Kamis, 01 Juni 2017

Pidato Bung Karno - Pancasila sebagai Dasar Negara (2)

Pancasila sebagai Dasar Negara (2)


(Kursus Presiden Sukarno tentang Pancasila di Istana Negara, 16 Juni 1958.) 
Saudara­-saudara sekalian,

Di dalam kursus saya yang pertama sebagai pendahuluan, saya terangkan kepada saudara-­saudara bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk menumbangkan imperialisme tidak boleh lain daripada bersifat mempersatukan segenap tenaga-­tenaga revolusioner yang ada di masyarakat kita. Saya jelaskan pada waktu itu sebabnya. Sebabnya ialah bahwa kita berhadapan dengan imperialisme Belanda yang imperialisme Belanda itu berlainan sifat daripada misalnya imperialisme Inggeris. Manakala imperialisme Inggris adalah terutama sekali satu imperialisme perdagangan, – yang saya maksudkan ialah imperialisme Inggris yang datang di India ­, maka imperialisme Belanda yang datang di Indonesia, terutama sekali adalah satu imperialisme daripada Finanz­kapital. Finanz­kapital yaitu kapital yang ditanamkan di sesuatu tempat berupa perusahaan-­perusahaan.

Oleh karena Finanz­kapital Belanda ini membutuhkan buruh murah, sewa tanah murah, maka akibat daripada Finanz­kapital di Indonesia ialah pauverisering daripada rakyat Indonesia. Dan oleh karena rakyat Indonesia sesudah berjalan­nya Finanz­kapital ini berpuluh-­puluh tahun menjadi satu rakyat yang di segala lapangan verpauveriseerd. Tadi saya terangkan kepada saudara-­saudara, untuk mencakup begrip “semua rakyat yang verpauveriseerd” ini saya telah mempergunakan istilah marhaen. Saya ulangi: oleh karena akibat daripada Finanz­kapital ini ialah bahwa rakyat Indonesia ini di segala lapangan verpauveriseerd menjadi rakyat marhaen, di segala lapangan, baik lapangan proletar maupun lapangan yang tidak proletar, maka untuk menumbangkan impe­ rialisme Belanda itu kita harus memakai jalan lain daripada misalnya rakyat India memperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat India masih memiliki satu nationale bourgeoisie, bahkan pada pertengahan atau bagian kedua daripada abad ke­19 borjuasi nasional India ini hendak naik benar­benar sehingga nationale bourgeoisie India inilah sebenarnya yang menjadi tenaga motoris daripada gerakan rakyat India menentang imperialisme Inggris itu, berwujud gerakan Swadeshi di lapangan ekonomi dan di lapangan politik gerakan satyagraha.

Kita yang segenap zaman pre­ atau pra­imperialis memiliki bibit­-bibit nationale bourgeoisie, tetapi yang oleh proses imperialis di segala lapangan verpauveriseerd sehingga menjadi rakyat marhaen, kita tak dapat menjalankan cara perjuangan sebagai yang dijalankan oleh rakyat India itu. Maka boodschap kepada kita ialah mempersatukan segenap tenaga revolusioner yang ada di dalam rakyat Indonesia yang verpauveriseerd itu. Baik yang proletar maupun yang bukan proletar. Sehingga boodschap perjuangan kita di Indonesia ialah boodschap persatuan. Hal itu sudah saya terangkan kepada saudara­saudara pada kursus saya yang pertama. Dan memang dengan menyelenggarakan persatuan daripada segenap tenaga revolusioner itulah akhirnya kita pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat mengadakan proklamasi kita dan juga dengan persatuan itu kita dapat mempertahankan proklamasi itu. Hanya di waktu­waktu yang sekarang ini persatuan itu terganggu sehingga sewajibnya kita berikhtiar lagi untuk memperbaiki lagi keretakan­keretakan di dalam tubuhnya bangsa Indonesia itu.

Mempersatukan segenap tenaga revolusioner, – dan arti perkataan revolusioner pun di dalam kursus yang pertama sudah saya jelaskan kepada saudara­-saudara ­. Saya ulangi dengan singkat: untuk bersifat revolusioner tak perlu dari golongan proletar, tak perlu dari golongan demokrasi formil, tak perlu dari golongan sosialis, ­sosialis dalam arti yang luas, – revolusioner adalah tiap­tiap orang yang progresif menghantam kepada impe­ rialisme. Revolusioner adalah tiap­tiap orang yang hendak mengakhiri kolonialisme dan hendak mengadakan kemerdekaan nasional. Oleh karena itu adalah progresinya sejarah. Tidak perlu seorang proletar, sebab yang bukan proletar bisa juga revolusioner. Sebaliknya ada contoh proletar tidak revolusioner. Tidak perlu demokrasi formil, sebab orang yang tidak berdemokrasi formil bisa revolusioner. Tidak perlu berangan­angan atau dari golongan sosialis, dalam arti yang luas, sebab ada yang sosialis tetapi tidak revolusioner. Ada yang bukan sosialis tetapi revolusioner, sosialis dalam arti yang luas.

Di dalam kursus saya yang pertama, hal ini tidak saya kemukakan kepada saudara­ saudara. Tapi sosialis, seperti waktu saya membuat kuliah di Yogyakarta saya terangkan bahwa perkataan sosialisme saya ambil dalam arti nama kumpulan, verzamelnaam, dari semua aliran­aliran yang menghendaki masyarakat sama rasa sama rata. Dus ya sosialis demokrat, ya anarchist, ya komunis, ya utopist sosialis, ya religieus socialist. Semuanya saya cakup dengan satu perkataan: sosialis.

Saudara­-saudara, konklusi daripada kursus saya yang perta tadi, sudah saya katakan: boodschap yang diberikan sejarah kepada kita ialah persatuan, mempersatukan segenap tenaga. Bukan saja untuk menumbangkan imperialisme, tetapi juga untuk mempertahankan negara yang kita dirikan dan yang hendak ditumbangkan kembali oleh imperialisme itu.



Maka berhubung dengan itulah, timbul pertanyaan kepada segenap rakyat Indonesia, tatkala rakyat Indonesia hendak mengadakan kemerdekaan nasional, apakah negara yang hendak didirikan itu harus diberi satu dasar yang di atas dasar itu segenap rakyat Indonesia dipersatupadukan, apa tidak. Dan jawabnya ialah: ya, perlu dasar yang demikian itu, dasar pemersatu daripada segenap rakyat Indonesia. Sehingga sebagai saudara-­saudara ketahui, soal dasar ini menjadi pembicaraan di dalam sidang­sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang bersidang sebelum kita mengadakan proklamasi, jadi pertengahan tahun 1945. Dan di dalam salah satu sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itulah dianjurkan oleh onder getekende untuk memakai Pancasila sebagai dasar negara yang akan kita adakan. Dan kemudian Pancasila ini diterima di dalam Jakarta Charter. Kemudian sesudah kita mengadakan proklamasi diterima oleh sidang daripada pemimpin pertama daripada negara yang telah kita proklamirkan.

