Rabu, 25 Oktober 2017

Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi



Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah “pemerintahan rakyat”. Cara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah.

Cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua partai­-partai nasionalis di Indonesia. Tetapi dalam mencita-citakan faham dan cara-pemerintahan demokrasi itu kaum Marhaen tokh harus berhati-hati. Artinya: jangan meniru sahaja “demokrasi-demokrasi”yang kini diprak­tekkan di dunia luaran.

 Bagaimanakah prakteknya demokrasi di dunia luaran itu?

Yang membawa “demokrasi” mula-mula di dunia Barat ialah pemberontakan Perancis, – kurang lebih 100 a 125 tahun yang lalu. Sebelum ada pemberontakan Perancis itu, cara pemerintahan Eropah adalah otokrasi: kekuasaan pemerintahan adalah di dalam tangan satu orang sahaja, yaitu di dalam tangan Raja. Rakyat tak ikut bersuara. Rakyat harus menurut sahaja. Raja mengaku dirinya sebagai wakil Allah di­ dunia ini.

Salah seorang raja yang demikian itu pernah ditanya oleh salah seorang menterinya: “Ratu, apakah staat itu? Apakah yang dinamakan staat itu?” Raja menjawab: “Staat adalah aku sendiri! L’Etat, c’est moi!” Memang raja ini adalah seorang otokrat yang tulen!

Di dalam cara-pemerintahan otokrasi itu, raja disokong oleh dua golongan. Pertama: golongan kaum ningrat, kedua: golongan kaum peng­hulu agama. Kedua golongan ini menjadi bentengnya raja, bentengnya otokrasi. Jadi: raja + kaum ningrat + kaum penghulu agama adalah “gambarnya” kaum jempolan di dalam masyarakat itu. Masyarakat yang demikian itu dinamakan masyarakat F E O D A L.

Tetapi lambat laun timbullah satu golongan baru, suatu kelas baru, yang ingin mendapat kekuasaan pemerintahan. Golongan baru atau kelas baru ini adalah kelasnya kaum burjuis. Mereka punya perusahaan­-perusahaan, mereka punya perniagaan, mereka punya pertukangan, mulai lahir dan timbul. Untuk suburnya dan selamatnya mereka punya peru­sahaan, perniagaan dan pertukangan itu, perlulah mereka mendapat kekuasaan pemerintahan. Mereka sendirilah yang lebih tahu mana Undang-undang, mana aturan-aturan, mana cara-pemerintahan yang paling baik buat kepentingan mereka, dan bukan raja, bukan kaum ningrat, bukan kaum penghulu agama!

Tetapi kekuasaan masih ada di tangan raja, dibentengi oleh kaum ningrat dan kaum penghulu agama!

“Welnu”, kata kaum burjuis, “kekuasaan itu harus direbut!”

Tetapi buat merebut, orang harus mempunyai kekuatan!

Padahal kaum burjuis belum mempunyai kekuatan itu!

 “Nah”, kata kaum burjuis sekali lagi, “kita memakai kekuatan rakyat-jelata!” Dan begitulah maka rakyat-jelata itu oleh kaum burjuis lalu dia­jak bergerak, diabui matanya, bahwa pergerakannya itu ialah untuk mendatangkan “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”!

“Liberte, fraternite, egalite”, adalah semboyannya pergerakan burjuis memakai tenaga rakyat itu.

Rakyat menurut, – ya, rakyat berkelahi mati-matian! Apakah sebabnya rakyat mau diajak bergerak? Sebabnya ialah bahwa nasibnya rakyat di bawah pemerintahan otokrasi itu adalah nasib yang sengsara sekali, dan bahwa rakyat itu masih kurang sadar yang ia hanya menjadi perkakas burjuis sahaja.

Pergerakan menang! Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu agama runtuh, – pendek kata: otokrasi runtuh, – diganti dengan cara-pemerintahan baru yang dinamakan “demokrasi”.

Di negeri diadakan parlemen, dan “rakyat boleh mengirim utusan keparlemen itu”.

Cara-pemerintahan inilah yang kini dipakai oleh semua negeri di Eropah Barat dan di Amerika.

