Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Tulisan Bung Karno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Tulisan Bung Karno. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Oktober 2017

Di Manakah Tinjumu ?

DI MANAKAH TINJUMU ?

DI MANAKAH TINJUMU ? DI MANAKAH KEKUATAN YANG MENGHANCURKAN SEGALA HAL YANG MELAWAN? OK Gelijk de grote ocectan doordron­gen is van het, zout, zo is mijn leer doordrenkt van de geest der bevrijding.


Huila Vagga

Dalam “Suluh Indonesia Muda” nomor tiga, maka Ir. J. ada membentangkan pendapat-pendapatnya tentang problim            a g r a r i a, yakni soal bagaimana kita bisa menolong rakyat tanah Jawa dari kemelaratan yang bertambah-tambah haibatnya itu, dan yang terjadi oleh karena makin lama makin banyaklah jumlah rakyat yang memakan hasilnya tanah Jawa itu. Bertambah-tambahnya penduduk itu adalah terjadi oleh karena jumlah orang meninggal dunia saban tahunnya ada lebih kecil daripada jumlah orang yang dilahirkan; dan oleh sebab bertambahnya rakyat ini tidak diikuti oleh tambahnya hasilnya bumi yang sepadan, maka niscayalah makin lama makin kecil sahaja bagian masing-masing orang dalam pembagian rezeki tanah Jawa itu. Adapun banyaklah obat untuk mencegah kerasnya penyakit ini: kita bisa menambah luasnya tanah yang dipakai untuk sawah atau tegalan; kita bisa memperbaiki cara pertanian, sehingga hasil sebahu-bahunya bisa bertambah; kita bisa mengadakan kepabrikan (industri), di mana banyak orang bisa bekerja dan mendapat penghidupan; atau kita bisa memindahkan sebagian rakyat tanah Jawa itu ke lain-lain pulau Indonesia, misalnya Sumatera. Akan tetapi sukarlah semua obat ini bisa tercapai dalam sebentar tempo. Menambah sawah atau tegalan tahadi; mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan; mengadakan kepabrikan; memindahkan rakyat dengan beratus-ratus ribu kepulau lain, itu semuanya bukanlah hal-hal yang bisa terjadi dalam se­bentar tempo. Inilah sukarnya problim agraris tahadi!



Adapun Ir. J. telah menunjukkan pula obatnya: hendaklah katanya, kita menyokong modal-modal asing di lain-lain pulau Indonesia itu dengan menyumbangkan berketi-keti kaum buruh dari tanah Jawa, supaya mereka mendapat penghidupan; hendaklah, untuk hal itu aturan poenale sanctie itu dihapuskan dan diganti dengan aturan kerja-merdeka! Penyokongan pada modal asing itu adalah perlu, katanya, oleh karena, selainnya menolong kemelaratan rakyat tanah Jawa itu, hal itu niscaya pula menolong pulau­-pulau tahadi: sebab suburnya modal asing itu niscayalah mendatangkan kemakmuran, dan niscayalah mendatangkan jalan-jalan kereta-api, jalan-jalan pelayaran dan lain-lain. Dan jikalau kita tidak mufakat akan “obat” ini, jikalau kita tidak setuju akan penyokongan modal asing itu, maka Ir J menanya pada kita: “Di manakah tinjumu? Di manakah kekuatan yang menghancurkan segala hal yang melawan?”

Sebab katanya, “kekuasaan modal itu a d a ; dan modal itu bertambah-­tambah sahaja memperkuat diri dengan air-penghidupan dari dalam dan dari luar, walaupun kita mencegahnya”.

Begitulah pendiriannya Ir. J.

 Sebelum kita menguraikan apa sebabnya kita tidak setuju dengan pendirian yang semacam itu, maka berfaedahlah agaknya, jikalau kita lebih dahulu menyelidiki soal “terlalu-banyaknya-rakyat”, yakni soal overbevolking tahadi.

 Adapun soal overbevolking itu, pada hakekatnya tidaklah tergantung dari berapa banyaknya penduduk, dan tidaklah tergantung dari berapa sesaknya negeri di mana penduduk itu berdiam. Soal overbevolking adalah soal rezeki; adalah soal yang mengajukan pertanyaan atas cukup atau tidaknya makanan dalam negeri tahadi! Sebab, tidakkah banyak negeri yang penuh sesak dengan penduduk, di mana, oleh banyaknya rezeki, overbevolking itu tidak terasa? Tidakkah banyak pula negeri, yang sedikit sekali penduduknya, di mana rakyatnya, karena kurangnya makanan, sama pindah ke negeri lain? Kita mengetahui, bahwa, umpamanya dalam tahun 1910, di negeri  Jerman yang mempunyai penduduk 120 orang dalam tiap-tiap kilometer persegi, hanya 25.531 oranglah yang meninggalkan negeri itu untuk mencari penghidupan di negeri lain; dan kita menge­tahui, bahwa dalam tahun 1910 itu juga, di negeri Oostenrijk-Hongaria, yang penduduknya hanya 76 orang  sekilometer persegi, jumlah rakyat yang pindah ke lain negeri adalah sampai 278.240, – yakni hampir sebelas kali jumlahnya orang yang keluar dari negeri Jerman tahadi itu!

 Bahwasanya: soal “overbevolkt” atau tidaknya tanah Jawa itu, hanya­lah tergantung dari cukup atau tidaknya rezeki tanah Jawa itu pula: hanyalah ia tergantung dari banyak-sedikitnya makanan; dan tidaklah ia tergantung dari jumlah penduduk sekilometer-kilometer perseginya!

Betul jumlah rakyat tanah Jawa itu makin lama makin tambah; betul tambahnya itu begitu cepat, sehingga Dr. Bleeker dalam tahun 1863 berani mengatakan, bahwa jumlah rakyat tanah Jawa itu dalam tiap-tiap 35 tahun akan menjadi lipat dua kali ganda besarnya; betul dalam tiga puluh lima tahun antara 1865 dan 1900 teori Dr. Bleeker itu ada cocok dengan keadaan yang sebenarnya; betul untuk tahun-tahun yang belakangan ini, maka tempo menjadinya dua kali ganda itu oleh K e r k k a m p masih ditetapkan atas 42 tahun; – pendek kata: betul tanah Jawa itu rakyatnya c e p a t sekali bertambahnya; (walaupun teori-teori Bleeker dan Kerkkamp itu dua-duanya tidak cocok buat selama-lamanya); dan betul tanah Jawa itu kalau dibandingkan dengan negeri-negeri lain sudah sesak sekali, – akan tetapi, apakah kiranya di tanah Jawa itu ada penyakit “overbevolking”, jikalau cepat-naiknya jumlah rakyat itu diikuti oleh jumlah naiknya r e z e k i yang sepadan? Dan apakah si-Jawa itu sam­pai menderita kelaparan, bilamana persediaan makanan baginya ada cukup?

 Memang, memang! Baik sekalilah adanya, kalau sebagian rakyat Jawa itu bisa pindah ke Sumatera; baik sekali kalau pindahan rakyat itu bisa lekas terjadi. Akan tetapi apakah yang harus kita perbuat, kalau pemindahan rakyat itu tidak bisa terjadi dengan sesungguh-sungguhnya sebagai sekarang ini; apakah yang harus kita ikhtiarkan terhadap pada emigrasi ini, jikalau emigrasi itu sampai sekarang hanya kecil-kecilan sahaja, dan tidak beratus-ratus ribu sebagai yang diinginkan oleh Ir. J. itu?

Poenale Sanctie! Baik, kitapun mengharap dan mendoa, moga-moga poenale sanctie itu lekas musna dari dunia ini; kitapun mengerti, bahwa aturan-kerja sebagai budak-belian itu mengurangkan nafsu rakyat tanah Jawa buat menyerahkan diri dalam tangannya “werek”; kitapun mengerti, bahwa nafsu mencari kerja di lain pulau itu niscaya menjadi lebih besar, jikalau poenale sanctie itu dihapuskan; – akan tetapi kita tidak percaya, bahwa lenyapnya poenale sanctie itu sahaja akan bisa memindahkan b e r a t u s-

r a t u s ribu kaum buruh dari tanah Jawa tiap-tiap tahun, walaupun disokong oleh siapa juga, kita tidak percaya, bahwa hapusnya poenale sanctie itu sahaja bisa menjadi obat yang mustajab bagi penyakit “overbevolking” di tanah Jawa. Sebab emigrasi itu tidaklah tergantung dari ada atau tidak adanya salah suatu aturan. Emigrasi adalah suatu soal rezeki!

Karenanya, tidak pertama-tama berhubung dengan harapan akan emigrasi inilah, maka kita ingin akan lenjapnya poenale sanctie itu. Kita menuntut dicabutnya, ialah dengan alasan-

alasan rasa-kemanusiaan; kita menuntut hilangnya, ialah oleh karena aturan itu ada aturan yang hina! Marilah kita melanjutkan penyelidikan kita tentang soal overbevolking di tanah Jawa itu. Jikalau kita ingin mengerti betul-betul akan soal itu, jikalau kita ingin mengerti dengan terang-benderang akan naik ‑ turunnya jumlah penduduk tanah Jawa itu, maka haruslah kita mengetahui pula jalannya politik atau susunan ekonomi sediakala; haruslah kita mengenali betul-betul segala keadaan yang berpengaruh atas soal tahadi itu. Sebab keadaan jumlah penduduk dalam sesuatu negeri, ada­lah berhubungan rapat dengan aturan politik dan susunan ekonomi di negeri itu pula.

 Perhatikanlah angka-angka di bawah ini:

Penduduk tanah Jawa tiap-kilometer perseginya, ialah:



  dalam tahun 1810 181 29 djiwa
  1830    54
  22  ft 1850    72 ff
  Ft 1860    96 ft
  Ff 1870    124           ff
  1880    150          If
  21 1890    181
  1900    218         22
  $2 1905    226          If
 Djadiberikut:  tamba h n j a penduduk tanah Djawa itu adalah Sebagai
1810 sampai 1830 …….. 86 % atau 4.3 % tiap-tahunnja
1830 22 1850 …….. 33  %   atau 1.65%
1850 2) 1860 …….. 33  %     atau 3.3 % 22
1860 1870 …….. 29  %   atau 2.9 %
1870 22 1880 …….. 21  %   atau 2.1 %
1880 1890 …….. 20.6 %  atau 2.06%          2,
1890 f 1900 …….. 20.5 %  atau 2.05%
1900 1905 …….. 5 %     atau 1 %
 


Bukankah dengan angka-angka di atas ini tampak dengan seterang­-terangnya perhubungan antara tambahnya penduduk tiap-tahunnya dengan aturan politik atau susunan ekonomi? Sebab, bukankah cepat n a i k n y a jumlah penduduk diantara 1810 dan 1830 itu ialah terjadi oleh perobahan­-perobahan yang diadakan oleh R a f f l e s, yang politiknya ada “vrijzinnig” (bebas), jikalau dibandingkan dengan politiknya orang Belanda pada masa itu, dan yang “membikin tempo pemerintahannya yang pendek itu sebagai salah satu dari yang paling penting dalam seluruh riwayat tanah Jawa”? Bukankah turunnya persentase antara 1830 dan 1850 itu ialah terjadi

oleh kerasnya tindasan cultuurstelsel, yang mulai 1830 diderita oleh rakyat tanah Jawa? Bukankah n a i k n y a lagi persentase sesudah itu antara 1850 dan 1860 ialah terjadi dari bangkrutnya politik cultuurstelsel dan mulainya perlawanan politik liberal terhadap politik yang “kuno”, sedang mulai masa itu pula sebagian rakyat tanah Jawa bisa sedikit­-sedikit mencari penghidupan dalam onderneming-onderneming dan lain-lain perusahaan? Dan bukankah turunnya lagi persentase sesudahnya tahun 1860 itu ialah terjadi dari masuknya tanah Jawa dalam masa modern kapitalistis? Sesudahnya tahun 1860, teristimewa sesudah­nya tahun 1870, maka menanglah sama sekali politiknya kaum burjuasi ­liberal dalam pertandingan terhadap pada politiknya kaum kuno itu; dan sebagai angin penyakit yang makin lama makin jahat, masuklah modal asing di tanah Jawa. Tindasannya cultuurstelsel adalah diganti dengan gencetan modal asing; perasannya politik “batig slot” diganti dengan isapannya politik “zoet dividend”; itulah sebabnya, maka semenjak 1870 persentase tambahnya rakyat itu makin lama selalu makin kecil sahaja adanya!

 Tetapi, walaupun tindasan dan perasan dan isapan yang sangat itu, walaupun selalu mundurnya persentase tahadi, maka kekuatan-hidup atau vitaliteitnya rakyat tanah Jawa adalah tak terhingga besarnya. Walau­pun kesengsaraan yang dideritanya, walaupun

“via dolorosa” yang dijalani­nya, maka masihlah besar sekali jumlah penduduk tanah Jawa di tiap-tiap kilometer persegi jikalau dibandingkan dengan rakyat tani di negeri-negeri asing: Hanya sedikitlah negeri-negeri di muka bumi ini, yang mempunyai penduduk lebih dari 260 jiwa sekilometer perseginya sebagai tanah Jawa itu!

Bukti atas perhubungan antara tambahnya penduduk (bevolkingsaan­was) dengan aturan politik atau susunan ekonomi

di atas ini, adalah perlu sekali, oleh karena setengah orang mengira, bahwa, – oleh sebab menurut pendapatnya overbevolking itu terjadinya hanya karena tambahnya pen­duduk yang terlampau cepat itu sahaja -, penyakit itu bisa kita obati dengan mencegali bevolkingsaanwas itu pula. Mereka mengira, bahwa bahaya overbevolking ini bisa dicegahnya dengan memberi pendi­dikan

pada rakyat supaya mengurangi nafsunya mengadakan turunan. Mereka tak mengerti, bahwa “obat” ini mustahil bisa terjadi.

Tak mengerti, bahwa pendidikan mencegah turunan ini akan hancur dan binasa berbentusan dengan tabiatnya manusia; tak mengerti, bahwa jalan yang satu-satunya untuk mencegah tambahnya penduduk itu ialah penin­dasan dan perasan sahaja, yang lebih sangat dan lebih keras daripada tindasan dan perasan cultuurstelsel umpamanya!