Dasar negara yang kita butuhkan ialah pertama: harus satu dasar yang dapat mempersatukan. Kedua: satu dasar yang memberi arah bagi perikehidupan negara kita itu. Katakanlah dasar statis, di atas mana kita bisa hidup bersatu dan dasar dinamis ke arah mana kita harus berjalan, juga sebagai negara. Sebab apa yang dinamakan negara saudara-saudara? Negara adalah tak lebih dan tak kurang daripada satu organisasi, satu organisasi kekuasaan, satu machtorganisatie. Tentang hal negara ini banyak sekali teori­ teori, apa negara itu. Ada teori yang mengatakan negara adalah satu hal sudah semestinya terjadi. Sonder maksud ini atau maksud itu, dengan sendirinya sesuatu bangsa mencapai negara. Teori ini di dalam sejarah manusia nyata telah dibantah. Sebab di dalam sejarah manusia sering sekali tampak bangsa­bangsa atau gerombolan­ gerombolan manusia yang berjumlah banyak hidup tanpa negara. Ambillah misalnya kafilah­kafilah di Sentral Afrika. Mereka itu hidup, mencari makan, membuat perumahan, hidup bersuami isteri, tetapi tiada ikatan yang dinamakan negara. Ada juga yang berkata bahwa negara adalah penjelmaan daripada ide yang luhur sekali. Ya, ini masih harus ditanya, ide itu ide apa.

Hegel misalnya, salah seorang ahli falsafah yang besar, berkata: de staat of een staat is de tot werkelijkheid geworden idee. Ya boleh kita terima ini. Tetapi apa yang dinamakan idee, de tot werkelijkheid geworden idee, ide yang terjelma? Ini masih diminta jawaban lagi apa yang dinamakan idee Hegel.

Saya sendiri berpendirian bahwa negara itu tak lain tak bukan ialah sebenarnya satu organisasi. Dan tegasnya satu organisasi kekuasaan. Satu machts­organisatie. Kita bisa mengadakan organisasi partai. Dan partai itu dipmpin oleh segolongan manusia yang dinamakan dewan pimpinan. Demikian pula kita bisa mengadakan organisasi daripada seluruh manusia di dalam lingkungan bangsa yang bernama negara. Dan negara ini dipimpin oleh segolongan manusia yang dinamakan pemerintah. Pada hakekatnya tiada perbedaan antara dua hal ini. Partai dengan ia punya dewan pimpinan, negara dengan ia punya pemerintah. Pada hakekatnya partai mempunyai statuten, negara memakai Undang Undang Dasar. Partai mempunyai peraturan­peraturan rumah tangga, negara mempunyai organieke wetten, hukum­hukum organik. Pada hakekat­nya, basically, kata orang Inggris, tidak ada perbedaan di antara dua ini.

Keterangan Karl Marx lebih lanjut lagi daripada ini. Negara adalah satu organisasi kekuasaan, kata Karl Marx, macht­organisatie. Bahkan satu machtorganisatie daripada sesuatu kelas untuk mempertahankan dirinya terhadap lain kelas. Karl Marx berkata, bahwa di dalam sejarah dunia ini selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Di dalam sejarah manusia, selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Ada kelas feodal yang bertentangan dengan kelas horigen, yaitu rakyat jelata yang ditindas oleh feodalisme itu. Sekarang ada kelas kapitalis dan kelas proletar. Selalu ada dua kelas. Maka kata Marx, negara adalah satu machts­organisatie di dalam tangannya salah satu kelas ini untuk menindas kelas yang lain. Di dalam zaman feodal negara adalah satu machts­organisatie di dalam tangannya kaum bangsawan untuk menindas kaum horigen. Di dalam zaman kapitalisme negara adalah machts­organisatie di dalam tangannya kaum kapitalis untuk menindas kaum proletar. Ditindas artinya untuk men­ jalankan sesuatu yang cocok dengan kepentingan kelas kapitalis ini, tetapi tidak cocok dengan kepentingan kaum proletar.

Teori ini ditarik terus oleh Marx. dalam arti jikalau nanti ada revolusi, kapitalis ini dengan alat kekuasaannya yang bernama negara, dengan kaum proletar yang karena mereka itu mengorganisasikan dirinya dengan semboyannya: “Proletaries aller landen, verenigt U”, mengorganisasikan dirinya, akhirnya dapat merebut negara atau alat kekuasaan yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis ini, ­jikalau revolusi demikian itu telah terjadi, maka alat kekuasaan yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis, yaitu negara yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis terebut oleh kelas proletar dan kelas proletarlah yang memegang alat kekuasaan yang dinamakan negara ini.

Sesudah sesuatu revolusi sosial ini terjadi, alat kekuasaan yang dinamakan negara jatuh di dalam negara kaum proletar. Maka berhubung dengan itulah apa yang dinamakan dictatuurproletariaat berjalan dan bukan berjalan secara insidentil, tetapi berjalan secara historis, sebab negara adalah pada hakekatnya alat kekuasaan di dalam tangan sesuatu kelas. Tadi di dalam tangan kaum kapitalis, sesudah revolusi proletar di dalam tangan kaum proletar. Dan alat kekuasaan ini dipergunakan oleh kaum proletar untuk menindas kaum kapitalis. Dus, sifat daripada praktik alat kekuasaan yang sekarang ini adalah dictatuur­proletaar.

Nah, saya teruskan uraian mengenai Marx ini. Sesudah demikian bagaimana? Sesudah demikian kelas kapitalis ini karena dialatkuasai oleh dictatuur proletaar ini, makin lama makin lemah, makin lama makin surut, akhirnya hilanglah kelas yang dinamakan kelas kapitalis. Tinggal kelas proletar itu. Dan oleh karena tinggal hanya satu kelas sebenarnya sudah tidak ada kelas lagi. Orang bisa bicara tentang kelas jikalau masih ada perbedaan. Kelas I, kelas 11, kelas 111, kelas VIII, kelas IX, karena ada perbedaan. Kalau tinggal cuma satu, itu bukan kelas lagi. Nah, kalau tinggal proletar saja, rakyat jelata saja, tidak ada kelas kapitalisnya, itulah oleh Marx yang dinamakan satu masyarakat tanpa kelas, satu klasseloze maatschappij. Manusianya tetap ada, bahkan berkembang biak banyak. Tetapi masyarakat itu tidak mempunyai kelas, klasseloos. Dan oleh karena klasseloos, maka masyarakat itu menjadi staatloos, sebab, – saya ulangi lagi ­, menurut teori Karl Marx, negara adalah machts­organisatie di dalam tangan sesuatu kelas.

