Rabu, 31 Mei 2017

Pidato Bung Karno - Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia

Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia
(Ceramah Presiden Sukarno pada Pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Pada Tanggal 17 Juni 1954)

Saudara-­saudara sekalian,

Lebih dahulu saya mengucap banyak­-banyak terima kasih kepada Saudara­saudara sekalian, bahwa Saudara­saudara pada malam ini memerlukan datang di sini untuk bersilaturahmi dengan kepala negara serta Ibu Soekarno.

Sekarang saya diminta untuk membuat ceramah. Ceramah yang terutama sekali mengenai hal Pancasila dasar dan azas negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kadang­- kadang saya mendengar sebutan “Gerakan Pembela Pancasila”. Sebenarnya sebutan yang demikian itu kurang lengkap. Harusnya, ialah “Gerakan Pembela Pancasila Sebagai Dasar Negara”. Kalau sekadar dinamakan “Pembela Pancasila”, maka berarti bahwa Pancasila itu harus dibela. Dan dengan sendirinya timbullah pertanyaan: Apakah Pancasila itu harus dibela? Pertanyaan ini ada hubungannya dengan paham atau pendapat yang pernah dikemukakan oleh salah seorang Saudara bangsa kita, bahwa Pancasila adalah buatan manusia.

Saudara-­saudara,

Dalam hubungan ini buat kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformulir perasaan­perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata­kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia. Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan Tuhan, itu lain pertanyaan.

Aku bertanya. Aku melihat daun daripada pohon itu hijau. Nyata hijau itu bukan buatanku, bukan buatan manusia. Apakah warna hijau daripada daun itu dus buatan Tuhan? Terserah kepada Saudara­saudara untuk menjawabnya. Aku sekadar konstateren, menetapkan dengan kata­kata satu keadaan.

Di dalam salah satu amanat yang saya ucapkan di hadapan resepsi para penderita cacat beberapa pekan yang lalu, saya berkata bahwa saya sekadar menggali di dalam bumi Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara yang seindah­indahnya. Aku bukan pembuat berlian ini; aku bukan pencipta dari berlian ini, sebagaimana aku bukan pembuat daun yang hijau itu. Padahal aku menemukan itu ada daun hijau. Jikalau ada seseorang Saudara berkata bahwa Pancasila adalah buatan manusia, aku sekadar menjawab: “Aku tidak merasa membuat Pancasila itu; tidak merasa mencipta Pancasila itu”.

Aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan daripada manusia. Malahan manusia yang tidak lebih daripada Saudara­saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekadar memformulirkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletak­kan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu.



Di belakangku terbentang peta Indonesia, yang terdiri dari berpuluh­puluh pulau yang besar­besar, beratus­ratus, beribu­ribu bahkan berpuluh­puluh ribu pulau­pulau yang kecil­kecil. Di atas kepulauan yang berpuluh­puluh ribu ini adalah hidup satu bangsa 80 juta jumlahnya. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna adat­istiadat. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara berpikir. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara mencari hidup. Satu bangsa yang beraneka warna agama­nya.

Bangsa yang berdiam di atas puluhan ribu pulau antara Sabang dan Merauke ini, harus kita persatukan bilamana bangsa ini ingin tergabung di dalam satu negara yang kuat. Maksud kita yang pertama sejak daripada zaman kita melahirkan gerakan nasional ialah mempersatukan bangsa yang 80 juta ini, dan kemudian memerdekakan. Menggabungkan bangsa yang 80 juta ini di dalam satu negara yang kuat. Kuat, karena berdiri di atas kesatuan geografi, kuat pula oleh karena berdiri di atas kesatuan tekad.

Pada saat kita menghadapi kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, dan alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian ­, kita menghadapi soal bagaimanakah negara yang hendak datang ini, kita letakkan di atas dasar apa. Maka di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh Indonesia, dipikir­pikirkan soal ini dengan cara yang sedalam­dalamnya. Di dalam sidang inilah buat pertama kali sayan formuleren apa yang kita kenal sekarang dengan perkataan “Pancasila”.

 Sekadar formuleren, oleh karena lima perasaan ini telah hidup berpuluh­puluh tahun bahkan beratus­ratus tahun di dalam kalbu kita. Siapa yang memberi bangsa Indonesia akan perasaan­perasaan ini? Saya sebagai orang yang percaya kepada Allah swa. berkata: “Sudah barang tentu yang memberikan perasaan­perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Allah swa. pula”.
Lima perasaan yang Saudara­saudara kenal dengan perkataan­perkataan:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kebangsaan Indonesia yang Bulat,
3. Perikemanusiaan,
4. Kedaulatan Rakyat,
5. Keadilan Sosial,

Kelima perasaan ini hidup di dalam kalangan bangsa Indonesia. Hidup di dalam kalangan bangsa Indonesia sebelum aku dan engkau ada. Lima perasaan ini hanyalah belum pernah diformulir. Aku mempunyai keyakinan, bahwa kalau negara kita didasarkan di atas lima perasaan ini, maka negara kita dapatlah mempunyai territour (wilayah) dari Sabang sampai ke Merauke.
Saudara­saudara mengetahui bahwa tiap­tiap negara  barulah boleh disebut negara jika negara itu memenuhi syarat paling sedikit tiga buah.
Syarat pertama, ialah bahwa negara itu tegas harus mempunyai wilayah. Tegas harus mempunyai territour. Tegas harus orang dapat melihat, bahwa ini wilayah negara itu. Sesuatu gerombolan manusia yang tidak tegas akan territournya, yang tidak tegas akan wilayahnya, dan tidak tegas akan batas­batas wilayahnya, gerombolan manusia yang demikian itu tidak dapat dinamakan rakyat daripada suatu negara. Syarat yang pertama ini adalah syarat yang mutlak.

