Di dalam surat-kabar “Keng Po” 9 Juli yang lalu, dimuat suatu telegram yang berbunyi: “Kemaren fihak Tionghoa dan Indonesiers, antaranya Ir. Sukarno dan Dr. Samsi, telah merayakan kemerdekaannya kaum nasionalis di Tiongkok …”
Telegram ini adalah benar. Pesta perayaan itu memang sudah terjadi; kaum Indonesia memang sudah ikut merayakan kemenangannya fihak nasionalis di Tiongkok. Di dalam perayaan ini adalah terbukti dengan terang, bagaimana kini sudah mulai sadar rasa persatuan dan rasa persaudaraan antara bangsa Tionghoa dan bangsa Indonesia, yakni sama-sama bangsa Timur, sama-sama bangsa sengsara, sama-sama bangsa yang sedang berjoang menuntut kehidupan yang bebas.
Kita, kaum nasionalis Indonesia, kita bersuka-syukur di atas kesadaran ini, kita berbesar-hati, yang propaganda kita ke arah Pan-Asiatisme sudah mulai berkembang. Kita memang sudah dari dulu mengetahui dan percaya, bahwa faham Pan-Asiatisme ini p a s t i dapat hidup dan bangkit di dalam pergerakan kita. Sebab persatuan nasib antara bangsa-bangsa Asia pastilah melahirkan persatuan perangai; persatuan nasib pastilah melahirkan persatuan rasa!
Sebagaimana dalam tahun 1905 kemenangan Japan di atas musuhnya biruang di kutub utara dirasakan oleh dunia Asia sebagai suatu kemenangan Asia di atas Eropah ; sebagaimana kemenangan Mustafa Kemal Pasha dipadang peperangan Afiun Karahisar oleh seluruh dunia Asia dirasakan pula sebagai suatu kemenangan Timur di atas Barat, – maka kemenangan Tiongkok di atas pengkhianat-pengkhianat yang mau menelan padanya adalah kita rasakan sebagai kita punya kemenangan juga di dalam kita punya perjoangan mengejar keadilan dan keselamatan.
Tidakkah kita, bangsa Indonesia, ikut pula berdebar-debar hati, kalau kita mendengar kabar tentang majunya usaha Ghasi Zaglul Pasha membela Mesir? Tidakkah kita ikut berhangatan darah, kalau kita mendengar kabar tentang haibatnya pergerakan Mohandas Karamchand Gandhi atau Chita Ranjau Das membela India? Tidakkah kita berbesar hati pula, menjadi saksi atas hasilnya usaha Dr. Sun Yat Sen, “Mazzini negeri Tiongkok” itu? Bahwasanya, bahagia yang melimpahi negeri-negeri Asia yang lain adalah kita rasakan sebagai melimpahi diri kita sendiri; malangnya negeri-negeri itu adalah malangnya negeri kita pula. Wafatnya Zaglul Pasha, wafatnya C. R. Das, wafatnya Dr. Sun Yat Sen tak luputlah mengabungkan pula hati kita yang merasakannya sebagai kehilangan pemimpin sendiri; dan kabar-kabar tentang mundurnya pergerakan di India atau kacaunya susunan kaum nasionalis Tiongkok tahun yang lalu tak luputlah pula memasygulkan hati kita semua. Memang adalah kebenarannya kalau kita katakan, bahwa pergerakan di Indonesia itu terlahirnya ialah antara lain-lain oleh karena wahyunya pergerakan pergerakan di negeri-negeri Asia yang lain. Ada kebenarannya, kalau salah seorang nasionalis Indonesia menulis, bahwa “letusan meriam di Tsushima telah membangunkan penduduk Indonesia, memberi tahukan bahwa matahari telah tinggi, serta memaksa penduduk Indonesia turut berkejar-kejaran dengan bangsa asing menuju padang kemajuan dan kemerdekaan” – bahwa “benih yang ditebarkan oleh Mahatma Gandhi di kiri-kanan sungai Ganges tiadalah sahaja tumbuh di sana, melainkan setengah dari padanya telah diterbangkan angin menuju khatulistiwa dan disambut oleh bukit barisan yang melalui segala nusa Indonesia serta menebarkan biji itu di sana”, – dan bahwa “asap bedil di Afiun Karahisar yang dibawa awan ke arah Timur, melindungi pula daerah Indonesia dan menimbulkan hujan debu yang mengandung biji kemanusiaan”! Adalah kebenarannya kalau Lothrop Stoddard mengatakan, bahwa pergerakan-pergerakan di seluruh benua Asia ada bergandengan Rokh satu sama lain, mempengaruhi satu sama lain. Seluruh rakyat Asia, seluruh rakyat kulit berwarna, kata penulis ini, kini oleh keharusan membela-diri, yakni oleh “instinct of self-preservation”, sudahlah tergabung menjadi “satu gabungan perasaan yang kokoh dan bertentangan dengan kekuasaannya bangsa kulit putih”, yakni menjadi s a t u gerakan, satu umat yang menimbun-nimbun kekuatannya untuk menggugurkan segala rintangan-rintangan yang menghalang-halangi padanya di atas jalan ke arah kemajuan dan keselamatan. Soal Mesir dan India terhadap negeri Inggeris; soal Philipina terhadap negeri Amerika; soal Indonesia terhadap negeri Belanda; soal Tiongkok terhadap pada imperialisme-imperialisme asing – itu semuanya sudahlah cerbu ke dalam soal yang maha-besar dan maha-haibat, yakni soal Asia terhadap Eropah, atau lebih luas lagi: cerbu ke dalam dunia kulit berwarna terhadap pada dunia kulit putih.
