia itu menjadi mundur massa-aksi dan machtsvormingnya sesudah beberapa kaum yang tahadinya kaum non-cooperator yang “sengit”, menjadi “lunak” dan suka bekerja bersama-sama dengan Inggeris.

0, memang, perjoangan rakyat di negeri-negeri yang merdeka, di negeri-negeri yang sudah ada parlemen nasionalnya sebagai di Inggeris, di Perancis, di Jerman, di Belgia, di negeri Belanda, perjoangan rakyat di situ itu menjadinya haibat dan besar antara lain-lain memang oleh per­joangan yang membarengi perjoangan parlemen. Memang terutama pemilihan-pemilihan buat parlemen itulah memberi suatu pegangan, suatu aangrijpingspunt, yang sebaik-baiknya buat menjalankan agitasi dan massa-aksi.

Memang di dalam negeri-negeri merdeka itu, adalah suatu kesalahan besar, kalau perjoangan rebutan kursi parlemen dan per­joangan yang membarengi aksi parlemen itu tidak dipakai sebagai alat-propaganda dan alat-aksi yang berkobar-kobar. Memang jikalau di Indonesia  misalnya ada suatu parlemen nasional sebagai di negeri Jerman atau Perancis atau Inggeris atau Belgia atau Belanda, maka kitapun tak emoh akan mengobarkan massa aksi dan menghaibatkan machtsvorming kita dengan cara perjoangan merebut kursi parlemen dan perjoangan membarengi aksi parlemen itu.

Tetapi selama di atas negeri kita masih duduk sesuatu negeri pertuanan, selama masih ada kaum “sana” menduduki pundak “sini”, selama masih perlu sekali kita melebarkan dan mendalamkan jurang antara “sana” dan “sini”, selama Indonesia masih dicap dengan nama Hindia ­Belanda dan belum bernama Indonesia-Merdeka,  selama itu maka kita punya azas-perjoangan haruslah tetap non-cooperation. Sebab non­cooperation itu di dalam negeri jajahan bukanlah mendinginkan massa-aksi dan melembekkan machtsvorming, tetapi sebaliknya ialah menghidupkan massa-aksi dan menguatkan machtsvorming itu!

Apakah massa-aksi itu? Tentang hal ini, juga di dalam kalangan kaum pergerakan sendiri kadang-kadang masih ada orang yang kurang faham. Orang mengira bahwa massa-aksi itu “barang yang akan keja­dian nanti”. Apa yang kita kerjakan sekarang ini, begitulah katanya, hanyalah suatu persediaan sahaja buat massa-aksi. “Sekarang bersedia-­sedia, sekarang mengatur-atur, sekarang mempersiapkan segala hal, dan nanti, nanti, sebagai gelombang banjir yang pecah-bendungannya, massa­ aksi akan terjadi!”, begitulah. orang mengira.

Anggapan yang demikian ini ada salah sama sekali! Tetapi anggapan yang demikian ini kadang-kadang masih terdapat juga di kalangan kaum pergerakan. Anggapan yang demikian terutama sekali kadang-kadang terdapat di kalangan orang yang mengelirukan faham massa dengan faham masa

Anggapan yang demikian ini malahan hidup di dalam fikirannya itu landraad-voorzitter yang “cerdik”, yang tempo hari menghukum saya, yang juga berkata: Partai Nasional Indonesia kini sedang bersedia, massa-aksinya terjadi nanti kalau persediaan telah selesai!

Oleh karena itu, maka perlu sekali kita lebih dulu menjawab pertanyaan: apakah massa-aksi itu?

Massa-aksi adalah aksinya massa. Massa artinja: Rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu. Massa-aksi adalah dus: aksinya rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu. Dan oleh karena aksi berarti perbuatan, per­gerakan, perjoangan, maka massa-aksi adalah dus berarti: perbuatannya, pergerakannya, perjoangannya rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu. Dan perbuatan itu, pergerakan itu, perjoangan itu bukanlah suatu hal yang hanya nanti akan terjadi; perbuatan, pergerakan, perjoangan itu adalah hal yang sudah berjalan sekarang.

Apa yang sekarang kita ker­jakan, apa jang sekarang kita perbuat, apa sahaja kita punya tindakan ini hari yang berupa menyusun-nyusun perhimpunan, menulis artikel-artikel dalam majalah dan surat-kabar, mengadakan kursus-kursus, mengadakan rapat-rapat umum, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, itu semua sudahlah termasuk dalam perbuatan, pergerakan, perjoangan rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun situ, itu semua sudahlah termasuk dalam massa-aksi itu adanya.

Massa-aksi adalah dus bukan suatu “perkara kemudian”, bukan suatu hal yang “kini belum terjadi”, bukan suatu “banjir yang nanti kita lepaskan”; massa-aksi adalah suatu “soal hari sekarang”. Massa-aksi sudahlah kini kita lihat sehari-hari. Massa-aksi sudahlah ada di dalam kegiatan organisasi, dan organisasi sudahlah ada di dalam kegiatan massa­ aksi itu. “In de organisatie ligt reeds de actie besloten, en in de actie de organisatie”, – begitulah August Bebel berkata dengan jitu dan sing­kat, sekalipun massa-aksi itu sebenarnya tidak harus dan tidak selamanya suatu pergerakan rakyat murba yang tersusun.

Riwayat-dunia seringkali menunjukkan massa-aksi massa-aksi yang berjalan zonder organisasi. Riwayat-dunia misalnya menunjukkan massa-aksinya “kaum jembel” di dalam Revolusi Perancis, massa-aksinya sebagian kaum rakyat Belgia di dalam tahun 1830 melawan kekuasaan Belanda, massa-aksinya kaum kuli teh di dalam pergerakannya Gandhi, sebagai contoh-contoh dari massa-aksi yang zonder organisasi terjadi dengan sekonyong-konyong, dan hanya menurut “kemauannya sendiri” daripada kekuatan-kekuatan masyarakat yang tahadinya statis, berbangkit menjadi dinamis.

Tetapi tetaplah kebenaran kata, bahwa apa yang kita kerjakan sekarang itu, sudahlah massa-aksi. Dan jikalau pergerakan kita pada waktu ini belum haibat sehaibat-haibatnya, jikalau, pergerakan kita pada waktu ini belum “bergerak 100%”, jikalau pergerakan kita itu belum se­bagai “banjir yang pecah-bendungannya”, maka itu bukanlah karena belum berjalan massa-aksi, tetapi ialah karena massa-aksi kita itu belum mencapai ketinggian puncaknya.

Cukupkah sekian sahaja keterangan tentang arti massa-aksi? Cukupkah keterangan, bahwa massa-aksi ialah pergerakannya rakyat Marhaen yang berjuta-juta? Keterangan sekian itu sama sekali belum cukup! Sebab keterangan kita itu masih melupakan satu hal lagi, yang sangat sekali penting di dalam soal massa-aksi. Keterangan kita itu masih lupa menerangkan, bahwa massa-aksi haruslah bersemangat dan bersepak-ter­jang radikal, bersemangat dan bersepak-terjang revolusioner.

Bukan tiap-tiap “pergerakan rakyat-murba” adalah suatu massa-aksi. Bukan tiap-tiap pergerakan dari orang yang ratusan, ribuan, jutaan, adalah suatu massa-aksi. Massa-aksi adalah pergerakan rakyat-murba yang berjuta-juta secara radikal dan revolusioner.

Pergerakan rakyat-murba yang tidak secara radikal dan revolusioner, pergerakan rakyat-murba yang tidak bersemangat perlawanan, pergerakan rakyat-murba yang “tidak sengit” dan tidak bersemangat “banteng” pergerakan rakyat-murba yang demikian itu, walaupun milyun-milyunan orang yang bergerak, bukanlah massa-aksi, tetapi hanyalah suatu “Massale actie”, aksi Massal, belaka.

Di dalam uraian saya yang lalu sudahlah saya terangkan apakah yang dinamakan massa-aksi itu. Saya terutama sekali memusatkan perhatian pembaca atas hal yang maha-penting berhubung dengan faham massa ­aksi: bahwa massa-aksi haruslah radikal dan revolusioner. “Massa-aksi” yang tidak radikal dan revolusioner,“massa-aksi” yang tidak bersemangat perlawanan, “massa-aksi” yang tidak bersemangat “banteng”, “massa-aksi” yang demikian itu bukanlah massa-aksi, tetapi hanyalah suatu “MASSALE actie” belaka, begitulah saya berkata.