 Kembali lagi pada penyelidikan kita: Di atas kita sudah menulis bahwa, kalau bisa, kita setuju akan emigrasi yang secepat­-cepatnya kelain pulau Indonesia. Tetapi kita tak percaya, bahwa hapusnya poenale sanctie itu sahaja bisa menarik beratus-ratus ribu manusia dari tanah Jawa, walaupun “akal” atau “sokongan” yang bagaimana juga. Kita tidak percaya atasnya, oleh karena, sebagai yang sudah kita terangkan di atas, emigrasi itu ialah suatu kejadian yang tergantung dari rezeki. Artinya: Selama sesuatu rakyat dalam negerinya sendiri masih ada “jalan” dalam pencahariannya rezeki, selama rakyat itu masih bisa mencari “akal” di negerinya sendiri dalam urusan penghidupannya, – selama itu, maka, walaupun “jalan” atau “akal” itu kiranya ada s u k a r dan   s u s a h, tidaklah rakyat itu meninggalkan negerinya untuk mencari penghidupan di negeri jauh. Selama rakyat tanah Jawa masih ada “jalan” dan “akal” itu -, selama itu maka, walaupun keadaan ekonominya sudah sengsara atau lehernya hampir tercekek sebagai keadaan sekarang ini, jumlahnya emigran tentulah tetap kecil sahaja. Selama itu, maka, walaupun kita berusaha

keras untuk emigrasi itu, pastilah tetap kecil sahaja hasil segala usaha kita itu. Sebab begitulah memang tabiatnya rakyat!

Riwayat emigrasi mengajarkan pada kita, bahwa emigrasi itu hanyalah bisa terjadi dengan sungguh-sungguh, jikalau segala sumber penghidupan di negeri sendiri memang sudah tertutup

sama sekali adanya. Akan tetapi, bilamana emigrasi itu sudah terjadi; bilamana pada sesuatu masa beratus-ratus ribu atau berjuta-juta rakyat sudah sama mening­galkan negerinya untuk mencari penghidupan di negeri lain, maka riwayat-dunia menunjukkan, bahwa aliran rakyat-pindah itu pada suatu ketika berhenti pula. Sebab dalam pada itu, negeri sendiri lalu berobah pula. Dalam

pada itu, negeri sendiri lalu mengadakan perobahan dalam caranya mencari rezeki: mengadakan perbaikan cara bertani, mengadakan perbaikan pertukangan (nijverheid); dan mulailah dalam negeri sendiri itu timbul suatu kepabrikan (industri), yang memberi kerja dan penghidupan pada bagian rakyat yang masih “lebih”, sehingga “kelebihan” rakyat ini seolah-olah diisap lagi oleh pergaulan hidup di negeri sendiri tahadi adanya. Kita mengambil pelajaran dari riwayat-dunia, bahwa semua emigrasi itu terjadinya ialah dalam masa, yang mendahului suburnya cara pencaharian rezeki atau suburnya kepabrikan dalam negeri dari rakyat yang beremi­grasi itu. Kita melihat emigrasi itu pada rakyat Inggeris pada masa sebelum 1860, di mana industri Inggeris mulai menjadi besar. Kita melihat pindahan-rakyat Jerman dan Perancis pada waktu sebelum 1880, di mana kepabrikan Jerman dan Perancis mulai subur. Dan kita melihat bahwa timbulnya kepabrikan di negeri Jepang itu ialah didahului oleh emigrasi juga adanya. Dan tidakkah transmigrasi dari daerah Kedu itu makin lama makin kurang, sesudah rakyat Kedu dengan usaha sendiri mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan; tidakkah, semen­jak perbaikan cara pertanian ini diadakan, transmigrasi dari Kedu itu makin lama makin berkurang, walaupun Kedu itu sesaknya penduduk dalam 1920 sudah sampai 497 jiwa rata-rata sekilo meter perseginya?

 Pelajaran yang kita ambil dari fatsal diatas ini ialah bahwa emigrasi itu tidak bisa terjadi sesungguh-sungguhnya jikalau memang belum temponya. Kita melihat, bahwa di negeri Inggeris, di negeri Jerman, di negeri Perancis, di negeri Jepang, emigrasi itu ialah pendahuluannya masa kepabrikan, dan menjadi penolong masa-kekurangan­ makan yang ada di muka masa kepabrikan itu. Tegasnya: emigrasi itu ialah terikat oleh tempo ; emigrasi tidak bisa kita adakan dalam sewaktu­-waktu sahaja kalau memang belum musimnya, walaupun kita menyokong bagaimana juga. Emigrasi itu akan terjadi sendiri kalau memang temponya sudah datang …

 Dalam pada itu, maka tidaklah kita mengatakan, bahwa kita tak boleh dan tak harus meratakan jalan untuk emigrasi itu. Sebaliknya: Kita harus bersedia dan kita harus mengaturnya, agar supaya emigrasi itu bisa terjadi dengan gampang dan lekas, nanti kalau temponya sudah datang. Dan tempo itu pastilah datang, oleh karena pergaulan hidup­ bersama ialah suatu hal yang hidup pula, dan yang senantiasa menuju tingkat yang lebih tinggi; tegasnya: tempo itu pastilah datang, oleh karena susunan hidup-bersama di tanah Jawa ini, menurut hukum evolusi, pasti pula meninggalkan tingkat yang sekarang ini, dan pastilah naik ke tingkat yang kemudian, yakni: pasti meninggalkan tingkat pertanian yang sekarang ini dan pasti menaik ketingkat kepabrikan. Dan sebelum tingkat ke­pabrikan itu tercapai, maka lebih dulu terasa penyakit overbevolking itu dengan sekeras-kerasnya; sebelum tingkat yang sekarang ini ditinggalkan, sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai, maka haruslah pergaulan hidup tanah Jawa itu melalui tingkat-perobahan, – overgangsphase lebih dahulu. Dan tingkat-perobahan ini ialah masa menghaibatnya overbevol­king tahadi; overgangsphase ini ialah masa di mana sebagian rakyat tanah Jawa, dari kerasnya overbevolking tahadi, sama pindah kelain pulau untuk mencari pekerjaan dan untuk mencari penghidupan.

 Akan tetapi, jikalau dalam pada masa emigrasi itu cara pencaharian rezeki di tanah Jawa sudah memperbaiki diri sendiri; jikalau kebutuhan akan cara pencaharian rezeki yang lebih baik itu sudah mendatangkan perbaikan dalam cara pertanian; jikalau tanah Jawa sudah mulai menginjak tingkat kepabrikan; – maka berhentilah pula emigrasi itu, dan berhentilah pula keharusan akan mencari rezeki di negeri lain. Sebab, sebagai yang sudah kita terangkan di muka, pergaulan hidup sendiri lantas “mengisap” bagian rakyat

yang “lebih” itu!

 Sekali lagi kita mengulangi: Emigrasi ialah suatu “maatschappelijkverschijnsel”, yang mulainya atau berhentinya ditetapkan oleh masyarakat sendiri itu juga. Karenanya, maka kita tak percaya akan bisa terjadinya emigrasi yang sungguh-sungguh, jikalau memang belum temponya, yakni jikalau pergaulan hidup di tanah Jawa belum memaksa sendiri akan emigrasi itu dengan kekuatannya keharusan yang tak terhingga adanya!

 Akan tetapi, bolehkah kita berdiam-diam sahaja membiarkan kemelaratan yang sekarang ini, sampai emigrasi itu terjadi sendiri; bolehkah kita tidak berusaha meringankan penghidupan rakyat itu, dan tidak melalui segenap jalan yang wajib kita lalui?

Tidak, tidak, dan sekali lagi: tidak!

 Kita harus memerangi segala keadaan yang menambah kemelaratan rakyat itu; memerangi segala hal-hal yang memberatkan penghidupannya rakyat, yang karena terlalu besarnya bevolkingsaanwas (tambahnya pen­duduk), memang sudah berat adanya; memerangi segala hal-hal yang me­ngecilkan persediaan rezeki rakyat tahadi.

Sebab, asal rezeki cukup, asal makanan tak kurang, maka sebagai yang kita terangkan di muka, tak akanlah rakyat menderita tak kecukupan dan kekurangan, tak akanlah overbevolking terasa, walaupun bevolkings­aanwas yang bagaimana juga. Karenanya, haruslah kita melawan segala keadaan yang mengecilkan persediaan makanan rakyat itu. Dan teristi­mewa, haruslah kita memerangi industri g u l a adanya.

 Sebab kita mengetahui, bahwa industri ini, walaupun pembela-pembelanya mengatakan, bahwa “industri ini memberi begitu banyak uang pada sebagian penduduk Jawa”, dengan “memberi begitu banyak uang” pada orang-orang itu, – hal ini belum tentu berapa “banyaknya” walau­pun oleh Schmalhausen dihitung berjumlah empat puluh juta rupiah setahunnya, ada menimbulkan suatu golongan-rakyat dalam pergaulan hidup tanah Jawa yang terpadamkan kebutuhannya akan menaikkan per­gaulan hidup itu keatas tingkat yang lebih tinggi, sedang kebutuhan inilah yang h a r u s ada untuk kenaikan itu.

Kita mengetahui bahwa industri ini merusak morilnya sebagian penduduk tanah Jawa; menge­tahui, bahwa aturan menanam tebu sekali dalam tiga tahun di atas satu tempat itu adalah suatu aturan yang memberi keuntungan pada industri itu dengan percuma; mengetahui, bahwa industri ini tak senang akan majunya negeri dan rakyat, oleh sebab kemajuan ini tentu menaikkan upah-upah dan sewa-sewa, lantaran kemajuan itu menambah besarnya kebutuhan rakyat. Dan tidakkah banyak pula keberatan-keberatan atas industri ini? Tidakkah ia dengan aturan-aturan-premi telah mengotorkan perhubungan kepala-kepala desa dengan rakyat? Tidakkah ia mengecil­kan “gemiddeld grondbezit” (milik tanah rata-rata) si kaum tani? Tidakkah penyewaan tanah itu membikin banyak orang tani jadi kaum buruh? Tidakkah hati kita panas kalau kita memikirkan aturan “dagen nacht­regeling” (aturan siang dan malam), yakni aturan menurut yang mana tanaman tebu mendapat air waktu siang dan tanaman padi waktu malam?

Tidakkah tanah yang dulunya ditanami tebu itu menjadi kurang baik bagi tanaman padi? Tidakkah industri ini mengisap berjuta-juta rupiah dari pergaulan hidup tanah Jawa? Pendek kata: Tidakkah industri ini jauh dari mengayakan, bahkan memelaratkan tanah Jawa?

 Berhubung dengan kejahatan industri ini; berhubung dengan pengurangan rezeki tanah Jawa itu, maka kita menuntut hapusnya industri itu sebagai adanya sekarang ini. Dan jikalau ada yang mengatakan, bahwa penghapusan industri ini akan menerjunkan rakyat dalam dunia kemelaratan yang lebih haibat dari sekarang, jikalau masih ada bangsa kita yang menyesalinya, maka kita memperingatkan, bahwa hapusnya pabrik-pabrik gula di K a b a t dan Rogojampi di afdeling Banyuwangi umpamanya sama sekali tidak merugikan rakyat, tetapi menguntungkanlah adanya.

 Dan dari jauh kita telah mendengar Ir. J. bertanya: “Di manakah tinjumu? Di manakah kekuatan yang menghancurkan segala hal yang melawan?”

 Memang, memang! Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesak industri gula ini dan yang bisa menghancurkan kejahatannya, melainkan kekuatan  p e r g e r a k a n  r a k y a t, yang sebagai palu-godam haibatnya menjatuhkan hantaman penuntutannya,

dan yang sebagai banjir mele­nyapkan segala hal yang menghalang-halanginya, jikalau tuntutan itu tidak dikabulkan. Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesaknya, melainkan suatu massa-aksi yang besar dan haibatnya ada berlipat-lipat ganda dari massa-aksinya Sarikat Islam meminta pengurangannya “suikerriet­areaal” (luas tanah untuk tanaman tebu) pada masa kekurangan-makan beberapa tahun yang lalu, dan yang, sayang seribu sayang, lalu menjadi lembek sesudah ada pemeriksaan “kumisi-kumisian”,yang hasilnya … kekalnya keadaan yang dulu juga!

Hendaklah kita mengambil pelajaran dari sia-sianya pergerakan pengurangan suiker-areaal ini: Janganlah kita menolehkan mata dalam usaha kita daripada maksud yang pertama-tama!

Hendaklah kita insyaf, bahwa hanya perjoangan dalam pergerakan rakyat itu sahajalah yang bisa mengundurkan musuh-musuh kita, dan tidak dalam usaha dewan-dewanan, di mana menurut Ir. J. “dengan berhadap-hadapan muka dengan musuh, kita punya cara-perlawanan akan mendalam dan akan menjadi bersih”.

Sebab sebagaimana kita tak akan bisa mencapai kemerdekaan tanah kita dengan jalan dewan-dewanan itu, maka kapitalisme-gula tidaklah akan bisa hapus atau lenyap pula dengan kerja dewan-dewanan itu, me­lainkan dengan kekuasaan pergerakan rakyat yang sekuasa-kuasanya dan sehaibat-haibatnya

 Memang, benar sekali, benar sekali, jikalau Ir. J. menanya, di mana kita punya tinju itu sekarang! Tetapi sebaliknya, kita pun  menanya padanya: Di mana tinju tuan, jikalau modal-modal asing di Sumatera itu menjadi k u a t dan k u a s a lantaran sokongan tuan dengan kaum buruh tanah Jawa yang “beratus-ratus ribu” itu? Di manakah tinju, dan di manakah “machtsvorming en de invloed van ons Volk om of to weren die verderfelijke vernielzucht”?

Tuan percaya akan machtsvorming tahadi! Wahai, kita pun ada penuh kepercayaan akan masa yang akan datang. Kita pun ada penuh kepercayaan, bahwa suatu kali rakyat kita p a s t i mencapai machtsvor­ming itu pula, dan pasti “masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang berada di tengah-tengah kegelap-­gelitaan yang mengelilingi kita ini”.

 Kita mengulangi; dan kita menambah.

Kita mufakat akan emigrasi; kita ingin pula melihat pemindahan ­rakyat kelain pulau Indonesia. Akan tetapi kita mengira, bahwa emigrasi itu tidak bisa terjadi dengan sesungguh-sungguhnya, jikalau susunan pergaulan hidup di tanah Jawa belum “masak” baginya. Kita teristimewa menuntut hapusnya industri gula sebagai adanya sekarang ini, dan yang mengurangi rezeki tanah Jawa itu, untuk meringankan penghidupan penduduk tanah Jawa sebelum pergaulannya hidup sendiri sebagai “vei­ligheidsklep” membangunkan emigrasi itu.