Abad keduapuluh sudahlah menjadi “abad perbedaan warna kulit”; abad ini sudahlah menjadi abad yang memberi jawaban di atas “problem of the colour-line” …
Akan tetapi adalah lain-lain sebab yang menyuruh kita mempersatukan diri dengan bangsa Asia yang lain-lain.
Kita rakyat Indonesia, kita harus insyaf, bahwa sesuatu kekalahan atau kerugian yang diderita oleh imperialisme lain, adalah berarti suatu keuntungan bagi kita, suatu penguatan-pendirian bagi kita di dalam kita punya perjoangan yang sukar ini. Kemenangan rakyat Mesir, Tiongkok atau India di atas imperialisme Inggeris adalah kemenangan kita; kekalahan mereka adalah kekalahan kita juga …
Sebab imperialisme yang sekarang mengaut-aut di negeri kita dan menyeret rakyat kita ke dalam lumpur kesengsaraan, bukanlah imperialisme Belanda sahaja, bukanlah terpikul oleh modal Belanda sahaja akan tetapi ialah bersifat internasional: Lebih dari 30% dari pada modal yang kini merajalela di negeri kita dan di antara rakyat kita adalah di tangan bangsa asing yang lain, terutama bangsa Inggeris, – sehingga bukannya imperialisme Belanda sahajalah yang menghalang-halangi kita punya usaha mencari kemerdekaan dan keselamatan, akan tetapi imperialisme-imperialisme yang lain itu juga mempunyai kepentingan di atas kekalnya penjajahan di negeri kita, imperialisme-imperialisme yang lain itu juga akan ikut bergerak dan berbangkit melepaskan semua tali-tali yang mengikat kita dalam ketidakmerdekaan dan kekalahan. Di dalam usaha kita mencari sinarnya matahari, hendaklah kita tidak sahaja melawan imperialisme Belanda, akan tetapi hendaklah perlawanan itu diarahkan juga pada mendung-mendung imperialisme lain-lain yang menyurami negeri tumpah darah kita adanya. Di dalam menentang imperialisme Inggeris dan lain sebagainya itu, maka rakyat Mesir, rakyat India, rakyat Tiongkok, rakyat Indonesia adalah berhadapan dengan satu musuh; mereka adalah kawan-senasib, kawan-seusaha, kawan-sebarisan, yang perjalanannya harus rapat satu sama lain, rapat menjadi satu umat Asia jang seiman dan senyawa. Jikalau bersama-sama umat Asia ini menjalankan serangannya terhadap benteng imperialisme yang kokoh dan kuat itu; jikalau bersama‑sama pada satu ketika semua rakyat Asia itu masing-masing dalam negerinya mengadakan perlawanan yang haibat sebagai gelombang-taufan terhadap benteng imperialisme-imperialisme itu, maka tidak boleh tidak, benteng itu pastilah rubuh pula karenanya!
Itulah sebabnya, maka kita, kaum pergerakan Indonesia, harus mengulurkan tangan kita ke arah saudara-saudara kita bangsa Asia yang lain-lain. Itulah sebabnya maka kita harus berdiri di atas azas Pan-Asiatisme. Imperialisme Inggeris (misalnya) adalah musuh Mesir; ia adalah musuh India; ia adalah pula musuh Tiongkok; tetapi ia adalah musuh kita juga!
Tapi dapatkah nasionalisme kita itu dihubungkan dengan faham Pan-Asiatisme, yakni faham yang melintasi batas-batas negeri tumpah darah kita, faham yang meliputi hampir separo dunia?
Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit; ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari pada kesombongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme yang lebar,- nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah “jingo-nationalism” atau chauvinisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme Barat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, yang menerima rasa-hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa-hidupnya itu sebagai suatu bakti. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup. Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-Barat-an, yang menurut perkataan C. R. Das adalah “suatu nasionalisme yang serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme p e r d a g a n g a n yang menghitung-hitung untung atau rugi” …
Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan”, dan membuat kita menjadi “hidup di dalam Roch” – sebagai yang saban-saban dikhotbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu. Dengan nasionalisme yang demikian ini, maka kita insyaf dengan seinsyaf-insyafnya, bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah sebagian daripada negeri Asia dan rakyat Asia, dan adalah sebagian daripada dunia dan penduduk dunia adanya…. Kita kaum pergerakan nasional Indonesia, kita bukannya sahaja merasa menjadi abdi atau hamba daripada negeri tumpah darah kita, akan tetapi kita juga merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba semua kaum yang sengsara, abdi dan hamba d u n i a. Kita, oleh k a r e n a kita nasionalis, tak mau menutupi mata kita di atas kenyataan, bahwa nasib kita ialah buat sebagian bersandar pada pekerjaan-bersama antara kita dengan bangsa-bangsa Asia yang lain, pekerjaan-bersama antara kita dengan bangsa-bangsa yang menghadapi satu musuh dengan kita, pekerjaan-bersama dengan semua kekuatan-kekuatan di luar batas negeri kita yang melawan dan melemahkan musuh-musuh kita adanya.
