Tampilkan postingan dengan label Puisi Toto Sudarto Bachtiar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi Toto Sudarto Bachtiar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Oktober 2017

Puisi Pahlawan Tak Dikenal dan Karya Toto Sudarto Bachtiar lainnya

Pada tulisan kali ini, saya hendak memperbincangkan soal puisi berjudul Pahlawan Tak Dikenal dan tentu saja tentang pengarangnya, Toto Sudarto Bachtiar. 

Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929 – meninggal di Paris, Perancis, 9 Oktober 2007 pada umur 77 tahun) adalah penyair Indonesia yang seangkatan dengan W.S. Rendra. Penyair angkatan 1950-1960-an ini dikenal masyarakat luas dengan puisinya, antara lain Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, dan Tentang Kemerdekaan.(wikipedia)

Beberapa contoh puisi karya Toto Sudarto Bachtiar yang cukup populer tersaji di bawah ini


PAHLAWAN TAK DIKENAL

oleh : Toto Sudarto Bachtiar


Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda.


TENTANG KEMERDEKAAN

Oleh : Toto Sudarto Bachtiar

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
janganlah takut kepadanya
Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
janganlah takut padanya
Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya


ODE    I

Oleh :
Toto Sudarto Bachtiar

katanya, kalau sekarang aku harus berangkat
kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
aku besok bisa mati, kemudian diam-diam
aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam
malam begini beku, dimanakah tempat terindah
buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
tanahku yang baru terjaga
malam begini sepi dimanakah tempat yang terbaik
buat peluru pistol di balik baju cabik
0, tanah di mana mesra terpendm rindu
kemerdekaan yang mengembara kemana saja
ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
engkau pada pilar derita, megah napasku di gang tua
menuju kubu musuh di kota sana
aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak
mungkin pacarku kan berpaling
dari wajahku yang terpaku pada dinding
tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
di tengah malam yang begini beku
teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
coretan-coretan merah pada tembok tua
betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
membesarkan hatimu yang baru terjaga
Kalau serang aku harus ergi, aku hanya tahu
kawan-kawanku akan terus maju
tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah dimana tempat yang terbaik buat hati dan hidupku


ODE     II

Oleh : Toto Sudarto Bachtiar
dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan derap langkah yang berat maju ke satu tempat
dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan kegairahan hidup yang harus jadi dekat
berhenti menangis, air mata kali ini hanya buat si tua renta
atau menangis sedikit saja
buat sumpah yangtergores pada dinding-dinding
yang sudah jadi kuning dan jiwa-jiwa yang sudah mati
atau buat apa saja yang dicintai dan gagal
atau buat apa saja
yang sampai kepadamu waktu kau tak merenung
dan menampak jalan yang masih panjang
dengar, hari ini ialah hari hatiku yangmemanggil
mata-mata yang berat mengandung suasana
membersit tanya pada omong-omong orang lalu
mengenangkan segenap janji yang dengan diri kita menyatu
dengarlah, o, tanah di mana segala cinta merekamkan dirinya
tempat terbaik buat dia
ialah hatimu yang kian merah memagutnya
kala hdia terbaring di makam senyap pangkuanmu *
*kenangan buat matinya seorang pejuang

IBU KOTA SENJA

Oleh : Toto Sudarto Bachtiar

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari 
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi 
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih 
Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi 
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja 
Mengarungi dan layung-layung membara di langit barat daya 
0, kota kekasih 
Tekankan aku pada pusat hatimu 
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
Aku seperti mimpi, bulan putih di lautan awan belia 
Sumber-sumber yang murni terpendam 
Senantiasa diselaputi bumi keabuan 
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas 
Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana 
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan 
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari 
Serta keabadian mimpi-mimpi manusia
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran 
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari 
Antara kuli-kuli yang kembali 
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa 
Di bawah bayangan samar istana kejang 
Layung-layung senja melambung hilang 
Dalam hitam malam menjulur tergesa
Sumber-sumber murni menetap terpendam 
Senantiasa diselaputi bumi keabuan 
Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas 
0, kota kekasih setelah senja 
Kota kediamanku, kota kerinduanku


GADIS PEMINTA-MINTA

Oleh  : 
Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil 
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka 
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu 
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil 
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok 
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan 
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral 
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal 
Jiwa begitu murni, terlalu murni 
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil 
Bulan di atas itu, tak ada yang punya 
Dan kotaku, ah kotaku 
Hidupnya tak lagi punya tanda