Kita yakin, bahwa obat yang semanjur-manjurnya bagi penyakit over­bevolking ini ialah tiada lain, melainkan perbaikan-perbaikan cara per­tanian dan perbaikan cara pertukangan, dan berdirinya suatu industri Indonesia dengan modal Indonesia yang sekokoh-kokohnya, yang nanti akan “mengisap” segenap rakyat yang “lebih” sebagai yang telah terjadi di Inggeris, di negeri Jerman, di negeri Perancis, atau di negeri Jepang itu, misalnya industri k a i n untuk mengganti keadaan yang sekarang, di mana hampir segenap rakyat Indonesia yang berpuluh-puluh juta itu hampir semuanya sama memakai pakaian yang kainnya dari Eropah, seharga berpuluh-puluh juta rupiah: sedang kapasnya hendaklah ditanam umpamanya di tanah-tanah Sumatera yang kini masih kosong itu, sehingga penanaman kapas ini bisa memakai beribu-ribu kaum “lebih” dari tanah Jawa pula adanya.



Kita mengetahui, bahwa kepabrikan itu bisa pula mengandung racun dan bahaya bagi rakyat dan kaum buruh sebagai yang sudah terjadi di mana-mana; tetapi kita mengetahui, bahwa adanya racun dan bahaya ini tidaklah tergantung dari a d a n y a kepabrikan, melainkan dari c a r a­ n y a kepabrikan itu.

Dan walaupun kepabrikan Indonesia ini pada waktu sekarang terdengarnya masih sebagai suatu impian; walaupun banyak orang yang menyangkal akan bisa terjadinya kepabrikan itu, maka kita percaya, bahwa, menurut hukum alam, kepabrikan itu pastilah datang.

 Kepercayaan, kepercayaanlah yang senantiasa menjadi wahyunya kita punya fikiran dan perbuatan. Dan dengan kepercayaan ini; dengan kepercayaan bahwa segala obat-obat overbevolking itu pada waktunya tentu sama datang sandiri; dengan kepercayaan, bahwa suatu masa kita tentu bisa pula mengenyahkan segala pengaruh-pengaruh yang menambah adanya bahaya overbevolking itu, maka dengan ketetapan hati kita menga­rahkan muka kepada tempo yang akan datang, dan dengan ketetapan hati kita menyambut hari kemudian itu.                                                           

 “Suluh Indonesia Muda”,

Selasa, 03 Oktober 2017

Surat-Surat Islam dari Endeh


DARI IR. SUKARNO KEPADA T. A. HASSAN,

GURU “PERSATUAN ISLAM”, BANDUNG



No. 1.  Endeh, 1 Desember 1934.



Assalamu’alaikum,

Jikalau saudara-saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut di bawah ini:



1 Pengajaran Shalat, 1 Utusan Wahabi, 1 Al-Muchtar,

1 Debat Talqien, 1 Al-Burhan compleet, I Al-Jawahir.



Kemudian daripada itu, jika saudara-saudara ada sedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal “sayid”. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih benar dan lebih sulit daripada soal “sayid” itu, maka tokh menurut keyakinan saya, salah satu kecelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum “sayid”, misalnya mereka punya brosyur “Bukti kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”. Tiada satu agama yang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan!



Sebelum dan sesudahnya terima itu buku-buku, yang saya tunggu-tunggu benar, saya mengucap beribu-ribu terima kasih.



Wassalam,
SUKARNO





No. 2.  Endeh, 25 Januari 1935.



Assalamu’alaikum,



Kiriman buku-buku gratis beserta kartupos, telah saya terima

dengan girang hati dan terima kasih yang tiada hingga.

Saya menjadi termenung sebentar, karena merasa tak selayaknya dilimpahi kebaikan hati saudara yang sedemikian itu.

Ya Allah Yang Mahamurah!



Pada ini hari semua buku dari anggitan saudara yang ada pada saya, sudah habis saya baca. Saya ingin sekali membaca lain-lain buah pena saudara. Dan ingin pula membaca “Buchari” dan “Muslim” yang sudah tersalin dalam bahasa Indonesia atau Inggetis? Saya perlu kepada Buchari atau Muslim itu, karena di situlah dihimpunkan Hadits-hadits yang dinamakan sahih. Padahal saya membaca keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa Inggeris,

bahwa di Buchari-pun masih terselip hadits-hadits yang lemah. Diapun menerangkan, bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam, banyaklah karena hadits-hadits lemah itu, – yang sering lebih “laku” dari ayat-ayat Qur’an. Saya kira anggapan ini adalah benar. Berapa besarkah kebencanaan yang telah datang pada umat Islam dari misalnya “hadits” yang mengatakan, bahwa “dunia” bagi orang Serani, akhirat bagi orang “Muslim” atau “hadits”, bahwa satu jam bertafakur adalah lebih baik daripada beribadat satu tahun, atau “hadits”, bahwa orang-orang Mukmin harus lembek dan menurut seperti onta yang telah ditusuk hidungnya!



Dan adakah Persatuan Islam sedia sambungannya Al Burhan I-II? Pengetahuan saya tentang “wet” masih kurang banyak. Pengetahuan “wet” ini, saya ingin sekali perluaskan; sebab di dalam praktek sehari-hari, umat Islam sama sekali dikuasai oleh “wet” itu, sehingga “wet” men­desak kepada “Dien”.



Haraplah sampaikan saya punya compliment kepada tuan Natsir atas ia punya tulisan-tulisan yang memakai bahasa Belanda. Antara lain is punya inleiding di dalam “Komt tot het gebed” adalah menarik hati.



Wassalam dan silaturrahmi,



SUKARNO



No. 3.  Endeh, 26 Maret 1935.



Assalamu’alaikum w.w.,



Tuan punya kiriman postpakket telah tiba di tangan saya seminggu yang lalu. Karena terpaksa menunggu kapal, baru ini harilah saya bisa menyampaikan kepada tuan terima kasih kami laki-isteri serta anak. Biji jambu mede menjadi “gayeman” seisi rumah; di Endeh ada juga jambu mede, tapi varieteit “liar”, rasanya tak nyaman. Maklum, belum ada orang menanam varieteit yang baik. Oleh karena itu, maka jambu mede itu menjadikan pesta. Saya punya mulut sendiri tak berhenti-­henti mengunyah!



Buku-buku yang tuan kirimkan itu segera saya baca. Terutama “Soal-Jawab” adalah suatu kumpulan jawahir-jawahir. Banyak yang tahadinya kurang terang, kini lebih terang. Alhamdulillah!



Sayang belum ada Buchari dan Muslim yang bisa baca. Betulkah belum ada Buchari Inggeris? Saya pentingkan sekali mempelajari Hadits, oleh karena menurut keyakinan saya yang sedalam-dalamnya, – sebagai yang sudah saya tuliskan sedikit di dalam salah satu Surat saya yang ter­dahulu dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang “jalankan” hadits yang dlaif dan palsu. Karena hadits-hadits yang demikian itulah, maka agama Islam menjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketakhayulan, bid’ah-bid’ah, anti-rasionalisme, dll. Padahal tak ada agama yang lebih

r a s i o n a l dan simplistis daripada Islam. Saya ada sangkaan keras bahwa rantai-taqlid yang merantaikan Rokh dan Semangat Islam dan yang merantaikan pintu-pintunya Bab-el-ijtihad, antara lain-lain, ialah hasilnya hadits-hadits yang dlaif dan palsu itu. Kekolotan dan kekonservatifan-pun dari situ datangnya. Karena itu, adalah saya punja keyakinan yang dalam, bahwa kita tak boleh menga­sihkan harga yang mutlak kepada hadits. Walaupun menurut penyelidikan ia bernama SHAHIEH. Human reports (berita yang datang dari manusia) tak bisa absolut; absolut hanyalah kalam Ilahi. Benar atau tidakkah pendapatan saya ini? Di dalam daftar buku, saya baca tuan ada sedia “Jawahirul-Buchari”. Kalau tuan tiada keberatan, saya minta buku itu, niscaya disitu banyak pengetahuan pula yang saya bisa ambil.



Dan kalau tuan tak keberatan pula, saya minta “Keterangan Hadits Mi’raj”. Sebab, saya mau bandingkan dengan saya punya pendapat sendiri, dan dengan pendapat Essad Bey, yang di dalam salah satu bukunya ada mengasih gambaran tentang kejadian ini. Menurut keyakinan saya, tak cukuplah orang menafsirkan mi’raj itu dengan “percaya” sahayja, yakni dengan mengecualikan keterangan “akal”. Padahal keterangan yang rasionalistis di sini ada. Siapa kenal sedikit ilmu psychologi dan para-psychologi, ia bisa mengasih keterangan yang rasionalistis itu. Kenapa sesuatu hal harus di-“gaib-gaibkan”, kalau akal sedia menerangkannya?



Saya ada keinginan pesan dari Eropah, kalau Allah mengabulkannya dan saya punya mbakyu suka membantu uang-harganya, bukunya Ameer Alie “The Spirit of Islam”.

Baikkah buku ini atau tidal? Dan di mana uitgever-nya?



Than, kebaikan budi tuan kepada saya, – hanya sayalah yang merasai betul harganya saya kembalikan kepada Tuhan.

Alhamdulillah, – segala pudjian kepadaNya. Dalam pada itu, kepada tuan 1.000 kali terima kasih.



Wassalam,



SUKARNO



No. 4.  Endeh, 17 Juli 1935.



Assalamu’alaikum,



Telah lama saya tidak kirim surat kepada saudara. Sudahkah saudara terima saya punya surat yang akhir, kurang lebih dua bulan yang lalu?



Khabar Endeh: Sehat wal’afiat, Alhamdulillah. Saya masih terus study Islam, tetapi sayang kekurangan perpustakaan, semua buku-buku yang ada pada saya sudah habis “termakan”. Maklum, pekerjaan saya sehari-hari, sesudah cabut-cabut rumput di

kebun, dan di sampingnya “mengobrol” dengan anak-bini buat menggembirakan mereka, ialah mem­baca sahaja. Berganti-ganti membaca buku-buku ilmu pengetahuan sosial dengan buku-buku yang mengenai Islam. Yang belakangan ini, dari tangannya orang Islam sendiri di Indonesia atau di luar Indonesia, dan dari tangannya kaum ilmu-pengetahuan yang bukan Islam.



Di Endeh sendiri tak ada seorangpun yang bisa saya tanyai, karena semuanya memang kurang pengetahuan (seperti biasa) dan kolot-bin-kolot. Semuanya hanya mentaqlid sahaja zonder tahu sendiri apa-apa yang pokok; ada satu-dua berpengetahuan sedikit, – di Endeh ada seorang “sayid” yang sedikit terpelajar, – tetapi tak dapat memuaskan saya, karena pengetahuannya tak keluar sedikitpun dari “kitab fiqh”: mati ­hidup dengan kitab-fiqh itu, dus – kolot, dependent, unfree 2), taqlid. Qur’an dan Api-Islam seakan-akan mati, karena kitab-fiqh itulah yang mereka jadikan pedoman-hidup, bukan kalam Ilahi sendiri. Ya, kalau, difikirkan dalam-dalam, maka kitab-fiqh itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo “Rokh” dan “Semangat” Islam. Bisakah, sebagai misal, suatu masyarakat menjadi “hidup”, menjadi b e r n y a w a, kalau masjarakat itu hanya dialaskan sahaja kepada “Wetboek van Strafrecht” dan “Burgerlijk Wetboek”, kepada artikel ini dan artikel itu? Masjarakat yang demikian itu akan segeralah menjadi masyarakat “mati”, masyarakat “bangkai”, masyarakat yang – bukan masyarakat. Sebab tan­danya masyarakat, ialah justru ia punya hidup, ia punya nyawa.

Begitu pula, maka dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada Rokh, tiada nyawa, tiada Api, karena umat Islam sama sekali tenggelam di­ dalam “kitab-fiqh” itu, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara­-udaranya Agama yang Hidup.



Nah, – begitulah keadaan saya di Endeh; mau menambah pengetahuan, tetapi kurang petunjuk. Pulang balik kepada buku-buku yang ada sahaja. Padahal buku-buku yang tertulis oleh autoriteit-autoriteit ke-Islam-anpun, masih ada yang mengandung beberapa fatsal yang belum memuaskan hati saya, kadang-kadang malahan tertolak oleh hati dan ingatan saya. Kalau di negeri ramai, tentu lebih gampang melebarkan saya punya sayap …



1)         Dependent = “mengikut sahaja”.

2)         Unfree = “tidak merdeka fikirannya”.



Alhamdulillah, antara kawan-kawan saya di Endeh, sudah banyak

yang mulai luntur kekolotan dan kedumudannya. Kini mereka sudah mulai sehaluan dengan kita dan tak mau mengambing sahaja lagi kepada ke­kolotannya, ketakhayulannya, kejumudannya, kehadramautannya, kemesum­annya, kemusyrikannya (karena percaya kepada azimat-azimat, tangkal­-tangkal dan “keramat-keramat”) kaum kuno, dan mulailah terbuka hatinya buat “Agama yang hidup”.



Mereka ingin baca buku-buku Persatuan Islam, tapi karena malaise, mereka minta pada saya mendatangkan buku-buku itu dengan separoh harga. Saya sekarang minta keridlaan tuan mengirim buku-buku yang saya sebutkan di bawah ini dengan separoh harga l) … haraplah tuan ingat­kan, bahwa yang mau baca buku-buku itu, ialah orang-orang korban malaise, dan bahwa mereka itu pengikut-pengikut baru dari haluan muda. Alangkah baiknya, kalau mereka itu bisa sembuh sama sekali dari kekolot­an dan kekonservatifan mereka itu; Endeh barangkali bukan masyarakat’ mesum sebagai sekarang!



Bagi saya sendiri, saya minta kepada saudara hadiah satu dua buku apa sahaja yang bisa menambah pengetahuan saya, – terserah kepada saudara buku apa.



Terima kasih lebih dahulu, dari saya dan dari kawan-kawan di Endeh. Sampaikanlah salam saya kepada saudara-saudara yang lain.



Wassalam,

SUKARNO



No. 5.  Endeh, 15 September 1935.



Assalamu’alaikum,



Paket pos telah kami ambil dari kantor pos, kami di Endeh semua membilang banyak terima kasih atas potongan 50% yang tuan idzinkan itu. Kawan-kawan semua bergirang, dan mereka ada maksud lain kali akan memesan buku-buku lagi, insya Allah.



Saya sendiripun tak kurang-kurang berterima kasih, mendapat

hadiah lagi beberapa brochures. Isinya brochure Congress Palestina itu, tak mam­pu menangkap “centre need of Islam”2).

Di Palestina orang tak lepas dari



conventionalism”, – tak cukup kemampuan buat mengadakan perobahan yang radikal di dalam aliran yang nyata membawa Islam kepada kemundur­an.



1)     Buat tidak menjemukan pembaca, nama-nama buku itu kami tidak sertakan di sini.

2)    Artinya: Kepentingan Islam yang terpenting.