Syarat yang kedua ialah di atas territour tadi, harus ada rakyatnya. Dan rakyatnya ini harus berasa sebagai satu bangsa. Satu bangsa yang di dalam bahasa Jerman dinamakan satu Staat Nation. Meskipun territournya tegas, tetapi jika di atas territour itu rakyatnya hidup tidak karuan, tidak mempunyai hubungan batin satu sama lain, tidak merasakan dirinya sebagai satu Staat Nation, maka bangsa yang demikian itu tidak dapat disebutkan bangsa daripada satu negara. Sebaliknya, walaupun bahasanya berupa-rupa, seperti bangsa Swis, ada yang berbahasa Perancis, ada yang berbahasa Jerman, ada yang berbahasa Italia. tetapi karena mereka merasakan dirinya sebagai satu Staat Nation, dan mempunyai territour yang tegas nyata wilayahnya, maka bangsa yang demikian itu dapat menjadi satu negara.

Syarat yang ketiga, ialah adanya Pemerintah yang ditaati oleh segenap Staat Nation itu tadi. Bagi sesuatu bangsa yang telah mempunyai wilayah yang tegas, dan rasa Staat Nation yang tegas, tetapi bilamana tidak ada Pemerintah di puncaknya yang mengereh segenap Staat Nation ini di atas segenap wilayah ini, dan kalau Pemerintah ini tidak ditaati oleh segenap Staat Nation itu tadi, niaka di sini perkataan negara pun tidak boleh dipakai.

Maka untuk memenuhi tiga syarat inilah kami tempo hari menggali­gali di dalam bumi Indonesia ini untuk mendapatkan berlian­berlian yang indah, berlian untuk dijadikan hiasan daripada negara. Tegasnya untuk mendapat dasar agar supaya negara ini bisa teguh dan selamat. Lebih daripada siapapun juga di kalangan bangsa Indonesia ini, aku yang dikaruniai Allah swa. di dalam beberapa tahun ini menjadi Presiden Republik Indonesia, hingga aku telah banyak mengunjungi daerah­daerah daripada tanah air kita ini, mengenal rakyat Indonesia ini di pelbagai daerah itu. Lebih daripada siapapun juga, aku melihat bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang terdiri daripada aneka warna adat­istiadat, aneka warna cara hidup, aneka warna paham keseniannya, aneka warna agamanya. Dan bangsa yang demikian ini memerlukan satu dasar negara yang dapal menipersatukannya.
Dan alhamdulllah sebagai tadi kukatakan ternyata dasar Pancasila ini dapat dipakai untuk mempersatukan segenap bangsa Indonesia yang 80 juta dan beraneka warna itu.

Di wilayahwilayah yang,jauh-­jauh, orang­-orang dengan tegas mengatakan baliwa Pancasila adalah satu-­satunya dasar yang dapat dipakai untuk mempersatukan bangsa Indonesia ini. Dan oleh karena kita tidak ingin mempunyai negara dua atau tiga, tetapi kita ingin negara satu (negara kesatuan), maka marilah kita pertahankan Pancasila itu  sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara. kita harus bela Pancasila ini. Jika kita tidak mau menghadapi kemungkinun bangsa Indonesia ini terpecah­helah herantakan.

Beberapa minggu yang lalu, aku telah mengunjungi daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Aku melihat, sebagian besar dari rakyat di Maluku dan Nusa Tenggara itu menghendaki dasar Pancasila tetap sebagai dasarnya Republik Indonesia kelak kemudian hari. Tadi aku katakan bahwa aku hanya sekadar penggali, kemudian sekadar memformuleer, karena kelima perasaan itu memang telah ada di kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluhpuluh bahkan beratus­ratus tahun.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Aku hendak menceritakan kepada Saudara­saudara lebih dahulu asalnya istilah Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Tatkala pemimpin­pemimpinmu pada pertengahan tahun ’45 mempikir-pikirkan dasar apakah yang pantas dipakai untuk menjadi dasar dari Republik Indonesia yang akan datang, maka mula­mula aku menganjurkan sebagai sila yang pertama, Ketuhanan. Kemudian datanglah perbincangan yang hebat, terutama sekali daripada saudara­saudara pihak Islam yang menghendaki dengan tegas jangan sekadar dinamakan “Ketuhanan” saja tetapi ditambah dengan perkataan “Yang Maha Esa”. Dan usul daripada saudarasaudara dari pihak Islam ini, diterima oleh kami semua. Jadi perkataan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah hasil daripada perundingan. Hasil daripada usul dari saudara­saudara pihak Islam yang memang usul itu kami terima dengan segala senang hati. Dari ini saja sudah nyata bahwa Pancasila bukan kuberikan kepada bangsa Indonesia sebagai aku ini diktator. Tidak!!! Dirundingkan. dibicarakan bersama. Dan spesial yang mengenai sila yang pertama malahan diper­sempurnakan oleh saudara­saudara dari piliak Islam dengan perkataan “Yang Maha Esa” itu tadi.

Ketuhanan, (Ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti religieusiteit) itu memang sudah hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh­puluh, beratus­ratus dan beribu­ribu tahun. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan pertama­tama hal yang aku lihat ialah religieusiteit. Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas tarafiiya agraria, taraf pertanian. Semua bangsa yang masih hidup di atas taraf agraria, tentu religius. (Saya belum memakai perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa) tetapi baru saya me­makai perkataan religieusiteit atau kepercayaan kepada suatu hal yang gaib yang menguasai hidup kita ini semua. Perasaan atau kepercayaan yang demikian itu hidup di dalam kalbunya bangsa­bangsa yang masih hidup di dalam taraf agraria.

