Soal jajahan adalah soal rugi atau untung; soal ini bukanlah soal kesopanan atau soal kewajiban; soal ini ialah soal mencari hidup, soal business.
Semua teori-teori tentang soal-jajahan, baik yang mengatakan bahwa penjajahan itu terjadinya ialah oleh karena rakjat yang menjajah itu ingin melihat negeri asing, maupun yang mengatakan bahwa rakjat pertuanan itu hanya ingin mendapat kemasyhuran sahaja, baik yang mengatakan bahwa rakyat pertuanan itu menjajah negeri lain ialah oleh karena negerinya sendiri lantaran banyaknya penduduk hingga terlalu sesak, maupun yang mengatakan bahwa penjajahan itu diadakannya ialah untuk menyebar kesopanan, – semua teori-teori itu tak dapat mempertahankan diri terhadap kebenaran teori yang mengajarkan, bahwa soal jajahan ialah soal rezeki, soal yang berdasar ekonomi, soal mencari kehidupan.
Tak kecil kerugian ekonomi Inggeris, bilamana Mesir atau India dapat memerdekakan diri; tak sedikitlah kerugian rezeki Perancis dan Amerika, bilamana Indo-China dan Philippina bisa menjadi bebas; tak ternilailah kerugian yang diderita oleh negeri Belanda, bilamana bendera Indonesia Merdeka bisa berkibar-kibar di tanah-air kita, sebagaimana Jhr. Dr. Sandberg mengatakan dengan ia punya kata-kata “Indie verloren, rampspoed geboren”; – tak terhinggalah bencana yang menimpa benua Eropah, bilamana benua Asia bisa menurunkan beban imperialisme asing daripada pundaknya, – hal ini cukuplah dibuktikan oleh pujangga-pujangga, diplomat-diplomat dan juru-juru-pengarang Eropah dan Asia dengan secukup-cukupnya angka dan seteliti-telitinya hitungan. Negeri jajahan adalah suatu s y a r a t bagi hidupnya negeri-negeri pertuanan, suatu syarat yang untuk negeri pertuanan yang kecil ada maha-besar dan maha-tinggi kepentingannya, dan karenanya harus dan mesti dipegang teguh-teguh, diikat erat-erat olehnya, jangan sampai terlepas.
Karena itu, maka soal jajahan itu pada hakekatnya bukanlah soal hak; ia soal kekuasaan; ia soal m a c h t .
Ukuran yang dipakai oleh fihak yang butuh akan pencaharian rezeki itu tentang baik atau jeleknya sesuatu keadaan dalam negeri jajahannya, tentang “boleh” atau “tidak boleh”- nya sesuatu faham, sesuatu sikap, sesuatu tujuan, atau sesuatu gerakan, hanyalah ukuran kepentingannya kaum itu sahaja adanya. Semua keadaan dalam negeri jajahan, yang bertentangan dengan kepentingannya fihak itu, yang merugikan akan kepentingannya fihak itu, segeralah mendapat perlawanan dari padanya. Riwayat dunia-jajahan penuhlah dengan contoh-contoh, di mana fihak itu kadang-kadang meninggalkan semua lapangan keadilan, menyalahi semua hukum-hukumnya hak,menghina semua rasa-kemanusiaan, – bilamana kepentingannya terlanggar, dan usahanya mencari rezeki terganggu.
Kita insyaf akan hal ini. Kita mengetahui, bahwa bukan sahaja kaum komunis, yang mengobarkan udara pada bulan Nopember 1926 dan Januari 1927, yang mendapat perlawanan, bukan sahaja kaum pengikutnya Lenin dan Trotzky yang dituntut dan ditindas, – akan tetapi juga kita, kaum nasionalis Indonesia, dan saudara-saudara kita yang bernaung di bawah bendera Islam; bukan sahaja kaum Bolshevik, – tetapi juga semua kaum, baik nasionalis, maupun Islamis, maupun kaum yang berfaham apa sahaja, asal ingin dan berusaha buat datangnya Indonesia-Merdeka dengan selekas-lekasnya. Perlawanan fihak itu terhadap pada majunya pergerakan kita bukanlah perlawanan terhadap pada salah suatu faham, bukanlah perlawanan terhadap pada suatu ajaran, bukanlah perlawanan terhadap pada sesuatu “isme”, akan tetapi perlawanannya ialah dihadapkan pada semua usaha bangsa kita yang menuju kepada Indonesia-Merdeka dengan tidak diperdulikan lagi dasar apa, azas apa, atau “isme” apa yang terletak di bawah usaha itu adanya.
Kita insyaf akan hal ini sedari mulanya. Sebelum kaum komunis tersapu dari pergaulan umum, sebelum mereka itu di-Digul-kan,maka di mana-mana terdengarlah semboyan fihak sana yang berbunyi “lenyaplah komunisme”. Akan tetapi sesudah beratus-ratus, beribu-ribu kaum pengikutnya Lenin ini dibawa ke tengah-tengahnya rimba dan rawa Papua, maka segeralah semboyan itu menjelma menjadi semboyan baru, semboyan “lenyaplah Pan-Islamisme”, dan semboyan “lenyaplah nasionalisme Indonesia” – semboyan mana sekarang sudah menjelma pula menjadi suatu jerit-kegemparan, sebagaimana terbukti dengan bukunya professor Treub, buku yang bernama “Het gist in Indie”.
