Tampilkan postingan dengan label Opini Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Februari 2017

Tawuran Pelajar di Pasar Rebo dan Wajah Pendidikan Tanah Air

Dunia pendidikan tanah air dikejutkan dengan tewasnya seorang pelajar SMK dalam tawuran pelajar di Fly over Pasar Rebo, Jakarta Timur pada 14 Februari 2017. Pelajar tersebut tewas setelah dibacok berkali-kali secara sadis oleh sekawanan pelajar dari kelompok lainnya dengan menggunakan senjata tajam semacam celurit. Pelajar bernama Ahmad Andika Baskara (17) tersebut merupakan siswa SMK Bina Kandung, Lenteng Agung, Jaksel.

Dalam video viral yang diunggah di youtube, terlihat suasana jalan raya pada awalnya lengang. Beberapa saat kemudian, terlihat sekawanan anak muda tanggung dalam posisi berhadap-hadapan menggenggam celurit

Kemudian terjadilah bentrok. Malang, salah satu pelajar terjatuh dan menjadi sasaran tajamnya celurit. Pelajar tersebut akhirnya meninggal dunia saat dilarikan ke rumah sakit.



Tawuran Pelajar persoalan kita semua

Dilihat dari namanya saja, kita pasti akan heran. Bagaimana mungkin di dunia terutama di Indonesia ada tawuran pelajar. Dilihat dari namanya saja sudah merupakan hal yang sangat mengherankan. Tawuran pelajar terdiri dari dua kata, "tawuran" dan "pelajar". Tawuran berasal dari kata dasar tawur yang berarti perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal. Sementara "pelajar" berarti anak sekolah (terutama pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan); anak didik; murid; siswa.

Aneh bukan, bagaimana mungkin perkelahian massal dilakukan oleh anak sekolah yang setiap hari dididik oleh guru, juga di rumah dididik oleh orang tuanya. Tawuran itu seharusnya dilakukan oleh sesama geng narkoba di Meksiko City, bukannya oleh para pelajar. Lha ini di negara Indonesia, tawuran justru dilakukan oleh para pelajar yang merupakan sekelompok anak muda yang masih di bawah 20 tahun. Mereka seharusnya serius mengikuti proses pendidikan di sekolahnya, tekun membaca buku di perpustakaan, giat melakukan eksperimen di laboratorium dan melakukan diskusi di ruang kelas bukannya malah berkelahi massal di jalanan. Ini sangat disayangkan dan menjadi problematika yang harus diselesaikan oleh negara.

Sampai di sini, wajah pendidikan Indonesia tampil sangat menyedihkan melalui "Tawuran Pelajar". Dunia pendidikan memang memegang peranan penting dalam mendidik anak bangsa ini. Dunia pendidikan bukan hanya sebuah bangunan megah yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang serba lengkap. Lebih dari itu, ia harusmampu menarik murid-murid dari lingkungan sekitar rumah yang keras, ia juga harus mampu membuat para siswa tertarik untuk belajar ketimbang terlibat dalam kegiatan kriminal yang marak terjadi.

Tentu saja tidak mudah mengalihkan perhatian anak-anak muda di tengah tekanan-tekanan yang begitu kuat menghimpit. Orang tua yang disibukkan dengan mencari nafkah hingga terpaksa mengabaikan anak, lingkungan yang semakin tidak ramah terhadap tumbuh kembang anak bangsa. Semua itu menyebabkan tidak mudah mengajak para pelajar mencintai dunia pendidikan.
Untuk itu, bukan hanya dunia pendidikan yang mengemban tugas berat mendidik anak bangsa, melainkan semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam dunia pendidikan misalnya orang tua murid, juga pemerintah mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat.

sumber : https://news.detik.com/berita/d-3431303/tawuran-pelajar-di-jaktim-1-orang-tewas

Jumat, 24 Februari 2017

Gambar Payudara Kepala Sekolah Disebarkan, Kok Tega

Ironis ! itulah yang terjadi pada SH, seorang Kepala Sekolah Dasar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ibu yang merupakan kepala sekolah yang cukup berprestasi tersebut terpaksa harus menanggung malu karena ulah segelintir orang.Beliau juga terpaksa mengajukan pengunduran diri dari Kepala Sekolah.