Memang keradikalan dan kerevolusioneran itulah yang memberi “cap” pada massa-aksi sebagai suatu “technisch-politieke term”, suatu istilah politik, yang tidak bisa disalin dalam bahasa Indonesia. Memang keradikalan dan kerevolusioneran itulah yang membedakan massa-aksi daripada “pergerakan rakyat jelata” yang biasa. Lihatlah misalnya per­gerakan rakyat Indonesia dulu, tatkala Sarekat Islam baru lahir di dunia. Lihatlah misalnja juga pergerakan rakyat di Ngayodya, di Mataram, se­karang ini. Ribuan, laksaan, ketian, ya milyunan rakyat sama bergerak, milyunan rakyat sama beraksi, tetapi aksinya hanyalah suatu “MASSALE actie” belaka. Aksinya hanyalah suatu “massale actie”, dan bukan suatu ”massa-actie”, oleh karena aksinya bukan aksi rakyat-jelata yang radikal dan revolusioner.

Lihatlah juga suatu hal lagi yang menggelikan hati: Orang kadang­kadang menulis dalam surat-kabar: partai ini atau itu, pada hari ini atau itu, akan mengadakan “massa-aksi” untuk memprotes sesuatu hal ini atau itu! Seolah-olah massa-aksi ada suatu kejadian “hari ini atau itu”! Se­olah-olah massa-aksi itu suatu kejadian yang mulai jam sebegini dan selesai jam sebegitu! Seolah-olah massa-aksi ada suatu hal yang boleh diperintahkan atau dihentikan menurut waktu yang saksama!

Tidak! Massa-aksi tidaklah suatu hal “hari ini atau itu”, massa-aksi tidaklah suatu hal yang bisa di “telegram”kan boleh mulai jam sebegini dan selesai jam sebegitu, massa aksi adalah suatu kebangkitan massa secara radi­kal dan revolusioner yang disebabkan oleh tenaga-tenaga masyarakat­-masyarakat sendiri. Massa-aksi adalah suatu pergerakan revolusioner yang dalam hakekatnya ialah pergerakan sendiri dan yang orang maksudkan dengan perkabaran bahwa partai ini atau itu pada hari ini atau itu akan mengadakan “massa-actie”,  adalah sebenarnya hanya rapat-rapat umum yang berbarengan belaka.

Sekarang, apakah non-kooperasi bisa menghaibatkan massa-aksi yang sebenar-benarnya? Non-kooperasi bisa menghaibatkan massa-aksi yang sebenar-benarnya, yakni pergerakan massa yang berisi radikalisme. Sebab, sebagai yang pernah saya terangkan, justru non-kooperasilah yang di dalam PERJOANGAN TANAH JAJAHAN berisi radikalisme. Banyak haluan di dalam kalangan politik bangsa yang melawan imperialisme asing, banyak azas-perjoangan yang dipakai, ada yang non, ada yang ko, ada yang tidak non tidak ko tetapi hanya satulah yang dalam bathinnya dan dalam hakekatnya radikal dan revolusioner, yakni haluan non-kooperasi. Sebab hanya non kooperasilah yang dalam bathinnya dan dalam hakekat­nya meneruskan antitese antara sana dan sini, mengakui adanya, meneruskan adanya, MENDALAMKAN adanya JURANG antara sana dan sini.

Dan bukan itu sahaja! Non-kooperasi, karena mendinamisir antitese itu, adalah pula satu-satunya azas-perjoangan di dalam negeri jajahan yang, menurut perkataan seorang penulis dalam s.k. “Utusan Indonesia” yang menyebutkan dirinya “Revolutionnair politicus”, bisa mengisi per­joangan itu dengan “isi-revolusioner”, yakni dengan “revolutionnaire lading” yang sehidup-hidupnya. Non-kooperasilah yang bisa memberi isi­ revolusioner yang menjadi syarat yang terpenting dalam soal massa-aksi, isi-revolusioner yang membikin sesuatu pergerakan rakyat menjadi massa-aksi, isi-revolusioner yang membikin sesuatu massa-aksi yang “mlempem” menjadi massa aksi yang hidup dan bernyawa.

Cara-perjoangan di negeri-negeri yang merdeka, yang membikin pemilihan parlemen dan perjoangan dalam parlemen menjadi aangrij­pingspunt, mimbar, dan tempat-komando daripada perjoangan umum, sebagai yang saya terangkan dalam salah satu karangan saya yang lalu, cara perjoangan yang demikian itu di negeri jajahan, terutama sekali negeri jajahan sebagai Indonesia, tidaklah bisa diusahakan dengan hasil yang memuaskan. Baik cara-pemilihan-kursi-dewan

di sini, maupun mimbar daripada dewan di sini; baik kesempatan membikin dewan men­jadi tempat-komando, maupun kesempatan membuka topeng si musuh, semua itu di negeri jajahan sebagai Indonesia hanyalah suatu “tipuan yang tak memper”, suatu “bayangan yang palsu” belaka daripada cara­ pemilihan kursi parlemen di negeri yang merdeka, mimbar parlemen di negeri yang merdeka, tempat komando di parlemen di negeri yang mer­deka!



Bagaimanakah kita mau menghaibatkan massa aksi dengan pemilihan­ kursi dewan, kalau pemilihan kursi dewan itu tidak diatur secara kerakyatan dan sama sekali tergenggam oleh kaum B.B. dan badan-badan pemerintah sendiri! Bagaimanakah kita mau membikin dewan-dewan itu menjadi mimbarnya massa-aksi, kalau di situ misalnya perkataan “over­heersen” sudah dicapkan tabu dan terlarang! Bagaimanakah kita mau membikin dewan itu menjadi commando-brug bagi massa-aksi, kalau misalnya satu pidato yang lunak dari tuan Otto Iskandardinata tempo hari sudah membikin palunya ketua menjadi berdansa di atas meja sebagai palu yang kejangkitan syaitan!



Tidak! Kesempatan untuk membikin dewan di sini menjadi aan grijpingspunt, mimbar dan tempat-komando daripada perjoangan kita, adalah sama sekali tidak memper sedikitpun juga dengan kesempatan yang diberikan oleh parlemen di negeri yang merdeka, dan adalah ha­nya suatu “fotografie van het achterdeel!” daripadanya belaka!



Oleh karena itulah maka kita, kaum radikal, bilamana kita di negeri jajahan sebagai Indonesia ini mau membangunkan dan membangkitkan massa-aksi yang sehaibat-haibatnya, haruslah menginjak jalan yang tidak mengambil puling akan “fotografie van het achterdeel” itu, yakni jalan non-kooperasi yang ingkar dan prinsipiil.

Tentang soal non-kooperasi berhubung dengan machtsvorming akan saya uraikan lain kali.



Di dalam uraian saya yang lalu telah saya terangkan bahwa di dalam dunia-politik negeri jajahan non-kooperasilah satu-satunya azas perjoangan yang bisa mendatangkan massa-aksi Kini saya harus menerangkan, bahwa non-kooperasi jugalah yang bisa mendatangkan machtsvorming.



Apakah machtsvorming itu? Pertanyaan ini adalah penting sekali. Sebagaimana kita tidak bisa menjawab soal non-kooperasi berhubung dengan massa-aksi sebelum kita bisa menjawab apakah massa aksi itu; sebagaimana banyak sekali omongan tentang “massa aksi” menjadi obrolan-omong-kosong karena tidak tahu-menahu apakah yang diomong­kan itu, maka kinipun kita tak dapat membicarakan non kooperasi berhubung dengan machtsvorming sebelum kita tahu benar-benar apakah machtsvorming itu.



Jadi sekali lagi: apakah machtsvorming itu?

Machtsvorming adalah berarti: pembikinan kuasa. Machtsvorming adalah penyusunan tenaga, penyusunan macht. Machtsvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana menuruti kehendak kita. Paksaan ini adalah perlu, paksaan ini adalah syarat yang pertama.



Dengarkanlah apa yang tempo hari saya katakan dalam saya punya pleidooi:

“Machtsvorming, pembikinan kugsa, oleh karena soal kolonial adalah soal-kuasa, soal-macht! Machtsvorming, oleh karena seluruh riwayat dunia menunjukkan, bahwa perobahan-perobahan besar hanyalah diadakan oleh kaum yang Menang, kalau pertimbangan akan untung-rugi menyuruhnya, atau kalau sesuatu macht menuntutnya. Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan kemauan sendiri”, be­gitulah Marx berkata … Selama rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang maha sentausa, selama rakyat itu masih sahaja bercerai-­berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun, selama itu maka kaum imperialisme yang mencahari un­tuk sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan segala tuntutan­-tuntutannya. Sebab tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia adalah merugikan kepada imperialisme; tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme itu tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia atas imperialisme dan pemerintah adalah buahnya desakan yang rakyat itu jalankan, tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia itu adalah suatu afgedwongen concessie!”)