Dalam pada mencari-cari hubungan dengan lain-lain bangsa kulit berwarna itu, maka walau buat sekejap matapun kita tidak boleh lupa, bahwa akhirnya nasib kita ialah terletak dalam besar kecilnya usaha kita sendiri. Tidak di dalam tangannya bangsa lainlah letaknya hidup-matinya bangsa kita, tidak di dalam tangannya bangsa lainlah terdapatnya jawaban atas pertanyaan Indonesia-Luhur atau Indonesia-hancur, melainkan di dalam genggaman kita sendiri. Selama rakyat Indonesia belum menimbun-nimbunkan kekuatannya dan memeras tenaganya sendiri; selama ia belum percaya akan kekuatan dan kebisaan sendiri; selama ia belum menyatakan dengan perbuatan sendiri kebenarannya sabda “Allah tak merobah keadaan sesuatu rakyat, jikalau rakyat itu tak merobah keadaannya itu sendiri”, – selama itu, maka ia akan tetap hidup dalam perhambaan dan kenistaan, dan masih jauhlah datangnya hari yang ia akan dapat bertampik-sorak “Indonesia-Selamat, Indonesia-Merdeka”! Pekerjaan-bersama dengan bangsa-bangsa Asia yang lain, pekerjaan-bersama dengan kekuatan-kekuatan yang melawan musuh-musuh kita juga, hanyalah suatu “pencepat” atau suatu katalisator sahaja daripada datangnya kemerdekaan kita itu, – akan tetapi bukanlah ia pembawa kemerdekaan itu yang satu-satunya; ia hanyalah mempercepat jalannya sumber keselamatan kita, tetapi bukanlah ia sumber itu sendiri adanya.
Dengan apa yang dikemukakan di atas, maka kita, kaum pergerakan nasional Indonesia, dengan gembira dan besar hati menginjak lapangannya Pan-Asiatisme itu. Zaman menuntut kepada kita, memaksa kepada kita, melebarkan kita punya usaha sampai ke luar batas-batasnya negeri kita, melancar-lancarkan kita punya tangan kearah tepi-tepinya sungai Nil atau datar-datarnya Negeri-Naga, menyeru-nyerukan kita punya suara sampai ke negerinya Mahatma Gandhi. Sebab zaman itu sebentar lagi akan memanggil kita menjadi saksi atas terjadinya perkelahian yang maha-haibat di lautan Teduh antara raksasa-raksasa imperialis Amerika, Japan dan Inggeris yang berebutan mangsa dan berebutan kekuasaan: Zaman itu sebentar lagi boleh jadi akan membawa-bawa kita ke dalam gelombang hamuknya angin-taufan yang akan membanting di lautan Teduh itu. Sekarang sudahlah terdengar mulai gemuruhnya angin ini: sebagai seekor maharaja-singa yang mengulurkan kukunya untuk menerkam Japan pada tiap-tiap saat yang dikehendakinya, sebagai raksasa Dasamuka yang memasang mulutnya yang banyak itu untuk menelan musuhnya, maka dari lima penjuru, yakni dari Dutch Harbour, dari Hawaii, dari Tutuila, dari Guam dan dari Manila, Amerika sudahlah mengelilingi Japan dengan benteng-benteng-laut yang kuat dan sentausa.
Dan Japan-pun memperlengkap senjata-senjatanya, diikuti oleh Inggeris yang mendirikan benteng-benteng-laut di Singapura!
Tidakkah negeri kita yang letaknya di pinggir benar dari lautan Teduh itu, akan terbawa-bawa dalam perkelahiannya raksasa-raksasa ini? Tidakkah kita dari sekarang harus bersedia-sedia oleh karenanya9 Janganlah hendaknya kita terperanjat, kalau nanti perang Pasifik ini mengobarkan lautan Teduh. Janganlah hendaknya kita belum sedia, kalau nanti musuh-musuh kita berkelahi satu sama lain dengan cara mati-matian di dekat negeri kita dan barangkali di dalam daerah negeri kita juga. Janganlah hendaknya kita kebutaan sikap, kalau lain-lain bangsa Asia dengan merapatkan diri satu sama lain tahu menentukan sikapnya di dalam keributan ini!
“Suluh Indonesia Muda”, 1928