Perancis mempunyai parlemen, Inggeris mempunyai parlemen, Belanda mempunyai parlemen, Amerika Utara mempunyai parlemen, -semua negeri modern mempunyai parlemen. Di semua negeri modern itu adalah “demokrasi” …

Tetapi, … di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan merajalela! Di semua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya. Di semua negeri modern itu kini hidup milyunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro, – di semua negeri modern itu rakyat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sengsaranya.

Inikah hatsilnya “demokrasi” yang dikeramatkan orang?

Amboi, – parlemen! Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil ke dalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini bisa “ikut memerintah”! Ya, tiap-tiap kaum proletar kini, kalau dia mau, bisa mengusir minister, menjatuhkan minister itu terpelanting daripada kursinya. Tetapi pada saat yang ia bisa menjadi “raja” di parlemen itu, pada saat itu juga ia sendiri bisa diusir dari paberik di mana ia bekerja dengan upah kokoro, – dilemparkan di atas jalan, menjadi orang p e n g ­angguran,

 Inikah “demokrasi” yang dikeramatkan itu?

Dengarkanlah pidatonya Jean Jaures, – bukan komunis! -,menge­ritik “demokrasi” itu:

“Kamu, kaum burjuis, kamu mendirikan republik, dan itu adalah kehormatan yang besar. Kamu membikin republik itu teguh dan kuat, tak dapat dirobah sedikitpun jua, tetapi karena itulah kamu
telah meng­adakan pertentangan antara susunan politik dan susunan ekonomi.

Karena Pemilihan Umum, kamu telah membikin semua penduduk berkumpul di dalam rapat yang seolah rapatnya raja-raja.

Mereka punya kemauan adalah sumbernya tiap undang-undang, tiap pemerintahan; mereka melepas mandataris, pembuat undang-undang dan menteri. Tetapi pada saat itu juga yang si buruh menjadi tuan di dalam urusan politik, maka ia adalah menjadi budak belian di dalam urusan ekonomi.

Pada saat yang ia menjatuhkan menteri-menteri, maka ia sendiri bisa diusir dari bingkil zonder ketentuan sedikit juapun apa yang esok harinya akan dimakan. Tenaga-pekerjaannya hanyalah suatu barang­belian, yang bisa dibeli atau ditampik oleh kaum majikan. Ia bisa diusir dari bingkil, karena ia tak mempunyai hak ikut menentukan peraturan-­peraturan bingkil, yang saban hari, zonder dia tetapi buat menindas dia, ditetapkan kaum majikan sendiri!”

Sekali lagi: inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu?

Bukan, – ini bukan demokrasi yang harus kita tiru, bukan demokrasi untuk kita kaum Marhaen Indonesia! Sebab “demokrasi” yang begitu hanyalah demokrasi parlemen sahaja, yakni hanya demokrasi politik saha­ja. Demokrasi ekonomi tidak ada.

Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Di dalam karangan saya yang lalu, saya terangkan dengan singkat, bahwa demokrasi-politik sahaja, belum menyelamatkan rakyat.

Bahkan di negeri-negeri, sebagai Inggeris, Nederland, Perancis, Amerika d.1.1., di mana “demokrasi” telah dijalankan, kapitalisme merajalela dan kaum Marhaen-nya papa-sengsara!

Kaum nasionalis Indonesia tidak boleh mengeramatkan “demokrasi” yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari “gebyarnya” atau kilaunya negeri keluar sahaja, tetapi ia ha­ruslah mencari selamatnya semua manusia.

Banyak di antara kaum nasionalis Indonesia yang berangan-angan: “Jempol sekali jikalau negeri kita bisa seperti negeri Jepang atau negeri Amerika atau negeri Inggeris! Armadanya ditakuti dunia, kotanya haibat-haibat, bank-banknya meliputi dunia, benderanya kelihatan di mana­-mana!”