Betapa tidak? Orang yang masih bercocok tanam, bertani, merasa bahwa segenap ikhtiarnya untuk mencari makan ini sama sekali tergantung daripadaa satu hal yang gaib. Orang yang bertani memohon supaya turun hujan misalnya. Dari mana hujan harus diminta? Kita mempunyai sawah dan ladang, sawah dan ladang ini ditanami dengan padi atau jagung. Padi akan mati, jika tidak dapat air hujan. Bangsa yang bertani tidak boleh tidak, lantas: “ah, ada satu hal yang gaib, kepada Nya aku mohon supaya diturunkan hujan”. Demikian pula jikalau buah padinya telah hampir tua, sebaliknya dia mohon kering jangan ada hujan yang terlalu lebat. Lagi dia berhadapan dengan satu hal yang gaib. Mungkin dia belum dapat mengatakan bahwa itu yang dinamakan Allah. Atau Tuhan pun mungkin belum ada perkataan itu padanya. Tetapi sekadar kalbunya penuh dengan permohonan kepada satu zat yang gaib: “Ya gaib, ya gaib, jangan diturunkan hujan, lagi aku sekarang membutuhkan kering”. Hujan dan kering tidak dapat dibuat oleh manusia. Hujan clan kering dimohonkan oleh bangsa yang demikian itu kepada sesuatu zat vang gaib.

Belum aku menceritakan hal hama. Hama tikuskah. hama belalangkah, hama baksil­ baksilkah. Sama sekali itu di hiar perhitungan manusia. Lagi dia mohon kepada satu hal yang gaib: “Ya, gaib berilah jangan sampai tanamanku ini diganggu oleh hama. tikus”. Ya, barangkali dia belum tahu hal­hal kuman­kuman kecil yang dapat membikin sakitnya padi atau jagungnya itu.
Bangsa yang demikian, yang masih di atas taraf agraria, tidak boleh tidak mesti religieus. Sebaliknya bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak sekali yang meninggalkan religieusiteit itu. Aku tidak berkata bahwa itu adalah baik, meninggalkan religieusiteit. Tidak! Lagi­lagi aku sekadar konstateren. Bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit. Apa sebab? Sebabnya ialah karena ia berhadapan – banyak sekali – dengan kepastiankepastian. Perlu litrik, tidak perlu “oh ya gaib, oh ya gaib”, dengan tekan knop saja, terang menyala. Ingin tenaga, tidak perlu dia memohon ya gaib ya gaib aku ingin tenaga. Dia punya mesin; mesin dia gerakkan, mesin itu bergerak. Di dalam tangannya dia merasa bahwa dia menggenggam kepastian. Ingin perang aku dapat mengadakan perang. Ingin tenaga aku bisa menggerakkan ini mesin. Oleh karena itulah rakyat yang sudah hidup di dalam alam industrialisme banyak yang meninggalkan religieusiteit itu tadi.

Memang pernah kukupas di dalam satu ceramah yang mengenai religieusiteit ini, bahwa religieusiteit ini melewati beberapa fase pula. Sebab memang masyarakat manusia adalah dinamis. Dinamis di dalam arti selalu bergerak. Masyarakat nianusia tidak berhenti pada satu taraf (tidak statis). Masyarakat manusia berjalan (berevolusi). Masyarakat manusia dinamis. Cara hidup manusia berganti­ganti. Dengan pergantian cara hidup ini, dia punya religieusiteit pun berganti­ganti warna. Tatkala dia masih hidup di dalam hutan rimba­raya, belum dia bertani. Dia hidup di rimba­raya tidak mempunyai rumah. Sekadar dia hidup di dalam gua­gua, di bawah pohon­pohon.

Sekadar mencari makan dengan memburu atau mencari ikan. la sudah religieus, tetapi apa yang dia sembah? Dia menyembah petir. Oleh karena dia mengetahui, kalau memerlukan api: “itu dia, petir itu bisa menyembar pohon dan dia memberi api kepadaku”. Dia menyembah sungai, oleh karena sungailah memberi ikan kepadanya. Bahkan dia menyembah batu, karena batu itulah yang memberi perlindungan kepadanya. Dia menyembah geledek, dalam pikirnya geledek inilah satu zat yang gaib. Pikirannya ada satu zat yang gaib yang turun dari satu mega ke lain mega, dengan mengeluarkan suara gernuruh. Dia adalah religieus, dengan cara dia sendiri.

Tatkala manusia kemudian dari itu tidak lagi hidup di dalam rimba­raya, di dalam gua­ gua tetapi hidup dengan beternak, pada waktu itu dia religieus, tetapi ciptaan daripada zat gaib ini lain lagi. Bukan lagi geledek, bukan lagi sungai atau pohon­pohon besar yang rindang­rindang dia sembah, tetapi dia menyembah zat yang berupa binatang­binatang sebagai yang sekarang ini masih ada sisa­sisanya di beberapa bangsa yang menyembah sapi atau binatang ternak.
Tatkala manusia hidup di atas taraf pertanian, makin religieus dia tetapi ciptaannya juga berubah daripada bangsa yang masih hidup di rimba­raya dengan memburu dan mencari ikan daripada bangsa yang hidup dengan berternak saja. Tetapi nyata bangsa yang di atas taraf agraria, bangsa yang demikian itu adalah religieus. Terutama sekali karena tanarn­tanamannya tergantung sarna sekali dari gerak­gerik iklim.

Demikian pula bangsa yang sudah meninggalkan taraf agraria dan sudah masuk taraf industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit seperti kukatakan tadi, oleh karena dia hidup di dalam alam kepastian. Malah di dalam taraf inilah timbul aliran­ aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan. Di dalam taraf inilah timbul apa yang dinamakan atheisme. Tetapi _jikalau Saudara­saudara bertanya kepada Bung Karno persoonlijk apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan, Bung Karno berkata: “Ya aku percaya kepada Tuhan”. Malahan aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dua bukan tiga. Tuhan yang satu. Tuhan yang menguasai segala hidup. Ciptaan manusia yang berubah­ubah. Pikiran manusia yang berubah­ubah.