Begitulah kalimat-kalimat dalam saya punya buku.



1)       Arti “concessie”. Kalau si musuh, karena desakan kita, lantas menuruti sebagian atau semua tuntutan-tuntutan kita, maka si musuh itu adalah menjalankan concessie.



Jadi sekali lagi: machtsvorming adalah pembikinan kuasa, yang perlu untuk mengadakan desakan pada kaum sana. Machtsvorming adalah perlu, oleh karena, berhubung dengan adanya pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, semua kehendak kita adalah bertentangan dengan kehendak kaum sana, bertabrakan dengan kepentingan kaum sana, meru­gikan kaum sana, sehingga kaum sana tidak akan mau dengan kemauan sendiri melulusi kehendak kita itu, jika tidak kita paksa melulusi ke­hendak kita itu dengan desakan yang ia tak dapat menahannya. Dan oleh karena desakan yang demikian itu hanyalah bisa kita jalankan bilamana kita mempunyai tenaga, yakni bilamana kita mempunyai kekuatan, mem­punyai kekuasaan, mempunyai MACHT, maka itulah sebabnya kita harus menyusun macht itu, yakni mengerjakan machtsvorming itu dengan se­giat-giatnya dan serajin-rajinnya!



Machtsvorming adalah dus suatu hal yang bersendi atas antitese antara sana dan sini, suatu hal yang berisi semangat dan keyakinan perla­wanan, suatu hal yang berisi semangat dan keyakinan bahwa tiada perdamaian antara sana dan sini, – suatu hal yang berisi semangat dan keyakinan radikal.



Memang, sebagaimana radikalisme adalah pokok-pangkalnya massa­ aksi, maka radikalisme itu adalah pula pokok-pangkalnya machtsvorming itu. “Machtsvorming” zonder radikalisme, “machtsvorming” zonder pen­dirian antitese dan perlawanan, “machtsvorming” yang demikian itu bukanlah machtsvorming

yang sebenarnya.



Orang bisa mengumpulkan anggauta perhimpunan yang banyak sekali, orang bisa mendirikan cabang-perhimpunan yang banyak sekali, orang bisa mendirikan badan-badan-kooperasi yang banyak sekali, serikat seker­ja yang banyak sekali, sekolahan yang banyak sekali, majalah-majalah yang banyak sekali, macam-macam hal lain yang banyak sekali, – tetapi jikalau semua hal itu bertindak dengan semangat dan sepak-terjang “kambing”, jikalau semua hal itu tidak diisi dan berisi radikalisme dan revolusionerisme, maka itu tidaklah boleh dinamakan machtsvorming atau pembikinan kuasa.

Sebab, sebagai tahadi saya terangkan, faham machtsvorming

adalah justru timbul daripada antitese antara sana dan sini, – perlawanan segala hal antara sana dan sini!



Ambillah misalnya,- sekali lagi        Sarekat Islam zaman dulu. Anggautanya banyak, cabangnya banyak, badan-kooperasinya banyak, serikat sekerjanya banyak, segala-galanya banyak,-

tetapi karena semangat dan sepak-terjangnya adalah semangat dan sepak-terjang perdamaian, maka ia tidaklah boleh dinamakan menyusun machtsvorming, dan memang tidak ditakuti oleh musuh. Tetapi ambillah misalnya pula: Partai Nasional Indonesia.

Semangat radikalisme dan sepak-terjang radikalisme adalah di situ, dan yang disusun atau akan disusunl) adalah pusat-pusatnya ke­kuasaan imperialisme! Partai ini ditakuti sekali oleh musuh, dan

segera dibunuhnya mumpung-mumpung machtsvormingnya belum berkembang! Memang partai inilah ada salah satu partai di Indonesia yang menyusun machtsvorming ang sejati.

Sekarang, – apakah non-kooperasi bisa mendatangkan machts-vorming? Sebagaimana non-kooperasi buat negeri jajahan adalah satu­satunya azas perjoangan yang bisa menghaibatkan massa-aksi, maka ia adalah pula buat negeri jajahan satu-satunya azas-perjoangan yang bisa menghaibatkan machtsvorming rakyat. Sebab, – pembaca sudah tahu, hanya non kooperasilah yang mengakui adanya dan mendalamkan adanya antitese dan perlawanan antara sana dan sini, mengerjakan (uitwerken) adanya antitese dan perlawanan antara sana dan sini itu.

Non-kooperasi dan machtsvorming, yang dua-duanya bersemangat dan bersepak-terjang radikalisme itu, adalah dua hal yang “bersaudara” satu sama lain, menyokong satu sama lain, memperkuat satu sama lain!

Karena itu, siapa ingin machtsvorming di Indonesia, haruslah menjalankan non-kooperasi!
1)       Sebelum partai ini mulai menyusun, ia keburu dijatuhi palang-pintu

2)     Musuh tidak mengamuk (1932).

Selasa, 31 Oktober 2017

Sekali Lagi tentang Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi




Seorang pembaca yang dengan sungguh-sungguh membaca tulisan saya tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi beserta soal kapital­isme bangsa sendiri, dan yang juga membaca perslah pidato saya di Mataram akhir-akhir ini, adalah minta penyuluhan lebih lanjut tentang soal:

Bagaimana sikap sosio-nasionalisme tentang soal buruh, dan, Bagaimana sikap sosio-nasionalis tentang soal non-kooperasi?

Marilah saya lebih dulu memberi penyuluhan tentang soal yang pertama: soal baik atau tidaknya orang menjadi kaum-buruh.

Sosio-nasionalisme adalah “nasionalisme masyarakat”, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat itu. Di dalam karangan saya yang membicarakan sosio-nasionalisme itu, saya sudah katakan, bahwa sosio-nasionalisme bukanlah nasionalisme ngalamun, bukanlah nasionalisme hati sahaja, bukanlah nasionalisme “lyriek” sahaja, – tetapi ialah nasionalisme yang diperhitungkan, nasionalisme berekening. Itulah sebabnya, maka sosio­-nasionalisme ialah nasionalisme yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat, dan tidak bertindak melanggar wet-wetnya masyarakat itu.

Sekarang apakah wet-wetnya masyarakat tentang soal perburuhan? Wet-wetnya masyarakat tentang soal perburuhan ialah, bahwa perburuhan itu adalah cocok dengan sifat-hakekatnya masyarakat yang sekarang ini, yaitu cocok dengan hakekatnya masyarakat yang kapitalistis. Perburuhan adalah memang dasarnya dunia yang kapitalistis. Perburuhan kita dapat­kan, di mana-mana kapitalisme ada, dan perburuhan timbul di mana kapitalisme timbul. Ia adalah memang buah salah satu tendenznya masyarakat,- buah salah satu kehendaknya masyarakat. Ia adalah dus memang tertalikan atau inhaerent kepada masyarakat yang sekarang ini.

Sosio-nasionalisme, oleh karenanya, harus memandang perburuhan ini sebagai suatu keharusan. Sosio-nasionalisme tidak boleh mengenang­kan dunia sekarang ini zonder perburuhan. Ya, sosio-nasionalisme harus menerima adanya perburuhan itu sebagai salah satu alat, sebagai suatu gegeven, di dalam perjoangannya.

0, memang, baik sekali sosio-nasionalisme menganjurkan “pencaharian merdeka”, dan kitapun memang harus memajukan “pencaharian merdeka” itu. Terutama di dalam dunia kolonial, di mana imperialisme telah merebut hampir tiap-tiap rasa percaya pada diri sendiri, di mana rakyat telah berabad-abad kena injeksi rasa ketidak-mampuan, di mana rasa percaya pada diri sendiri adalah habis terbasmi sampai ke kutu-­kutunya, terutama di dalam dunia kolonial itu, “pencaharian merdeka” adalah besar faedahnya. Tetapi siapa yang berkenang-kenangan suatu masyarakat Indonesia sekarang ini melulu terdiri dari kaum pencaharian merdeka sahaja, suatu masyarakat Indonesia yang melulu terdiri dari orang-orang-warung, orang-orang-pertukangan kecil, orang-orang-per­tanian kecil, orang-orang-tahu, orang-orang-soto, orang-orang-cendol, ia sebenarnya di dalam ideologinya yang konservatif, berideologi yang tak ikut dengan tendenznya pergaulan-hidup. Ia adalah orang yang mau membelokkan jurusannya masyarakat, seorang reaksioner, seorang sosial-reaksioner. Kenang-kenangannya, bahwa jikalau semua orang Indonesia berpencaharian merdeka dan tidak menjadi budak kapitalis dan imperialis, niscaya kapitalisme dan imperialisme itu akan gugur sebagai gedung yang hilang alasnya,  kenang-kenangannya yang demikian itu adalah teoretis belaka, dan tak berdiri di atas basis yang nyata.