Kaum nasionalis yang demikian itu lupa bahwa barang yang haibat­-haibat itu adalah hatsilnya kapitalisme, dan bahwa kaum Marhaen di negeri-negeri itu adalah tertindas. Kaum nasionalis yang demikian itu, adalah kaum nasionalis yang burgerlijk, yaitu kaum nasionalis burjuis

Mereka bisa juga revolusioner, tetapi revolustonernya adalah BURGERLIJK REVOLUTIONAIR. Mereka hanyalah ingin Indonesia-Merdeka sahaja sebagai maksud yang penghabisan, dan tidak suatu masyarakat yang adil zonder ada kaum yang tertindas. Mereka lupa, bahwa Indonesia­ Merdeka hanyalah suatu syarat sahaja untuk memperbaiki masyarakat Indonesia yang rusak itu. Mereka adalah burgerlijk revolutionair, dan tidak SOCIAAL REVOLUTIONAIR. tidak MARHAENISTIS REVOLUTIONAIR.

Nasionalisme kita tidak boleh nasionalisme yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya peri­kemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menselijkheid, “Nasionalismeku adalah peri-kemanusiaan”, –begitulah Gandhi berkata.

Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan perkataan baru kami sebutkan; SOSIO-NASIONALISME.

Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah juga demokrasi yang kami sebutkan: SOSIO-DEMOKRASI.

Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu?

Dua perkataan ini adalah perkataan bikinan, kami punya bikinan. Sebagaimana  perkataan Marhaen adalah tempo hari kami “bikinkan” buat menyebutkan kaum yang melarat-sengsara. maka perkataan sosio­-nasionalisme sosio-demokrasi adalah pula perkataan bikinan untuk menyebutkan kita punya nasionalisme dan kita punya  demokrasi.

Sosio adalah terambil daripada perkataan yang berarti: masyarakat, pergaulan-hidup, hirup-kumbuh, siahwee.

Sosio-nasionalisme adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan sosio­demokrasi adalah demokrasi-masyarakat.

 Tetapi apakah nasionalisme-masyarakat dan demokrasi-masyarakat itu?

Nasionalisme-masyarakat adalah nasionalisme yang timbulnya tidak karena “rasa” sahaja, tidak karena “gevoel” sahaja, tidak karena “lyriek” sahaja, – tetapi ialah karena keadaan-keadaan yang nyata di dalam masya­rakat. Nasionalisme-masyarakat, – sosio-nasionalisme bukanlah nasio­nalisme “ngalamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”, bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi ialah nasionalisme yang dengan dua-dua kakinya berdiri di dalam masyarakat.

 Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan­-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara.

Oleh karenanya, maka sosio-nasionalisme adalah nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak burjuisrne yang menjadi sebabnya kepin­cangan masyarakat itu. Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik DAN ekonomi, – suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesan negeri DAN keberesan rezeki.

Dan demokrasi-masyarakat? Demokrasi-masyarakat, sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio­-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sa­haja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demo­krasi a la Revolusi Perancis, bukan demokrasi a la Amerika, a la Inggeris, a la Nederland, a la Jerman d.l.l., – tetapi ia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri dan ke­beresan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik DAN demo­krasi-ekonomi.

Komunis?

Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi bukanlah angan-angan komunis. Pernah saya terangkan, bagaimana seorang pemimpin, Jean Jaures yang bukan komunis, juga menghendaki demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dan di dalam salah satu karangan saya dulu sudah dikatakan pula, bahwa juga Dr. Sun Yat Sen mencela “demokrasi” a la Revolusi Perancis atau a la Inggeris, Nederland d.l.l. itu. Pun pemimpin-­pemimpin lain sebagai Gandhi, Nehru-muda, d.l.l., mencela “demokrasi” yang demikian itu.

Memang orang tak usah menjadi komunis, buat; melihat bahwa di­ dalam negeri-negeri “demokrasi” itu, sebagian besar dari kaum rakyat adalah tertindas oleh kapitalisme. Orang tak usah menjadi komunis, buat melihat bahwa “demokrasi” negeri-negeri itu adalah demokrasi berjuis sahaja.

Kontra angan-angan demokrasi borjuis ini kaum Marhaen harus bercita-cita dan menghidup-hidupkan sosio-demokrasi, yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Dan kontra nasionalisme burjuis kita taruhkan kita punya sosio-nasionalisme.

Bagaimana sosio-demokrasi, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu, bisa diyalankan, akan saya gambarkan di dalam garis-garisnya yang besar di dalam karangan saya yang akan datang.

Hiduplah sosio-nasionalisme!

Hiduplah sosio-demokrasi!

Artikel Terkait