Seorang pembaca yang dengan sungguh-sungguh membaca tulisan saya tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi beserta soal kapitalisme bangsa sendiri, dan yang juga membaca perslah pidato saya di Mataram akhir-akhir ini, adalah minta penyuluhan lebih lanjut tentang soal:
Bagaimana sikap sosio-nasionalisme tentang soal buruh, dan, Bagaimana sikap sosio-nasionalis tentang soal non-kooperasi?
Marilah saya lebih dulu memberi penyuluhan tentang soal yang pertama: soal baik atau tidaknya orang menjadi kaum-buruh.
Sosio-nasionalisme adalah “nasionalisme masyarakat”, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat itu. Di dalam karangan saya yang membicarakan sosio-nasionalisme itu, saya sudah katakan, bahwa sosio-nasionalisme bukanlah nasionalisme ngalamun, bukanlah nasionalisme hati sahaja, bukanlah nasionalisme “lyriek” sahaja, – tetapi ialah nasionalisme yang diperhitungkan, nasionalisme berekening. Itulah sebabnya, maka sosio-nasionalisme ialah nasionalisme yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat, dan tidak bertindak melanggar wet-wetnya masyarakat itu.
Sekarang apakah wet-wetnya masyarakat tentang soal perburuhan? Wet-wetnya masyarakat tentang soal perburuhan ialah, bahwa perburuhan itu adalah cocok dengan sifat-hakekatnya masyarakat yang sekarang ini, yaitu cocok dengan hakekatnya masyarakat yang kapitalistis. Perburuhan adalah memang dasarnya dunia yang kapitalistis. Perburuhan kita dapatkan, di mana-mana kapitalisme ada, dan perburuhan timbul di mana kapitalisme timbul. Ia adalah memang buah salah satu tendenznya masyarakat,- buah salah satu kehendaknya masyarakat. Ia adalah dus memang tertalikan atau inhaerent kepada masyarakat yang sekarang ini.
Sosio-nasionalisme, oleh karenanya, harus memandang perburuhan ini sebagai suatu keharusan. Sosio-nasionalisme tidak boleh mengenangkan dunia sekarang ini zonder perburuhan. Ya, sosio-nasionalisme harus menerima adanya perburuhan itu sebagai salah satu alat, sebagai suatu gegeven, di dalam perjoangannya.
0, memang, baik sekali sosio-nasionalisme menganjurkan “pencaharian merdeka”, dan kitapun memang harus memajukan “pencaharian merdeka” itu. Terutama di dalam dunia kolonial, di mana imperialisme telah merebut hampir tiap-tiap rasa percaya pada diri sendiri, di mana rakyat telah berabad-abad kena injeksi rasa ketidak-mampuan, di mana rasa percaya pada diri sendiri adalah habis terbasmi sampai ke kutu-kutunya, terutama di dalam dunia kolonial itu, “pencaharian merdeka” adalah besar faedahnya. Tetapi siapa yang berkenang-kenangan suatu masyarakat Indonesia sekarang ini melulu terdiri dari kaum pencaharian merdeka sahaja, suatu masyarakat Indonesia yang melulu terdiri dari orang-orang-warung, orang-orang-pertukangan kecil, orang-orang-pertanian kecil, orang-orang-tahu, orang-orang-soto, orang-orang-cendol, ia sebenarnya di dalam ideologinya yang konservatif, berideologi yang tak ikut dengan tendenznya pergaulan-hidup. Ia adalah orang yang mau membelokkan jurusannya masyarakat, seorang reaksioner, seorang sosial-reaksioner. Kenang-kenangannya, bahwa jikalau semua orang Indonesia berpencaharian merdeka dan tidak menjadi budak kapitalis dan imperialis, niscaya kapitalisme dan imperialisme itu akan gugur sebagai gedung yang hilang alasnya, kenang-kenangannya yang demikian itu adalah teoretis belaka, dan tak berdiri di atas basis yang nyata.
Sebab basis yang nyata, keadaan yang nyata, feit yang nyata ialah, bahwa perburuhan itu adalah suatu sociaal gegeven, yakni suatu hal yang memang berada di dalam tendenznya masyarakat. Sosial-nasionalisme harus menanamkan hal ini ke dalam keinsyafannja.
Ia harus mengerti, bahwa kenang-kenangan yang “semua orang Indonesia berpencaharian merdeka”, adalah kenang-kenangan “ngelangut”, suatu kenang-kenangan yang mau membalikkan masyarakat kembali ke dalam kabut-halimunnya keadaan kuno yang sediakala. Ia harus mengerti, bahwa cara perjoangan “menjatuhkan imperialisme dengan jalan semua berdagang tahu dan soto” adalah cara perjoangan yang mustahil bisa berjalan 100%, dan yang dus mustahil bisa berbuah 100%. Ia harus mengerti, bahwa cara perjoangan yang demikian itu adalah cara perjoangan yang anti, sosial, yakni karena mau menghilangkan perburuhan di dalam dunia sekarang ini adalah barang yang tidak bisa terjadi, dan BERTENTANGAN dengan tendenznya masyarakat.