Juga pimpinan kongres itu ada “ruwet”, orang seperti tidak tahu apa yang dirapatkan, bagaimana caranya tehnik kongres. Program kongres yang terang dan nyata rupanya tak ada. Orang tidak zakelijk2), dan saja kira di kongres itu, orang terlalu “meniup pantat satu sama lain”, – terlalu “Caressing each other”, terlalu “mekaar lekker maken”. Memang begitu­lah gambarnya dunia Islam sekarang ini: kurang Rokh yang nyata, kurang Tenaga yang Wujud, terlalu “bedak membedaki satu sama lain”, terlalu membanggakan sesuatu negeri Islam yang ada sedikit berkemajuan,- orang Islam biasanya sudah bangga kepada “Mesir” dan “Turki”! – terlalu mengutamakan pulasan-pulasan yang sebenarnya tiada tenaga!!!



Brochures yang lain-lain sedang saya baca, Insya Allah nanti akan saya ceriterakan kepada tuan saya punya pendapat tentang brochure-brochure itu. Terutama brochurenya tuan A. D. Hasnie saya perhatikan betul. Buat sekarang ini, sesudah saya baca brochure Hasnie itu secara sambil-lalu, maka bisalah sudah saya katakan,

bahwa cara pemerintahan Islam” yang diterangkan di situ itu, tidaklah memuaskan saya, karena kurang “up to date”. Begitukah hukum-kenegaraan Islam? Tuan A. D. Hasnie menerangkan, bahwa demokrasi parlementer itu, cita-cita Islam. Tetapi sudahkah demokrasi parlementer itu menyelamatkan dunia? Memang sudah satu anggapan-tua, bahwa demokrasi parlementer itu pun­caknya ideal cara-pemerintahan. Juga Moh. AR, di dalam ia punya tafsir Qur’an yang terkenal, mengatakan bahwa itulah idealnya Islam. Padahal ada  cara-pemerintahan yang 1 e b i h sempurna lagi, yang juga bisa dikatakan cocok dengan azas-azasnya Islam!



Brochure almarhum H. Fachroeddin akan berfaedah pula bagi saya, karena saya sendiripun banyak bertukaran fikiran dengan kaum pastoor di Endeh. Than tahu, bahwa pulau Flores itu ada “pulau missi” yang mereka sangat banggakan. Dan memang “pantas” mereka membanggakan mereka punya pekerjaan di Flores itu. Saya sendiri melihat, bagaimana mereka “bekerja mati-matian” buat mengembangkan mereka punya agama di Flores. Saya ada “respect” buat mereka punya kesukaan beker­ja itu. Kita banyak mencela missi, – tapi apakah yang kita kerjakan bagi menyebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? Bahwa missi mengembangkan roomskatholicisme, itu adalah mereka punya “hak”, yang kita tak boleh cela dan gerutui. Tapi “kita”, kenapa “kita” malas, kenapa “kita” teledor, kenapa “kita” tak mau kerja, kenapa “kita” tak mau giat? Kenapa misalnya di Flores tiada seorangpun muballigh Islam dari sesuatu perhimpunan Islam yang ternama (misalnya Muhammadiyah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir?

Missi di dalam beberapa tahun sahaja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores,- tapi berapa orang kafir yang bisa “dihela” oleh Islam di Flores itu? Kalau difikirkan, memang semua itu “salah kita sendiri”, bukan salah orang lain. Pantas Islam selamanya diperhinakan orang!



1)      Artinya: Tidak memegang kepada pokok-pembicaraan sahaja.

2)      Artinya: Rantainya adat-kebiasaan.



Kejadian di Bandung yang tuan beritakan, sebagian saya sudah tahu, sebagian belum. Misalnya, saya belum tahu, bahwa tuan punya anak telah dipanggil kembali ke tempat asalnya. Saya bisa menduga tuan punya duka­ cita, dan sayapun semakin insyaf, bahwa manusia punya hidup adalah sama sekali di dalam genggaman Ilahi.

Yah, kita harus tetap tawakkal, dan haraplah tuan suka sampaikan saya punya ajakan tawakkal itu kepada saudara-saudara yang lain-lain, yang juga tertimpa kesedihan.



Sampaikanlah salamku kepada semua.



Wassalam,



SUKARNO



Publisher “The Spirit of Islam” kini saya sudah tahu: Doran & Co., New York. Saya sudah dapat persanggupan ongkosnya dari saya punya mbakyu, dan sudah pesan buku itu. Saya ingin tahu pendapat Ameer AU, apakah yang menjadikan kekuatan Islam, dan apakah sebabnya “semangat kambing” sekarang ini. Cocokkah dengan pendapat saya, atau tidak?



No. 6.  Endeh, 25 Oktober 1935.



Assalamu’alaikum,



Sedikit khabar yang perlu saudara ketahui: hari Jum’at, malam Sabtu 11/12 Oktober j.b.l., saya punya ibu-mertua, yang mengikut saya ke tanah interniran, telah pulang ke rahmatullah. Suatu percobaan yang berat bagi saya dan saya punya isteri, yang, – alhamdulillah, kami pikul dengan tenang dan tawakkal dan ikhlas kepada Ilahi. Berkat bantuan Tuhan. Inggit tidak meneteskan air mata setetespun juga, begitu juga saya punya anak Ratna Juami. Yah, moga-moga Allah senantiasa me­ngeraskan apa yang masih lembek pada kami orang bertiga. Yang timah menjadi besi, yang besi menjadi baja, amien! Kesakitan ibu-mertua dan wafatnya, adalah menyebabkan saya belum bisa tulis surat yang pan­jang, maafkanlah! Sakitnja ibu-mertua hanja empat hari.



Wassalam,

SUKARNO

No. 7.  Endeh, 14 Desember 1936.



Assalamu’alaikum,



Kiriman “Al-Lisaan”, telah saya terima mengucap diperbanyak terima kasih kepada saudara. Terutama nomor ekstra perslah debat taqlid, adalah sangat menarik perhatian saya. Saya ada maksud Insya Allah kapan-kapan, akan menulis sesuatu artikel-pemandangan atas nomor ekstra taqlid itu, artikel yang mana nanti boleh saudara muatkan pula ke dalam “Al-Lisaan”. Sebab, cocok dengan anggapan tuan, soal taqlid inilah teramat maha-penting bagi kita kaum Islam umumnya.

Taqlid adalah salah satu sebab yang terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, di situlah, kemunduran Islam cepat sekali. Tak hairan! Di mana genius” dirantai, di mana akal fikiran dite­rungku, di situlah datang kematian.



Saudara telah cukuplah keluarkan alasan-alasan dalil Qur’an dan Hadits. Saudara punya alasan-alasan itu, sangat sekali meyakinkan.



Tapi masih ada pula alasan-alasan lain yang menjadi vonnis atas aturan taqlid itu: alasan-alasannya “tarikh”, alasan-alasannya “sejarah”, alasan-alasannya “history”. Bila kita melihat jalannya sejarah Islam, maka tampaklah di situ akibatnya taqlid itu sebagai satu garis ke bawah, – garis decline -, sampai sekarang. Umumnya kita punya kyai-kyai dan kita punya ulama-ulama tak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarah, ya, boleh saya katakan kebanyakan tak mengetahui, sedikitpun dari sejarah itu. Mereka punya minat hanya menuju kepada “agama chususi” saha­ja, dan dari agama khususi ini, terutama sekali bagian fiqh Sejarah, – apa lagi bagian “yang lebih dalam”, yakni yang mempelajari “kekuatan­-kekuatan-masyarakat” yang “menyebabkan” kemajuannya atau kemun­durannya sesuatu bangsa, – sejarah itu sama sekali tidak menarik mereka punya perhatian. Padahal, disini, di sinilah padang penyelidikan yang maha-maha-penting. Apa “sebab” mundur? Apa “sebab” bangsa ini di zaman ini begitu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang maha-penting yang harus berputar terus-menerus di dalam kita punya ingatan, kalau kita mempelajari naik-turunnya sejarah itu.



Tetapi bagaimana kita punya kyai-kyai dan ulama-ulama? Tajwid tetapi pengetahuannya tentang sejarah umumnya “nihil”. Paling mujur mereka hanya mengetahui “Tarich Islam” sahaja, – dan inipun terambil dari buku-buku tarikh Islam yang kuno, yang tak dapat “tahan” ujiannya modern science, yakni tak dapat “tahan” ujiannya ilmu-pengetahuan modern!



Padahal justru ini sejarah yang mereka abaikan itu, justru ini persaksian sejarah yang mereka remehkan itu, adalah membuktikan dengan nyata dan dahsyat, bahwa dunia Islam adalah sangat mundur se­menjak muncul aturan taqlid. Bahwa dunia Islam adalah laksana bangkai yang hidup, semenjak ada anggapan, bahwa pintu-ijtihad sekarang termasuk tanah yang sangar. Bahwa dunia Islam adalah mati­geniusnya, semenjak ada anggapan, bahwa mustahil ada mujtahid yang bisa melebihi “imam yang empat”, jadi harus mentaqlid  sahaja kepada tiap-tiap kyai atau ulama dari sesuatu madzhab imam yang empat itu! Alangkah baiknya, kalau kita punya pemuka-pemuka agama melihat garis­ ke bawahnya sejarah semenjak ada taqlid-taqlidan itu, dan tidak hanya mati-hidup, bangun-tidur dengan kitab fiqh dan kitab parukunan sahaja!



Salam kepada saudara-saudara yang lain!

Wassalam,

SUKARNO



1) Genius = akal-fikiran.



Kaum kolot di Endeh, – di bawah anjuran beberapa orang Hadramaut –, belum tenteram juga membicarakan halnya saya tidak bikin “selamatan-tahlil” buat saya punya ibu-mertua yang bare wafat itu, mereka berkata, bahwa saya tidak ada kasihan dan cinta pada ibu-mertua itu. Biarlahl Mereka tak tahu-menahu, bahwa saya dan saya punya Wen, sedikitnya lima kali satu hari, memohonkan ampun bagi ibu-mertua itu kepada Allah. Moga-moga ibu-mertua diampuni dosanya dan diterima iman Islamnya. Moga-moga Allah melimpahkan rahmatNya dan berkatNya, yang ia, meski sudah begitu tua, tokh mengikut saya ke dalam kesunyiannya dunia­interniran!



Amien!





No. 8.  Endeh, 22 Pebruari 1936.



Assalamu’alaikum,



Belum juga saya bisa tulis artikel tentang nomor ekstra taqlid sebagaimana saya janjikan, karena repot “mereportir” sekolahnya

saya punya anak, dan karena – … di Endeh ada datang seorang guru-pesan­tren dari Jakarta golongan kolot, dan – kebetulan juga – seorang lagi golongan muda dari Banyuwangi, sehingga, walaupun mereka itu dua­-duanya datang di Endeh buat dagang, tokh saban malam mertamu di rumah saya. Sampai jauh-jauh-malam mereka soal-bersoal satu sama lain dan kadang-kadang udara Endeh menjadi naik temperature hingga hampir 100°1 Saya tertawa sahaja, – senang dapat melihat orang dari “dunia ramai”! – hanya menjaga sahaja jangan gampai udara itu terbakar sama sekali. Dan selamanya saya diminta menjadi hakim. Tak usah saya katakan pada tuan, bahwa kehakiman saya itu, sering membikin tercengangnya itu guru-pesantren, padahal seadil-adilnya menurut hukum!



Karena rupanya berhadapan dengan orang interniran politik, maka kawan muda itu bertanya: bagaimanakah siasahnya, supaya zaman keme­gahan Islam yang dulu-dulu itu bisa kembali? Saya punya jawab ada singkat: “Islam harus berani mengejar zaman.” Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat “mengejar” seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali kepada Islam-gloryl) yang dulu, bukan kembali kepada “zaman chalifah”, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman, – itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang-gemilang kem­bali. Kenapa tokh kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus meng­kopi “zaman chalifah” yang dulu-dulu? Sekarang tokh tahun 1936, dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900? Masyarakat toch bukan satu gerobak yang boleh kita “kembalikan” semau-mau kita? Masyarakat minta maju, maju ke depan, maju ke muka, maju ke tingkat yang “kemudian”, dan tak mau disuruh “kembali”!



Kenapa kita musti kembali ke zaman “kebesaran Islam” yang dulu­-dulu? Hukum Syari’at? Lupakah kita, bahwa hukum Syari’at itu bukan hanya haram, makruh, sunah, dan fardlu sahaja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang “mubah” atau “jaiz “? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau jaiz ini! Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statesmanship, “boleh bergias, boleh berbid’ah, boleh mem­buang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh ber-radio, boleh berkapal-udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper­hyper-modern,” asal tidak nyata dihukum haram atau makruh oleh Allah dan Rassul! Adalah satu perjoangan yang paling berfaedah bagi umat Islam, yakni perjoangan menentang

k e k o l o t a n. Kalau Islam sudah bisa berjoang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari-secepat­ kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjoangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar zaman ke muka, – perjoangan inilah yang Kemal Ataturk maksudkan, tatkala ia berkata, bahwa “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tashbih, tetapi Islam ialah  p e r j o a n g a n “. Islam is progress: Islam itu kemajuan!



1)       Artinya: Kemegahan Islam



Tindakan-tindakan ulilamri-ulilamri di zaman Islam-glory itu tidak­lah, dan tidak bolehlah, menjadi hukum bagi umat Islam yang tak boleh diubah atau ditambah lagi, tetapi hanyalah boleh kita pandang sebagai tingkat-tingkat perjalanannya sejarah, – merely as historic degrees.1)



Bilakah kita punya penganjur-penganjur Islam mengerti falsafatnya historic degrees ini, – membangunkan kecintaan membunuh segala “se­mangat-kurma” dan “semangat-sorban” yang mau mengikat Islam kepada zaman kuno ratusan tahun yang lalu, kecintaan berjoang mengejar zaman, kecintaan berkias dan berbid’ah di lapangan dunia sampai kepun­cak-puncaknya kemoderenan, kecintaan berjoang melawan segala se­suatu yang mau menekan umat Islam ke dalam kenistaan dan kehinaan?



Khabar Endeh: sehat-wal’afiat. Bagaimana di sini?



Wassalam,



SUKARNO





No. 9.         Endeh, 22 April 1936.



Assalamu’alaikum,



Than, postpakket yang pertama, sudah saya terima: postpakket yang kedua sudah datang pula di kantor pos, tetapi belum saya ambil, karena masih ada satu-dua kawan yang belum setor uang kepada saya, padahal saya sendiri di dalam keadaan “kering”, – sebagai biasa sehingga belum bisa menalanginya. Tapi dalam tempo tiga-empat hari lagi, niscayalah kawan-kawan semua sudah setor penuh.