Jikalau kelas itu juga tidak ada, maka machtsorganisatie sebagai machts­organisatie tidak ada lagi. Maka menjadi satu masyarakat yang staatloos. Ini saya beri tahu kepada saudara-saudara, agar supaya saudara-­saudara mengerti istilah­istilah di dalam ilmu Marxisme; klasseloze maatschappij dan staatloze maatschappij. Dus tidak ada lagi sesuatu golongan yang harus di­onderdruk, yang harus ditindaso Kalau ada dua kelas, ada satu golongan yang berkuasa dan satu golongan yang harus ditindas. Kalau sudah staatloos dan klasseloos, tidak ada lagi golongan yang harus ditindas. Fungsi negara hilang. Fungsi negara sebagai alat kekuasaan hilang. Yang tinggal ialah fungsi administratif daripada manusia­manusia. Ada fungsi opseter, ada fungsi insinyur, ada fungsi guru dan lain­lain sebagainya, tetapi fungsi negara sebagai negara, tidak ada lagi.

Saya beri penjelasan kepada saudara­-saudara tentang hal ini untuk mengerti bahwa kita tatkala kita concipieren, membentuk negara kita, sebagai negara kita harus mengerti bahwa negara itu adalah suatu hal yang dinamis. Kalau Marx berkata: ini adalah alat kekuasaan, maka tadi saya berkata: kita dalam mengadakan negara itu harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja yang statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntutan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.

Saya beri uraian itu tadi agar saudara-­saudara mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita memerlukan satu dasar yang bisa menjadi dasar statis dan yang bisa menjadi Leitstar dinamis. Leitstar, bintang pimpinan.

Nah, ini yang menjadi pertimbangan daripada pemimpin-­pemimpin kita dalam tahun 1945, dan sebagai tadi saya katakan, sesudah bicara, bicara, akhirnya pada satu hari saya mengusulkan Pancasila, dan Pancasila itu diterima masuk dalam Jakarta Charter, masuk dalam sidang pertama sesudah proklamasi. Jadi kalau saudara ingin mengerti Pancasila, lebih dulu harus mengerti ini: meja statis, Leitstar dinamis.

Kecuali itu kita sekarang lantas masuk kepada persoalan elemen-­elemen apa yang harus dimasukkan di dalam meja statis atau Leitstar dinamis ini. Kenapa Pancasila? Mungkin Dasasila, atau Catursila, atau Trisila atau Saptasila. Kenapa justru lima ini? Bukan kok lima jumlahnya, tetapi justru Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial. Kenapa tidak tambah lagi, atau dikurangi lagi beberapa. Kenapa justru kok lima macam ini.

Saudara-­saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu Leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam­dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri. Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri daripada elemen­elemen yang ada pada jiwa Indonesia. Kalau kita mau masukkan elemen­elemen yang tidak ada dalam jiwa Indonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.

Misalnya kalau kita ambil elemen­elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak in concordantie dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus memper­ satukan. Demikian pula elemen­elemen untuk dijadikan Leitstar dinamis harus elemen­ elemen yang betul­betul menghikmati jiwa kita. Yang betul­betul, bahasa Inggrisnya appeal kepada jiwa kita. Kalau kita kasih Leitstar yang tidak appeal kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi Leitstar dinamis yang menarik kepada kita.

Ini adalah satu soal yang susah, saudara-­saudara. Apalagi bagi saudara-­saudara, pemimpin­pemimpin yang salah satu tugas daripada pemimpin itu harus bisa menggerakkan rakyat. Tiap­tiap saudara­-saudara yang ada di sini ingin bisa meng­ gerakkan rakyat, bisa menarik pengikut­pengikut, tidak pandang saudara dari partai apa, yang duduk di sini, semuanya sebagai pemimpin ingin memimpin, ingin mempunyai golongan yang dipimpin yang bisa mengikuti dia, yang bisa diajak berjalan. Untuk memenuhi ini saja sudah susah, saudara-­saudara. Banyak pemimpin yang kandas, tidak bisa menggerak­kan rakyat, tidak bisa mendapat pengikut banyak, oleh karena ia tidak bisa mengadakan appeal. Appeal yaitu ajakan, tarikan yang membuat si rakyat itu mengikuti dia, pada panggilannya.

Jikalau saudara baca mengenai hal ini, saya ini sedang mengupas hal Leitstar, baca mengenai hal ini, bagaimana cara kita menggerakkan rakyat. Dan bukan saja menggerakkan rakyat, tetapi kadang­kadang minta supaya mau berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang, pendek mau menggerakkan kemauan dalam hati rakyat, bukan sekadar satu keinginan, tetapi kemauan untuk berjuang.

Syarat­syaratnya ini apa? Kalau saudara baca kitab-­kitab yang ditulis pemimpin­ pemimpin yang berpengalaman tentang hal ini, saudara akan melihat bahwa hal ini tidak gampang. Baru sekadar hendak membangunkan di dalam hati rakyat keinginan, itu gam­ pang sekali. Keinginan kepada masyarakat yang kenyang makan, keinginan pada satu masyarakat yang manis, tiap­tiap orang bisa. Asal bisa mengiming­imingi (membayang­ bayangkan). Tetapi untuk meng­gumpalkan keinginan ini menjadi kemauan, menjadi tekad, bahkan menjadi keredlaan berkorban, that is another matter, lain hal. Kalau saudara baca kitab-­kitab yang menganalisa hal ini, maka saudara akan menemui tiga syarat:

Pertama, memang saudara harus bisa menggambarkan, mengiming­iming: Mari kita capai itu! Lihat itu bagus, lihat itu indah, lihat itu lezat. Di situlah kebahagiaan. Pemimpin yang tidak bisa menggambarkan, melukiskan cita­cita, tidak akan mendapat hasil. Itu syarat yang pertama. la harus bisa melukiskan cita­cita.

Di dalam sejarah dunia saudara akan melihat bahwa pemimpin­pemimpin besar yang bisa menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin­pemimpin yang bisa melukiskan citacita. Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi di dalam segala lapangan.
Ambil contoh Nabi­nabi, yaitu pemimpin­pemimpin besar sekali. Semua Nabi-­nabi itu pandai benar melukiskan cita­cita. Katakanlah mengiming-­iming. Misalnya Nabi Muhammad: Kalau engkau berbuat baik, engkau masuk di sana. Malah digambarkan secara plastis, dilukis betul indahnya sorga, nyamannya sorga, nikmatnya sorga. Bahkan ditulis di dalam firman Allah, Quran sendiri, di sorga itu betapa amannya, indahnya, tidak ada terik matahari, semuanya enak, ada sungai­sungai, dan airnya itu jernih cemerlang, atau air susu, atau air madu, dan berkeliaran bidadaribidadari di situ.