Di dalam buku ini hanyalah jerit-kegemparan yang terdengar.
“In dit jongste geschrift van den voorzitter van den Ondernemersraad wordt alleen alarm geslagen”, begitulah “Indische Volk” menulis. Treub hanyalah menjerit; ia hanyalah memukul kentongan. Ia tidak mencari sebabsebabnya komunisme menjadi subur; ia tidak mencari sebab-sebabnya gerakan Pan-Islamisme bertambah-tambah pengikutnya; ia tidak mencari sebab-sebabnya faham kita, faham nasionalisme-Indonesia makin lama makin masuk kemana-mana; ia hanya menuntut penindasannya komunisme, Islamisme dan “Indonesisch nationalisme” sahaja. Ia tak mau ingat, bahwa ia sendirilah yang dengan ia punya aksi dalam tahun 1923, ikut menambah pahit dan getirnya hidupnya rakyat yang pergerakannya kini ia kentongi itu. Ia tak menulis sepatah kata atas bezuiniging, penghematan, yang melemparkan beribu-ribu manusia di atas jalan, memasukkan demit-kelaparan di dalam ribuan rumah-tangga. Ia tak menyebut-nyebutkan tambah beratnya belasting di atas pundaknya rakyat, pada saat yang pencaharian rezeki ada segetir-getirnya. Ia tak mengucap-ngucapkan bagaimana hak bervergadering dibatasi atau dicabut, bagaimana berpuluh-puluh pemimpin pergerakan ditahan, dibui, atau dibuang, sehingga pergerakan itu menjadi lebih panas dan lebih sengit karenanya. Pendek kata … ia tak menyebutkan sebab-sebabnya kini lautan pergerakan Indonesia ada mendidih; ia hanya memukul kentongan; ia hanya mengeluarkan jerit-kegemparan sahaja, yang memang terhadap pada semua “isme”, —”isme” apapun juga yang mengandung azas mencari kebebasan dan kemerdekaan dengan jalan yang lekas dan cepat, semuanya mendapat lagi bukti kenyataannya dengan jerit-kegemparannya professor ini. Komunisme harus disapu, Islamisme dan nasionalisme Indonesia juga harus disapu!
Sebab “komunisme, nasionalisme Indonesia dan Pan-Islamisme adalah bergandengan satu sama lain, dan mengisi satu sama lain,” – dan semua aksi, yang bermaksud mendatangkan kemerdekaan Indonesia harus ditindas, “kalau perlu dengan kekerasan”, “zo nodig met geweld”.
Kita bersenyum. Sudahkah begitu haibatnya kegemparan Treub dan fihaknya Treub, sehingga pengajarannya riwayat, pengalaman riwayatjajahan atas penindasan sesuatu pergerakan rakyat met geweld, tiada diindahkan lagi olehnya? Sudahkah begitu gemparnya kaum itu, melihat majunya nasionalisme Indonesia, sampai mereka juga memukul kentongan atas sikapnya setengah bupati, yang dikatakan “lahirnya setia pada pemerintahan, tetapi dalam batinnya menyetujui pergerakan yang meliwati batas ini”? Sudahkah begitu kagetnya kaum itu, sampai kaum Islam hendak yuga dilarang oleh Treub memenuhi sesuatu rukunnya, hendak dilarang pergi ke Mekkah, oleh karena hadjz ke sana ialah “sudah menjadi sesuatu bahaya bagi pemerintahannya tiap-tiap negeri Keristen”?
Kita, kaum nasionalis Indonesia, memandang jerit-kegemparannya professor Treub itu, ketua dari perkumpulan kaum modal Belanda, sebagai suatu tanda. Jerif-kegemparan ini adalah suatu symptoom (gejala). Ia menandakan, bahwa memang benar-benar lawan kita ini merasa tanah bergoyang di bawah kakinya. Ia menandakan, bahwa haluan yang diambil oleh kita, kaum nasionalis Indonesia, dan yang diambil oleh saudara-saudara kita, kaum Pan-Islam, adalah haluan yang betul, haluan yang karenanya harus kita teruskan. Selama kaum yang berhadapan dengan kita mencerca kita, memukul kentongan atas sikap kita, menuntut penindasan kita, – selama itu kita harus berjalan terus. Baru jikalau sebaliknya kaum itu memuji dan membenarkan kita, menyetujui kita, maka datanglah saatnya bagi kita berganti terjang dan berganti jalan.