 Sebab basis yang nyata, keadaan yang nyata, feit yang nyata ialah, bahwa perburuhan itu adalah suatu sociaal gegeven, yakni suatu hal yang memang berada di dalam tendenznya masyarakat. Sosial-nasionalisme harus menanamkan hal ini ke dalam keinsyafannja.

Ia harus mengerti, bahwa kenang-kenangan yang “semua orang Indonesia berpencaharian merdeka”, adalah kenang-kenangan “ngelangut”, suatu kenang-kenangan yang mau membalikkan masyarakat kembali ke dalam kabut-halimunnya keadaan kuno yang sediakala. Ia harus mengerti, bahwa cara perjoang­an “menjatuhkan imperialisme dengan jalan semua berdagang tahu dan soto” adalah cara perjoangan yang mustahil bisa berjalan 100%, dan yang dus mustahil bisa berbuah 100%. Ia harus mengerti, bahwa cara perjoangan yang demikian itu adalah cara perjoangan yang anti, sosial, yakni karena mau menghilangkan perburuhan di dalam dunia sekarang ini adalah barang yang tidak bisa terjadi, dan BERTENTANGAN dengan tendenznya masyarakat.

 Ia harus mengerti, bahwa sebutan “menjadi buruh adalah hal yang hina”, adalah sebutan yang bodoh. Tidakkah, jikalau benar perburuhan adalah barang yang hina, seluruh dunia dus penuh dengan “orang yang hina”, dunia yang beratusan juta kaum buruhnya itu?

 Tidak, yang hina bukanlah perburuhan, bukanlah haknya orang menjadi kaum buruh. Jang hina ialah semangat-perburuhan, semangat­ perbudakan yang sering kali hidup di dalam kalbunya kaum buruh.

Semangat-perbudakan inilah yang harus dilenyapkan oleh kaum sosio­-nasionalis, semangat-perbudakan inilah yang harus mereka berantas dan robah menjadi semangat-perjoangan yang seinsyaf-insyafnya. Semangat­ perbudakan inilah yang menjadi sebabnya imperialisme bisa terus berdiri dengan gagah-perkasa, semangat-perbudakan inilah yang oleh karenanya harus kita gugurkan dan kita ganti dengan semangat perlawanan yang sadar dan menyala!

Justru adanya perburuhan itulah harus menjadi salah satu senjatanya sosio-nasionalisme melawan imperialisme dan kapitalisme,- bukan hilangnya perburuhan yang mustahil dan anti-sosial itu. Oleh karena itulah, maka salah satu kewajiban sosio-nasionalis ialah: mengobar-ngobarkan semangat-perlawanan kaum buruh itu dan mengorga­nisir kaum buruh itu di dalam badan-badan sarekat-sarekat-sekerja yang kuat dan sentausa. Hanya dengan jalan yang demikian kita punya politik adalah politik yang berdiri di atas realiteit alias keadaan yang nyata!

Jadi: peri-kehidupan “pencaharian-merdeka” harus kita pujikan dan anjurkan sebagai salah satu alat mengurangkan rasa-ketidak-mam­puan di dalam masyarakat kita yang hampir habis rasa-percaya-pada-diri­-sendiri itu,  tetapi sebagai system-perjoangan kita tidak boleh ngalamun akan hilangnya perburuhan, sebaliknya harus menerima perburuhan itu sebagai suatu keadaan nyata yang harus kita bangkitkan menjadi alat­ perjoangan yang berharga besar untuk mendatangkan masyarakat yang selamat, tidak kapitalisme dan imperialisme. Itulah sikap-sosio-nasio­nalisme terhadap pada soal perburuhan.

Arti non-kooperasi semua pembaca telah mengetahui. Non-kooperasi berarti “tidak mau bekerja bersama-sama”. Bagaimanakah jelasnya hal ini?

 Non-kooperasi kita adalah salah satu azas-perjoangan (strijdbegin­sel) kita untuk mencapai Indonesia-Merdeka. Di dalam perjoangan mengejar Indonesia-Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum pen­jajah dan kaum yang dijajah. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberi keyakinan kepada kita, bahwa Indonesia-Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak menjalankan politik non­-cooperation. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas-perjoangan yang lain-lain, – misalnya machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain.

Oleh karena itulah, maka non-kooperasi bukanlah hanya suatu azas-perjoangan “tidak duduk di dalam raad-raad-pertuanan” sahaja. Non-kooperasi adalah suatu prinsip yang hidup, tidak mau bekerja bersama-sama di atas segala lapangan politik dengan kaum pertuanan, melainkan mengadakan suatu perjoangan yang tak kenal damai, dengan kaum pertuanan itu. Non-kooperasi tidak berhenti di luar dinding­-dindingnya raad-raad sahaja, tetapi non-kooperasi adalah meliputi semua bagian-bagian daripada kita punya perjoangan politik. Itulah sebabnya, maka non-kooperasi adalah berisi radikalisme, radikalisme hati, radi­kalisme fikiran, radikalisme sepak-terdjang, radikalisme di dalam semua sikap lahir dan sikap bathin.

Non-kooperasi meminta kegiatan.

Salah satu bagian daripada kita punja non-cooperation adalah tidak mau duduk di dalam dewan-dewan kaum pertuanan.

Sekarang apakah Tweede Kamer juga termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuanan itu? Tweede Kamer adalah termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuanan itu, sebab justru Tweede Kamer itu bagi kita adalah suatu “pembadanan”, suatu “penjelmaan” daripada “koloniseerend Holland”, suatu “pen­jelmaan” daripada kekuasaan yang mengungkung kita menjadi rakyat yang tak merdeka. Justru Tweede Kamer itulah bagi kita adalah suatu “symbool” daripada koloniseerend Holland, suatu “symbool” daripada keadaan yang menekan kita menjadi rakyat taklukan dan sengsara. Oleh karena itulah maka non-kooperasi kita sudah di dalam azasnya harus tertuju juga kepada Tweede Kamer khususnya dan Staten-Generaal umumnya, ya, harus ditujukan juga kepada semua “perbadanan-perbadanan” lain daripada sesuatu system yang buat mengungkung kita dan bangsa Asia, misalnya Volkenbond dan lain sebagainya.

Anarchisme? Tokh Tweede Kamer suatu parlemen? Memang Tweede Kamer adalah suatu parlemen: tetapi Tweede Kamer adalah suatu parle­men Belanda. Memang kita adalah orang anarkhis, kalau kita menolak segala ke parlemenan. Memang kita orang anarchis, kalau misalnya nanti kita menolak duduk di dalam parlemen Indonesia, yang nota-bene hanya bisa berada di dalam suatu Indonesia yang Merdeka, dan yang akan mem­beri jalan kepada demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi. Memang, jikalau seorang Inggeris memboikot parlemen Inggeris, jikalau seorang Jerman tidak sudi duduk dalam parlemen Jerman, jikalau seorang Perancis menolak kursi dalam parlemen Perancis, maka ia boleh jadi seorang anarchis. Tetapi jikalau seandainya mereka menolak duduk di ­dalam suatu parlemen daripada suatu negeri yang mengungkung negeri mereka, jikalau kita bangsa Indonesia sudah di dalam azasnya menolak duduk dalam parlemen Belanda, maka itu bukanlah anarchisme, tetapi suatu azas-perjoangan non-cooperation nasionalis non kooperator yang sesehat-sehatnya!

 Lihatlah riwayat perjoangan non cooperation di negeri-negeri lain. Lihatlah misalnya riwayat perjoangan non-cooperation di negeri Irlandia, salah satu sumber daripada perjoangan non-cooperation itu. Lihatlah di situ sepak-terjangnya kaum Sinn Fein. Sinn Fein adalah mereka­ punya semboyan,  Sinn Fein, yang berarti “kita sendiri”.

 “Kita Sendiri”, itu adalah gambarnya mereka punya politik: politik tidak mau bekerja sama-sama dengan Inggeris, tidak mau kooperasi dengan Inggeris, tidak mau duduk di dalam parlemen Inggeris. “Jangan­lah masuk ke Westminster, tinggalkanlah Westminster itu, dirikanlah Westminster sendiri!”, adalah propaganda dan aksi yang dijalankan oleh Sinn Fein. Adakah mereka kaum anarchis? Mereka bukan kaum anarchis, tetapi kaum nasionalis non kooperator yang prinsipiil pula.