Sehingga betul teriming-­iming umat Islam itu ingin masuk di sana dengan melalui jalan kebajikan. Untuk mencapai itu, jalannya ialah kebajikan. Yang ada di dunia ini, bagai­ manapun bagusnya kalah indahnya daripada itu.

Ambil Nabi Isa: Kerajaan di dunia ini, bagaimanapun bagusnya, kalah bagus dengan kerajaan Langit, het Koninkrijk der Hemelen. Kerajaan Langit dilukiskan di dalam ciptaan kita sebagai lawan daripada kerajaan yang ada di bumi ini.

Ambil pemimpin­-pemimpin lain, bukan di lapangan agama, tetapi di lapangan politik, bahkan yang fasis, atau yang sosialis. Fasis, Hitler misalnya. Hitler itu kok bisa sampai mendapat pengikut juta­jutaan dan pengikut yang fanatik­fanatik. Oleh karena ia pandai memasangkan Leitstar­nya.

Hitler berkata: jikalau kau ingin satu kerajaan yang lebihhebat daripada sekarang, jangan kerajaan sekarang ini kau terima. Bongkar! Kita harus meng­adakan kerajaan yang ketiga, das dritte Reich. Reich yang pertama masih kurang baik bagi kita, yaitu zaman Germanentum. Zaman baheula, zaman ceriteranya Nibelungen yang di dalam puisi Jerman digambar­kan sebagai zaman keemasan daripada Germanentum. Dengan pahlawanpahlawannya, misalnya Brunhilde, Kriemhilde, Siegfried. Siegfried jago yang tidak tedas senjata, kecuali ada satu tempat di punggungnya yang tidak kebal, karena pada waktu ia mandi di air kebal, ada daun jatuh di atas punggung­nya, sehingga bagian daun itu tidak terkena air kebal; yang lain­lain kena air kebal.

Zaman itu digambarkan oleh Hitler, belum, kurang besar, kurang bagus. Kerajaan yang kedua, di bawah pimpinan Kaisar Frederick de Grote, zaman itu ya besar, tetapi kurang besar bagi kita. Tidak, kita menghendaki kerajaan yang ketiga, yang di dalam kerajaan ketiga ini, hanya orang­orang yang berambut jagung, mata biru yang akan hidup, tidak dicemarkan dengan darah Yahudi, atau darah Roman dari Selatan. Tetapi hanya orang­ orang yang murni Ariers. Kerajaan ketiga inilah, yang di dalamnya tidak ada kemiskinan dan tidak ada kehinaan. Itu kita punya cita­cita. Dengan jalan demikian ia mengiming­ iming kepada rakyat Jerman.

Ambil Marx, tadi saya ceriterakan kepada saudara-­saudara, ia dapat betul menggambarkan satu, bukan saja klasseloze maatschappij, tetapi satu staatloze maatschappij, yang di situ tidak ada penindasan. Sebaliknya semua manusia hidup di dalam suasana kekeluargaan. Satu staatloze dan klasseloze dan klasseloze maatschappij yang hanya ada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Demikianlah saudara-­saudara maka salah satu syarat untuk bisa menjadi pemimpin ialah harus dapat mengiming­iming, tetapi jangan mengiming­iming barang yang bohong. Itulah salah satu syarat. Perkataan saya saja mengiming­iming, tetapi sebenarnya ialah dapat membentangkan Leitstar kepada rakyat.

Nomor dua, harus bisa memberi kepada rakyat. Demikian­lah, menganalisa hidup, cara bekerjanya pemimpin­pemimpin besar, bisa memberi kepada rakyat rasa mampu mencapai apa yang diinginkan itu. Merasa mampu, membangunkan rasa mampu. Meskipun engkau bisa mengiming­iming, tetapi jikalau engkau tidak bisa mem­ bangunkan rasa mampu di dalam rakyat bahwa rakyat bisa mencapai apa yang engkau iming­imingkan, ya, maka di dalam kalbu rakyat akan hanya hidup kepingin, ingin, tetapi belum menggumpal menjadi satu kehendak, kemauan, satu wil. Sebab sebelumnya sudah terhambat oleh rasa, toh tidak mampu.

Ibaratnya engkau bisa mengiming­imingi seseorang yang badannya lemah. Lihat itu, di puncak pohon itu ada buah merah, buah itu paling enak. Si dahaga kepingin buah itu, tetapi ia merasa dirinya lemah, dus, tinggal kepingin saja, tidak ia mempunyai kehendak, kemauan, wil untuk mencapai buah itu. Atau engkau bisa ambil seorang pemuda, anak orang biasa. Engkau imingiming dia dengan seorang gadis cantik, entah anak bangsawan tinggi, entah milyuner. Bung lihat, bukan main cantiknya. Tetapi ia tidak mempunyai rasa mampu untuk mengambil hati si gadis itu. Malahan ia merasa dirinya lemah sekali.

Aku anak orang miskin. Ia anak orang kaya. Mana bisa kawin sama dia. Tidak akan timbul kehendak, wil untuk mengawini gadis itu. Itu syarat nomor dua.
Syarat nomor tiga, bukan saja menanamkan keyakinan, atau rasa mampu, tetapi menanamkan kemampuan yang sebenarbenarnya. Menanamkan kemauan memberi kepada rakyat de werkelijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Jadi tadinya sekadar keinginan oleh karena teriming­iming, keinginan ini timbul, naik lagi setingkat menjadi kemauan, oleh karena saudara bisa memberi kepada rakyat itu rasa mampu, krachtsgevoel. Krachtsgevoel ini dinaikkan setingkat lagi rnenjadi de werkilijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Kalau tiga ini saudara-­saudara sudah bisa dijadikan trimurti, artinya dipersatukan di dalam tindakanmu sebagai pemimpin, saudara akan bisa menggerakkan massa.

