Sabtu, 29 Desember 2018

Kisah Guru Bernama Tan Malaka yang Menjadi Pahlawan Nasional

Dalam literatur sejarah, dunia pendidikan Indonesia memiliki banyak tokoh pahlawan yang pada awalnya berprofesi sebagai seorang guru. Mereka berjuang melalui pendidikan untuk mencerdaskan bangsa demi membebaskan diri dari kebodohan akibat penjajahan Belanda. Salah satu tokoh guru yang jarang mendapat perhatian bahkan dari kalangan dunia pendidikan adalah sosok seorang guru berprestasi yang berasal dari Sumatera yang bernama Tan Malaka. Karena berbagai prestasinya itulah, Tan Malaka mendapat beasiswa untuk bersekolah guru di negeri Belanda. Bagaimana kisah Tan Malaka dari seorang guru hingga menjadi Pahlawan Nasional, mari kita simak bersama.

Masa Kecil Tan Malaka


Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, Hindia Belanda pada 2 Juni 1897. Ia terlahir dengan nama Ibrahim. Ayahnya bernama Rasad Caniago sedangkan ibunya bernama Sinah Sinabur. Keduanya adalah sosok yang disegani di lingkungan mereka. Ibrahim kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat religius. Ia adalah anak yang cerdas dalam ilmu agama.

"Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat... Masih kecil sekali saya sudah bisa tafsirkan Al-Quran, dan dijadikan guru muda. Sang Ibu menceritakan Adam dan Hawa dan Nabi Yusuf. Tiada acap diceritakannya pemuka, piatu Muhammad bin Abdullah, entah karena apa, mata saya terus basah (menangis) mendengarnya. Bahasa Arab terus sampai sekarang saya anggap sempurna, kaya, merdu jitu dan mulia," kata Tan Malaka dalam buku Madilog.


Riwayat Pendidikan Tan Malaka


Tidak hanya cerdas dalam ilmu agama, dalam pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Belanda, Tan juga dikenal sebagai siswa yang pintar. Pendidikan formal diawali sekolah rakyat. Selepas lulus Sekolah Rakyat, pada umur sebelas tahun (1908) dia mendapat kesempatan untuk bersekolah di Sekolah Guru nomor satu yaitu Kweekschool (Sekolah Guru Negeri) di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), Minangkabau. Atas prestasi dan kecerdasannya, Tan Malaka bahkan diangkat sebagai anak oleh seorang guru Belanda yang menjabat sebagai Direktur II, GH Horensma dan istrinya.


Guru Horensma ini pula yang memberikan banyak pengaruh bagi jalan hidup Tan Malaka. Kepintaran Tan dalam pendidikan membuat guru Horensma bermaksud menyekolahkan Tan Malaka ke negeri Belanda. Pada saat Tan berusia 16 tahun (1913) ia berangkat menuju ke negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan guru negeri (Rijksweekschool) di Harleem, Belanda.

Proses keberangkatan Tan Malaka ke Belanda ternyata cukup berliku. Tan memiliki masalah dengan biaya pendidikan yang harus dikeluarkan untuk mengenyam pendidikan dan hidup di negeri Belanda. Beruntung atas kerjasama antara guru Horensma dan  orang tua Tan Malaka, penduduk di Pandan Gadang, secara ikhlas meminjamkan uang kepada Tan Malaka.

Di negeri kincir angin itu, Tan Malaka mengalami berbagai peristiwa monumental. Meskipun demikian juga jalan hidup Tan Malaka berjalan tidak selalu mulus. Berbagai kendala dialaminya, mulai dari menderita sakit, kekurangan uang hingga kegagalan dalam ujian. Proses pendidikan yang seharusnya bisa selesai selama dua tahun, ternyata baru bisa selesai setelah enam tahun. Tan lulus Rijksweekschool pada tahun 1919.

Di Belanda itulah Tan Malaka mulai berkenalan dengan sosialisme. Selepas Revolusi Rusia, Oktober 1917, Tan semakin intens membaca buku-buku Karl Marx, Frederich Engels dan Vladimir Lenin.