 Orang menganjurkan duduk di Tweede Kamer buat menjalankan politik-opposisi dan politik-obstruksi, dan memperusahakan Tweede Kamer itu menjadi mimbar perjoangan. Politik yang demikian itu boleh dijalankan dan memang sering dijalankan pula oleh kaum kiri, sebagai kaum O.S.P., kaum komunis, atau kaum C.R. Das cs. di Hindustan yang juga tidak anti-parlemen Inggeris. Tetapi politik yang demikian itu tidak boleh dijalankan oleh seorang nasionalis-non-kooperator.

Pada saat yang seorang nasionalis-non-kooperator masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan, ia, pada saat yang ia di dalam azasnya sutra masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan itu, sekalipun dewan itu berupa Tweede Kamer Belanda atau Volkenbond, pada saat itu ia melanggar azas, yang disendikan pada keyakinan atas adanya pertentangan kebutuhan antara kaum pertuanan itu dengan kaumnya sendiri. Pada saat itu ia menjalankan politik yang tidak prinsipiil lagi, menjalankan politik yang pada hakekatnya melanggar azas non-kooperasi adanya!

Kita harus menjalankan politik non-kooperasi jang prinsipiil, – menolak di dalam azasnya kursi di Volksraad, di Staten-Generaal, di dalam Volkenbond. Dan sebagaimana tahadi telah saya terangkan, maka perkara dewan-dewan ini hanyalah salah satu bagian sahaja daripada non­ kooperasi kita. Bagian yang terpenting daripada non-kooperasi kita ada­lah: dengan mendidik rakyat percaya kepada “kita sendiri”, untuk me­minjamkan perkataan kaum non-cooperation Irlandia, menyusun dan menggerakkan suatu massa-aksi, suatu machtsvorming Marhaen yang haibat dan kuasa

Senin, 30 Oktober 2017

Kapitalisme Bangsa Sendiri



I

Di dalam salah satu rapat umum saya pernah berkata, bahwa kita bukan sahaja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus juga menentang kapitalisme bangsa sendiri. Hal ini telah mendapat pembicaraan di dalam pers, dan sayapun mendapat beberapa surat yang minta hal ini diterangkan sekali lagi dengan singkat.

Dengan segala senang hati saya memenuhi permintaan-permintaan itu. Sebab soal ini adalah soal yang mengenai beginsel. Beginsel, yang harus dan musti kita perhatikan, jikalau kita mengabdi kepada rakyat dengan sebenar-benarnya, dan ingin membawa rakyat itu ke arah keselamatan.

Supaya buat pembaca soal ini menjadi terang, dan supaya pembicaraan kita bisa tajam garis-garisnya, maka perlulah lebih dulu kita menjawab pertanyaan:

Apakah kapitalisme itu?

Di dalam saya punya buku-pembelaan saya pernah menjawab: “Kapitalisme adalah stelsel pergaulan-hidup, yang timbul daripada cara­ produksi yang memisahkan kaum-buruh dari alat-alat-produksi. Kapi­talisme adalah timbul dari ini cara-produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya meerwaarde tidak jatuh di dalam tangannya kaum­ buruh melainkan jatuh di dalam tangannya kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, adalah menyebabkan kapitaal-accumulatie, kapitaal­-concentratie, kapitaal-centralisatie, dan industrieel reserve-armee. Kapi­talisme mempunyai arah kepada Verelendung”, yakni menyebarkan ke­sengsaraan.

Itulah kapitalisme! – yang prakteknya kita bisa lihat di seluruh dunia. Itulah kapitalisme, yang ternyata menyebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan-tarif, peperangan, kematian, – pendek kata menye­babkan rusaknya susunan-dunia yang sekarang ini. Itulah kapitalisme yang melahirkan modern-imperialisme, yang membikin kita dan hampir seluruh bangsa-berwarna menjadi rakyat yang cilaka!

Siapa di dalam beginsel tidak anti kepada stelsel yang demikian itu, adalah menutupkan mata buat kejahatan-kejahatan kapitalisme yang sudah senyata-nyatanya itu. Tiap-tiap orang, yang mempunyai beginsel yang logis, haruslah anti kepada stelsel itu. Sebab, – sekali lagi saya katakan -, stelsel itu ternyata dan terbukti stelsel yang mencilakakan dunia.

“Ya”, orang menyahut, “tetapi kapitalisme bangsa sendiri?

Kapitalisme bangsa sendiri yang bisa kita pakai untuk memerangi imperialisme? Apakah kita harus juga anti kapitalisme bangsa sendiri itu, dan menjalankan perjoangan kelas alias klassenstrijd?”

Dengan tertentu di sini saya menjawab: Ya, kita harus juga anti kepada kapitalisme bangsa sendiri itu! Kita harus juga anti isme yang ikut menyengsarakan Marhaen itu. Siapa mengetahui keadaan kaum­buruh di industri batik, rokok-kretek, dan lain-lain dari bangsa sendiri, di mana saya sering melihat upah-buruh yang kadang-kadang hanya 10 a 12 sen sehari, – siapa mengetahui keadaan perburuhan yang sangat buruk di industri-industri bangsa sendiri itu -, ia mustilah juga menggoyang­kan kepala dan dapat rasa-kesedihan melihat buahnya cara-produksi yang tak adil itu. Pergilah ke Mataram, pergilah ke Lawean Solo, pergilah ke Kudus, pergilah ke Tulung Agung, pergilah ke Blitar, – dan orang akan menyaksikan sendiri “rahmat-rahmatnya” cara-produksi itu.

Seorang nasionalis, justru karena ia orang nasionalis, haruslah berani membukakan mata di muka keadaan-keadaan yang nyata itu. Ia harus mengabdi kepada kemanusiaan. Ia harus memperhatikan perkataan-­perkataan Gandhi yang saya sajikan tempo hari: nasionalismeku adalah kemanusiaan. Ia harus SOSIO-nasionalis, yakni seorang nasionalis yang mau memperbaiki masyarakat dan yang DUS anti segala stelsel yang mendatangkan kesengsaraan ke dalam masyarakat itu. Ia harus sebagai Jawaharlal Nehru yang berkata:

“Saya seorang nasionalis. Tapi saya juga seorang sosialis dan republikein. Saya tidak percaya pada raja-raja dan ratu-ratu, tidak pula kepada susunan masyarakat yang melahirkan raja-raja-industri yang pada hakekatnya berkuasa lebih besar lagi daripada raja-raja di za­man sediakala.

Saya niscaya mengerti, bahwa Congress belum bisa mengadakan program sosialistis yang selengkap-lengkapnya. Tetapi filsafat-sosialisme sudahlah dengan perlahan-lahan menyerapi segenap susunan masyarakat di seluruh dunia. India niscaya akan menjalankan cara-cara sendiri, dan menyocokkan cita-cita sosialis itu kepada keadaan penduduk India seumumnya.”

 Tetapi, apakah ini berarti, bahwa kita harus memusuhi tiap-tiap orang Indonesia yang mampu? Sama sekali tidak. Sebab pertama-tama: kita tidak memerangi “orang”, – kita memerangi stelsel. Dan tidak tiap­-tiap orang yang mampu adalah menjalankan kapitalisme.

Tidak tiap­-tiap orang yang mampu adalah mampu karena mengeksploitasi orang lain. Tidak tiap-tiap orang mampu adalah menjalankan cara-produksi sebagai yang saya terangkan dengan singkat (dengan menyitat dari pem­belaan) di atas tahadi.

Dan tidak tiap-tiap orang mampu adalah ikut atau hidup di dalam ideologi kapitalisme, yakni di dalam akal, fikiran, budi, pekerti kapitalisme. Pendek, tidak tiap-tiap orang mampu adalah jen­deral atau sersan atau serdadu kapitalisme!

Dan apakah prinsip kita itu berarti, bahwa kita ini harus mementingkan perjoangan kelas? Juga sama sekali tidak. Kita nasionalis, mementingkan perjoangan nasional, perjoangan kebangsaan.

Hal ini saya terangkan dalam karangan saya yang akan datang.

II

Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan, bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita di dalam perjoangan kita mengejar Indonesia-Merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjoangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjoangan nasional. Memang kita, – begitulah saya tuliskan adalah kaum nasionalis, kaum kebangsaan, dan bukan kaum apa-apa yang lain.

Apa sebabnya kita harus mengutamakan perjoangan nasional di dalam usaha kita mengejar Indonesia-Merdeka? Kita mengutamakan perjoangan nasional, oleh karena keinsyafan dan perasaan nasional, adalah keinsyafan dan perasaan yang terkemuka di dalam sesuatu masyarakat kolonial.

Di dalam sesuatu masyarakat selamanya adalah antithese, yakni perlawanan. Inilah menurut dialektiknya semua keadaan. Tetapi di Eropah, di Amerika, antithese ini sifatnya adalah berlainan dengan antithese yang ada di sesuatu negeri kolonial.