Ceritanya, Ibu SH bermaksud mengirimkan gambar payudaranya yang baru saja dipotret melalui HP ke seorang dokter pribadinya namun justru nyasar ke Grup Whatsapp Revolusi Pendidikan yang di dalamnya beranggotakan seluruh Kepala Sekolah dan jajaran dinas pendidikan kota Makassar.

SH bermaksud mengkonsultasikan penyakit yang dideritanya pada dokter pribadi yang juga seorang perempuan. Sayangnya, bukannya sampai pada bu dokter, gambar payudara tersebut justru masuk ke dalam WA Grup Revolusi pendidikan. Ironisnya, beberapa saat setelah itu, gambar salah kirim tersebut justru beredar kemana-mana.

Betul-betul ironis. Jika gambar payudara tersebut nyasarnya ke grup-grup umum, mungkin bisa dimaklumi. Kemungkinan besar penghuni grup bisa saja langsung menyebarkan. Akan tetapi, jika nyasarnya ke grup para pendidik, seharusnya gambar tersebut tidak perlu disebarkan. Bukankah seharusnya, gambar tersebut tidak perlu disebarkan, karena agama mengajarkan bahwa lebih baik melindungi aib saudara sendiri. Kecuali kalau beragamanya hanya sebatas KTP belaka. Mungkin bisa dimaklumi. Lagipula bukankah mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kemajuan pendidikan bangsa ?

Bukankah Ibu SH itu merupakan bagian dari keluarga pendidikan kota makassar, lha kok tega-teganya ada oknum di dalam grup yang menyebarkan aib saudaranya sendiri. Tanya kenapa ?????

Meskipun baru dugaan, Sungguh keterlaluan jika nanti ditemukan bukti bahwa pelaku penyebaran adalah orang yang berada di dalam grup WA Revolusi Pendidikan. Karena sangat kecil kemungkinan orang di luar grup bisa mengakses gambar tersebut. Kecuali HP tersebut hilang atau dibuka orang di luar grup WA Revolusi Pendidikan.

Ancaman Pidana bagi Penyebar konten porno

Kasus gambar payudara yang tersebar di atas mengingatkan saya pada kasus percakapan Firza Husein. Sebagaimana diberitakan dalam berbagai media, beredar screenshot percakapan antara Firza Husein dengan Habib Riziq.

Saat ini Polisi sudah menangani kasus tersebut untuk membuktikan keaslian dan sedang mencari pelaku pengunggah gambar Firza Husein. Polisi akan menjerat pelaku dengan Undang-undang Pornografi Pasal 4 Ayat (1) jo Pasal 29 Undang-undang No 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang ITE .


Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a.    persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b.    kekerasan seksual;
c.    masturbasi atau onani;
d.    ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e.    alat kelamin; atau
f.     pornografi anak

Sedangkan, Pasal 29 UU 44/2008 yaitu ancaman pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta rupiah dan paling banyak Rp 6 miliar rupiah.

Apabila kasus gambar payudara yang tersebar tersebut tidak diselesaikan secara kekeluargaan, kemungkinan besar Polisi akan mengungkap siapa pelaku penyebaran.

Jumat, 02 Desember 2016

Ini Akibatnya jika Mengabaikan Perpustakaan dalam Proses Pendidikan

Gerakan Literasi Sekolah sudah digulirkan oleh pemerintah pada bulan maret 2016 kemarin, namun gaungnya  hanya terdengar sepoi sepoi di berbagai sekolah dasar. Akibatnya proses belajar mengajar pun masih seperti dulu, belum ada perubahan.

Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan di berbagai sekolah dasar dan dialog informal dengan beberapa rekan pustakawan, tidak banyak orang yang mengetahui program Gerakan Literasi Sekolah Dasar, kalaupun mereka mengetahui itupun hanya sebatas pengetahuan tanpa pelaksanaan.

Hal tersebut terjadi karena  instansi pendidikan khususnya sekolah dasar masih menganggap remeh keberadaan perpustakaan. Mereka tidak mempertimbangkan akibat yang akan timbul jika pendidikan dasar berlangsung tanpa melibatkan peran perpustakaan. Di bawah ini merupakan hal-hal yang akan terjadi jika mengabaikan perpustakaan.