Ia harus mengerti, bahwa sebutan “menjadi buruh adalah hal yang hina”, adalah sebutan yang bodoh. Tidakkah, jikalau benar perburuhan adalah barang yang hina, seluruh dunia dus penuh dengan “orang yang hina”, dunia yang beratusan juta kaum buruhnya itu?
Tidak, yang hina bukanlah perburuhan, bukanlah haknya orang menjadi kaum buruh. Jang hina ialah semangat-perburuhan, semangat perbudakan yang sering kali hidup di dalam kalbunya kaum buruh.
Semangat-perbudakan inilah yang harus dilenyapkan oleh kaum sosio-nasionalis, semangat-perbudakan inilah yang harus mereka berantas dan robah menjadi semangat-perjoangan yang seinsyaf-insyafnya. Semangat perbudakan inilah yang menjadi sebabnya imperialisme bisa terus berdiri dengan gagah-perkasa, semangat-perbudakan inilah yang oleh karenanya harus kita gugurkan dan kita ganti dengan semangat perlawanan yang sadar dan menyala!
Justru adanya perburuhan itulah harus menjadi salah satu senjatanya sosio-nasionalisme melawan imperialisme dan kapitalisme,- bukan hilangnya perburuhan yang mustahil dan anti-sosial itu. Oleh karena itulah, maka salah satu kewajiban sosio-nasionalis ialah: mengobar-ngobarkan semangat-perlawanan kaum buruh itu dan mengorganisir kaum buruh itu di dalam badan-badan sarekat-sarekat-sekerja yang kuat dan sentausa. Hanya dengan jalan yang demikian kita punya politik adalah politik yang berdiri di atas realiteit alias keadaan yang nyata!
Jadi: peri-kehidupan “pencaharian-merdeka” harus kita pujikan dan anjurkan sebagai salah satu alat mengurangkan rasa-ketidak-mampuan di dalam masyarakat kita yang hampir habis rasa-percaya-pada-diri-sendiri itu, tetapi sebagai system-perjoangan kita tidak boleh ngalamun akan hilangnya perburuhan, sebaliknya harus menerima perburuhan itu sebagai suatu keadaan nyata yang harus kita bangkitkan menjadi alat perjoangan yang berharga besar untuk mendatangkan masyarakat yang selamat, tidak kapitalisme dan imperialisme. Itulah sikap-sosio-nasionalisme terhadap pada soal perburuhan.
Arti non-kooperasi semua pembaca telah mengetahui. Non-kooperasi berarti “tidak mau bekerja bersama-sama”. Bagaimanakah jelasnya hal ini?
Non-kooperasi kita adalah salah satu azas-perjoangan (strijdbeginsel) kita untuk mencapai Indonesia-Merdeka. Di dalam perjoangan mengejar Indonesia-Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum penjajah dan kaum yang dijajah. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberi keyakinan kepada kita, bahwa Indonesia-Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak menjalankan politik non-cooperation. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas-perjoangan yang lain-lain, – misalnya machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain.
Oleh karena itulah, maka non-kooperasi bukanlah hanya suatu azas-perjoangan “tidak duduk di dalam raad-raad-pertuanan” sahaja. Non-kooperasi adalah suatu prinsip yang hidup, tidak mau bekerja bersama-sama di atas segala lapangan politik dengan kaum pertuanan, melainkan mengadakan suatu perjoangan yang tak kenal damai, dengan kaum pertuanan itu. Non-kooperasi tidak berhenti di luar dinding-dindingnya raad-raad sahaja, tetapi non-kooperasi adalah meliputi semua bagian-bagian daripada kita punya perjoangan politik. Itulah sebabnya, maka non-kooperasi adalah berisi radikalisme, radikalisme hati, radikalisme fikiran, radikalisme sepak-terdjang, radikalisme di dalam semua sikap lahir dan sikap bathin.
Non-kooperasi meminta kegiatan.
Salah satu bagian daripada kita punja non-cooperation adalah tidak mau duduk di dalam dewan-dewan kaum pertuanan.