Pada hakekatnya, antithese di mana-mana adalah sama: perlawanan antara yang “di atas” dan yang “di bawah”, antara yang “menang” dan yang “kalah”, antara yang menindas dan yang tertindas.

Tetapi di Eropah, di Amerika, dan di negeri-negeri lain yang merdeka, dua golongan yang ber-antithese itu adalah dari satu bangsa, satu kulit, satu ras. Kaum modal Amerika dengan kaum buruh Amerika, kaum modal Eropah dengan kaum buruh Eropah, kaum modal negeri merdeka dengan kaum buruh negeri merdeka, umumnya adalah dari satu darah, satu natie.

Karena itulah maka di sesuatu negeri yang merdeka antithese tahadi tidak mengandung rasa atau keinsyafan kebangsaan, tidak mengandung rasa atau keinsyafan nasional, tetapi adalah bersifat zuivere klassenstrijd, – perjoangan kelas yang melulu perjoangan kelas.

Tetapi di dalam negeri jajahan, di dalam negeri yang di bawah imperialisme bangsa asing, maka yang “menang” dan yang “kalah”, yang “di atas” dan yang “di bawah”, yang menjalankan kapitalisme dan yang dijalani kapitalisme, adalah berlainan darah, berlainan kulit, berlainan natie, berlainan kebangsaan. Antithese di dalam negeri jajahan adalah “berbarengan” dengan antithese bangsa, – samenvallen atau coincideeren dengan antithese bangsa. Antithese di dalam negeri jajahan adalah, oleh karenanya, terutama sekali bersifat antithese nasional.

Itulah sebabnya, maka perjoangan kita untuk mengejar Indonesia ­Merdeka, jikalau kita ingin lekas mendapat hatsil, haruslah per­tama-tama mengutamakan perjoangan nasional, yakni pertama-tama mengutamakan perjoangan nasional. Kita anti segala kapitalisme, kita anti kapitalisme bangsa sendiri, tetapi kita untuk mencapai Indonesia­ Merdeka, yakni untuk mengalahkan imperialisme bangsa asing, harus mengutamakan perjoangan kebangsaan.

Mengutamakan perjoangan kebangsaan, itu TIDAK berarti bahwa kita tidak harus melawan ketamaan atau kapitalisme bangsa sendiri. Sebaliknya! Kita harus mendidik rakyat juga benci kepada kapitalisme bangsa sendiri, dan di mana ada kapitalisme bangsa sendiri, kita harus melawan kapitalisme bangsa sendiri itu juga! Tetapi MENGUTAMAKAN perjoangan nasional,  itu adalah berarti, bahwa pusarnya, titik berat­nya, aksennya kita punya perjoangan haruslah terletak di dalam perjoang­an nasional.

Pusarnya kita punya perjoangan sekarang haruslah di dalam memerangi imperialisme asing itu dengan segala tenaga kita nasional, dengan segala tenaga-kebangsaan, yang hidup di dalam sesuatu bangsa yang tak merdeka dan yang ingin merdeka! Pusarnya kita punya perjoangan sekarang haruslah di dalam dynamisering, yakni membangkitkan men­jadi aksi dan perbuatan daripada rasa-kebangsaan alias nationaal be­wustzijn kita, nationaal bewustzijn yang hidup di dalam hati-sanubari tiap-tiap rakyat sadar yang tak merdeka.

Jadi, siapa yang mengira, bahwa kita punya nasionalisme adalah nasionalisme yang suka “main mata” dengan burjuisme, ia adalah salah sama sekali. Kita hanyalah menjatuhkan pusar, titik berat, aksennya kita punya perjoangan di dalam perjoangan nasional.

Burjuisme harus kita tolak, kapitalisme harus kita lawan, – oleh karena itulah maka kita punya nasionalisme Marhaenistis. Sebab, hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut dialektik satu-satunya golongan yang sungguh-sungguh ben, antithese dengan burjuisme dan kapitalisme itu, dan yang dus bisa sungguh-sungguh menentang dan mengalahkan burjuisme dan kapital­isme itu. Hanya kaum Marhaen sendirilah yang menurut riwayat bisa menjalankan “pekerjaan-riwayat” alias “historische taak”, menghilang­kan segala burjuisme dan kapitalisme di negeri kita adanya!

Memang! Marhaenistis nasionalismelah pula yang cocok dengan keadaan-nyata yang didatangkan oleh imperialisme di Indonesia sini. Imperialisme Belanda, sedikit berlainan dengan imperialisme Inggeris atau imperialisme Amerika, adalah lebih “memarhaenkan” masyarakat Bumiputera daripada imperialisme-imperialisme yang lain. Imperialisme Belanda itu sejak mulanya datang di Indonesia sini, adalah berazas dan bersifat monopolistis, – merebut tiap-tiap akar perusahaan, pertukangan atau perdagangan atau pelayaran yang ada di Indonesia sini.

Imperialisme Belanda itu adalah imperialisme yang lebih “kolot” daripada imperia­lisme-imperialisme yang lain, lebih “kuno”, lebih “orthodox” daripada imperialisme-imperialisme yang lain. Tidak ada sedikitpun warna modern­-liberalisme padanya, sebagaimana yang tampak pada imperialisme-im­perialisme lain. Politiknya adalah politik menggagahi semua alat-perekono­mian di Indonesia sini, menggagahi segala “economisch leven” (kehidupan ekonomi) di Indonesia sini.

Kini masyarakat Indonesia adalah “masyarakat kecil”, masyarakat yang hampir segala-galanya kecil. Kini masyarakat Indonesia buat seba­gian yang besar sekali hanyalah mengenal pertanian-kecil, pelayaran-kecil, perdagangan-kecil, perusahaan kecil. Kini masyarakat Indonesia adalah 90% masyarakat kekecilan itu, masyarakat Marhaen yang hampir tiada kehidupan ekonominya sama sekali.

Oleh karena itulah, maka Marhaenis­tis nasionalisme adalah satu-satunya nasionalisme yang cocok dengan sifatnya masyarakat Indonesia itu, cocok dengan keadaan-nyata, cocok dengan realiteit di Indonesia itu. Dan oleh karena itulah pula, maka juga hanya Marhaenistis nasionalisme sahajalah yang bisa menjalankan historische-taak mendatangkan Indonesia Merdeka dengan secepat­-cepatnya, historische taak yang sesuai juga dengan historische-taak-nya menghilangkan segala burjuisme dan kapitalisme adanya!

Jawaharlal Nehru, di dalam pidatonya di muka National Congress yang ke 44, sebagai yang telah kita kutip tempo-hari, mengakui dengan terus­ terang seorang sosialis, yang anti segala kapitalisme. Tetapi Jawaharlal Nehru itu pula adalah seorang nasionalis, the second uncrowned king of India, raja kedua dari India yang tak bermahkota yang membang­kitkan segala tenaga rakyat India ke dalam suatu perjoangan nasional yang mati-matian. Nasionalisme Jawaharlal Nehru adalah nasionalisme India yang Marhaenistis, suatu sosio-nasionalisme yang ingin menghilang­kan semua kapitalisme, menyelamatkan seluruh masyarakat India.

Nasionalisme yang demikian itulah nasionalisme kita pula.

Minggu, 29 Oktober 2017

Orang Indonesia Cukup Nafkahnya Sebenggol Sehari


foto : penasoekarno


ORANG INDONESIA CUKUP NAFKAHNYA

SEBENGGOL SEHARI ?



Pada tanggal 26 Oktober y.l. maka di dalam sidang Raad van Indie, direktur B.B. telah memberi permakluman, bahwa:

“Gebleken is dat het thans voor volwassenen mogelijk is, zich voor 21/2 cent per dag to voeden”, – artinya: bahwa:

“Ternyatalah, bahwa kini satu orang yang dewasa bisa cukup makan dengan sebenggol sehari”.

 Cukup nafkah-hidup sebenggol sehari! – benarkah itu? Tentang pendapatan, yakni “inkomen” kita kaum Marhaen, maka saya hampir di dalam tiap-tiap rapat umum telah memberi angka-angka yang mendiri­kan bulu. Sering saya terangkan, bahwa pendapatan itu sebelumnya zaman meleset adalah 8 sen seorang sehari, bahwa kemudian di dalam permulaan zaman meleset ia merosot menjadi 4 a 4 setengah sen seorang sehari, dan bahwa kemudian lagi ia lebih merosot lagi menjadi sebeng­gol seorang sehari.