Siswa menjadi malas Belajar

Dalam dunia pendidikan dasar, buku merupakan sebuah sarana yang penting untuk menunjang proses belajar mengajar. Dalam proses tersebut ada guru, buku dan alat peraga lainnya (jika ada). Guru hanya akan mengajar selama proses kegiatan belajar mengajar berlangsung, selepas pulang sekolah, tidak ada lagi guru yang akan membimbing mereka. Proses belajar mengajar diteruskan oleh orang tua (itupun jika sempat). Jika orang tua tidak sempat mengajari anaknya, siapa yang bisa meneruskan pelajaran sepulang sekolah ? jawabannya adalah Buku. Ya, buku akan menemani seorang siswa dengan senang hati. Jika tidak ada buku dan anak tidak diajari membaca buku dengan benar, bisa dipastikan siswa akan menjadi malas belajar.

Pelajaran tidak berlangsung dengan baik


Setelah sebagian besar siswa sudah malas belajar, suasana pembelajaran akan sangat monoton. Suasana kelas menjadi tidak edukatif. Dari ruang kelas hanya terdengar guru ceramah dan murid-muridnya dengan seksama mendengarkan entah mudeng atau nggak itu soal belakangan. Beda dengan apabila murid murid rajin membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan kemudian membaca di rumah, pada saat malam hari para guru mempelajari materi yang akan mereka ajarkan, murid juga membaca buku yang akan disampaikan guru esok harinya. Keesokan paginya, ketika guru menyampaiakn materi, murid bisa mudeng dan menyatakan keberatan jika ternyata ada perbedaan pendapat di antara guru dan murid, lalu terjadilah diskusi. Hal ini mungkin seperti sebuah angan-angan, namun apabila murid sudah memiliki kemampuan membaca dengan baik.


Pendidikan Terancam Tidak Berhasil


Jika suasana belajar sudah tidak berlangsung dengan baik, pendidikan nasional bisa terancam gagal atau hanya sekadar formalitas belaka. Selama ini murid hanya mengandalkan waktu di sekolah untuk menerima pelajaran dari guru padahal seandainya murid sudah dibekali kemampuan membaca buku, ia bisa memperpanjang waktu belajarnya sendiri di rumah. Jika jam pelajaran di sekolah hanya 5,5 jam, murid bisa menambah sendiri waktu belajarnya di rumah dengan cara membaca buku. Cara seperti ini sangat efektif dan efisien. Namun sayang perpustakaan sebagai pusat buku di sekolah kurang  dilibatkan untuk turut membantu mencerdaskan bangsa.

Kesimpulan

Saya menyambut dengan gembira gerakan literasi sekolah dasar. Gerakan tersebut mampu menumbuhkan minat membaca para siswa sekolah dasar. Program tersebut dalam jangka panjang akan mampu mengubah wajah dunia belajar mengajar bangsa Indonesia.
Akan tetapi kampanye terhadap program tersebut harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Bukan hanya itu, program yang sudah direncanakan tersebut harus dikontrol, diaktuasi dan dievaluasi sesuai dengan prinsip manajemen yang lazim berlaku. 

Upaya untuk meningkatkan kemampuan literasi informasi dasar bagi siswa sekolah dasar harus didukung semua pihak demi meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di dunia internasional. Semua komponen bangsa perlu meyakini bahwa kemampuan literasi akan mampu berperan nyata dalam 


Rabu, 30 November 2016

Kendala dalam Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah Dasar

Pada bulan maret 2016 kemarin, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku Panduan Gerakan Literasi Sekolah Dasar. Tujuan dari gerakan tersebut yaitu agar peserta didik, terutama di tingkat pendidikan dasar, menjadi insan berbudaya literasi. 

Gerakan tersebut digagas berdasarkan kepedulian atas rendahnya kompetensi peserta didik Indonesia dalam bidang matematika, sains, dan membaca. 

Pada tingkat sekolah menengah (usia 15 tahun) pemahaman membaca peserta didik Indonesia (selain
matematika dan sains) diuji oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) dalam Programme for International Student Assessment (PISA).



PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya menjadi terampil membaca untuk mendukung mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat. 

baca juga : 

Peran Perpustakaan dalam Gerakan Literasi Sekolah

Dalam Gerakan Literasi Sekolah Dasar, perpustakaan SD disebut sebagai sarana literasi yang penting dengan didukung adanya sudut baca dan area baca.

Perpustakaan SD berfungsi sebagai sebagai pusat pengelolaan pengetahuan dan sumber belajar di SD yang dikelola oleh kepala SD. Keberadaan perpustakaan dengan jumlah koleksi yang memadai dan jenis koleksi buku yang tepat bagi siswa dapat meningkatkan minat baca siswa SD.

Sudut Baca Kelas adalah sebuah sudut di kelas yang dilengkapi dengan koleksi buku yang ditata secara menarik untuk menumbuhkan minat baca peserta didik.

Sementara itu, area baca meliputi lingkungan sekolah (serambi, koridor, halaman, kebun, ruang kelas, tempat ibadah, tempat parkir, ruang UKS, ruang kepsek, ruang guru, ruang tunggu orang tua, toilet dll.) yang dilengkapi oleh koleksi buku untuk memfasilitasi kegiatan membaca peserta didik dan warga sekolah. Siswa sekolah Dasar dikepung dengan buku yang tersebar di setiap sudut sekolah. 

Ketiga jenis sarana tersebut diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran membaca para siswa sekolah dasar. 

Di lain pihak, selain berusaha menyediakan sarana yang representatif untuk kegiatan membaca buku, Gerakan Literasi Sekolah juga mewajibkan siswa untuk membaca buku selama 15 menit sebelum dan sesudah pelajaran berlangsung.

Selain itu, sistem pengajaran harus menggunakan buku sebagai komponen utama, pendidikan berbasis buku.


Kendala yang Menghadang Pelaksanaan Gerakan Literasi Informasi

Secara teori, Gerakan Literasi Sekolah memang sudah menjabarkan secara detail bagaimana langkah yang harus dilakukan. Akan tetapi dalam praktiknya hal tersebut tidak mudah dilakukan karena terbentur dengan berbagai kendala yaitu :


Sosialisasi yang Kurang Massiv

Gerakan Literasi merupakan gerakan nasional, namun gaungnya masih belum terdengar. Pemerintah hanya menggunakan media internet untuk menyampaikan informasi sepenting ini. Akibatnya hanya sedikit orang yang mengetahui. Pihak yang bertugas menjalankan gerakan tersebut, yakni instansi sekolah dasar yang terdiri kepala sekolah, guru dan pustakawan masih belum memahami secara detail apakah yang dimaksud dengan literasi. Untuk itu perlu diadakan sosialisasi yang jelas dan terukur demi tercapainya tujuan gerakan literasi sekolah misalnya dengan mengadakan bintek.

Kurangnya Tenaga Pustakawan Profesional


Pustakawan merupakan tenaga profesional yang mengelola perpustakaan. Dia bertanggung jawab terhadap pengelolaan perpustakaan dan pelayanan perpustakaan. Selain itu dia juga memiliki kewajiban untuk merencanakan program kerja perpustakaan. Apabila sebuah sekolah tidak memiliki tenaga pustakawan, Gerakan Literasi Informasi bisa gagal total. 

Kebijakan Pendidikan yang tidak ramah dengan perpustakaan


Pendidikan Dasar dengan segala kebijakannya mulai dari sistem pengajaran, anggaran untuk perpustaakaan hampir semua tidak memedulikan bidang perpustakaan. Cara mengajar dalam pendidikan di Indonesia juga hanya bertumpu pada keahlian guru dalam ceramah. Hal tersebut sudah turun temurun sejak zaman dahulu. Padahal seiring dengan kemajuan teknologi, metode pembelajaran juga harus berubah. Murid seharusnya tidak semata bergantung pada guru dalam meningkatkan kualitas pendidikannya.

Sarana dan prasarana yang Kurang Representatif


Gedung perpustakaan, koleksi buku, meja, kursi dan perangkat komputer merupakan sarana dan prasarana yang harus dipersiapkan dengan baik agar gerakan literasi sekolah dapat berlangsung. Akan tetapi sampai sekarang masih ada sekolah dasar yang sarana dan prasarananya kurang lengkap dan kurang representatif.