Sebab Treub sendiri sudahlah mengakuinya: perkara pergerakan Indonesia adalah perkara mati-hidupnya kehidupan fihaknya, perkara yang ia katakan “het gaat om ons bestaan”. Ia, professor Mr. Treub, ketua kaum modal Belanda, dan professor Ir. Klopper, pemimpin paberik-paberik mesin Thomassen di negeri Belanda, yang menyokong pula jerit-kegemparannya Treub dengan kata-kata “het eenvoudigste instinct van zelfbehoud dringt ons om alles te doen, om de toestand in Insulinde baas te blijven”, dua professor kaum modal Belanda ini haruslah insyaf, bahwa kita, kaum nasionalis Indonesia dan saudara-saudara kita, kaum Pan-Islam, sama bergerak ialah juga oleh dorongannya “het eenvoudigste instinct van zelfbehoud”, juga oleh karena “het gaat om ons bestaan”! Sebagaimana kekalnya penjajahan di Indonesia ada suatu perkara keselamatannya negeri Belanda, maka berhentinya penjajahan itu adalah pula suatu perkara keselamatan negeri Indonesia, keselamatan rakyat Indonesia, keselamatan kita. Tertilik dari pada pendirian pembelaan-diri, yakni dari pendirian zelfbehoud, maka fihak pertuanan adalah hak merintangi, melawan dan menuntut tindasan pergerakan kita; akan tetapi tertilik dari pada pendirian zelfbehoud itu juga, maka kita mempunyai juga h a k bergerak,
h a k berusaha mencari kebebasan daya-upaya melepaskan diri dari keadaan sekarang ini, hak berusaha mencari kebebasan. Hak mereka dalam hal ini adalah berhadap-hadapan, beradu dada, dengan hak kita semua; haknya reaksi adalah berhadap-hadapan dengan haknya aksi, … dan soal berhadap-hadapannya hak dengan hak ini segeralah menjadi soal kekuasaan berhadap-hadapan dengan kekuasaan pula, macht berhadap-hadapan dengan macht.
Karena itu, maka kita memandang jerit-kegemparannya Treub dan fihaknya Treub itu hanya sebagai suatu t a n d a sahaja. Kita tidak menyelidiki lebih jauh pantas atau tidaknya mereka mengeluarkan jerit kegemparan itu; kita tidak membantah, dan kita tidak memprotes; kita hanya mempelajarinya. Sebab, sebagai yang sudah kita tuliskan di atas: Treub dan fihaknya Treub mempunyai hak memusuhi kita; het gaat om hun bestaan, sebagaimana pergerakan kita itu ialah buat keperluannya o n s b e s t a a n.
Dengan mempelajari semua tanda-tanda, memperhatikan semua symptoom-symptoom, memperhatikan semua kekurangan-kekurangan yang tampak pada fihaknya lawan, maka dapatlah kita mengetahui bagian-bagian yang manakah dari pada barisannya fihak lawan itu ada lembek, dan dapatlah kita dengan gampang mencari tempat-tempat pengapesannya si lawan itu, sehingga kita dengan banyak hasil bisa mengarahkan serangan kita pada tempat-tempat pengapesannya itu adanya. Akan tetapi sebaliknya, kita juga harus mempelajari kekurangan-kekurangan sendiri, memperhatikan kesalahan-kesalahan sendiri, agar supaya kita bisa mengetahui bagian-bagian yang mana dalam kita punya barisan ada lembek, tempat-tempat yang mana dalam kita punya organisasi kurang teratur, – sehingga kita dengan gampang bisa memperbaiki kekuatannya barisan kita itu; membetulkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan di dalam kita punya organisasi itu; dan kalau perlu menyusun kembali organisasi kita itu menjadi susunan yang kuat dan sentausa.
Treub dengan bukunya sudah memberi tanda itu. Ia menunjukkan pada kita di mana letaknya tempat-tempat pengapesan fihaknya; ia menunjukkan, bahwa pergerakan kita, kaum nasionalis Indonesia, dan pergerakan saudara-saudara kita, kaum Islam, adalah benar mengkhawatirkan bagi kepentingannya, benar-benar terasa olehnya sebagai pengapesannya. Oleh karena itu, maka sebagai yang kita tuliskan d iatas, kita berjalan terus …
Dalam pada itu, … apakah Treub dan fihaknya Treub betul-betul mempunyai sangkaan, bahwa pergerakan kita, yang sebagai suatu usaha bangsa kita mencari hidup yang lebih layak dan lebih sempurna, dengan kodratnya alam sudah timbul dari n y a w a n y a bangsa dan rakyat kita, bisa padam atau dipadamkan? Apakah Treub dan fihaknya Treub bisa menunjukkan satu contoh dari riwayat-dunia, yang geraknya nyawa sesuatu Bangsa, terutama nyawa Bangsa yang mencari kemerdekaan, bisa mati atau dimatikan?
Tetapi memang sukarlah bagi kaum pertuanan mengambil sikap yang benar terhadap pada pergerakan yang dihadapinya. Pergerakan itu maju kalau tidak ditindas, … pergerakan itu juga maju kalau ditindas.
Memang begitulah tragiknya kaum pertuanan.
“Suluh Indonesia Muda”, 1928