Delapan sen seorang sehari sebelum meleset, yakni menurut perhitungan Dr. Huender, yang dengan angka-angka statistik membuktikan hal itu di dalam bukunya “Overzicht” yang terkenal. Menurut Dr. Huender, maka sebelum meleset jumlah bruto-inkomen (pendapatan kotor) bapak Marhaen rata-rata adalah f 161.00 setahun. Jumlah beban-beban, misal­nya pajak-pajak dan desa-diensten, adalah f 22.50 setahun. Sehingga netto-inkomen (pendapatan bersih) adalah:

f 161.00 – f 22.50 = f 138.50 setahun, – dipakai untuk mengganjel hidupnya seluruh keluarga Mar­haen, yang rata-rata terdiri dari lima orang. Dus satu orang satu hari: f 138.50/5 X 1/365 = f 0.075 a f 0.08, zegge tujuh setengah a delapan sen, – buat makan, buat pakaian, buat beli minyak tanah, buat memelihara rumah, pendek kata buat segala-gala kebutuhan Marhaen! Artinya, bahwa buat makan sahaja, Marhaen TERPAKSA hidup dengan jumlah yang kurang dari delapan sen itu, misalnya rata-rata enam sen sehari! Sebelum meleset!

Tetapi kemudian, di dalam meleset, nafkah makan menurut “Economisch Weekblad”, majalah kaum sana sendiri, adalah merosot lagi menjadi 4 sen seorang sehari.


Dan kemudian lagi, di dalam tempo jang akhir-akhir ini, menurut saya punya penyelidikan sendiri di Priangan. Barat dan di Jawa Timur, maka Marhaen adalah terpaksa mengganjel perutnya dengan jumlah yang lebih-lebih merosot lagi, yakni dengan sebenggol seorang sehari!


TERPAKSA mengganjel perutnya dengan sebenggol sehari, – terpaksa, terpaksa, terpaksa!

Sebab adalah perbedaan besar antara apa yang dikatakan oleh direktur B.B. dengan apa yang saya katakan; adalah perbedaan besar antara per­kataan CUKUP dan perkataan TERPAKSA. Terpaksa hidup dengan sebenggol, dan cukup hidup dengan sebenggol, di antara dua ini adalah perbedaan yang sama lebarnya dengan perbedaan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum terjajah, antara kaum kolonisator dan kaum gekoloniseerde!

Dua tahun saya meringkuk di dalam penjara. Limabelas bulan di bui Banceuy Bandung, sembilan bulan di Sukamiskin. Dua tahun saya mem­pelajari rangsum (rantsoen) yang diberikan oleh dienst-pembuian kepada orang-tahanan dan orang-hukuman bangsa Indonesia. Sebelum meleset haibat, rangsum adalah seharga f 0.18 seorang sehari, dan sesudah meleset f 0.14 seorang sehari. Pun Tuan Kusumo Utoyo, yang membantah “enor­miteitnya” direktur B.B. itu, di dalam surat-keterangannya pada P.P.P.K.I. menyajikan angka-angka rangsum itu: sembilanpuluh-sembilan sen seminggu, atau rata-rata empat-belas sen seorang sehari.

Empat-belas sen rangsum di dalam penjara, – amboi, siapa pernah dipenjara mengetahui, bagaimana melaratnya rangsum itu! -, empat-belas sen di dalam penjara, penjaranya pemerintah Hindia Belanda sendiri, … dan direktur B.B. dari pemerintah Hindia Belanda itu pula mengeluarkan “enormiteit” bahwa kita cukup dengan makanan sebenggol seorang sehari! Sedangkan di tanah Bulgaria, -tanah yang tersohor melarat orang masih bernafkah f 0.13 sehari. Sedangkan di Hin­dustan, tanah yang bongkok di bawah imperialisme Inggeris yang kejam itu, menurut Gandhi, rakyat bernafkah f 0.10 sehari.

Tuan Kusumo Utoyo mengira, bahwa hal “sebenggol sehari” ini nanti akan dipakai alasan oleh pemerintah Hindia Belanda buat menurunkan gaji, menurunkan upah­ kuli, menurunkan uang-saksi, d.1.1. Kita ikut pengiraan Tuan Kusumo Utoyo itu. Dan kita tambahkan lagi: Pemerintah dengan enormiteit-nya direktur B.B. itu bermaksud menunjukkan, bahwa dus kaum Marhaen masih gampang hidup, bahwa dus pemerintah punya krisis-politik adalah tak merugikan Marhaen.

Bahwa dus pemerintah punya politik belasting-belastingan yang mendirikan bulu itu tidak berat bagi Marhaen, sebab …

Marhaen cukup hidup dengan sebenggol seorang sehari!

Terhadap pada percobaan mencahari rechtvaardigingnya ia punya krisis-politik dan ia punya politik belasting-belastingan itu, kita berkata:

TERGAMBARLAH PEMERINTAHAN YANG DI DALAM ABAD­KESOPANAN INI MENGATAKAN “RAKYATNYA” CUKUP MAKAN SEBENGGOL SEHARI!

TERSEDARKANLAH RAKYAT MARHAEN YANG DIPERINTAH PEMERINTAHAN YANG DEMIKIAN ITU! !

Rabu, 25 Oktober 2017

Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi



Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah “pemerintahan rakyat”. Cara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah.

Cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua partai­-partai nasionalis di Indonesia. Tetapi dalam mencita-citakan faham dan cara-pemerintahan demokrasi itu kaum Marhaen tokh harus berhati-hati. Artinya: jangan meniru sahaja “demokrasi-demokrasi”yang kini diprak­tekkan di dunia luaran.

 Bagaimanakah prakteknya demokrasi di dunia luaran itu?

Yang membawa “demokrasi” mula-mula di dunia Barat ialah pemberontakan Perancis, – kurang lebih 100 a 125 tahun yang lalu. Sebelum ada pemberontakan Perancis itu, cara pemerintahan Eropah adalah otokrasi: kekuasaan pemerintahan adalah di dalam tangan satu orang sahaja, yaitu di dalam tangan Raja. Rakyat tak ikut bersuara. Rakyat harus menurut sahaja. Raja mengaku dirinya sebagai wakil Allah di­ dunia ini.

Salah seorang raja yang demikian itu pernah ditanya oleh salah seorang menterinya: “Ratu, apakah staat itu? Apakah yang dinamakan staat itu?” Raja menjawab: “Staat adalah aku sendiri! L’Etat, c’est moi!” Memang raja ini adalah seorang otokrat yang tulen!

Di dalam cara-pemerintahan otokrasi itu, raja disokong oleh dua golongan. Pertama: golongan kaum ningrat, kedua: golongan kaum peng­hulu agama. Kedua golongan ini menjadi bentengnya raja, bentengnya otokrasi. Jadi: raja + kaum ningrat + kaum penghulu agama adalah “gambarnya” kaum jempolan di dalam masyarakat itu. Masyarakat yang demikian itu dinamakan masyarakat F E O D A L.

Tetapi lambat laun timbullah satu golongan baru, suatu kelas baru, yang ingin mendapat kekuasaan pemerintahan. Golongan baru atau kelas baru ini adalah kelasnya kaum burjuis. Mereka punya perusahaan­-perusahaan, mereka punya perniagaan, mereka punya pertukangan, mulai lahir dan timbul. Untuk suburnya dan selamatnya mereka punya peru­sahaan, perniagaan dan pertukangan itu, perlulah mereka mendapat kekuasaan pemerintahan. Mereka sendirilah yang lebih tahu mana Undang-undang, mana aturan-aturan, mana cara-pemerintahan yang paling baik buat kepentingan mereka, dan bukan raja, bukan kaum ningrat, bukan kaum penghulu agama!

Tetapi kekuasaan masih ada di tangan raja, dibentengi oleh kaum ningrat dan kaum penghulu agama!

“Welnu”, kata kaum burjuis, “kekuasaan itu harus direbut!”

Tetapi buat merebut, orang harus mempunyai kekuatan!

Padahal kaum burjuis belum mempunyai kekuatan itu!

 “Nah”, kata kaum burjuis sekali lagi, “kita memakai kekuatan rakyat-jelata!” Dan begitulah maka rakyat-jelata itu oleh kaum burjuis lalu dia­jak bergerak, diabui matanya, bahwa pergerakannya itu ialah untuk mendatangkan “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”!

“Liberte, fraternite, egalite”, adalah semboyannya pergerakan burjuis memakai tenaga rakyat itu.

Rakyat menurut, – ya, rakyat berkelahi mati-matian! Apakah sebabnya rakyat mau diajak bergerak? Sebabnya ialah bahwa nasibnya rakyat di bawah pemerintahan otokrasi itu adalah nasib yang sengsara sekali, dan bahwa rakyat itu masih kurang sadar yang ia hanya menjadi perkakas burjuis sahaja.