Dulu tatkala manusia hidup di dalam rimba­raya di bawah pohon­pohon dan di gua­gua, dia mengira bahwa Tuhan adalah berupa pohon, petir atau sungai. Dulu tatkala manusia hidup dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai sekarang masih ada sisa­sisa bangsa­bangsa yang menyembah kepada binatang. Dulu tatkala manusia hidup di dalam taraf agraria, terutama sekali dulu, diapun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan tatkala manusia masuk di dalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui kepada Tuhan lagi. Tetapi bagiku sebagai Bung Karno, Tuhan ada. Aku sering menceritakan tentang hal orang buta yang ingin melihat rupanya gajah. Ada empat orang buta, semuanya belum pernah melihat rupanya gajah. Datanglah seorang kawan yang hendak menunjukkan kepada mereka itu apa gajah itu. Si Buta yang pertama disuruh maju ke muka, dia meraba­raba dan dia mendapat belalai gajah. Dia berkata: “Oh aku sekarang sudah tahu rupanya gajah, rupanya sebagai ular besar yang bisa dibengkok­bengkokkan”.

Si Buta nomor dua disuruh tampil ke muka dan dia mencaricari gajah dan mendapat ekor daripada gajah itu. Lalu dia berkata: “Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu seperti cambuk”.

Si nomor tiga lagi maju ke muka. Cari­cari gajah, lalu memegang kaki gajah. Katanya: “Oh aku sudah tahu gajah rupanya seperti pohon kelapa”. Si nomor empat tampil ke muka (dia cebol) pendek sekali dia punya badan. datang di bawah gajah itu, pegang­ pegang tak dapat apa­apa. Katanya: “O aku sudah tahu, gajah rupanya seperti hawa. Gajah tidak ada. Gajah itu seperti hawa ini”.

Seperti orang di dalarn dunia industrialisme mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Padahal gajah ada. Demikian pula, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia berganti­ ganti. Saudara­saudara.

Aku menceritakan hal ini, untuk mengatakan bahwa bangsa kita yang terutama sekali hidup di atas taraf agraria ini, bahwa bangsa Indonesia itu reliegius. Oleh karena itulah maka sila yang pertama tergalilah olehku hal perasaan ini: Ketuhanan di dalam arti relegieusiteit. Tetapi oleh Saudara­saudara pihak Islam diusulkan supaya ditambah dengan perkataan: Yang Maha Esa. Dan itu kami terima dengan segala senang hati.
Maka oleh karena itulah sila yang pertama sekarang itu, berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kebangsaan
Sudah barang tentu kita yang ingin menjadi bangsa yang satu, harus mengemukakan sila kebangsaan itu. Dan sudah barang tentu rasa kebangsaan itu hidup berkobar­kobar di dalam dada kita. Ialah oleh karena kita sudah 350 tahun dijajah oleh bangsa lain. Sosio­ logis, sernua bangsa yang lama dijajah oleh bangsa asing, mesti kalbunya itu berkobar­ kobar dengan rasa kebangsaan. Ini boleh dinamakan adalah satu perasaan negatif, reaksi kepada imperialisme atau kolonialisme. Tetapi rasa kebangsaan ada di dalarn kalbunya tiap­tiap bangsa yang telah lama dijajah oleh bangsa lain. Tetapi seperti Saudara­saudara mengetahui, kebangsaan yang kita kemukakan bukan sekadar kebangsaan negatif. Tetapi juga kebangsaan positif. Kebangsa­an yang ingin mengemukakan segala rasa­rasa yang mulia dan luhur yang ada di dalam kalbunya bangsa kita.

Bahkan aku berkata, di dalam hal ini bangsa Indonesia telah memberi contoh yang sebaik­baiknya. Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia ini vang belum pernah menjajah bangsa lain. Bangsa Iain pcrnah menjajah Indonesia. Tctapi bukalah kitab sejarah. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang engkau tidak akan mendapat sesuatu bukti bahwa bangsa Indonesia itu pernah menjajah bangsa lain. Tidak! Kita bangsa Indonesia di dalam rasa nasionalismne kita suci murni sebagai satu bangsa yang bukan saja menjunjung tinggi kepada nasionalisme atau kebangsaan, tetapi juga sebagai satu bangsa yang hidup di dalam alam perikemanusiaan sebagai yang terlukiskan di dalam sila ketiga daripada Pancasila itu.

Seluruh bangsa di Asia sekarang masih hidup di dalam rasa kebangsaan itu. Nasionalisme adalah salah satu faktor mental yang penting sekali di dalam segenap dunia dari Magribi (daerah paling Barat dari Afrika) sampai ke daerah Pasifik. Apa sebab? Ialah karena bangsa­bangsa yang dinamakan bangsa Afrika dan Asia ini tidak berselang lama masih hidup di dalam alam penjajahan, dijajah oleh kolonialisme, diperintah oleh bangsa lain, ditindas oleh bangsa asing, dihisap oleh kekuasaan­kekuasaan dari luar. Bangsa­bangsa yang demikian itu tidak boleh tidak tentu kalbunya itu hidup dengan keinginan kembali kepada pribadi sendiri, yaitu yang dinamakan kebangsaan. Tetapi bangsa Indonesia adalah istimewa. Ialah oleh karena bangsa Indonesia ini terutama sekali hidupnya di persimpangan jalan. Persimpangan jalan dari Asia ke Australia, dari lautan Teduh ke lautan Hindia. Bangsa yang dari zaman purbakala sudah belajar kenal dengan bangsa­bangsa yang lain. Bangsa yang tidak pernah hidup eksklusif. Bangsa yang tidak pernah hidup isolationistis. Bangsa yang tidak pernah hidup menyen­diri. Bangsa yang merasa dirinya tertindas benar. Bangsa yang merasa dirinya terjajah benar. Bangsa yang ingin merdeka benar. Bangsa yang ingin bersatu benar. Bangsa yang dus ber­ nasionalisme benar. Tetapi nasionalismenya tidak pernah sekadar negatif, tetapi positif.