Dus, Leitstar yang dinamis saudara-saudara, harus memberi kemungkinan kepada tiga hal ini. Rakyat tertarik, satu. Rakyat mempunyai rasa, aku atau kita bisa mencapai, dua. Tiga, bukan saja rasa mampu, tetapi memang mampu untuk mencapai itu. Kalau sekadar dua, dapat mengiming­iming, dapat memberi krachtsgevoel, tetapi saudara tidak bisa memberi tenaga, buah di atas pohon itu tidak bisa terpetik. Saudara bisa berkata, he,

buah itu enak betul, kepingin apa tidak? Kepingin. Mau apa tidak? Mau. Tetapi saudara lupa melatih dia untuk manjat pohon itu. Meskipun ia mempunyai kemauan tetapi ia tidak bisa memetik oleh karena baru naik 2, 3 meter sudah jatuh lagi. Tiga syarat ini Harus dipenuhi.
Leitstar daripada negara harus bisa realiseren tiga syarat ini. Dus, dasar negara pertama harus bisa menjadi meja statis yang mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar negara itu harus bisa merealisir tiga syarat yang saya sebutkan itu agar supaya rakyat dengan alat yang dinamakan negara dapat benar­benar mencapai apa yang dileitstarkan itu. Maka berhubung dengan itu, elemen­elemen daripada dasar ini harus elemen yang tidak asing bagi bangsa Indonesia sendiri. Kalau kita mengambil elemen yang asing, tidak bisa elemen itu menjadi dasar statis. Demikian pula tidak bisa menjadi dasar Leitstar dinamis.

Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kira seperti kursi­kursi yang dijajarkan. Bangsa atau rakyat mempunyai jiwa sendiri. Ernest Renan berkata: une nation est une ame, een natie is een ziel. Bangsa itu satu jiwa. Jangan kira bangsa itu adalah jumlah daripada manusia itu dengan manusia itu, seperti kursi­kursi dijajar. Bcnar bangsa itu terdiri dari manusia­manusia yang berjiwa, malahan apalagi bangsa­bangsa itu terdiri dari manusia­manusia yang berjiwa, tetapi kecuali daripada itu, bangsa itu mempunyai jiwa sendiri pula. Ada misalnya kitab Gustave Le Bon yang mengatakan, bahwa bangsa itu mempunyai jiwa sendiri yang tidak het algemeen totaal daripada si Polan, si Polan dan seterusnya. Mempunyai jiwa sendiri. Satu bangsa adalah satu jiwa.

Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita memikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal­hal di luar jiwa rakyat itu sendiri. Kalau kita mencari hal­hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya bisa menghikmati satu dua, seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. Itulah kepribadian. Tiap­tiap bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai bangsa. Tidak bisa opleggen dari luar. Itu harus latent telah hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri. Susah mencarinya, mana ini elemen­elemen yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total menjadi Leitstar dinamis. Dicari­cari, berkristalisir di dalam lima hal ini: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikema­ nusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, ini yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu schakering itu lima ini.

Ada orang berkata: pada waktu Bung Karno mempropagir­kan Pancasila, pada waktu ia menggali, ia menggalinya kurang dalam. Terang-­terangan yang berkata demikian dari pihak Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam, tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya. Sebab dari pihak Islam dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali, ia akan mendapat dari galiannya itu Islam. Kenapa kok Pancasila? Kalau ia menggali dalam sekali, ia akan mendapat hasil dari penggaliannya itu, Islam.

Saya ulangi, saya adalah orang yang cinta kepada agama Islam. Saya beragama Islam. Saya tidak berkata saya ini orang Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam. Dan saya menolak tuduhan bahwa saya menggali ini kurang dalam. Sebaliknya saya berkata: penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindu dan pra­Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf­safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam­macam saf. Saf pra­ Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa yang berkultur dan bercita­cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita­cita sudah.

Jangan kira bahwa kita pada zaman pra­Hindu adalah bangsa yang biadab. Baca kitab misalnya dari Professor Dr. Brandes. Di dalam tulisan itu ia buktikan bahwa Indonesia se­ belum kedatangan orang Hindu di sini sudah mahir di dalam sepuluh hal. Apa misalnya? Tanam padi secara sawah sekarang ini, jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Tidak. Pra­Hindu. Tatkala Eropa masih hutan belukar, belum ada Germanentum, di sini sudah ada cocok tanam secara sawah. Ini dibuktikan oleh professor Dr. Brandes. Alfabet ha­na­ ca­ra­ka­da­ta­sa­wa­la, jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Wayang kulit dibuktikan oleh Professor Brandes bukan pembawaan orang Hindu.
Orang Hindu memperkaya wayang kulit, membawa tambahan lakone Lakon terutama sekali Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah punya wayang kulit, tetapi belum dengan Mahabarata dan Ramayananya. Sebagian daripada restan wayang kulit kita dari zaman pra­Hindu, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala, Cepot dan lain­ lain itu. Itu pra­Hindu. Kita dulu mempunyai wayang kulit yang menceriterakan kepahlawanankepahlawanan kita, sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata dan Ramayana. Karena kita ini satu bangsa yang bisa menerima segala hal yang baik, lakonlakon itu kita masukkan di dalam wayang sebagai perkayaan daripada wayang kulit kita.
Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra­Hindu.

Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutei, berupa Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintaro, negara Pajang, negara Mataram kedua, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan

Eropa, yaitu saf imperialisme, yang di dalam bidang politiknya zaman hancur­leburnya negara kita, hancur­leburnya perekonomian kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd. Jadi empat saf, saf pra­Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis. Saya lantas gogo (gogo itu seperti orang mencari ikan, di lubang kepiting) sedalam­dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra­Hindu.

Jadi saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya menggali­-gali, menyelami saf­saf ini, saban­saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan sosial. Saya lantas berkata: kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, Insya Allah, seluruh rakyat Indonesia bisa menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu padu.

Ambil misalnya hal sila yang pertama, Ketuhanan. Salah satu karaktertrek bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa Indonesia selalu hidup di dalam alam pemujaan daripada sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya, saya ulang­ulangi pada umumnya, sebab sila­sila ini adalah grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud. Jadi jangan kira tiap­tiap manusia Indonesia itu merasa ber­Ketuhanan, bahwa tiap­tiap orang Indonesia berkobar­kobar rasa kebangsaannya, bahwa tiap­tiap orang Indonesia menyala­nyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan sosial. Tidak! Tetapi sebagai keseluruhan, grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, saya menemukan lima corak ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, grootste gemene deler itulah. Het kan niet anders daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan.

Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiaologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan tambahkan bukan hal­hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana? Het kan niet anders, tidak bisa lain. Daripada bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannnya, tempat kepercayaan.

Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan­hutan, di gua­gua. Saya namakan itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase daripada kehidupan manusia sebagai manusia. Sebab, dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut, apakah manusia itu berada di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil daripada evolusi.

Saya cuma menceriterakan saja bahwa ada satu cabang ilmu pengetahuan bahwa manusia itu adalah hasil daripada evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bernama Adam dan satu manusia bernama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusiamanusia lain, tetapi manusia itu adalah hasil daripada pertumbuhan. Mungkin juga dulu berupa een cellige wezens, sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren. Evolusi, menjadi semacam ikan­ikan. Evolusi lagi, binatang yang merayap tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang memanjat di atas pohon. Lama-­lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-­lama menjadi binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan empat kaki menjadiberdiri di atas dua kaki. Evolusi lagi, menjadi manusia yang seperti kita kenal sekarang ini. Mula­muia hidup di dalam hutan dan gua. Evolusi­evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus­ratus ribu tahun.

Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu bukti daripada teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi di desa Trinil terdapat tulang­tulang daripada makhluk yang demikian ini. Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki. Setengah monyet tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus yang ditaksir menurut ilmu biologi, batu yang membungkus tulang­tulang itu, – sebab tulang itu pada suatu hari mungkin terbenam, entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa ­, katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga akhirnya tulang ini terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu tahun. Jadi lebih daripada setengah j uta tahun. Dus tulang yang di dalam batu ini asal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.

Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus, tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. Itu fase pertama hidup dalam gua, mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senj ata Mauser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong kayu. Cara hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan jangan lupa akan stelling ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari hidup, mem­pertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mem­pengaruhi alam pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua­gua, di bawah pohon­pohon, mencari makan dengan memburu dan mencari ikan.

Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua. Jangan kira, tingkat yang kedua ini datangnya sekonyongkonyong. Tidak. Ini adalah satu pertumbuhan yang evolusioner. Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari pemburuan dan mencari ikan, mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburu, memburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang­binatang itu bisa ditangkap, diikat, dikurung, anaknya dipelihara, bisa ber­kembang biak. Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali, – garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud ­, hidup dari peternakan, memelihara binatang.

Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini, setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya memburu dan kemudian menjadi peternak, ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada ternaknya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja mem­ beri makan kepada diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya. Lama­-lama ia tahu bahwa makanan vang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu buah­buahan, ia pergi ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan. Berjumpa padi di rawa­rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui, biasa baginya, bahwa buahnya dapat dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. tetapi lambat­laun ia berpengalaman bahwa tanamanpun bisa ditanam. Tumbuh­tumbuhan yang berupa jagung, padi, gandum, buahbuahan bisa ditanam.

Dan terutama sekali, saudara-­saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian terutama sekali. Di sini kita pantas memberi saluut kepada wanita. Wanitalah makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi merasa harus. Ia melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya dikorek­korek menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga tanam­tanaman yang lain.

Salah satu jasa daripada wanita ialah: dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang pertama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit binatang. Lama­-lama ia berpikir: kalau kulit binatang yang satu ini disambung dengan kulit binatang yang lain, barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan serat atau akar, dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak, darah, – zaman dahulu itu orang masih makan darah, – harus dikumpulkan. Wanitalah yang pertama­tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorek­korek. Atau untuk tempat biji­biji yang dikumpulkan dari hutan­hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip wadah. Bahkan, karena barangkali tidak ada buah labu, wanita yang menggali tanah liat, dibentuknya dengan cara yang amat premitif, akhirnya menjadi semacam periuk.

Wanita vang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belurn rumah seperti sekarang, meskipun rumah desapun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran menyusun daun­daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama daripada atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapat­kan apa yang dinamakan civilization, peradaban.

Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat menjadi tenunan kasar. Wanita yang bercocok tanam mula­mula.

Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-­lama melihat bahwa jagung, padi bisa ditanam. Lama-­lama si laki pun meninggalkan cara hidup beternak, cape selalu mencari tempat penggembalaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindahpindah, nomade. Tatkala ia beternakpun, tingkat yang kedua, tidak menetap, berpindah­pindah, mencari makanan untuk ternaknya. Nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki, dus manusia cara hidupnya terutama sekali dari pertanian, manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch menjadi orang­orang yang menetap. Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan evolusi.

Pertanian, lama-­lama timbul pikiran: tanah ini kalau dicokel-­cokel dengan suatu alat, lebih subur. Lama-­lama timbul pikiran akan semacam bajak. Timbul pikiran untuk memotong. Timbul pikiran untuk membuat alat. Lama-­lama timbul satu kelas: aku tidak ikut bercocok tanam; aku membuat alat, aku membuat bajak, aku membuat cangkul, aku membuat semacam linggis dari kayu. Timbul juga satu pikiran, bahwa untuk mengangkut barang dari satu ke lain tempat harus ada alat yang bisa mengelinding. Lama-­lama menjadi begrip gerobak. Gerobak yang sederhana. Wanita yang bikin periuk, timbul pikiran: bikin periuk saja, sehari­hari bikin periuk. Wanita yang bikin tenunan, timbul pikiran mengumpulkan serat­serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas yang sehari­hari mengumpulkan serat­serat untuk menenun. Kelas penenun.

Demikianlah seterusnya timbul golongan­golongan manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian ditukarkan kepada orang yang bercocok tanam. Aku membuat periuk, aku perlu makan; ambillah periukku dan berilah aku jagungmu atau gandummu, atau padimu. Begrip ruilhandel, tukar­menukar timbul.

Di dalam tingkat keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup daripada apa yang dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul, membuat bajak, membuat pedang dan lain­lain. Hidup hanya membuat alat, yang hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian. Ruilhandel.

Evolusi lagi. Akhirnya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam alam yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan daripada nijverheid ini, membuat produksi, lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perburuhan, dengan terdapatnya mesin uap dan lain­lain. Industrial­isme. Itu adalah sifat yang kita hidup sekarang ini atau kita mengalami, melihat sekarang ini terutama sekali terjadi di dunia barat, di Amerika dan di Eropa. Saya ulangi, dus manusia ini pertumbuhannya melalui lima tingkat, sesudah ia berbentuk dan berupa manusia. Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan mencari ikan, satu. Berternak, dua. Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat. Industrialisme, lima.

Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene deler dan de kleinste gemene veelvoud, corak umum daripada masyarakat manusia. Tadi saya menandaskan kepada saudara­-saudara, cara hidup manusia mempengaruhi alam pikirannya. Juga mem­ pengaruhi alam persembahannya, kalau boleh saya pakai perkataan ini. Tatkala ia masih hidup di dalam hutan, di dalam guagua, apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam hutan, ia hidup di dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. Ia melihat bulan dan bintang­bintang. Ia sembah bulan dan bintang­bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut kepada petir, laksana petir itu menyambarnya. Ia menyembah pada petir. Ia menyembah kepada sungai, yang memberi ikan kepadanyaa la menyembah kepada pohon yang rindang yang ia bisa bernaung di bawahnya. Ia menyembah kepada awan yang berarak. Ia menyembah kepada matahari yang memberi cahaya cemerlang pada siang hari. Ia menyembah kepada barang­barang yang demikian itu.