Riwayat Mengajar Tan Malaka


Sebelum Tahun 1913. Karir Tan Malaka sebagai seorang guru dimulai dari tanah kelahirannya. Dididik dalam kultur pendidikan Islam, Tan Malaka dikenal sebagai anak yang cerdas. Dalam usia yang masih sangat belia Tan  bisa menafsirkan Al-Quran. Atas kecerdasannya dia ditunjuk sebagai guru muda oleh tokoh agama di daerahnya. Mungkin jika dia hidup pada masa sekarang dia bisa disebut Ustadz. Sebagai guru ngaji, ia kerap berkeliling desa untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Peristiwa ini terjadi sebelum Tan pergi ke Belanda.

Tahun 1919 - 1921. Setelah menempuh pendidikan Guru di Rijkweekschool, Belanda, Tan pulang kembali ke Hindia Belanda. Ia menerima tawaran dari Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Deli (sebagaimana dituturkan dalam buku dari Penjara Ke Penjara ) sejak Tan berada di sana (1919 - 1921) menimbulkan kenangan yang menyedihkan. Di sana terlihat pertentangan tajam antara modal dan tenaga, serta antara penjajah dan yang terjajah.

Cara pandang tersebut bisa diperoleh Tan, mungkin sebagai akibat dari pengetahuannya tentang sosialisme yang didapat selama di negeri Belanda. Akibatnya, tak hanya mengajar baca tulis bahasa melayu bagi anak-anak kuli, Tan juga mengajarkan pendidikan politik bagi para buruh. Di Deli inilah lahir kata-kata monumental Tan Malaka tentang tujuan pendidikan, bahwa maksud pendidikan anak kuli terutama ialah mempertajam kecerdasan, memperkokoh dan memperhalus perasaan si murid.

Tahun 1921-1924. Selepas dari Deli, Sumatera Utara, Tan Malaka semakin aktif dalam dunia politik dan perjuangan kemerdekaan. Meskipun demikian, ia tetap tidak melupakan statusnya sebagai seorang guru. Ia mendirikan sekolah bernama Sarekat Islam School (SI School) di Semarang, Jawa Tengah. Tan bermaksud mendidik manusia agar tak sekadar pandai tapi juga berjiwa merdeka dan peduli pada nasib rakyat.
Siswa SI School Semarang
Gambar 2. Siswa Sarekat Islam School Semarang

"Sekolah ini menjadi pesaing HIS, sekolah sekunder, terbuka dan terbatas untuk orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan dasar mereka di Sekolah Kelas II (Tweede Klasse),” kata sejarawan Harry Poeze.

Tan merumuskan tiga tujuan utama didirikannya SI School :

1. Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb).
2. Memberi Haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging). Menurutnya, bahwa ia (murid-murid) masih kanak-kanak dalam usia mana ia belum boleh merasa sengsaranya hidup dan berhak atas kesukaan bergaul sebagai kanak-kanak.
3. Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo. Kewajiban itu adalah  bahwa murid-murid kita kelak jangan hendaknya lupa pada berjuta-juta Kaum Kromo (kaum miskin), yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan. Bukanlah seperti pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah-sekolah biasa (Gouvernement) campur lupa dan menghina bangsa sendiri.

Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional

Datuk Ibrahim atau Tan Malaka memang memiliki riwayat hidup yang sangat menarik untuk dipelajari. Ia berperan dalam berbagai bidang kehidupan, sebagai politikus, pemimpin partai, pejuang nasional, gerilyawan, guru dan masih banyak lagi. Jejak langkah yang ditinggalkannya semasa hidup turut memengaruhi arah perjalanan bangsa Indonesia.
Untuk itu, merupakan keputusan yang sangat tepat, jika Presiden Sukarno menetapkan Bapak Bangsa ini sebagai pahlawan nasional. Keputusan penetapan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional dikeluarkan pada tanggal 28 bulan 3 tahun 1963, sesuai dengan Surat Keterangan (SK) Presiden No 53 tahun 1963.


Referensi :
1. Islam Dalam Tinjauan Madilog
2. SI Semarang dan Onderwijs
3. Kecerdasan dan Perjuangan Tan Malaka Meraih Pendidikan dari Hasil Utangan
4. SI School, Sekolah Alternatif
5. Tan Malaka

Artikel Terkait