Ialah karena bangsa Indonesia itu sebagai tadi kukatakan tidak pernah terpencil daripada bangsa ­bangsa yang lain.
3. Perikemanusiaan
Rasa perikemanusiaan antara lain­lain bisa diterangkan daripada inilah yang bangsa Indonesia tidak pernah hidup isolationistis, yang bangsa Indonesia seperti hidup di dalam satu gedung yang pintu­pintunya terbuka, jendela­jendelanya terbuka. Hawa segar dapat masuk ke dalam gedung bangsa Indonesia itu. (Dengan demikian, bangsa Indonesia itu tidak pernah di dalam kalbunya pula, isolationistis). Selalu mem­punyai rasa manusia dengan manusia dengan manusia dengan bangsa apapun. Apalagi kita sejak daripada zaman dulu mendapat didikan­didikan perikemanusiaan yang beraneka warna.

Ambil misalnya agama Hindu, yang sudah ribuan tahun yang lalu datang di Indonesia. Apa ajaran agama Hindu, yang dulu itu boleh dikaakan agamna dari sebagian besar daripada bangsa Indonesia ini? Apa ajaran agama Hindu yang telah memasuki jiwa Indonesia beratus­ratus tahun lamanya. Di dalam agama Hindu ada satu ajaran dalam bahasa Sanskritnya berbunyi: Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Sering di zarnan Hindu orang menunjuk dirinya dan diri orang lain Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Dia adalah aku, aku adalah dia. Itulah artinya Tat Twam Asi. Aku adalah dia, dia adalah aku, ini adalah rasa perikemanusiaan. Yang sudah di­cekokkan ke dalam jiwa kita beratusratus tahun bahkan beribu­ribu tahun yang lalu.
Kemudian kita mendapat pula didikan agama Islam. Tidak­kah agama Islanl itu justru satu agama perikemanusiaan? Tidak­kah agama Islam itu sejak dari dahulu memberi pengajaran kepada kita hal kifayah, hal kemasyarakatan, sampai misalnya diadakan fardhu kifayah. Jangan sekadar memikirkan saja kepada diri sendiri, tetapi ingat kepada kifayah, fardhu kifayah. Masyarakat, masyarakat. Dan tidakkah ajaran daripada Islam ini telah menyerak pula di dalarn darah­daging bangsa Indonesia?

Engkau menghendaki agama Kristen, tidakkah agama Kristen pula mengajarkan hal perikemanusiaan itu? Tidakkah agama Kristcn pula mengajarkan het God lccft bovcn alles, en Uw naasten ggelijk U zelven.
Sesama manusia harus dicintai, seperti mencintai diri kita sendiri. Jadi jikalau aku menggali rasa perikemanusiaan di dalam bumi Indonesia, itu adalah satu hal yang tidak meng­herankan. Sebagaimana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa Ketuhanan di dalam bumi Indonesia. Sebagai­mana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa kebangsaan di dalam kalbunya bangsa Indonesia.

4. Kedaulatan Rakyat
Demikian pula kalau aku menggali kecintaan kepada Kedaulatan Rakyat di dalam kalangan bangsa Indonesia. Itupun tidak mengherankan, bahwa bangsa Indonesia ini memang beribu­ribu tahun hidup di dalam alam demokrasi itu, walaupun demokrasi kita tidak sebagai apa yang dinamakan parlementaire atau Westerse democratie sekarang  ini. Sejak zaman dahulu kita ini adalah bangsa yang demokratis. Sejak zaman dahulu kita memusyawaratkan segala sesuatu yang mengenai masyarakat kita. Sebelum ada teori­ teori Montesqieu, Voltaire, Rousseau, sebelum teori trias­politica, sebelum ada parlemen­parlemen di dunia barat, kita sudah menjalankan demokrasi di dalam bentuk secara kuno. Tetapi demokrasi telah ada. Oleh karena itu rasa demokrasi ini tidak asing lagi bagi kita.

Sebelum ada parlemen­parlemen, kita telah mempunyai cara berpernerintah di desa­ desa, dan di negara­negara yang demokrasi, walaupun demokrasinya itu adalah demokrasi yang sesuai dengan zaman itu.

5. Keadilan Sosial
Demikian pula kalau aku menggali di dalarn bumi Indonesia ini perasaan Keadilan Sosial. Tidaklah mengherankan pula, terutama sekali di dalam alam imperialisme kita gandrung kepada keadilan sosial. Kita gandrung kepada satu keadaan yang memberikan nyaman hidup kepada kita. Kita gandrung kepada cukup makan, cukup pakaian, cukup perumahan yang layak. Tidak perlu kuceritakan kepada Saudara­saudara betapa akibatnya imperialisme, kolonialisme, penjajahan kepada kehidupan dan perikehidupan kita. Kita bangsa Indonesia yang dahulu hidup di dalam alam kemakmuran, kita menjadi satu bangsa yang miskin di dalam alam imperialisme itu. Tidakkah dulu Saudara mengenal ucapan bahwa bangsa Indonesia dapat hidup dari uang 2 sen atau sebenggol seorang sehari karena isapan daripada kaum imperialisme itu. Padahal kalau kita melihat kitab­kitab zaman kuno yang mengingatkan kita akan zaman yang makmur itu: gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kartoraharjo. Diceritakan masyarakat kita di zaman dahulu sampai poezie kita membawa alam yang seindahindahnya mengenai keadilan sosial itu. Kadang­kadang aku menyuruhkan dalang, jika dalang telah menceritakan kemakmuran bangsa kita di zaman dahulu, toto tentrem kartoraharjo katanya, gemah ripah loh jinawi, poro kawulo ijeg rumagang ing gawe, tebih saking cecengilan, adoh saking laku juti, bebek ayam rajokoyo enjang medal ing pangonan surup bali ing kandange dewe-dewe.