Di dalam paket yang pertama itu, ada “ekstra” lagi dari tuan, yaitu biji jambu mede. Banyak terimakasih. Kami seisi rumah, itu hari pesta lagi makan biji jambu mede, seperti dulu. Juga saya membilang banyak terima kasih atas tuan punya hadiah buku serta pinjaman buku.



Khabar tentang berdirinya pesantren, sangat sekali menggembirakan hati saya. Kalau saya boleh memajukan sedikit usul: hendaklah ditam­bah banyaknya “pengetahuan Barat” yang hendak dikasihkan kepada murid-murid pesantren itu. Umumnya adalah sangat saya sesalkan, bahwa kita punya Islam-scholars 2) masih sangat sekali kurang pengetahuan modern-science3).



1)         Artinya: Melulu sebagai tingkat-tingkat perjalanan sejarah.

2)         Scholar = Orang yang berilmu.

3)         Pengetahuan modern.



Walau yang sudah bertitel “mujtahid” dan “ulama” sekalipun, banyak sekali yang masih mengecewakan pengetahuannya modern-science. Lihatlah misalnya kita punya majalah-majalah Islam: banyak sekali yang kurang kwaliteit. Dan jangan tanya lagi bagaimana halnya kita punya kyai-kyai muda I Saya tahu, tuan punya pesantren bukan universiteit, tapi alangkah baiknya kalau tokh western science di situ ditambah banyaknya. Demi Allah “Islam science” bukan hanya penge­tahuan Qur’an dan Hadits sahaja; “Islam science” adalah pengetahuan Qur’an dan Hadits plus pengetahuan umum! Orang tak dapat memahami betul Qur’an dan Hadits, kalau tak berpengetahuan umum. Walau tafsir­-tafsir Qur’an yang masyhurpun dari zaman dahulu,-  yang orang sudah kasih titel tafsir yang “keramat”, – seperti misalnya tafsir Al-Baghawi, tafsir Al-Baidlawi, tafsir Al-Mazhari dls.- masih bercacad sekali; cacad-cacad yang saya maksudkan ialah misalnya: bagaimanakah orang bisa mengerti betul-betul firman Tuhan, bahwa segala barang sesuatu itu dibikin olehNya “berjodo-jodoan”, kalau tak mengetahui biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui positif dan negatif, tak mengetahui aksi dan reaksi? Bagaimanakah orang bisa mengerti firmanNya, bahwa “kamu melihat dan menyangka gunung-gunung itu barang keras, padahal semua itu berjalan selaku awan”, dan bahwa “sesungguhnya langit-langit itu asal-mulanya serupa zat yang bersatu, lalu kami pecah-pecah dan kami jadikan segala barang yang hidup daripada air”, – kalau tak mengetahui sedikit astronomy? Dan bagaimanakah mengerti Ayat-ayat yang meriwayatkan Iskandar Zulkarnain, kalau tak mengetahui sedikit history dan archaeology? Lihatlah itu blunder-blunder-Islaml) sebagai “Sultan Iskandar” atau “raja Fir’aun yang satu” atau “perang Badar yang mem­bawa kematiannya ribuan manusia hingga orang berenang di lautan darah”! Semuanya itu karena kurang penyelidikan history, kurang scientific feeling2).



1)         Blunder = kesalahan, kebodohan.

Artinya: Kurang cinta kepada penyelidikan 11= pengetahuan



Alangkah baiknya kalau tuan punya muballigh-muballigh nanti bermutu tinggi, seperti tuan M. Natsir, misalnya! Saya punya kyjakinan yang sedalam-dalamnya ialah, bahwa Islam di sini, – ya di seluruh dunia – , tak akan menjadi bersinar kembali kalau kita orang Islam masih mempunyai “sikap hidup” secara kuno sahaja, yang menolak tiap-tiap “ke-Barat-an” dan “kemoderenan”. Qur’an dan Hadits adalah kita punya wet yang ter­tinggi, tetapi Qur’an dan Hadits itu, barulah bisa menjadi pembawa kemajuan, suatu api yang menyala, kalau kita baca Qur’an dan Hadits itu dengan berdasar pengetahuan umum.

Ya, justru Qur’an dan Hadits­lah yang mewajibkan kita menjadi cakrawarti di lapangannya segala science dan progress, di lapangannya segala pengetahuan dan kemajuan. Kekolotan dan kekunoan dan kebodohan dan kemesuman itulah yang menjadi sebabnya ulama-ulama Hejaz dulu memaksa. Ibnu Saud me­rombak kembali tiang radio Madinah, kekunoan dan kebodohan dan kemesuman itulah pula yang menjadi sebabnya banyak orang tak mengerti dan tak bisa mengerti sahnya beberapa aturan-aturan-baru yang diadakan oleh Kemal Ataturk atau Riza Khan Pahlawi atau Jozef Stalin! Cara kuno dan cara mesum itulah, – juga di atas lapangan ilmu tafsir yang menjadi sebabnya seluruh dunia Barat memandang Islam itu sebagai satu agama yang anti-kemajuan dan yang sesat. Tanyalah kepada itu ribuan orang Eropah yang masuk Islam di dalam abad keduapuluh ini: dengan cara apa dan dari siapa mereka mendapat tahu baik dan bagusnya Islam, dan mereka akan menjawab: bukan dari guru-guru yang hanya menyuruh muridnya “beriman” dan “percaya” sahaja, bukan dari muballigh­-muballigh yang tarik muka angker dan hanya tahu putarkan tashbih saha­ja, tetapi dari muballigh yang memakai cara penerangan yang masuk akal, – karena ‘berpengetahuan umum. Mereka masuk Islam, karena muballigh-muballigh yang menghela mereka itu, ialah muballigh-mubal­ligh modern dan scientific, dan bukan muballigh “a. la Hadramaut” atau “a l a Kyai bersorban”. Percayalah bahwa, bila Islam dipropagandakan dengan cara yang masuk akal dan up-to-date, seluruh dunia akan sedar kepada kebenaran Islam itu. Saya sendiri, sebagai seorang terpelajar, barulah mendapat lebih banyak penghargaan kepada Islam, sesudah saya mendapat membaca buku-buku Islam yang modern dan scientific. Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar, ialah oleh karena Islam tak mau membarengi zaman, dan karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam: mereka kolot, me­reka orthodox, mereka anti-pengetahuan dan memang tidak berpenge­tahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaklid sahaja, menyuruh orang “percaya” sahaja, – mesum mbahnya mesum!



Kita ini kaum anti-taqlidisme? Bagi saya anti-taglidisme itu berarti:

Bukan sahaja “kembali” kepada Qur’an dan Hadits, tetapi “kembali kepada Qur’an dan Hadits dengan mengendarai kendaraannya pengetahuan umum”.



Tuan Hassan, maafkanlah saya punya obrolan ini. Benar satu obrolan, tapi satu obrolan yang keluar dari sedalam-dalamnya saya punya kalbu. Moga-moga tuan suka perhatikannya berhubung dengan tuan punya pesan­tren. Hiduplah tuan punya pesantren itu!



Wassalam,
     

SUKARNO





No. 10. Endeh, 12 Juni 1936.



Assalamu’alaikum,



Saudara! Saudara punya kartupos sudah saya terima dengan girang. Syukur kepada Allah Ta’ala saya punya usul tuan terima!



Buat mengganjel saya punya rumah tangga yang kini kesempitan, – saya punya onderstand dikurangi, padahal tahadinyapun sudah sesak sekali buat membelanjai – segala saya punya keperluan maka saya sekarang lagi asyik mengerjakan terjemahan sebuah buku Inggeris yang men­tarikhkan Ibnu Saud. Bukan main haibatnya ini biography! Saya jarang menjumpai biography yang begitu menarik hati.

Tebalnya buku Inggeris itu, – formaat tuan punya “Al-Lisaan” –,

adalah 300 muka, terjemahan Indonesia akan jadi 400 muka. Saya minta saudara tolong carikan orang yang mau beli copy itu, atau barangkali saudara sendiri ada uang buat membelinya?

Tolonglah melonggarkan saya punya rumah tangga yang disempitkan korting itu.



Bagi saya pribadi buku ini bukan sahaja satu ichtiar economy,

tetapi adalah pula satu pengakuan, satu confession. Ia adalah menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahliabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan element aural, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum “tafakur” dan kaum pengeramat Husain c.s. akan kehilangan akal nanti sama sekali. Dengan menyalin ini buku,

adalah satu confession bagi saya bahwa, saya, walaupun tidak mufakati semua system Saudisme yang masih banyak feodal itu, tokh menghormati dan kagum kepada pribadinya itu laki-laki yang “towering above all Moslems of his time; an immense man, tremendous, vital, dominant. A giant thrown up out of the chaos and agony of the desert, – to rule, following the example of his

Great teacher, Mohammad”1). Selagi menggoyangkan saya punya pena menterjemahkan biography ini, ikutlah saya punya jiwa bergetar karena kagum kepada pribadinya orang yang digambarkan. What a man! Mudah-mudahan saya mendapat taufik menyelesaikan terjemahan ini dengan cara yang bagus dan tak kecewa. Dan mudah-mudahan nanti ini buku dibaca oleh banyak orang Indonesia, agar bisa mendapat inspiration daripadanya. Sebab, sesungguhnya ini buku, adalah penuh dengan inspiration. Inspira­tion bagi kita punya bangsa yang begitu muram dan kelam-hati, inspiration bagi kaum Muslimin yang belum mengerti betul-betul artinya perkataan “Sunah Nabi”, – yang mengira, bahwa sunah Nabi s.a.w. itu hanya makan korma di bulan Puasa dan celak-mata dan sorban sahaja!



Saudara, please tolonglah. Terima kasih lahir-bathin, dunia-akhirat.



Wassalam,

SUKARNO



1)   Artinya: ialah bahwa Ibnu Saud itu seorang laki-laki yang melebihi semua orang Muslim zaman sekarang, seorang raksasa yang mengikuti tauladannya Nabi Muhammad s.a.w.





No. 11.  Endeh, 18 Augustus 1936.



Assalamu’alaikum,



Surat tuan sudah saya terima. Terima kasih atas tuan punya kecapaian mencarikan penerbit buku saya ke sana-sini. Moga-moga lekas dapat, sayang kalau manuscript yang begitu tebal, tinggal manuscript sahaja.



Tentang tuan punya usul menulis buku yang lebih tipis, – brosyur -, saya akur. Memang brosyur itu amat perlu. Tapi sebenarnya saya ingin menyudahi satu buku lagi yang juga kurang-lebih 400 muka tebalnya, yang rancangannya sekarang sudah selesai pula di dalam saya punya otak. Rakyat Indonesia, – terutama kaum intelligentzia – , sudah mulai banyak yang senang membaca buku-buku bahasa sendiri yang “matang”, yang “thorough”. Ini alamat baik; sebab perpustakaan Indonesia buat 95% hanya buku-buku tipis sahaja, hanya brosyur-brosyur sahaja, tak sedikit gembira saya, waktu saya menerima buku bahasa Indonesia “Islam di tanah China”. Buku ini adalah satu contoh buku yang “thorough”. Alangkah baiknya, kalau lebih banyak buku-buku semacam itu di perpustakaan kita!

Barangkali nanti kita punya intelligentzia tidak senantiasa terpaksa men­cari makanan rokh dari buku-buku asing sahaja. Ini tidak berarti, bahwa saya tak mufakat orang baca buku asing. Tidak! Semua buku ada faedahnya, makin banyak baca buku, makin baik. Walau buku bahasa Hottentot-pun baik kita baca! Tapi janganlah perpustakaan kita sendiri berisi nihil, sebagai keadaan sekarang ini. Tuan kata, buku-tipis lebih murah harganya; tapi bagi kaum intelligentzia dan kaum yang sedikit mampu tidaklah menjadi halangan harga buku tebal itu. Toch kaum intelligentzia juga mengeluarkan banyak uang bagi buku asing? Tokh kita punya kaum mampu juga banyak mengeluarkan uang buat pakaian, buat bioskop, atau buat kesenangan lain-lain? Sebenarnya harga sesuatu buku tidak menjadi ukuran laku-tidaknya buku itu nanti; yang menjadi ukuran, ialah kandungan buku itu; isi buku itu, digemari orang atau tidak. Bagi marhaen, ya memang, zaman sekarang ini zaman berat.

Tapi tiada keberatan kalau buku-buku tebal itu dijadikan “penerbitan untuk rakyat”, atau dipecah menjadi empat-lima jilid, sehingga meringankan harga bagi marhaen. (Sebenarnya kurang baik memecah buku menjadi jilid-jilid yang kecil). Tapi tokh, dalam pada saya menganjurkan penerbitan lebih banyak buku yang tebal dan thorough itu, saya akui pula kefaedahannya brosyur. Sebagai alat propaganda, bro­syur adalah sangat perlu. Insya Allah saya akan tulis brosyur tentang faham jaiz didalam hal keduniaan.

Di dalam salah satu surat saya yang terdahulu, saya sudah sedikit singgung perihal ini. Kita punya peri-kehi­dupan Islam, kita punya ingatan-ingatan Islam, kita punya ideologi Islam, sangatlah terkurung oleh keinginan mengcopy 100% segala keadaan keadaan dan cara-cara dari zaman Rasul s.a.w., dan khalifah yang besar.



Kita tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati” – tetapi “hidup” mengalir berobah senantiasa, maju, berevolusi, dinamis. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah menjaizkan urusan dunia menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak haram atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat – kafir; radio dan kedokteran – kafir; pantalon dan dasi dan topi – kafir; sendok dan garpu dan kursi – kafir; tulisan Latin – kafir; ya bergaulan dengan bangsa yang bukan Islam pun – kafir! Padahal apa-apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar‑kobar, bukan api Islam yang menyala-nyala, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan korma dan jubah dan celak-mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahnya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, – dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengafirkan radio dan listrik, mengafirkan kemoderenan dan ke-up-to-date-an? Yang mau tinggal mesum sahaja, tinggal kuno sahaja, yang terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja “seperti di zaman Nabi dan Chalifahnya. Yang menjadi marah dan murka kalau mendengar khabar tentang diadakannya aturan-aturan baru di Turki atau di Iran atau di Mesir atau di lain-lain negeri Islam di tanah Barat?



Islam is progress, Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardlu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan di lapangkan oleh aturan, jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui­ batas-batasnya zaman. Islam is progress. Progress berarti barang baru, barang baru yang lebih sempurna,

yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu.

Progress berarti pembikinan baru, creation baru, – bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama. Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi zamannya “chalifah-chalifah” yang besar. Kenapa tokh orang-orang politik Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya chalifah-chalifah yang besar” itu? Tidakkah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan system-system baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjelmakan system-system baru yang cocok dengan keperluannya, – cocok

dengan keperluan zaman itu sendiri?