Pergerakan menang! Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu agama runtuh, – pendek kata: otokrasi runtuh, – diganti dengan cara-pemerintahan baru yang dinamakan “demokrasi”.

Di negeri diadakan parlemen, dan “rakyat boleh mengirim utusan keparlemen itu”.

Cara-pemerintahan inilah yang kini dipakai oleh semua negeri di Eropah Barat dan di Amerika.

Perancis mempunyai parlemen, Inggeris mempunyai parlemen, Belanda mempunyai parlemen, Amerika Utara mempunyai parlemen, -semua negeri modern mempunyai parlemen. Di semua negeri modern itu adalah “demokrasi” …

Tetapi, … di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan merajalela! Di semua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya. Di semua negeri modern itu kini hidup milyunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro, – di semua negeri modern itu rakyat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sengsaranya.

Inikah hatsilnya “demokrasi” yang dikeramatkan orang?

Amboi, – parlemen! Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil ke dalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini bisa “ikut memerintah”! Ya, tiap-tiap kaum proletar kini, kalau dia mau, bisa mengusir minister, menjatuhkan minister itu terpelanting daripada kursinya. Tetapi pada saat yang ia bisa menjadi “raja” di parlemen itu, pada saat itu juga ia sendiri bisa diusir dari paberik di mana ia bekerja dengan upah kokoro, – dilemparkan di atas jalan, menjadi orang p e n g ­angguran,

 Inikah “demokrasi” yang dikeramatkan itu?

Dengarkanlah pidatonya Jean Jaures, – bukan komunis! -,menge­ritik “demokrasi” itu:

“Kamu, kaum burjuis, kamu mendirikan republik, dan itu adalah kehormatan yang besar. Kamu membikin republik itu teguh dan kuat, tak dapat dirobah sedikitpun jua, tetapi karena itulah kamu
telah meng­adakan pertentangan antara susunan politik dan susunan ekonomi.

Karena Pemilihan Umum, kamu telah membikin semua penduduk berkumpul di dalam rapat yang seolah rapatnya raja-raja.

Mereka punya kemauan adalah sumbernya tiap undang-undang, tiap pemerintahan; mereka melepas mandataris, pembuat undang-undang dan menteri. Tetapi pada saat itu juga yang si buruh menjadi tuan di dalam urusan politik, maka ia adalah menjadi budak belian di dalam urusan ekonomi.

Pada saat yang ia menjatuhkan menteri-menteri, maka ia sendiri bisa diusir dari bingkil zonder ketentuan sedikit juapun apa yang esok harinya akan dimakan. Tenaga-pekerjaannya hanyalah suatu barang­belian, yang bisa dibeli atau ditampik oleh kaum majikan. Ia bisa diusir dari bingkil, karena ia tak mempunyai hak ikut menentukan peraturan-­peraturan bingkil, yang saban hari, zonder dia tetapi buat menindas dia, ditetapkan kaum majikan sendiri!”

Sekali lagi: inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu?

Bukan, – ini bukan demokrasi yang harus kita tiru, bukan demokrasi untuk kita kaum Marhaen Indonesia! Sebab “demokrasi” yang begitu hanyalah demokrasi parlemen sahaja, yakni hanya demokrasi politik saha­ja. Demokrasi ekonomi tidak ada.

Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Di dalam karangan saya yang lalu, saya terangkan dengan singkat, bahwa demokrasi-politik sahaja, belum menyelamatkan rakyat.

Bahkan di negeri-negeri, sebagai Inggeris, Nederland, Perancis, Amerika d.1.1., di mana “demokrasi” telah dijalankan, kapitalisme merajalela dan kaum Marhaen-nya papa-sengsara!

Kaum nasionalis Indonesia tidak boleh mengeramatkan “demokrasi” yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari “gebyarnya” atau kilaunya negeri keluar sahaja, tetapi ia ha­ruslah mencari selamatnya semua manusia.

Banyak di antara kaum nasionalis Indonesia yang berangan-angan: “Jempol sekali jikalau negeri kita bisa seperti negeri Jepang atau negeri Amerika atau negeri Inggeris! Armadanya ditakuti dunia, kotanya haibat-haibat, bank-banknya meliputi dunia, benderanya kelihatan di mana­-mana!”

Kaum nasionalis yang demikian itu lupa bahwa barang yang haibat­-haibat itu adalah hatsilnya kapitalisme, dan bahwa kaum Marhaen di negeri-negeri itu adalah tertindas. Kaum nasionalis yang demikian itu, adalah kaum nasionalis yang burgerlijk, yaitu kaum nasionalis burjuis

Mereka bisa juga revolusioner, tetapi revolustonernya adalah BURGERLIJK REVOLUTIONAIR. Mereka hanyalah ingin Indonesia-Merdeka sahaja sebagai maksud yang penghabisan, dan tidak suatu masyarakat yang adil zonder ada kaum yang tertindas. Mereka lupa, bahwa Indonesia­ Merdeka hanyalah suatu syarat sahaja untuk memperbaiki masyarakat Indonesia yang rusak itu. Mereka adalah burgerlijk revolutionair, dan tidak SOCIAAL REVOLUTIONAIR. tidak MARHAENISTIS REVOLUTIONAIR.

Nasionalisme kita tidak boleh nasionalisme yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya peri­kemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menselijkheid, “Nasionalismeku adalah peri-kemanusiaan”, –begitulah Gandhi berkata.

Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan perkataan baru kami sebutkan; SOSIO-NASIONALISME.

Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah juga demokrasi yang kami sebutkan: SOSIO-DEMOKRASI.

Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu?

Dua perkataan ini adalah perkataan bikinan, kami punya bikinan. Sebagaimana  perkataan Marhaen adalah tempo hari kami “bikinkan” buat menyebutkan kaum yang melarat-sengsara. maka perkataan sosio­-nasionalisme sosio-demokrasi adalah pula perkataan bikinan untuk menyebutkan kita punya nasionalisme dan kita punya  demokrasi.

Sosio adalah terambil daripada perkataan yang berarti: masyarakat, pergaulan-hidup, hirup-kumbuh, siahwee.

Sosio-nasionalisme adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio­demokrasi adalah demokrasi-masyarakat.

 Tetapi apakah nasionalisme-masyarakat dan demokrasi-masyarakat itu?

Nasionalisme-masyarakat adalah nasionalisme yang timbulnya tidak karena “rasa” sahaja, tidak karena “gevoel” sahaja, tidak karena “lyriek” sahaja, – tetapi ialah karena keadaan-keadaan yang nyata di dalam masya­rakat. Nasionalisme-masyarakat, – sosio-nasionalisme bukanlah nasio­nalisme “ngalamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”, bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi ialah nasionalisme yang dengan dua-dua kakinya berdiri di dalam masyarakat.

 Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan­-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara.

Oleh karenanya, maka sosio-nasionalisme adalah nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak burjuisrne yang menjadi sebabnya kepin­cangan masyarakat itu. Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik DAN ekonomi, – suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesan negeri DAN keberesan rezeki.

Dan demokrasi-masyarakat? Demokrasi-masyarakat, sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio­-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sa­haja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demo­krasi a la Revolusi Perancis, bukan demokrasi a la Amerika, a la Inggeris, a la Nederland, a la Jerman d.l.l., – tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri dan ke­beresan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik DAN demo­krasi-ekonomi.

Komunis?

Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi bukanlah angan-angan komunis. Pernah saya terangkan, bagaimana seorang pemimpin, Jean Jaures yang bukan komunis, juga menghendaki demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dan di dalam salah satu karangan saya dulu sudah dikatakan pula, bahwa juga Dr. Sun Yat Sen mencela “demokrasi” a la Revolusi Perancis atau a la Inggeris, Nederland d.l.l. itu. Pun pemimpin-­pemimpin lain sebagai Gandhi, Nehru-muda, d.l.l., mencela “demokrasi” yang demikian itu.

Memang orang tak usah menjadi komunis, buat; melihat bahwa di­ dalam negeri-negeri “demokrasi” itu, sebagian besar dari kaum rakyat adalah tertindas oleh kapitalisme. Orang tak usah menjadi komunis, buat melihat bahwa “demokrasi” negeri-negeri itu adalah demokrasi berjuis sahaja.

Kontra angan-angan demokrasi borjuis ini kaum Marhaen harus bercita-cita dan menghidup-hidupkan sosio-demokrasi, yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Dan kontra nasionalisme burjuis kita taruhkan kita punya sosio-nasionalisme.

Bagaimana sosio-demokrasi, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu, bisa diyalankan, akan saya gambarkan di dalam garis-garisnya yang besar di dalam karangan saya yang akan datang.

Hiduplah sosio-nasionalisme!

Hiduplah sosio-demokrasi!