Sampai bebek dan ayam dikatakan pagi­pagi keluar sendiri ke tempat penggembalaan. Pada waktu magrib ternak ayam bebek ini pulang ke kandangnya masing­masing.

Kemudian datang imperialisme hidup di dalam alam kemiskinan. hidup dari sebenggol seorang sehari. Sebagai Dr Huender mengatakan een natie van loontrekkers en een koelie onder de naties. llidup dalam alam kesederhanaan, hidup di dalam alam kepapaan, kekurangan. Herankah kita bahwa kita lantas hidup di dalam alam idealisme ini ingin kepada keadilan sosial? Bahwa bangsa Indonesia gandrung kepada keadilan sosial itu? Heran­kah kita bahwa bangsa Indonesia itu mengenang­ngenangkan akan datangnya seseorang ratu adil yang bisa memberi “sandang pangan” yang layak kepada bangsa Indonesia itu? Dan herankah kita kalau aku menggali sila kelima ini dari buminya bangsa Indonesia yang hidup papa sengsara dan gandrung kepada keadilan sosial itu? Tidak!

Maka sekali lagi Saudara­saudara dan adik­adikku aku sekadar menggali keadaan-keadaan yang nyata, kemudian aku formuleer dan formuleer inilah dinamakan Pancasila. Kemudian tatkala aku menjadi Presiden Republik Indonesia dan mengunjungi daerah­daerah di seluruh Indonesia dari Sabang sampai hampir ke Merauke makin teguh perasaanku bahwa hanya Pancasila inilah harus kita pertahankan sebagai dasar negara. Aku melihat bahaya yang besar mengancam keruntuhan negara kita ini jikalau dasar Pancasila tidak kita pertahankan untuk dasar negara kita. Jangan Pancasila diaku oleh sesuatu partai! Jangan ada sesuatu partai berkata: Pancasila adalah azasku.

PNI tetaplah kepada azas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berazas Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah ideologi satu partai, lalu partai­partai lain tidak mau.

Oleh karena itu aku ulangi lagi. Pancasila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini. Saudara­saudara.

Hal negara, jagalah negara jangan sampai negara ini pecah. Untuk apa kita bcrjuang bcrpuluh­puluh tahun, tidakkah untuk negara ini? Dan tadi sebagai kuterangkan tidakkah kita telah gandrung kepada kesatuan dari Sabang sampai ke Merauke? Menggandrwngi satu negara yang meliputi satu territour dari Sabang sampai ke Merauke itu? Tidakkah itu tujuan perjuangan kita, hal yang baginya kita telah rela berkorban? Tidakkah untuk itu pemuda­pemuda kita rela mati di medan pertempuran? Tidakkah untuk itu kita mempunyai bangsa berkorban sampai sudah tidak bisa dinamakan pengorbanan lagi, karena pedihnya sudah tiada hingga lagi? Tidakkah untuk negara yang satu ini kita berjuang berpuluh­puluh tahun dan kemudian kita bertempur di dalam revolusi bertahun­tahun pula?

Negara adalah “wadah”. Dari territour Sabang sampai ke Merauke ini adalah harus terbentang satu wadah yang besar. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Dan kalau Saudara­saudara atau siapapun, ingin masukkan ideologi, masukkanlah di dalam masyarakat ini! Ini tegas kukatakan beda antara wadah dengan masyarakat yang di dalam wadah ini.

Yang harus di sini itu, masyarakatnya. Wadahnya ini, jangan sampai retak. Engkau mempunyai wadah yang berupa piring, berupa gelas ataupun berupa bejana. Di dalam wadah itu dapat engkau isikan air, bier, stroop, kecap, segala apa yang dapat. Tetapi janganlah wadah ini retak. Negara menurut teori populer, adalah wadah. Menurut teori lain­lain, macam­macam. Misalnya salah satu teori yang amat terkenal, ialah teori daripada Marx. Karl Marx berkata bahwa negara adalah sekadar satu organisasi. Organisasi kekuasaan (macht organisatie) kata Marx. Apa sebab katanya, karena di dalam masyarakat selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sarna lain. Kelas yang satu menundukkan kelas yang lain dan ingin mengekalkan penundukannya ini dan untuk menundukkan itu, kata Marx, maka kelas yang menang ini mengadakan macht­ organisatie yang dinamakan negara. Ini teori Marx tentang negara.
Lenin. komunis yang terkenal malahan lebih populer Iagi mcngatakan. Pernah orang bertanya kepada Tovarich Lenin, apa negara itu? Lenin menjawab “de staat is een knuppel” (negara adalah pentung). Di dalam cara berpikir kaum Marxist memang iiegara adalah satu pentung. Negara adalah macht organisatie kata Marx sendiri. (organisasi kekuasaan daripada satu kelas yang berkuasa). Organisasi kekuasaan ini bisa dipakai untuk mementung ke Iuar, dapat dipakai untuk mementung ke dalam. Mementung keluar, yaitu kalau ada musuh dari Iuar datang hendak menyerbu. Maka dihadapi dengan organisasi negara ini, dihadapi dengan alat­alat kekuasaan daripada macht organisatie ini. Dan alat kekuasaan itu berupa tentara, armada dan lain­lain sebagainya. Negara adalah macht organisatie yang mempunyai alat­alat kekuasaan untuk menahan musuh yang datang dari luar. Tetapi negara juga macht organisatie yang mempunyai alat­alat kekuasaan untuk mementung memukul musuh­musuh dari dalam. Yang dari dalam itu apa, pencuri­pencuri dan lain­lain sebagainya. Alat­alatnya ke dalam yang berupa hakim­hakim, penjara­penjara dan lain­lain.