Selasa, 29 November 2016

Meratapi Nasib Menjadi Pustakawan Sekolah Dasar

Beberapa hari yang lalu, pada tanggal 21 November 2016, Gubernur Jawa Tengah, baru saja mengumumkan Upah Minimum Kabupaten se-Jawa Tengah. Sayangnya pustakawan dan guru honorer tidak tersentuh UMK.

Menulis artikel tentang perpustakaan apalagi tentang tenaga perpustakaan yang sering disebut pustakawan itu ibarat sedang bersiul ketika angin sedang bertiup kencang, tidak terdengar apalagi terbaca oleh siapa-siapa. Akan tetapi mau bagaimana lagi, saya sudah tidak tahan lagi untuk menulis artikel tentang nasib pustakawan terutama pustakawan Sekolah Dasar. Ibarat kentut, mau nggak mau ya harus dikeluarkan agar tidak sakit


Riwayat Pekerjaan Sebagai Pustakawan Sekolah Dasar

Cerita tentang bagaimana saya terlibat dalam dunia pustakawan dan perpustakaan bermula dari enam tahun yang lalu. Sebelumnya, dunia perpustakaan adalah dunia yang asing bagi saya. Hingga pada suatu hari saya diberitahu Bapak saya tentang adanya perkuliahan D2 Perpustakaan Universitas Terbuka di kota saya. Meskipun agak malas, akhirnya saya mendaftar dan mengikuti kuliah hingga akhirnya lulus pada tahun 2013.

baca juga:



Pada tahun 2011, ketika saya baru menginjak semester 2, ibu saya bilang bahwa ada lowongan untuk menjadi pustakawan di Sekolah Dasar di desa saya. Saya mendaftar untuk menjadi tenaga wiyata bakti dan diterima.

Saat itu di kompleks SD sudah ada gedung perpustakaan yang baru dibangun dengan kondisi 60 persen. Kondisinya tentu saja masih jauh di bawah perpustakaan besar di China. Akan tetapi menurut informasi dari kepala sekolah, dalam waktu yang tidak lama akan datang bantuan berupa buku.

Nasib Pustakawan SD
http://sd2wojo.blogspot.co.id/2014/04/perpustakaan-sd-2-wojo.html


Benar saja tidak lama berselang, datanglah bantuan berupa buku yang kira-kira berjumlah 900 judul, 4500 eksemplar. Jumlah yang sangat banyak, apabila kita rata-rata harga perbuku Rp50.000 berarti harga buku tersebut senilai Rp225.000.000 Sebuah jumlah yang sangat besar.

Berkardus-kardus buku bantuan perpustakaan itu satu persatu dimasukkan ke dalam gedung perpustakaan yang belum jadi 100 persen kemudian saya hitung untuk melakukan cross check,dan Alhamdulillah jumlahnya sesuai.

Langkah berikutnya saya melakukan pengolahan bahan pustaka yang biasa dilakukan para pustakawan lainnya mulai dari memberi stempel, membuat bibliografi, mengklasifikasi, memberi label, menempel barcode, mengelompokkan, menjajarkan dalam rak, memberi sampul,  membuat kartu perpustakaan dan lain-lain. Oiya dalam hal ini saya menggunakan software Ms. Excel dan software Slims (Senayan Library Automation System) untuk membantu pekerjaan saya sebagai pustakawan.  Slims benar-benar sangat powerfull dalam mempermudah seorang pustakawan. Selain gratis cara pemakainnya juga sangat mudah.

Proses pengolahan bahan pustaka berlangsung sangat lama kira-kira enam bulan lebih. Setelah itu barulah kegiatan pelayanan bahan pustaka dimulai. kegiatan tersebut berlangsung cukup menyenangkan, para siswa dengan antusias masuk ke gedung perpustakaan baik itu untuk membaca buku, meminjam bahkan ada yang datang ke perpustakaan hanya untuk bermain-main. Namun aturan-aturan dasar perpustakaan seperti larangan makan dan minum, larangan gaduh tidak berlaku di perpustakaan sekolah dasar.