Apinya zaman “Chalifah-chalifah yang besar” itu? Akh, lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang “meng­anggitkan”, bukan mereka yang “mengarangkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dart barang yang juga kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunah Rasul?



Tetapi apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flonenya, tetapi abunya, debu­nya, asbesnya. Abunya yang berupa celak-mata dan sorban, abunya yang mencintai kemenyan dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam­ mulut dan Islam-ibadat – zonder taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil sahaja, – teapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu ke ujung zaman yang lain. Tarikh Islam, kita baca, tetapi kitab-kitab tarikh itu tidak mampu menunjukkan dynamical laws of progress1) yang menjadi nyawanya dan tenaganya zaman-zaman yang digambarkan, tidak bisa mengasih falsafatnya sejarah, dan hanyalah habis-habisan-kata memuluk-mulukkan dan mengeramat-ngeramatkan pahlawan-pahlawannya sahaja. Kitab-kitab tarikh ada begitu, – beta­pakah umat Islam umumnya, betapakah si Dulah dan si Amat, betapakah si Minah dan si Maryam? Betapakah si Dulah dan Amat dan Minah dan Maryam itu, kalau mereka malahan lagi hari-hari dan tahun-tahun dice­koki faham-faham kuno dan kolot, takhayul dan mesum, anti-kemajuan dan anti-kemoderenan,- hadramautisme yang jumud-maha-jumud?



Sesungguhnya, Tuan Hassan, sudah lama waktunya kita wajib membantras faham-faham yang mengafirkan segala kemajuan dan kecer­dasan itu, membelenggu segala nafsu kemajuan dengan belenggunya: “ini haram, itu makruh”, – padahal jaiz atau mubah semata-mata! Insya Allah, dalam dua-tiga bulan brosyur itu selesai!



Wassalam,

SUKARNO





No. 12.  Endeh, 17 Oktober 1936.



Assalamu’alaikum,



Dua surat yang akhir, sudah saya terima. Baru ini hari ada kapal ke Jawa buat membalas kedua surat itu. Itulah sebabnya balasan ini ada terlambat.



Tuan tanya, apakah tuan boleh mencetak saya punya surat-surat kepada tuan itu? Sudah tentu boleh, tuan! Saya tidak ada keberatan apa­-apa atas pencetakan itu. Dan malahan barangkali ada baiknya orang mengetahui  surat-surat itu. Sebab, di dalam surat-surat itu adalah saya teteskan sebagian dari saya punya bathin, saya punya nyawa, saya punya jiwa. Di dalam surat-surat itu adalah tergurat sebagian garis-perobahan­nya saya punya jiwa,- dari jiwa yang Islamnya hanya raba-raba sahaja menjadi jiwa yang Islamnya yakin, dari jiwa yang mengetahui adanya Tuhan, tetapi belum mengenal Tuhan, menjadi jiwa yang sehari-hari berhadapan dengan DIA, dari jiwa yang banyak falsafat ke-Tuhan-an tetapi belum mengamalkan ke-Tuhan-annya itu menjadi jiwa sehari­-hari menyembah kepadanya. Saya wajib berterima kasih kepada Allah Subhanahu Wata’ala, yang mengadakan perbaikan saya punya jiwa yang demikian itu, dan kepada semua orang, – antaranya tidak sedikit kepada tuan yang membantu kepada perbaikan itu. Sebagai tanda terima kasih kepada Allah dan kepada manusia itulah saya meluluskan permintaan tuan akan mengumurnkan saya punya surat-surat itu.



1)         Artinya: Hukum-hukum yang menjadi sebabnya kemajuan



Beberapa waktu yang lalu adalah orang menulis satu entrefilet di dalam surat-khabar “Pemandangan”, bahwa saya sekarang gemar Islam. Banyak orang yang heran membaca khabar itu, begitulah katanya salah seorang teman dari Jawa yang menulis sepucuk surat-selamat kepada saya berhubung dengan entrefilet itu. En tokh, bagi siapa yang mengenal saya betul-betul dan tidak hanya oppervlakkig sahaja, bagi siapa yang menge­tahui seluk-beluknya saya punya jiwa sejak dari umur delapanbelas tahun, bagi siapa yang pernah menyelami samuderanya saya punya nyawa sampai kebagian-bagian yang paling dalam, bagi dia bukanlah barang yang “mengherankan” lagi bahwa saya “sekarang gemar Islam”. Bukankah satu “alamat” bahwasanya saya dulu anggauta Sarekat Islam, dan kemudian juga anggauta Partai Sarekat Islam dan kemudian pula meninggalkan Partai Sarikat Islam itu hanya karena tak mufakat 100% dengan partai itu, dan bukan karena benci kepada Islam? Bukankah satu “alamat”, bahwa saya di ­dalam kurungan penjara Sukamiskin yang pertama kali ada membikin banyak studi dari Islam itu, hingga semua pers putih menjadi curiga dan sengit-sengit, dan “Java Bode” membikin gambar-sindiran lucu yang sampai sekarang saya simpan di saya punya album? Bukankah satu “ala­mat”, akhirnya, bahwa kebanyakan saya punya ucapan-ucapan dulu itu menunjukkan satu “dasar mystiks”, satu “dasar ke-Tuhan-an” yang betul belum “terbentuk” nyata ke dalam sesuatu “agama”, tetapi tokh sudah nyata menunjuk kejurusan itu? Dan bilamana saya dulu kadang-kadang mengeluarkan ucapan-ucapan yang membangunkan kesan anti-Islam, bilamana saya dulu kadang-kadang bertengkar dengan sesuatu fihak Islam di atas sesuatu masalah masyarakat Islam, maka itu bukan karena menen­tang Islam sebagai Islam, bukan karena anti-Islam qua agama, bukan karena anti-Islam “an sich”, tetapi hanyalah karena tidak senang melihat ‘Geadaan-keadaan di kalangan umat Islam yang membangunkan amarah Ian kejengkelan saya.



Dan sekarangpun, tuan Hassan, sekarangpun, yang saya, – berkat pertolongan Allah dan pertolongan tuan dan pertolongan orang-orang lain, sudah lebih bulat dan lebih yakin ke-Islam-an saya itu, sekarangpun hati saya malahan menjadi lebih luka dan gegetun kalau saya melihat keadaan-keadaan di kalangan umat Islam yang seakan-akan menentang Allah dan menentang Rasul itu. Lebih luka dan lebih gege­tun kalau saya melihat kejumudan dan kekunoan guru-guru dan kyai-kyai Islam, lebih luka dan lebih gegetun kalau melihat mereka mengokoh­-ngokohkan taqlidisme dan hadramautisme, lebih luka dan lebih gegetun Kalau melihat dilancang-lancangkannja dan dimain-mainkannya poligami, lebih luka dan lebih gegetun kalau melihat degradations) Islam menjadi `agama-celak” dan “agama-sorban”, – lebih luka dan lebih gegetun kalau melihat kenistaan-umum dan kehinaan-umum yang seakan-akan menjadi `patent” dunia Islam itu. Akh, tuan Hassan, sekarangpun barangkali kaum kolot sudah sedia dengan putusan-kehakimannya yang mengatakan ;aja “anti-Islam”, “mau mengadakan agama baru”, “murtad dari ahlussun­nah wal Jama’ah”, “charidji” dan “qadiani”, dan macam-macam sebutan bagi yang kocak-kocak dan segar-segar. Biar! Zaman nanti akan mem­buktikan, bahwa kaum muda tulus dan ikhlas mengabdi kepada kebenaran, lulus dan ikhlas mengabdi kepada Tuhan. Zaman nanti akan membawa persaksian, bahwa kita punya ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan bukan niat “mengadakan agama baru”, bukan buat “merobah hukum-hukumnya Allah dan Rasul”, tapi justru buat mengembalikan agama yang asli dan mengindahkan hukum-hukumnya Allah dan Rasul.

Biar! Belum pernah di sejarah dunia ada tertulis, bahwa sesuatu reform movement’) tidak nendapat perlawanan dari kaum yang jumud, belum pernah sejarah iunia itu menyaksikan bahwa sesuatu pergerakan yang mau membongkar adat-adat salah dan ideologi-ideologi-salah yang telah berwindu-windu dan berabad-abad bersulur dan berakar pada sesuatu rakyat, tidak mem­bangunkan reaksi haibat dari fihak jumud yang membela adat-adat ideologi-ideologi itu. Silahkan kaum muda bekerja terus. Tapi dalam pada kaum muda bekerja terus itu haruslah mereka menjaga, jangan sampai mereka mengadakan perpecahan dan permusuhan satu sama lain di kalangan umat Islam, jangan sampai mereka melanggar perintah Allah akan “berpegang kepada agama Allah dan jangan bercerai-berai” Dan jangan sampai mereka “menggenuki umat sendiri, lupa kepada umat yang besar”.



1)         Artinya: Diperosotkan derajatnya.

2)         Artinya: Pergerakan perobahan.



Ini, inilah memang kesukarannya kerja yang harus diselesaikan oleh kaum muda itu: membantras adat-adat-salah dan ideologi-ideologi-salah tapi tidak bermusuhan dengan kaum yang karena “belum tahu”, membela kepada adat-adat-salah dan ideologi-ideologi-salah itu; menawarkan adat-­adat-benar dan ideologi-ideologi-benar zonder memusuhi orang-orang yang karena “belum tahu”, belum mau membeli adat-adat-benar dan ideologi­-ideologi-benar itu; mengoperasi tubuh-Islam dari bisul-bisulnya menjadi potongan-potongan yang membinasakan keselamatan tubuh itu sama sekali.



Renaissance-paedagogie,– mendidik supaya bangun kembali itu, itulah yang harus dikerjakan oleh kaum muda, itulah yang harus mereka “system-kan”, dan bukan separatisme dan “perang saudara”, walaupun kaum-jumud mengajak kepada separatisme dan “perang saudara”. Bahagialah kaum muda yang dikasih kesempatan oleh Tuhan buat me­ngerjakan renaissance-paedagogie itu, bahagialah kaum muda yang ditakdirkan oleh TUHAN menjadi pahlawan-pahlawannya renaissance­ paedagogie itu.



Sampaikanlah saya punya salam kepada mereka semua, sampaikanlah saya punya pembantuan-doa kepada mereka semua. Kepada tuan sendiri, salam dan pembantuan-doa itu saya bubuhi ucapan terima kasih atas tuan punya pertolongan-pertolongan pribadi kepada saya, lahir dan bathin.



Wassalam,

SUKARNO

Minggu, 01 Oktober 2017

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme

Sebagai Aria Bima-putera, yang lahirnya dalam zaman perjungan, maka INDONESIA-MUDA inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat-rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib ekonominya, tak senang dengan nasib-politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.
Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu. Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fajar yang terang cuaca.

Zaman teori kaum kuno, yang mengatakan, bahwa “siapa yang ada di bawah, harus terima senang, yang ia anggap cukup harga duduk dalam perbendaharaan riwayat, yang barang kemas-kemasnya berguna untuk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu, adalah sebagai “voogd” yang kelak kemudian hari akan “ontvoogden” mereka; makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu ada sebagai “saudara-tua”, yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-balig”, atau “masak”.




Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klemm, akan tetapi asalnya kolonisasi yalah teristimewa soal rezeki.

“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi yalah hampir selamanya kekurangan bekal – hidup dalam tanah airnya sendiri”, begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat¬rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat itu menjajah negeri-negeri, di mana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula yang membikin “ontvoogding”-nya negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu, sebagai suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!

Begitulah, bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropah Barat lah yang bukan main tambah kekayaannya.

Begitulah tragiknya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan!

Dan keinsyafan akan tragik inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu; sebab, walaupun lahirnya sudah alah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Rokh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragik inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS lah adanya.

Mempelajari, mencahari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha¬besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.

Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya-upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar men¬jalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tahadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka!

Entah bagaimana tercapainya persatuan itu; entah pula bagaimana rupanya persatuan itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke Indonesia-Merdeka itu, yalah Kapal-Persatuan adanya! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan Kapal-Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mustilah datang saatnya, yang Sang-Mahatma itu berdiri di tengah kita!

Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme!

Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rokhnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rokhnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini.

Partai Boedi Oetomo, “marhum” Nationaal Indische Partij yang kini masih “hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa; Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain … itu masing-masing mempunyai rokh Nasionalisme, rokh Islamisme, atau rokh Marxisme adanya. Dapatkah rokh-rokh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Rokh yang Besar, Rokh Persatuan? Rokh Persatuan, yang akan membawa kita ke lapang kebesaran?

Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat perjoangan internasional?

Dapatkah Islamisme itu, ialah sesuatu agama, dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme yang mengajar perbendaan?

Akan hasilkah usaha kita merapatkan Boedi Oetomo yang begitu sabar-halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu radical-militan terjangnya? Boedi Oetomo yang begitu evolusioner, dan Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan AlCarthill, bahwa “yang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali”?


Nasionalisme! Kebangsaan!


Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang faham “bangsa” itu. “Bangsa” itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu.

Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu. Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa Otto Bauer lah yang mempelajari soal “bangsa” itu.

“Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah katanya. Nasionalisme itu yalah suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!

Bagaimana juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan di atas tahadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjoangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kita.

Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Boedi Oetomo dalam usahanya mencari Jawa-Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjoangannya mencari Hindia Besar atau Indonesia-Merdeka adanya.

Apakah rasa nasionalisme, yang oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang menjadi kesombongan-bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan ras, walaupun faham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedang nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup), – apakah nasionalisme itu dalam perjoangan jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan bermacam-macam ras;- apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat-diri dengan Marxisme yang internasional, inter-rasial itu?

Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa!

Sebab, walaupun Nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tak ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan, satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak “dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, – maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”; – bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa”; – bahwa segala fihak dari per¬gerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal-ikhwal”, beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ikhwal”, persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa-golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh di antara fihak-fihak pergerakan di Indonesia-kita ini, – akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!
Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persaha batan bisa tercapai!

Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand Gandhi: “Buat saya, maka cinta saya pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan mempersatukan fihak Islam dengan fihak Hindu, fihak Parsi, fihak Jain, dan fihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini!

Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Mohammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridla hati menerima faham-faham Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme, tak setuju pada kemodalan!

Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.
Bahwa sesungguhnya, asal mau sahaja … tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah “rukun membikin sentausa” (itulah sebaik¬-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam per¬gerakan kita ini.

Kita ulangi lagi: Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis.
Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, – nasionalis yang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham pengecualian yang sempit-budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, – nasionalis yang menerima rasa-nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala faham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cinta¬ bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupya segala hal yang hidup.