Sekarang apakah Tweede Kamer juga termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuanan itu? Tweede Kamer adalah termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuanan itu, sebab justru Tweede Kamer itu bagi kita adalah suatu “pembadanan”, suatu “penjelmaan” daripada “koloniseerend Holland”, suatu “penjelmaan” daripada kekuasaan yang mengungkung kita menjadi rakyat yang tak merdeka. Justru Tweede Kamer itulah bagi kita adalah suatu “symbool” daripada koloniseerend Holland, suatu “symbool” daripada keadaan yang menekan kita menjadi rakyat taklukan dan sengsara. Oleh karena itulah maka non-kooperasi kita sudah di dalam azasnya harus tertuju juga kepada Tweede Kamer khususnya dan Staten-Generaal umumnya, ya, harus ditujukan juga kepada semua “perbadanan-perbadanan” lain daripada sesuatu system yang buat mengungkung kita dan bangsa Asia, misalnya Volkenbond dan lain sebagainya.
Anarchisme? Tokh Tweede Kamer suatu parlemen? Memang Tweede Kamer adalah suatu parlemen: tetapi Tweede Kamer adalah suatu parlemen Belanda. Memang kita adalah orang anarkhis, kalau kita menolak segala ke parlemenan. Memang kita orang anarchis, kalau misalnya nanti kita menolak duduk di dalam parlemen Indonesia, yang nota-bene hanya bisa berada di dalam suatu Indonesia yang Merdeka, dan yang akan memberi jalan kepada demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi. Memang, jikalau seorang Inggeris memboikot parlemen Inggeris, jikalau seorang Jerman tidak sudi duduk dalam parlemen Jerman, jikalau seorang Perancis menolak kursi dalam parlemen Perancis, maka ia boleh jadi seorang anarchis. Tetapi jikalau seandainya mereka menolak duduk di dalam suatu parlemen daripada suatu negeri yang mengungkung negeri mereka, jikalau kita bangsa Indonesia sudah di dalam azasnya menolak duduk dalam parlemen Belanda, maka itu bukanlah anarchisme, tetapi suatu azas-perjoangan non-cooperation nasionalis non kooperator yang sesehat-sehatnya!
Lihatlah riwayat perjoangan non cooperation di negeri-negeri lain. Lihatlah misalnya riwayat perjoangan non-cooperation di negeri Irlandia, salah satu sumber daripada perjoangan non-cooperation itu. Lihatlah di situ sepak-terjangnya kaum Sinn Fein. Sinn Fein adalah mereka punya semboyan, Sinn Fein, yang berarti “kita sendiri”.
“Kita Sendiri”, itu adalah gambarnya mereka punya politik: politik tidak mau bekerja sama-sama dengan Inggeris, tidak mau kooperasi dengan Inggeris, tidak mau duduk di dalam parlemen Inggeris. “Janganlah masuk ke Westminster, tinggalkanlah Westminster itu, dirikanlah Westminster sendiri!”, adalah propaganda dan aksi yang dijalankan oleh Sinn Fein. Adakah mereka kaum anarchis? Mereka bukan kaum anarchis, tetapi kaum nasionalis non kooperator yang prinsipiil pula.
Orang menganjurkan duduk di Tweede Kamer buat menjalankan politik-opposisi dan politik-obstruksi, dan memperusahakan Tweede Kamer itu menjadi mimbar perjoangan. Politik yang demikian itu boleh dijalankan dan memang sering dijalankan pula oleh kaum kiri, sebagai kaum O.S.P., kaum komunis, atau kaum C.R. Das cs. di Hindustan yang juga tidak anti-parlemen Inggeris. Tetapi politik yang demikian itu tidak boleh dijalankan oleh seorang nasionalis-non-kooperator.
Pada saat yang seorang nasionalis-non-kooperator masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan, ia, pada saat yang ia di dalam azasnya sutra masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan itu, sekalipun dewan itu berupa Tweede Kamer Belanda atau Volkenbond, pada saat itu ia melanggar azas, yang disendikan pada keyakinan atas adanya pertentangan kebutuhan antara kaum pertuanan itu dengan kaumnya sendiri. Pada saat itu ia menjalankan politik yang tidak prinsipiil lagi, menjalankan politik yang pada hakekatnya melanggar azas non-kooperasi adanya!
Kita harus menjalankan politik non-kooperasi jang prinsipiil, – menolak di dalam azasnya kursi di Volksraad, di Staten-Generaal, di dalam Volkenbond. Dan sebagaimana tahadi telah saya terangkan, maka perkara dewan-dewan ini hanyalah salah satu bagian sahaja daripada non kooperasi kita. Bagian yang terpenting daripada non-kooperasi kita adalah: dengan mendidik rakyat percaya kepada “kita sendiri”, untuk meminjamkan perkataan kaum non-cooperation Irlandia, menyusun dan menggerakkan suatu massa-aksi, suatu machtsvorming Marhaen yang haibat dan kuasa