Kisah Penghancuran Keraton Yogyakarta Oleh Raffles Beserta Intrik yang Menyertainya
Judul Buku: Geger Sepoy - Sejarah Kelam Perseteruan Inggris dengan Keraton Yogyakarta (1812-1815)
Pengarang : Lilik Suharmaji
Penerbit: Araska Publisher, Yogyakarta
Cetakan: 1
Tahun Terbit: 2020
Tebal : 304 halaman
Sir Thomas Stamford Raffles. Nama tersebut begitu agung dan sangat bersejarah. Ia dikenal sebagai penulis buku monumental History Of Java, juga dikenal sebagai pemimpin Inggris di Hindia Belanda yang sangat mencintai kebudayaan. Dia begitu mengagumkan.
Setidaknya itulah yang terekam dalam benak kita.
Buku berjudul Geger Sepoy ini bisa jadi akan mengubah cara pandang anda terhadap sosok Letnan Gubernur Sir Stamford Raffles, penguasa Hindia Belanda (1811-1816). Bahwa selain berjasa menemukan bunga Rafflesia Arnoldi, Raffles adalah perusak keraton Yogyakarta dalam arti sebenarnya.
Dalam buku ini, kita bukan hanya bisa membaca tentang Raffles sebagai tokoh sentral Geger Sepoy, namun kita juga disuguhi bagaimana peran tokoh-tokoh dinasti mataram dalam peristiwa tersebut. Tokoh-tokoh lain yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung juga turut dihadirkan oleh penulis. Ia menjelaskan secara cukup terperinci tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Geger Sepoy ini. Layaknya sebuah drama, penulis memberikan gambaran yang cukup jelas siapa dan bagaimana peran setiap tokoh.
Kita bisa membaca profil tokoh-tokoh tersebut dalam BAB I. Di sana ada nama-nama seperti Sultan Hamengku Buwono II, Sultan Hamengku Buwono III, Patih Danurejo II, Raden Ronggo Prawirodirjo III, Sunan Paku Buwono IV, Pangeran Prangwedono, Pangeran Notokusumo, Kapiten Tan Jin Sing, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles, dan Tentara Sepoy.
Bagaimana peran mereka? kepada siapa mereka berpihak? Anda bisa membaca pada bab-bab selanjutnya dari buku ini.
Hubungan Keraton Surakarta dan Yogyakarta
Penulis memulai buku ini dengan menceritakan tentang berdirinya keraton Kesultanan Yogyakarta. Akan tetapi bukan sejak Panembahan Senopati, melainkan dibatasi sejak zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646). Pada masa itu, kerajaan Yogyakarta sangat kuat dan memiliki wilayah yang luas.
Sayang sekali, sepeninggal Sultan Agung, penerusnya yaitu Sunan Amangkurat 1 sangat lemah. Pada saat itulah, VOC mulai ikut campur dalam urusan Keraton Mataram. Hingga akhirnya terpecahlah kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagai hasil dari perundingan Giyanti 15 Februari 1755.
Selain terjadi perpecahan Kerajaan Mataram tersebut, penulis juga menyajikan beragam konflik yang berlangsung antar tokoh di kedua kerajaan tersebut.
Misalnya, konflik di Surakarta yang terjadi antara Raden Mas Said dengan Sunan Paku Buwono II. R.M. Said terkenal sebagai tokoh anti VOC, sementara Sunan Paku Buwono II cenderung bersahabat dengan VOC.
Konflik lain terjadi antara Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) dan Raden Mas Said. Penyebabnya, Raden Mas Said meminta kepada Mangkubumi agar ia diangkat sebagai Pangeran Adipati Anom, ahli waris tahkta jika Mangkubumi menjadi raja. Tentu saja Mangkubumi menolak keras. (halaman 25)
Masih banyak konflik yang terjadi yang melibatkan tokoh-tokoh Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, VOC, Belanda, dan Inggris. Perseteruan terbesar adalah antara Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono II) melawan Raffles.
Menariknya, ketika penyerbuan itu terjadi, Kasunanan Surakarta maupun Mangkunegaran justru lebih berpihak kepada Raffles dengan porsi masing-masing. Jika Mangkunegaran terang-terangan bersama tentara Inggris (Sepoy) turut menyerbu istana Yogyakarta, Prajurit Surakarta memilih berhenti di perbatasan Surakarta-Yogyakarta untuk menghalau jika sewaktu-waktu ada prajurit yang membantu Yogyakarta.
Bukan hanya itu, di lingkungan internal kerajaan Yogyakarta, Sultan Sepuh juga tidak didukung oleh Sang Putra Mahkota dan tokoh-tokoh lain. Ketika Geger Sepoy terjadi pada 19 Juni 1812 – 20 Juni 1812, beliau dikeroyok banyak pihak.
Catatan Penting Buku Ini
Buku ini tidak semata-mata menceritakan proses terjadinya penghancuran disertai penjarahan besar-besaran yang dilakukan oleh Raffles, tentara Inggris yang didominasi tentara dari Sepoy, dan pasukan Mangkunegaran terhadap Keraton Yogyakarta, tetapi juga sejarah perebutan kekuasaan antar dinasti mataram (keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta) yang melibatkan Belanda dan kemudian Inggris.
Ini merupakan buku yang penting untuk dibaca generasi muda, khususnya mereka yang ingin memahami secara cepat, bagaimana konflik-konflik di lingkungan dinasti mataram hingga berpuncak pada peristiwa Geger Sepoy.
Namun sayang, bisa jadi karena tergesa-gesa atau karena penyebab lain, saya menemukan banyak kesalahan penulisan dalam buku ini, yaitu lupa menggunakan tanda baca koma. Setidaknya saya melihat pada halaman 35, 62,65, 83,93, 103, 114, 131,146,153,171,172,193, dan 207.
Ada juga kesalahan penulisan yaitu pada halaman 92, tertulis, "kedekatan Notokusumo dengan ayahandanya dikhwatirkan oleh...."
Kata dikhwatirkan seharusnya dikhawatirkan.
Lalu ada lagi, "...sehingga yang muncul kepermukaan...."
kepermukaan seharusnya ke permukaan.
Coba juga perhatikan salah satu kalimat ini.
"Ia dapat menguasai dengan 3 bahasa dunia yakni Cina, Jawa, dan Barat."
Apakah anda merasa janggal terhadap kalimat tersebut? Menurut saya setelah kata dengan semestinya ditambah dengan kata baik. (halaman 105)
Masih ada lagi yaitu penggunaan kata ekspidisi pada halaman 147 seharusnya ekspedisi.
Meskipun demikian, saya tetap menyarankan anda membaca buku ini, sebelum berwisata ke kota Yogyakarta khususnya ke benteng Vrederburg.