Wahai, apakah sebabnya kecintaan-bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian, jikalau dihadapkan pada orang¬-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis? Apakah sebabnya kecin¬taan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi, atau Chita Ranjam Das?

Janganlah hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jingo-nationalism, sebagai jingo-nationalismnya Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab jingo-nationalism yang semacam itu “akhirnya pastilah binasa”, oleh karena “nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi atas azas-azas yang lebih suci”.

Bahwasanya, hanya nasionalisme ke-Timur-an yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh nasionalis-Timur yang sejati. Nasionalisme Eropah, yalah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasional¬isme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, – nasionalisme yang semacam itu akhirnya pastilah alah, pastilah binasa.
Adakah keberatan untuk kaum Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, oleh karena Islam itu melebihi ke¬bangsaan dan melebihi batas-negeri yalah super-nasional super-teritorial? Adakah internationaliteit Islam suatu rintangan buat geraknya na¬sionalisme, buat geraknya kebangsaan?

Banyak nasionalis-nasionalis di antara kita yang sama lupa bahwa pergerakan-nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini -ya, di seluruh Asia – ada sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan di awal tulisan ini: dua-duanya berasal nafsu melawan “Barat”, atau lebih tegas, melawan kapitalisme dan imperialisme Barat, sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawannya lah adanya. Betapa lebih luhurnyalah sikap nasionalis Prof. T. L. Vaswani, seorang yang bukan Islam, yang menulis: “Jikalau Islam menderita sakit, maka Rokh kemerdekaan Timur tentulah sakit juga; sebab makin sangatnya negeri-negeri Muslim kehilangan kemerde¬kaannya, makin lebih sangat pula imperialisme Eropah mencekek Rokh Asia. Tetapi, saya percaya pada Asia-sediakala; saya percaya bahwa Rokhnya masih akan menang. Islam adalah internasional, dan jikalau Islam merdeka, maka nasionalisme kita itu adalah diperkuat oleh segenap kekuatannya iktikad internasional itu.”
Dan bukan itu sahaja. Banyak nasionalis-nasionalis kita yang sama lupa, bahwa orang Islam, di manapun juga ia adanya, di seluruh “Darul Islam”, menurut agamanya, wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya.

Nasionalis-nasionalis itu lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan ke-Islam-annya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untukkeselamatan Indonesia itu. “Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu ia masih menjadi satu bahagian daripada rakyat Islam, daripada Persatuan Islam. Di mana-mana orang Islam bertempat, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya”.

Inilah Nasionalisme Islam! Sempit-budi dan sempit-pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa ini. Sempit-budi dan sempit¬-pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suatu azas, yang, walaupun internasional dan inter-rasial, mewajibkan pada segenap pemeluknya yang ada di Indonesia, bangsa apa merekapun juga, mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya! Adakah pula keberatan untuk kaum Nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, oleh karena Marxisme itu internasional juga?

Nasionalis yang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, – Nasionalis yang semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnya roda-politik dunia dan riwayat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri itu acap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tahadi. Ia lupa, bahwa memusuhi bangsanya yang Marxistis itu, samalah artinya dengan menolak kawan-sejalan dan menambah adanya musuh. Ia lupa dan tak mengerti akan arti sikapnya saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat Sen, panglima Nasionalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis walaupun beliau itu yakin, bahwa peraturan Marxis pada saat itu belum bisa diadakan di negeri Tiongkok, oleh karena di negeri Tiongkok itu tidak ada syarat¬-syaratnya yang cukup-masak untuk mengadakan peraturan Marxis itu.

Perlukah kita membuktikan lebih lanjut, bahwa Nasionalisme itu, baik sebagai suatu azas yang timbulnya dari rasa ingin hidup menjadi satu; baik sebagai suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa; maupun sebagai suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, – perlukah kita membuktikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme itu, asal sahaja yang memeluknya mau, bisa dirapatkan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kita lebih lanjut mengambil contoh-contoh sikapnya pendekar-¬pendekar Nasionalis di lain-lain negeri, yang sama bergandengan tangan dengan kaum-kaum Islamis dan rapat-diri dengan kaum-kaum Marxis?

Kita rasa tidak! Sebab kita percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang sempurna, sudahlah cukup jelas untuk Nasionalis-nasionalis kita yang mau bersatu. Kita percaya, bahwa semua Nasionalis-nasionalis-muda adalah berdiri di samping kita. Kita percaya pula, bahwa masih banyaklah Nasionalis-nasionalis kolot yang mau akan persatuan; hanyalah kebimbangan mereka akan kekalnya persatuan itulah yang mengecilkan hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan itu.
Pada mereka itulah terutama tulisan ini kita hadapkan; untuk mereka lah terutama tulisan ini kita adakan. Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang tidak mau bersatu. Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan riwayat, kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!
Islamisme, Ke-Islam-an!
Sebagai fajar sehabis malam yang gelap-gulita, sebagai penutup abad-¬abad kegelapan, maka di dalam abad kesembilanbelas berkilau-kilauanlah di dalam dunia ke-Islam-an sinarnya dua pendekar, yang namanya tak akan hilang tertulis dalam buku-riwayat Muslim; Sheikh Mohammad Abdouh, Rektor sekolah-tinggi Azhar, dan Seyid Jamaluddin El Afghani – dua panglima Pan-Islam-isme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat-rakyat Islam di seluruh benua Asia daripada kegelapan dan kemun¬duran. Walaupun dalam sikapnya dua pahlawan ini ada berbedaan sedikit satu sama lain – Seyid Jamaluddin El Afghani ada lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abdouh – maka merekalah yang membangunkan lagi kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid Jamaluddin, yang pertama-tama membangunkan rasa-perlawanan di hati sanubari rakyat¬-rakyat Muslim terhadap pada bahaya imperialisme Barat; merekalah terutama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula mengkhotbahkan suatu barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme Barat itu.

Sampai pada wafatnya dalam tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau yang gagah-berani itu, bekerja dengan tiada berhentinya, menanam benih ke-Islam-an di mana-mana, menanam rasa-perlawanan terhadap pada ketamaan Barat, menanam keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus “mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat”. Benih-benih itu tertanam! Sebagai ombak makin lama makin haibat, sebagai gelombang yang makin lama makin tinggi dan besar, maka di se¬luruh dunia Muslim tentara-tentara Pan-Islamisme sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, sampai ke Marocco dan Kongo, ke Persia, Afghanistan … membanjir ke India, terus ke Indonesia … gelombang Pan-Islamisme melimpah ke mana-mana!

Begitulah rakyat Indonesia kita ini, insyaf akan tragik nasibnya, sebagian sama bernaung di bawah bendera hijau, dengan muka ke arah Qiblah, mulut mengaji La haula wala kauwata illa billah dan Billahi fisabilil ilahi!

Mula-mula masih perlahan-lahan, dan belum begitu terang-benderang¬lah jalan yang harus diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya, makin lama makin banyaklah hu¬bungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam di negeri-negeri lain; makin teranglah ia menunjukkan perangainya yanginternasional; makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama. Karenanya, tak hairanlah kita, kalau seorang profesor Amerika, Ralston Hayden,menulis, bahwa pergerakan Sarekat Islam ini “akan berpengaruh besar atas kejadiannya politik di kelak kemudian hari, bukan sahaja di Indo¬nesia, tetapi di seluruh dunia Timur jua adanya”! Ralston Hayden de¬ngan ini menunjukkan keyakinannya akan perangai internasional dari pergerakan Sarekat Islam itu; ia menunjukkan pula suatu penglihatan yang jernih di dalam kejadian-kejadian yang belum terjadi pada saat ia menulis itu. Bukankah tujuannya telah terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya Mu’tamar-ul Alamil Islami di Mekkah; pergerakan Islam Indonesia telah menceburkan diri dalam laut perjoangan Islam Asia!

Makin mendalamnya pendirian atas keagamaan pergerakan Islam inilah yang menyebabkan keseganan kaum Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan makin ke mukanya sifat internasional itulah oleh kaum Nasionalis “kolot” dipandang tersesat; sedang hampir semua Nasionalis, baik “kolot” maupun “muda”, baik evolusioner maupun revolusioner, sama berkeyakinan bahwa agama itu tidak boleh dibawa-¬bawa ke dalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang “fanatik”, sama menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis, menghina politik kerezekian dari kaum Marxis; mereka memandang politik kebangsaan itu sebagai sempit, dan mengatakan politik kerezekian itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah “sempurna”- lah adanya perselisihan faham!
Nasionalis-nasionalis dan Marxis-marxis tahadi sama menuduh pada agama Islam, yang negeri-negeri Islam itu kini begitu rusak keadaannya, begitu rendah derajatnya, hampir semuanya di bawah pemerintahan negeri-negeri Barat.

Mereka kusut-faham! Bukan Islam, melainkan yang memeluknyalah yang salah! Sebab dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam pada mulanya sukarlah dicari bandingannya. Rusaknya kebesaran-nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri; rusaknya Islam itu yalah oleh karena rusaknya budi-pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiah mengutamakan azas dinastis-keduniawian untuk aturan Chalifah, sesudahnya “Chalifah-chalifah itu menjadi Raja”, maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. “Amir Muawiah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya”, begitulah Oemar Said Tjokroaminoto berkata. Dan, dipandang dari pendirian nasional, tidakkah Islam telah menunjukkan contoh-contoh kebesaran yang mencengang¬kan bagi siapa yang mempelajari riwayat-dunia, mencengangkan bagi siapa yang mempelajari riwayat-kultur?

Islam telah rusak, oleh karena yang menjalankannya rusak budi-¬pekertinya. Negeri-negeri Barat telah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu kaum Islam kurang tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet evolusi dan susunan pergaulan-hidup bersama, sudah satu “historische Notwendigkeit”, satu keharusan-riwayat, yang negeri-negeri Barat itu menjalankan perampasan tahadi. Tebalnya tauhid itulah yang memberi keteguhan pada bangsa Riff menentang imperialisme Sepanyol dan Perancis yang bermeriam dan lengkap bersenjata!

Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari.kenistaan dan kerusakan tahadi!

Kita sama sekali tidak mengatakan yang Islam itu setuju pada Materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan yang Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajibannya na¬sionalis pula!
Bukankah, sebagai yang sudah kita terangkan, Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mecintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat di antara mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam?
Seyid Jama¬luddin El Afghani di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme, yang oleh musuhnya lantas sahaja disebutkan “fanatisme”; di mana-mana pendekar Pan-Islamisme ini mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri, mengkhotbahkan rasa luhur-diri, mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang oleh musuhnya lantas sahaja dinamakan “chauvinisme” adanya.
Di mana-mana, terutama di Mesir, maka Seyid Jamaluddin menanam benih nasionalisme itu; Seyid Jamaluddin lah yang menjadi “bapak nasionalisme Mesir di dalam segenap bagian¬-bagiannya”.
Dan bukan Seyid Jamaluddin sahajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta-bangsa. Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali … semuanya adalah panglimanya Islam yang mengajar¬kan cinta-bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme di masing¬-masing negerinya! Hendaklah pemimpin-pemimpin ini menjadi teladan bagi Islamis-islamis kita yang “fanatik” dan sempit-budi, dan yang tidak suka mengetahui akan wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang nasionalistis. Hendaklah Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa pergerakannya yang anti-kafir itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang disebutkan kafir itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia! Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional yang layak bukanlah Islamisme yang sejati; Islamisme yang demikian itu adalah Islamisme yang “kolot”, Islamisme yang tak mengerti aliran zaman!

Demikian pula kita yakin, bahwa kaum Islamis itu bisalah kita rapatkan dengan kaum Marxis, walaupun pada hakekatnya dua fihak ini berbeda azas yang lebar sekali. Pedihlah hati kita, ingat akan gelap¬-gulitanya udara Indonesia, tatkala beberapa tahun yang lalu kita menjadi saksi atas suatu perkelahian saudara; menjadi saksi pecahnya permu¬suhan antara kaum Marxis dan Islamis; menjadi saksi bagaimana tentara pergerakan kita telah terbelah jadi dua bahagian yang memerangi satu sama lainnya.
Pertarungan inilah isinya halaman-halaman yang paling suram dari buku-riwayat kita! Pertarungan saudara inilah yang mem¬buang sia-sia segala kekuatan pergerakan kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan inilah yang mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya!

Aduhai! Alangkah kuatnya pergerakan kita sekarang umpama pertarungan saudara itu tidak terjadi. Niscaya kita tidak rusak-susunan sebagai sekarang ini; niscaya pergerakan kita maju, walaupun rintangan yang bagaimana juga!

Kita yakin, bahwa tiadalah halangan yang penting bagi persahabatan Muslim-Marxis itu. Di atas sudah kita terangkan, bahwa Islamisme yang sejati itu ada mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis. Walaupun sosialistis itu masih belum tentu bermakna Marxistis, walaupun kita mengetahui bahwa sosialisme Islam itu tidak bersamaan dengan azas Marxisme, oleh karena sosialisme Islam itu berazas Spiritualisme, dan sosialismenya Marxisme itu berazas Materialisme (perbendaan); walaupun begitu, maka untuk keperluan kita cukuplah agaknya jikalau kita membuktikan bahwa Islam sejati itu sosialistislah adanya.

Kaum Islam tak boleh lupa, bahwa pemandangan Marxisme tentang riwayat menurut azas-perbendaan (materialistische historie opvatting) inilah yang seringkali menjadi penunjuk-jalan bagi mereka tentang soal-soal ekonomi dan politik-dunia yang sukar dan sulit; mereka tak boleh pula lupa, bahwa caranya (methode) Historis-Materialisme (ilmu perbendaan berhubungan dengan riwayat) menerangkan kejadian-keja¬dian yang telah terjadi di muka-bumi ini, adalah caranya menujumkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka!
Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, yalah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde sepanjang faham Marxisme, dalam hakekatnya tidak lainlah daripada riba sepanjang faham Islam. Meerwaarde, yalah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang seharusnya menjadi bahagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu, – teori meerwaarde itu disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwaarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis; dengan memerangi meerwaarde inilah, maka kaum Marxisme memerangi kapital¬isme sampai pada akar-akarnya!

Untuk Islamis sejati, maka dengan lekas sahaja teranglah baginya, bahwa tak layaklah ia memusuhi faham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde itu, sebab ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu; ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan riba dan memungut bunga. Ia mengerti, bahwa riba ini pada hakekatnya tiada lain daripada meerwaardenya faham Marxisme itu!