Dia membantah pendapatnya kaum idealis yang mengata­kan bahwa negara adalah: de tot werkelijkheid van geworden idee. Kaum idealis, kaum yang disebut oleh Marx tidak berdiri di atas realiteit. Kaum idealis itu berkata bahwa negara adalah de tot werkelij kheid geworden idee. Jadi seperti satu pengelamunan, satu cita­cita kemnudian terselenggara. Marx membantah akan hal itu, dan mengatakan akan hal itu, dan mengatakan negara adalah satu macht­organisatie, yang bukan timbul sebenarnya daripada idee, tetapi daripada verhoudingen, daripada klassen­strijd, perbandingan­ perbandingan di dalarn masyarakat yang bertabrakan satu sama lain ini memaksa kepada keadaan terbentuknya macht­organisatie sebai:,ai kelas yang menang.

Dan oleh karcna negara menurut anggapan Marx adalah macht organisatie daripada kelas yang menang, maka Marx berkata: di kelak kemudian hari jika telah tercapai satu masyarakat yang tidak berkelas (sekarang ini masih ada kelas kapitalis, kelas proletar), tetapi di kelak kemudian hari jikalau kelas kapitalis sudah hilang, tinggal satu masyarakat yang tidak berkelas katanya, semuanya itu satu golongan saja tidak ada kapitalis, proletar, tidak ada feodal tidak ada horige, di dalam masyarakat yang tidak ada berkelas lagi, kata Marx, dengan sendirinyapun negaranya lenyap. Satu maatschappij yang klassenloos akan menjelmakan juga satu maatschappij yang staatloos. Itu anggapan Marx.

Tetapi bagi kami, terutama sekali untuk menyelamatkan kita punya Republik Indonesia ini, kami menggambarkan negara ini dengan cara yang populer, yaitu menggambarkan gambaran wadah, agar supaya bangsa Indonesia mengerti bahwa wadah inilah yang harus dijaga jangan sampai retak. Dan wadah ini hanyalah bisa selamat tidak retak, jikalau wadah ini didasarkan di atas dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen­elemen yang tersusun daripada Pancasila. Gelas terbuat dari gelas, cangkir terbuat dari porselen, keranjang terbuat dari anyaman bambu, periuk terbuat daripada tanah, belanga terbuat daripada tanah atau tembaga.

Wadah kita yang bernama negara ini, terbuatlah hendaknya daripada elemen­elemen yang tersusun dari Pancasila. Sebab hanya jikalau wadah ini terbuat daripada elemen­ elemen itu saja, dan hanya kalau wadah ini ditaruhkan di atas dasar Pancasila itu maka wadah ini tidak retak, tidak pecah.

Aku berani mengatakan ini karena aku telah melihat sendiri di beberapa daerah daripada tanah air kita ini manakala sesuatu ide saja dipakai sebagai dasar, datanglah perpecahan. Ada daerah yang dengan tegas menyatakan moh tidak mau ikut itu aku hanya mau Pancasila. Pancasila itu saialah yang bisa mempersatukan kami semuanya.

Oleh karena itu aku masih yakin baiknya Pancasila sebagai dasar negara. Ini wadah bisa diisi, dan mcmang wadah ini telah terisi masyarakat. Masyarakat ini yang harus diisi. Orang Islam isilah masyarakat ini dengan Islam. Orang komunis, masukkan­lah atau isilah masyarakat ini dengan komunisme. Orang Kristen, masukkanlah kekristenan di dalam masyarakat ini. PNI yang berdasar di atas marhaenisme, isilah masyarakat ini dengan marhaenisme, dengan satu masyarakat yang berdasar dengan marhaenisme. Masyarakatnya yang harus diisi. Tempo hari aku menggambarkan dengan tamzil lain, ini wadah diisi air, engkau mau apa, airnya diisi dengan warna apa, warna hijau, ya isilah dengan hijau air ini. Engkau senang warna merah, isilah dengan warna merah. Engkau senang dengan warna kuning, isilah air ini dengan warna kuning. Engkau senang kepada warna hitam, isilah air ini dengan warna hitam. Airnya yang harus diisi, bukan wadahnya. Wadahnya biar tetap dengan berdasarkan Pancasila, tetap terbuat daripada elemen­ elemen Pancasila ini. Sebab bilamana tidak, maka wadahnya retak. Kalau retak, bocor. Bisakah kita mengisikan air di dalam beker yang retak? Tidak! Bisakah kita mengisikan susu di dalam beker yang retak? Tidak! Oleh karena itu kita harus jaga jangan sampai wadah ini retak.

Saudara­saudara
Inilah pokok daripada anjuranku kepada segenap bangsa Indonesia supaya mengerti betul­betul akan hal ini. Orang berkata aku diktator katanya memaksakan orang memakan Pancasila. Tidak! Aku tidak berdiktator. Pertama aku sekadar menjaga jangan sampai negara ini pecah. Dan sebagai telah kukatakan di satu tempat aku berbicara sebagai Presiden Republik Indonesia dan tatkala aku dijadikan Presiden Republik Indonesia aku harus mengucapkan sumpah. sumpah mem­pertahankan dan setia kepada UUD. Dan di dalain UUD ini Mukaddimahnya dengan tegas mengatakan hal Pancasila itu. Kita telah mengalami beberapa UUD Sementara. Bahkan sebelum ada UUD Senientara itu kita telah mengalami apa yang dinamakan Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter telah disebutkan lima sila itu.