Itulah Tuhannya pada waktu itu. Berupa gunung yang mengeluarkan api, berupa bulan, berupa bintang, berupa matahari. Ia punya Tuhan. Saya tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat, tetapi ia punya Tuhan pada waktu itu. Dan ini zaman tidak sebentar, lama sekali. Tuhannya yang berupa guntur dan petir, ia materialisir, ia materikan. Ia mendengar guntur yang menggeludug. Apa itu? O, itu Thor, yang turun dari satu mega ke lain mega. Tiap­tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara. Kalau ia mendengar guntur menggeledek itu: Thor sedang berjalan. Thor sedang naik kuda, yang berlompat dari satu awan ke lain awan. la menyembah sungai yang memberi makan kepadanya. Sebagai di alam India yang dahulu, orang masih mengagungkan sungai. Sungai Gangga misalnya.

Sungai Gangga misalnya, bengawan Silugangga kata orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya dari zaman baheula.

Yang menyembah sungai, menyembah petir, menyembah batu yang di dalam Bagawad Gita diceriterakan, pada hakekat­nya yang harus kita kenal dan kita hormati bukan batunya itu, tetapi dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bagawad Gita Kresna berkata kepada Arjuna: Kau kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah angin.
Aku tiada mula tiada akhir, aku adalah di dalam geloranya air samudra yang membanting di pantai. Itu juga disembah.

Sang manusia zaman dulu, fase pertama itu, kalau samudra sedang menggelora, membanting di pantai, menekukkan lutut­nya menyembah sebagaimana orang Jawa pantai selatan dulu, kalau mendengarkan Iautan kidul sedang menggelora, berkata: lampor, lampor. Manusia Jawa zaman dahulu, menyembah Iautan Selatan.

Saya kembali kepada Bagawad Gita, Bagawad Gita berkata: aku adalah di dalam geloranya air laut yang membanting di pantai, aku adalah di dalam sepoinya angin yang sedang meniup. Aku adalah di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di dalam awan yang berarak. Aku ada di dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku ada di dalam bulan, aku ada di dalam sinarnya bulan. Aku di dalam senyumnya sang gadis yang cantik. Aku yang tiada mula tiada akhir.

Bagawad Gita menegaskan bahwa jiwa manusia sejak dari zaman dulu itu ada yang disembah. Tapi yang disembah itulah yang berubah­ubah. Zat yang ia sembah, yang ia tidak kenal, di dalam zaman fase pertama berupa pohon, berupa petir, berupa air laut, berupa sungai sampai dimaterialisir, Thor, dewa daripada donder. Notabene, saudara­ saudara, kita punya perkataan guntur. Nama Guntur itu universil, saudara­-saudara. Di daerah Skandinavia dewa langit dinamakan Thor, Geluduk, guruh, petir itu, orang Skandinavia zaman dulu mengatakan Kung Thor, King Thor, raja Thor.

Perkataan Kung Thor itu sama dengan kita punya perkataan guntur. Ini adalah oleh karena pada hakekatnya manusia di dunia itu adalah satu, mandkind is one. Manusia itu satu sebetulnya. Yang berbeda­beda itu warna kulitnya. The same under the skin kata orang Amerika. Di bawah kulit sama saja. Kalimat itu pernah diucapkan pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer.

Fase pertama itu, Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenarnya, yang tepat. Dia punya begrip itu manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan air sungai, Tuhan angin. Contoh dari restan­restan kepercayaan ini tadi saya sebutkan. Di India orang masih menyembah sungai Gangga. Di Jawa lampor. Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada angin dari selatan meniup: lampor, lampor, lampor. Bahkan di kota Yogyakarta orang pasang lentera di luar rumah.

Fase kedua, manusia hidup dari peternakan. Pindah bentuknya ia punya Tuhan, terutama sekali berupa binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit kepadanya, oleh karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya Tuhan lantas dirupakan binatang. Ia malahan mengatakan kepada orang yang masih menyembah batu: masak batu disembah, pohon disembah, sungai disembah. Ini Tuhan yang betul, berupa binatang. Bangsa Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi yang bernama Apis, atau burung yang bernama Osiris. Bahkan di India sampai sekarang masih ada restan penyembahan binatang.

Di daerah yang masih memegang adat kuno, jika saudara mengganggu seekor sapi, saudara dibunuh. Sapi adalah binatang keramat. Begitu keramatnya sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja sapi boleh masuk toko, masuk di mana­mana. Orang India yang masih kolot, sakit misalnya, minta tahi sapi yang masih hangat dicampur air, dan airnya dipercikkan kepada orang yang sakit. Wanita India yang masih kolot, tiap pagi sebelum membuat api untuk membuat roti bakar, sekeliling dapurnya disiram dengan air tahi sapi. Yah, oleh karena dia anggap ini keramat. Pagar menolak segala bahaya. Ini adalah restan dari zaman manusia yang masih hidup terutama sekali di alam peternakan.

Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, saudara­-saudara, dia punya begrip daripada Tuhan itu, kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi, timbul Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan. Dewi­dewi yang memberkati pertanian. Sebab pertanian adalah satu onzekere factor, tergantung dari iklim, tergantung kepada kering atau hujan, tergantung dari banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam tanamannya, tidak lain ia lantas memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa agraris. Tentu ia hidup di dalam alam kata kanlah keagamaan, ketuhanan, religieus, tiap­tiap bangsa agraris, oleh karena segala sesuatu tergantung kepada onzekere factoren, yang mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya, kalau untung, bisa memiliki hasilnya. Kalau kebanyakan hujan, mati tanamannya. Oleh karena itu ia memohon. Nah, Tuhannya itu lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian, Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci, godinnen van de landbouw. Malah­ an dibentukkan manusia. Tetapi di dalam alam pertama, tidak selalu dibentuk­kan manusia, pohon ya pohon, kayu ya kayu yang disembah. Sungai ya sungai yang disembah, belum dibentukkan manusia. Di dalam alam kedua, peternakan juga belum dibentukkan manusia. Sapi ya sapi. Buaya ya buaya. Buaya disembah di alam Mesir yang dulu. Coba lihat lukisan­lukisan Mesir dulu.

Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular. Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk “Tuhan”, yang manusia sembah, dibentukkan manusia. Dalam ilmu pengetahuan dinamakan anthropromorph. Anthropus adalah manusia, morph adalah bentuk. Berbentuk manusia. Berbentuk Dewi Laksmi, manis. Coba lihat patung Sri, Dewi Laksmi, manis. Di dalam pikiran, dewi­dewi ini, manis. Anthropromorph. Demikianlah perpindahan begrip manusia daripada Tuhannya. Batu pindah kepada sapi, sapi pindah kepada anthropus, dewi.

Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu daripada alam pembuatan alam itu. Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal, akallah yang melahirkan sabit, bajak, jarum. Uitvindingen yang waktu itu masih sangat primitif, tapi toh uitvinding daripada akal.

Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bcrsarang di sini, di akal. Yang tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di dalam alam keempat itu menjadi gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba, batu bisa diraba, sungai bisa, sapi bisa. Dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes, tiap tahun, siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis cantik didewikan, diadakan satu pemilihan di kalangan alim­ ulama zaman itu, ini dewi.

Salah satu contoh yang sampai sekarang masih ada yaitu patung Aphrodite buatan Praxiteles. Praxiteles seorang pembuat patung yang pandai sekali, membuat patung wanita Aphrodite, Dewi Asmara yang sampai sekarang kalau orang melihat patungnya itu, bukan main. Tetapi ia membuat patung itu dari apa, modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak. Betul­betulan. Pada satu hari di tempatnya itu ada pemilihan dewi Asmara, seorang wanita yang cantik, dikeramatkan menjadi dewi Asmara. Dan ahli seniman ini membuat patung, modelnya, dus, benar­benar wanita itu, materi, zuiver mens, dan ia namakan patung ini Aphrodite.
Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib. Tuhan di mana? Tidak kelihatan tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh karena akallah menjadi penentu daripada hidup manusia.

Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih daripada digaibkan. Karena di situ manusia merasa dirinya atau sebagian daripada manusia merasa dirinya Tuhan. Di dalam alam industrialisme itu apa yang tidak bisa dibikin oleh manusia. Mau petir, aku bisa bikin petir. Aku, aku, aku bisa bikin petir. Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit sekian milyun volt, aku buka dia punya stroom, petir. Aku bisa membuat petir.

Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa mem­buatnya. Mau hujan? Sekarang ada pesawat­pesawat pembikin hujan. Mau outer space, keluar daripada alam ini? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan, tidak ada Tuhan itu. Lucunya di situ! Sebagian daripada manusia berkata: Tuhan, tidak ada. Saudara­ saudara bisa mengikuti analisa ini? Batu atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa, pindah ada Tuhan tetapi tidak bisa dilihat, gaib.

Nomor lima, sebagian daripada manusia, de heersers van de industrie, de geleerden, banyak yang berkata: tidak ada Tuhan. Hilang sama sekali begrip itu.

Nah, ini bagaimana? Saya menyelami masyarakat Indonesia, dan pada garis besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud, saya melihat, bahwa bangsa Indonesia percaya pada adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan tetapi sebagai grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena masyarakat Indonesia pada dewasa ini sampai kepada penggalianpenggalian ke dalam, terutama sekali masih hidup di dalam alam perpindahan keempat, tiga keempat, dan empat kelima, sebagian besar masih agraris, dan tiap­tiap bangsa yang agraris, mempunyai kepercayaan. Sebagian hidup di dalam alam kerajinan
.
Tadipun saya terangkan, rakyat yang hidup di dalam alam nijverheid, pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil yang telah hidup di dalam alam industrialisme itu. Tetapi itu bukan lagi corak daripada keseluruhan tingkat masyarakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, terutama sekali ialah sebagian agraris, sebagian nijverheid, dan baru kita melangkah sedikit ke alam industrialisme.

Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu rakyat yang mempunyai kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima. Sebaliknya kalau saya tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat salah satu elemen, daripada meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan atau membuang satu elemen yang bindend, bahkan masuk betul­ betul di dalam jiwanya bangsa Indonesia.

Kalau saudara tanya kepada saya persoonlijk, apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan. Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan saya betul­ betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho la kok manusia itu dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian gaib. Apa Tuhan itu berubahubah? Tidak! Bukan Tuhannya yang berubah­ubah. Zat ini tidak berubah­ ubah, tetapi yang berubah­ubah ialah begrip manusia. Begrip manusia itu yang berubah­ ubah, tergantung kepada fase hidupnya, cara hidupnya. Tuhannya tetap ada, cuma dikira oleh manusia zaman itu, Tuhan itu beledek, atau air laut yang bergelora. Atau suara burung di dalam malam gelap gelita, itu dikira suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam alam peternakan mengira bahwa Tuhan berupa sapi. Atau orang di dalam alam pertanian mengira Tuhan berupa Dewi Sri.

Di dalam alam nijverheid, orang memberikan mahligai kepada akal, ya Tuhan ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan orang yang sudah bisa memecahkan atom, ada yang berkata: nonsens Tuhan, aku bisa membuat atom, aku bisa menguasai langit. Pengiraan manusia yang berubah, Tuhannya tetap.

Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di Candradimuka. Ada lima orang, kelima­limanya buta dan belum pernah melihat gajah, karena butanya. Mereka datang pada seseorang yang mempunyai gajah. He, kami lima orang kepingin tahu gajah. Boleh. Gajahnya besar, dikeluarkan dari kandangnya. Nah ini gajah yang berdiri di muka saudara-saudara.

Coba saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah itu. Si A maju ke muka, dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya oleh yang punya gajah: Bung, bagaimana bentuk gajah? Jawabnya, gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya mendapat belalai. B maju ke muka dan ia meraba­raba mendapat kaki gajah. Gajah itu kok begini, empuk, tetapi seperti pohon kelapa. C maju ke muka, orangnya tinggi, pegang­pegang, dapat telinga gajah. Ya, gajah itu seperti daun keladi, pak. Keempat, seorang agak kerdil, pegang­pegang, dapat ekor gajah. Seperti pecut, cemeti. Nomor lima yang paling kerdil, maju ke muka, di bawahnya gajah. Tidak dapat pegang apa­apa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas Bung itu gajah. O, gajah itu seperti hawa.

Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira gajah seperti belalai, satu mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip manusia yang berbeda­beda.
Nah, saudara-­saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan bagi saya ada. Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets. Di dalam tiap-­tiap saya sembahyang, saya bicara kepada Tuhan, dan saya sering minta apa­apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada saya. Dan itu memperkuat kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. Ini cerita persoonlijk: saya sering mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi, dan mimpi itu saya rasa, ini mimpi­mimpi betul, biasanya keesokan harinya terjadi. Bagi lain orang, lain, barangkali terjadinya itu lain bulan dan sebagainya.

Bagi saya, praktik saya, kalau saya sudah mimpi dan saya merasa betul ini bukan impi­ impian, kontan keesokan harinya terjadi. Hal-­hal yang semacam itu memberi keyakinan kepada saya bahwa Tuhan ada.

Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya, telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah keagamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini.

Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra­-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini dimasuk­kan. Dan itulah sebabnya maka di dalam Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas.


Artikel Terkait