Tak terasa enam tahun berlalu dan hari ini saya juga hampir menyelesaikan S1 Perpustakaan. Namun seiring waktu berlalu hinggaplah rasa jenuh. Kegiatan menunggu para siswa meminjam buku di sekolah menimbulkan rasa bosan. Namun faktor utama munculnya rasa jenuh adalah honor yang begitu kecil (namun tetap saya syukuri). Bapak Ibuk pustakawan yang bukan PNS pasti tahu berapa honor pustakawan sekolah dasar yang diterima setiap bulan. Untuk itu di hadapan saya sekarang muncul dua pertanyaan pilihan, tetap bekerja sebagai pustakawan atau meninggalkan profesi pustakawan. Jika meninggalkan profesi pustakawan saya berfikir sayang sekali jika buku senilai 200 juta lebih tersebut tidak ada yang mengelola.

Pertanyaan itulah yang akhir-akhir ini sering muncul.

Landasan Hukum yang Jelas dan Lengkap Tentang Perpustakaan


Akan tetapi agar tulisan ini tidak terbatas hanya sebagai ajang keluh kesah tentang nasib pustakawan SD yang pada tahun 2017 sepertinya tetap masih kurang jelas, saya akan menyampaikan ide atau gagasan yang mudah-mudahan bisa dibaca oleh yang terkait. Keberanian menulis ini tentu tidak lepas dari iklim demokrasi yang sedang santer-santernya dihembuskan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam demokrasi siapa saja berhak menyampaikan pendapat melalui lisan maupun tulisan. Penyampaian pendapat juga dipayungi UUD 1945.

Untuk itu saya mencoba memberi saran terhadap perkembangan dunia perpustakaan. Perpustakaan sebagai garda terdepan dalam membangun budaya membaca dan membangun keahlian literasi informasi bagi para siswa hendaknya dikelola dengan benar dan serius oleh pemerintah.

Upaya setengah-setengah yang dilakukan terhadap kemajuan sumber daya manusia justru akan menghabiskan anggaran namun tidak ada hasil. Akan tetapi jika ada upaya yang serius untuk mengembangkan minat baca melalui perpustakaan akan muncul generasi baru bangsa Indonesia yang melek literasi dengan output mewujudkan SDM yang produktif.

Semua rencana tersebu harus dipayungi Landasan hukum yang jelas dan lengkap tentang perpustakaan.

Memang benar sudah ada UU yang mengatur tentang Perpustakaan yaitu UU no 43 tahun 2007. Dalam UU tersebut juga sudah ada aturan tentang perpustakaan. Misalnya adanya kewajiban untuk Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.

Akan tetapi dalam praktiknya, sekolah masih merasa kesulitan untuk mengaplikasikan anggaran tersebut. Kesulitan tersebut kemungkinan disebabkan tidak adanya payung hukum yang jelas dan bersifat memaksa. Untuk itu harus ada peraturan pemerintah yang menjelaskan tentang teknis pelaksanaan pengelolaan perpustakaan, sistem pengangkatan CPNS pustakawan, sumber anggaran perpustakaan, gaji pustakawan, jenjang karir profesional pustakawan dan sebagainya khususnya di lingkungan sekolah dasar.

Peraturan yang jelas dari pemerintah bukan hanya memperbaiki nasib pustakawan melainkan juga akan memicu pustakawan untuk meningkatkan kinerjanya dalam mengembangkan perpustakaan demi tercapainya tujuan pembinaan minat baca dan menciptakan keahlian literasi informasi anak bangsa.

Rabu, 09 November 2016

Guru Profesional, Ternyata Seperti inilah Sosoknya

Guru, sebuah kata yang begitu agung, mulia, cerdas, berwibawa dan menggetarkan jiwa. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Bambang Ekalaya terhadap guru Drona. Namun, malang, guru yang dicintai dan ditakzimi itu justru memanfaatkan kepatuhannya untuk kepentingan pribadi sang guru. Bambang Ekalaya harus merelakan kepedihan atas perbuatan Sang Guru Drona. Demi muridnya yang lain, Ia dipaksa sang guru memotong ibu jarinya sendiri.