Kemudian di dalam UUD daripada Negara Republik Indonesia yang pertama, Pancasila sebagai Mukaddimah, kemudian di dalam UUD RIS. Mukaddimah­nyapun berisikan Pancasila. Kernudian di dalam UUD Sementara yang sekarang ini, lagi­lagi Pancasila. Di atas UUD ini aku harus mengadakan surnpah. Tidakkah sudah sebaiknya sepantasnya seyogyanya seharusnya semestinya aku tidak berhenti­henti membela kepada Pancasila ini sebagai dasar negara. Dasar negara yang UUD­nya telah kusumpah. Dan bukan saja oleh karena aku telah bersumpah, tidak! Lebih daripada sumpah itu, ialah keyakinan di dalam dadaku bahwa Pancasila ini adalah satu­satunya yang dapat menyelamatkan Negara Republik Indonesia ini. Oleh karena itu aku dengan yakin pula berkata kepada semua orang harap Pancasila ini dipertahankan. Sebab jikalau Pancasila tidak diper­tahankan sebagai dasar negara kita, kita nanti mengalami bencana. Bolehkah kita mempropaganda­kan ideologi kami? Boleh semerdeka­merdekanya. Tetapi negara, tetaplah letakkan di atas Pancasila.

Beberapa kali di dalam waktu yang akhir­akhir ini malahan aku berkata kita hendak mengadakan konstituante, hendak mengadakan pemilihan umum untuk konstituante dan DPR. Aku dengan tegas selalu berkata pemilihan umum buat apa, untuk memilih konstituante. Konstituante untuk apa, untuk menyusun UUD tetap. Apa sebab tetap, oleh karena UUD kita sekarang ini masih sementara. UUD tetap untuk apa, kataku untuk negara yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak untuk negara lain, negara baru. Tegas kataku, adakah orang yang hendak mau diajak membikin ULID baru bagi sesuatu negara lain sesuatu negara baru yang bukan negara 17 Agustus 1945?

Mungkin ada orang­orang yang demikian itu. Tetapi aku yakin Saudara­saudara tidak mau. Sebab itu aku berkata dan menganjurkan kalau diajak oleh seseorang mengadakan UUD tetap untuk sesuatu negara lain. negara baru, bukan negara yang kita proklamirkan bersama pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan tegas aku berkata jangan mau!

Tidakkah kita untuk itu kita berjuang untuk negara yang kita proklamirkan 17 Agustus 1945? Kalau kita tidak berjuang lagi untuk negara yang 17 Agustus 1945, kalau tidak sekarang ini masih kita membanting tulang mengulur kita punya tenaga, memeras kita punya keringat untuk negara 17 Agustus ini lebih baik kita tidur, jangan bekerja jangan berjuang. Sebab negara ini yang kita cita­citakan sejak dari dahulu. Negara ini penluda­ pemuda kita telah mengorbankan dia punya jiwa dan raga. Untuk negara ini bapak kita telah membakar dia punya rumah. Untuk negara ini kita punya pelayan­pelayan ikut berjuang menderita sehebat­hebatnya. Untuk negara ini kita pegawai­pegawai mengungsi ke gunung­gunung. Untuk negara ini kita punya gerilya kita punya TNI hancur habis­habisan. Untuk negara ini kita punya bumi hangus. Untuk negara ini kita punya pemimpin­pemimpin beriburibu masuk penjara ada yang digantung oleh Belanda. Tidakkah benar kataku ini?

Apa sebab sekarang kita mau membuat Undang­Undang Dasar tetap bagi sesuatu negara lain atau negara baru. Jangan! Jangan!

Adakah yang mengadakan negara lain? Ya ada, antara lain, Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh. Dan ada orang­orang yang simpati kepada Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh. Tetapi kita tidak mau dan kita mohon kepada Allah swa ya Allah ya Rabbih, semoga kita tetap kepada tekad yang semula yaitu setia kepada Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Saudara­saudara
Sekarang kita menghadapai soal ini: “Pancasila tetap sebagai dasar negara atau tidak”. Aku sebagai Presiden Republik Indonesia dan lebih­lebih pula sebagai Bung Karno. aku tetap menganjurkan pakailah Pancasila ini tetap sebagai dasar negara kalau kita tidak ingin negara ini menjadi pecah.
Ini satu perjuangan yang mengenai dasar. Ini menjadi satu perjuangan untuk meyakinkan Saudara­saudara kita yang lain­lain yang belum yakin. Dan perjuangan yang demikian ini tidak bisa kita jalankan dengan diam­diam. Perjuangan yang demikian ini merninta kita mencurahkan segenap kita punya tenaga segenap kita punya daya penarik, segenap kita punya daya meyakinkan kepada orang lain. Kita harus bekerja keras sekeras­kerasnya. Tatkala dulu pemimpin­pemimpin menyebar­kan paham entah pa­ ham ke Islaman, entah paham kesatuan Indonesia, entah paham sosialisme, entah paham komunisme, entah paham Markhaenisme, mereka tidak duduk memeluk lutut. Mereka bergerak, meninggalkan kursi yang empuk­empuk, mereka masuk kampung keluar kampung, masuk desa keluar desa. Mereka menjalankan darma baktinya dengan memberikan tenaga yang 100%.

Kita sekarang menghadapi konstituante, pemilihan umum. Segenap jiwa ragaku ingin agar dasar Pancasila ini tetap dipakai oleh bangsa Indonesia. Aku sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sering bisa meninggalkan Istana Negara atau Istana Merdeka ini. Kalau umpamanya aku manusia biasa bukan Presiden, insya Allah swa. tiap hari aku akan masuk kampung dan desa. Tiap hari suaraku kugunturkan dan isinya suaraku tak lain tak bukan, hai bangsa Indonesia jangan negara kita ini sampai retak. Jangan negara Republik Indonesia ini sampai terpecah belah. Marilah kita selamatkan negara ini, dan selamatnya hanya bisa di atas dasar Pancasila.

Aku minta kepadamu sekalian. untuk betul-­betul menganjurkan hal Pancasila ini kepada segenap rakyat agar supaya selamatlah negara kita ini.

Sekian, terima kasih.

Artikel Terkait