“Janganlah makan riba berlipat-ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah, moga-moga kamu beruntung!”, begitulah tertulis dalam Al Qur’an, surah Al ‘Imran, ayat 129!
Islamis yang luas pemandangan, Islamis yang mengerti akan kebutuh¬an-kebutuhan perlawanan kita, pastilah setuju akan persahabatan dengan kaum Marxis, oleh sebab ia insyaf bahwa memakan riba dan pemungutan bunga, menurut agamanya adalah suatu perbuatan yang terlarang, suatu perbuatan yang haram; ia insyaf, bahwa inilah caranya Islam memerangi kapitalisme sampai pada akar dan benihnya, oleh karena, sebagai yang sudah kita terangkan di muka, riba ini sama dengan meerwaarde yang menjadi nyawanya kapitalisme itu. Ia insyaf, bahwa sebagai Marxisme, Islam pula, “dengan kepercayaannya pada Allah, dengan pengakuannya atas Kerajaan Tuhan, adalah suatu protes terhadap kejahatannya kapitalisme”.

Islamis yang “fanatik” dan memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang tak kenal akan larangan-larangan agamanya sendiri. Islamis yang demikian itu tak mengetahui, bahwa, sebagai Marxisme, Islamisme yang sejati melarang penumpukan uang secara kapitalistis, melarang penimbunan harta-benda untuk keperluan sendiri. Ia tak ingat akan ayat Al Qur’an: “Tetapi kepada barang siapa menumpuk-numpuk emas dan perak dan membelanjakan dia tidak menurut jalannya Allah khabarkanlah akan mendapat satu hukuman yang celaka!” Ia menge¬tahui, bahwa sebagai Marxisme yang dimusuhi itu agama Islam dengan jalan yang demikian itu memerangi wujudnya kapitalisme dengan seterang-terangnya!

Dan masih banyaklah kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang bersamaan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme itu! Sebab tidakkah pada hakekatnya faham kewajiban zakat dalam agama Islam itu, suatu kewajiban si kaya membagikan rezekinya kepada si miskin, pembagian-rezeki mana dikehen¬daki pula oleh Marxisme, – tentu sahaja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam bercocokan anasir-anasir “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan” dengan Marxisme yang dimusuhi oleh banyak kaum Islamis itu? Tidakkah Islam yang sejati telah membawa “segenap peri-kemanu¬siaan di atas lapang kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”? Tidakkah nabi-Islam sendiri telah mengajarkan persamaan itu dengan sabda: “Hai, aku ini hanyalah seorang manusia sebagai kamu; sudahlah dilahirkan padaku, bahwa Tuhanmu yalah Tuhan yang satu?” Bukankah persaudaraan ini diperintahkan pula oleh ayat 13 Surah Al-Hujarat, yang bunyinya: “Hai manusia, sungguhlah kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan dari padamu suku-suku dan cabang-cabang keluarga, supaya kamu berkenal¬-kenalan satu sama lain?” Bukankah persaudaraan ini “tidak tinggal sebagai persaudaraan di dalam teori sahaja”, dan oleh orang-orang yang bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang beberapa kaum Islamis memusuhi suatu pergerakan, yang anasir-anasirnya juga berbunyi “kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”?

Hendaklah kaum Islam yang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakannya itu, sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya jerit dan tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama makin pahit rumah tangganya. Hendaknya kaum itu sama ingat, bahwa pergerakan¬nya itu dengan pergerakan Marxis, banyaklah persesuaian cita-cita, banyak lah persamaan tuntutan-tuntutan.
Hendaklah kaum itu mengambil teladan akan utusan kerajaan Islam Afghanistan, yang tatkala ia ditanyai oleh suatu surat khabar Marxis telah menerangkan, bahwa, walaupun beliau bukan seorang Marxis beliau mengaku menjadi “sahabat yang sesungguh-sungguhnya” dari kaum Marxis, oleh karena beliau adalah suatu musuh yang haibat dari kapitalisme Eropah di Asia!
Sayang, sayanglah jikalau pergerakan Islam di Indonesia-kita ini bermusuhan dengan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di Indo¬nesia-kita ini ada pergerakan, yang sesungguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagai pergerakan Islam dan pergerakan Marxis itu! Belum pernahlah di negeri-kita ini ada pergerakan yang begitu menggetar sampai ke dalam urat-sungsumnya rakyat, sebagai pergerakan yang dua itu! Alangkah haibatnya jikalau dua pergerakan ini, dengan mana rakyat itu tidur dan dengan mana rakyat itu bangun, bersatu menjadi satu banjir yang sekuasa-kuasanya!
Bahagialah kaum pergerakan-Islam yang insyaf dan mau akan persa¬tuan. Bahagialah mereka, oleh karena merekalah yang sesungguh-sungguh¬nya menjalankan perintah-perintah agamanya! Kaum Islam yang tidak mau akan persatuan, dan yang mengira bahwa sikapnya yang demikian itulah sikap yang benar, – wahai, moga-mogalah mereka itu bisa mempertanggungkan sikapnya yang demikian itu di hadap¬an Tuhannya!

Marxisme!


Mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayang-bayangan di penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat-muka dan kurus-badan, pakaian berkoyak¬-koyak ; tampak pada angan-angan kita dirinya pembela dan kampiun si¬ mudlarat tahadi, seorang ahli-fikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebisaannya “mengingatkan kita pada pahlawan-pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Germania yang sakti dengan tiada teralahkan itu”, suatu manusia yang “geweldig” (haibat) yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama “grootmeester” (maha guru) pergerakan kaum buruh, yakni: Heinrich Karl Marx.

Dari muda sampai pada wafatnya, manusia yang haibat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara dan bagaimana mereka itu pasti akan mendapat kemenangan; tiada kesal dan capainya ia berusaha dan bekerja untuk pembelaan itu: duduk di atas kursi, di muka meja-tulisnya, begitulah ia dalam tahun 1883 menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Seolah-olah mendengarlah kita di mana-mana negeri suaranya men¬dengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 menulis seruannya:
“Kaum buruh dari semua negeri, kumpullah menjadi satu!” Dan sesungguhnya! Riwayat-dunia belumlah pernah menceriterakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinan satu golongan pergaulan-hidup, sebagai pendapatnya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan .. begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya ada sangat sukar dan berat untuk kaum yang pandai dan terang-fikiran, tetapi “amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat fikiran yang berkeluh-kesah itu”.
Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula faham pertentangan golongan; faham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, yalah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap pada kaum “bursuasi”, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya.
Walaupun pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli-fikir ini yalah:- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek) ; – ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya “kerja” untuk membikin barang-barang itu, sehingga “kerja” ini yalah “wert¬bildende Substanz”, dari barang-barang itu (arbeids-waardeleer); – ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); – ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar peri-kebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budi-¬akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaan¬nya berhubung dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya” (materialistische geschiedenis-opvatting) ; – ia mengadakan teori, bahwa oleh karena “meerwaarde” itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaals-accumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaals-centralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan¬-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desak-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya (kapitaals-concentratie); – dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam¬ hati yang makin lama makin sangat (Verelendungs-theorie); – teori-teori mana, berhubung dengan kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum begitu mengetahuinya.

Meskipun musuh-musuhnya, di antara mana kaum anarchis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu “menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa ke¬jadian-kejadian itu terjadi”; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli-fikir sebagai Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; – meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelselnya Karl Marx itu mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam sifatnya umum, dan mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya. Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli¬ fikir lain, dirinya Marxlah, yang meski “bahasa”nya itu untuk kaum “atasan” sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang meng¬uraikan teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang me¬larat-fikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang-benderang. Dengan gampang sahaja, sebagai suatu soal yang “sudah-mustinya-begitu”, mereka lalu mengerti teorinya atas meer¬waarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil-pekerjaan padanya; mereka lalu sahaja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetap-kan keadaan manusia tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, – bahwa manusia itu: e r i s t was e r i s t ; mereka lantas sahaja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih adil, – bahwa kaum “burjuasi” itu “teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya”.
Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu masuk tulang-sungsum¬nya kaum buruh di Eropah, masuk pula tulang sungsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “tidakkah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa keper¬cayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun di muka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya”. Se¬bagai tebaran benih yang ditiup angin ke mana-mana tempat, dan tumbuh pula di mana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; di mana-mana pula, maka kaum “bursuasi” sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar” yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropah itu, seba¬gian telah diterbangkan oleh tofan-zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di antara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan “sabuk-zamrud”, yang bernama Indo¬nesia. Dengungnya nyanyian “Internasionale”, yang dari sehari-ke-sehari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah haibatnya bergaung dan ber¬kumandang di udara Timur …
Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berazas ke-Islaman. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu pertengkaran perselisihan faham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang, – sebagai yang sudah kita terangkan di muka, – menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalah¬an kita. Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan lenyapkanlah politik-keagamaan, – begitulah seakan-akan lagu-perjoangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunyai tanah-air”? Katanya: Bukankah dalam “Manifes Komunis” ada tertulis, bahwa “komu¬nisme itu melepaskan agama”? Katanya: Bukankah Babel telah mengatakan, bahwa “bukan-lah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin Tuhan”?

Dan sebaliknya! Fihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki fihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang “berseku¬tuan” dengan orang asing itu, dan mencaci-maki pergerakan yang “mungkir” akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: azasnya sudah palit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan “kalang-kabutnya negeri” dan bahaya-kelaparan dan hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah yang lebih besar daripada jumlahnya sekalian manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu.

Demikianlah dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah s a l a h mengerti dan saling tidak mengindahkan.

Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan¬ bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih sahaja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berobah.
Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya” Marxisme itu, dan yang menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang telah terjadi oleh “prac¬tijknya” faham Marxisme itu, – mereka menunjukkan tak mengertinya atas faham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya “prac¬tijknya” tahadi. Sebab tidakkah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa sosialismenya itu hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanya di-“sosialis”-kan?
Bukankah “kejadian” sekarang ini jauh berlainan daripada “voor¬waarde” (syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu?

Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap pada “practijknya” faham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa “failliet” dan “kalang¬-kabut” – nya negeri Rusia adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh han¬taman dan serangan pada empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perancis, dan jenderal-jenderal Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat-khabar di seluruh dunia.
Di dalam pemandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, di mana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan benda; di mana umpamanya negeri Inggeris, yang membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah “mengotorkan nama Inggeris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada kerja-penolongan” si sakit dan si lapar itu; di mana di Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum itu untuk kayu-bakar, sedang di negeri Rusia orang-orang di distrik Samara makan daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya.
Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Ing¬geris yang masyhur itu, seorang yang bukan Komunis, di mana ia dengan tak memihak pada siapa juga, menulis, bahwa, umpamanya kaum bolshevik itu “tidak dirintang-rintangi mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment (percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi peri-kemanusiaan …

Tetapi mereka dirintang-rintangi”.Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak pada siapa juga! Kita hanyalah memihak kepada Persatuan¬-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua!

Kita di atas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berobah, hingga kesengitan “anti” ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyo¬kongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afghanistan.

Adapun teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori-teorinya haruslah diikut¬kan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan faham atau perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”, maka segeralah tampak pada kita perobahan faham atau perobahan perindahan itu.

Bahwasanya: benarlah pendapat sosial demokrat Emile Vandervelde, di mana ia mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya”.
Perobahan taktik dan perobahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda” baik “sabar” maupun yang “keras”, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh¬-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, di mana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai di Eropah atau Amerika itu, per¬gerakannya harus diobah sifatnya menurut pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropah atau Asia, dan harus¬lah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk”, oleh karena di sini yang pertama-tama perlu bukan kekuasaan tetapi yalah perlawanan terhadap pada feodalisme”.
Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu m e r d e k a, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjoangan proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”, begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib beker¬ja bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu j u g a, dengan tidak menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu seba¬gai maksudnya pula.
Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di hati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya yalah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-“bawah” terhadap pada rakyat yang di-“atas”-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machts-politiek dari rakyat sendiri.Mereka harus ingat, bahwa rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima faham internasionalisme itu pertama-tama yalah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja di lain-lain negeri, dengan iktikad: “ubi bene, ibi patria: di mana aturan-kerja bagus, di situlah tanah-air saya”, – sebagai kaum buruh di Eropah yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.

Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.
Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan ber¬bentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh.

Tak pantas mereka memerangi pergerakan, yang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan seterang-terangnya yalah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang¬-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan seterang-terangyya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxsme-baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Ko-munis” mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen” atau dile¬paskan adanya.
Kita harus membedakan Historis-Materialisme itu daripada Wijsgerig-Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada maksudnya Wijsgerig-Materialisme tahadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah fikiran itu terjadi, sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) fikiran itu; historis-materialisme menanya¬kan sebab-sebabnya fikiran itu b e r o b a h ; wijsgerig-materialisme men¬cari asalnya fikiran, historis materialisme mempelajari tumbuhnya fikiran; wijsgerig materialisme adalah wijsgerig, historis materialisme adalah historis.
Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti¬-henti mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu yalah kaum yang mempela¬jarkan, bahwa fikiran itu hanyalah suatu pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti¬-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.

Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropah terhadap kaum gere¬ja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropah terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, di mana kaum gereja itu memakai-makai agamanya untuk melindung-lindungi kapitalisrne, memakai-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reak¬sioner sekali.

Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari sikap kaum gereja yang reaksioner itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di Eropah itu. Di sini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; di sini agama Islam adalah agama kaum yang di-“bawah”. Sedang kaum yang memeluk agama Kristen adalah kaum yang bebas; di sana agama Kristen adalah agama kaum yang di-“atas”. Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum yang di-“bawah” ini; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan”, – agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjoangan yang dalam beberapa bagian s e s u a i dengan perjoangan Marxisme itu.

Karenanja, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mere¬ka mengajukan tangannya, sambil berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya¬ seazas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi di lain-lain negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh¬-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tahadi itu, dengan memperhatikan segala perobahan teori azasnya, dengan menja¬lankan segala perobahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menye¬butkan diri pembela rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat.
Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, – Marxis yang demikian itu jangan¬lah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya!
Tulisan kita hampir habis.
Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin¬-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita yakin, bahwa kita dengan terang¬-benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf, bahwa Persatuan¬lah yang membawa kita ke arah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita itu tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menunjukkan bahwa Persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan sahaja organisasinya, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya sahaja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu-Indonesia, yang mempunyai Putera-putera sebagai Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Semaun, –apakah Ibu-Indonesia itu tak mempunyai pula Putera yang bisa menjadi Kampiun Persatuan itu?
Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing¬-masing fihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.
Dan jikalau kita semua insyaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa” ; jikalau kita insyaf, bahwa Rokh Rakyat Kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang berada ditengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini, – maka pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.Sebab Sinar itu dekat!
“Suluh Indonesia Muda”, 1926