Pada akhir kisah Drona dan Ekalaya, guru Drona akhirnya meninggal di tangan Ekalaya yang menitis melalui tubuh Drestajumna. Sebuah kisah yang cukup tragis dalam dunia kependidikan era Mahabarata.


Cerita tersebut merupakan kisah guru pada zaman pewayangan. Pesan moral dari cerita tersebut adalah meskipun sang guru adalah sosok yang sempurna, namun tetap saja dia memiliki ambisi pribadi yang meruntuhkan wibawanya sebagai seorang guru.

Kisah tersebut mungkin hanya kisah pewayangan, namun jika direnungkan lebih dalam akan bisa memberikan manfaat bagi pembacanya.

Memang, bagi penggemar cerita zaman dahulu, seperti cerita wayang, sandiwara radio, ketoprak dan lain-lain, pasti akah mahfum bagaimana kisah para guru pada zaman dahulu. Biasanya para guru tinggal di puncak gunung atau tempat yang sepi, muridnyalah yang berbondong-bondong datang untuk berguru. Dengan berbekal tekad kuat untuk menggapai cita-cita, para murid siap memanggul beratnya pendidikan yang diamanahkan oleh sang guru.

Namun itu cerita zaman dahulu, sekarang roda zaman terus bergulir, cerita tentang guru yang tinggal di puncak gunung dan di pelosok hutan sudah tak terdengar lagi. Sistem pendidikan pada zaman dahulu yang dikelola secara pribadi, kini sudah dikelola secara profesional oleh negara. Maklum, Pemerintah paham bahwa untuk menjadi negara yang kuat dan bermartabat, sebuah negara harus memiliki rakyat yang cerdas. Kecerdasan rakyat hanya bisa diperoleh melalui transfer ilmu oleh-siapa lagi kalau bukan-GURU. Itulah pendidikan.

Guru, pendidikan, murid adalah kata yang saling berjalin kelindan tak bisa dipisahkan. Guru ada karena murid, begitu juga sebaliknya. Lalu, apakah yang menghubungkannya, benar sekali, pendidikan.

Maka agar tujuan bangsa tercapai semua harus profesional. Guru harus profesional, murid harus profesional dan pendidikan juga harus profesional.

Tulisan ini  tidak akan membahas ketiganya, hanya guru profesional yang akan saya bahas, yang barangkali akan mampu menjawab beberap pertanyaan, seperti apakah sosok guru profesional ? Apakah seperti resi drona atau seperti Mahagurunya Dimas Kanjeng ?

Cerita pada awal tulisan ini sebenarnya cukup menggambarkan bahwa sosok Sang Drona bukanlah sosok guru profesional, ia tega mengorbankan kepentingan salah satu muridnya demi murid yang disayanginya. Cerita ini sekaligus menggambarkan bagaimana susahnya menjadi guru profesional, di era belum ada teknologi internet, bahkan oleh sosok guru seperti Resi Drona yang terkenal dengan kecerdikan dan kecerdasannya.

Untuk memberikan definisi guru profesional dengan tepat, saya lebih memilih menggunakan definisi guru profesional menurut UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Beberapa kutipannya adalah sebagai berikut.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. (Pasal 1 )

Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan 
menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. (Pasal 2 ayat 1)

Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. (Pasal 2 ayat 1)

Dari ketiga hal tersebut sudah cukup jelas, bahwa guru profesional adalah mereka yang memiliki sertifikat pendidik. Jadi cuma itu, terjawab sudah, sosok guru profesional adalah mereka yang memiliki sertifikat pendidik.

Iya, tetapi jangan lupa bahwa sosok guru profesional memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam pasal 14 ayat 1  UU nomor 14 tahun 2005.

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran 
tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, 
dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan
peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan 
kompetensi; dan/atau
k. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya

Sementara kewajiban guru profesional sudah diatur dalam pasal 20 UU nomor 14 tahun 2005.

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan 
mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa

Itulah sosok guru profesional adalah guru yang mampu menerima hak dan menjalankan kewajiban dengan baik. Bukan seperti mahagurunya Dimas Kanjeng.

referensi :
UU Nomor 14 tahun 2005.