Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Pidato. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Pidato. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 Juni 2017

Pidato Bung Karno - Pancasila sebagai Dasar Negara (2)

Pancasila sebagai Dasar Negara (2)


(Kursus Presiden Sukarno tentang Pancasila di Istana Negara, 16 Juni 1958.) 
Saudara­-saudara sekalian,

Di dalam kursus saya yang pertama sebagai pendahuluan, saya terangkan kepada saudara-­saudara bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk menumbangkan imperialisme tidak boleh lain daripada bersifat mempersatukan segenap tenaga-­tenaga revolusioner yang ada di masyarakat kita. Saya jelaskan pada waktu itu sebabnya. Sebabnya ialah bahwa kita berhadapan dengan imperialisme Belanda yang imperialisme Belanda itu berlainan sifat daripada misalnya imperialisme Inggeris. Manakala imperialisme Inggris adalah terutama sekali satu imperialisme perdagangan, – yang saya maksudkan ialah imperialisme Inggris yang datang di India ­, maka imperialisme Belanda yang datang di Indonesia, terutama sekali adalah satu imperialisme daripada Finanz­kapital. Finanz­kapital yaitu kapital yang ditanamkan di sesuatu tempat berupa perusahaan-­perusahaan.

Oleh karena Finanz­kapital Belanda ini membutuhkan buruh murah, sewa tanah murah, maka akibat daripada Finanz­kapital di Indonesia ialah pauverisering daripada rakyat Indonesia. Dan oleh karena rakyat Indonesia sesudah berjalan­nya Finanz­kapital ini berpuluh-­puluh tahun menjadi satu rakyat yang di segala lapangan verpauveriseerd. Tadi saya terangkan kepada saudara-­saudara, untuk mencakup begrip “semua rakyat yang verpauveriseerd” ini saya telah mempergunakan istilah marhaen. Saya ulangi: oleh karena akibat daripada Finanz­kapital ini ialah bahwa rakyat Indonesia ini di segala lapangan verpauveriseerd menjadi rakyat marhaen, di segala lapangan, baik lapangan proletar maupun lapangan yang tidak proletar, maka untuk menumbangkan impe­ rialisme Belanda itu kita harus memakai jalan lain daripada misalnya rakyat India memperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat India masih memiliki satu nationale bourgeoisie, bahkan pada pertengahan atau bagian kedua daripada abad ke­19 borjuasi nasional India ini hendak naik benar­benar sehingga nationale bourgeoisie India inilah sebenarnya yang menjadi tenaga motoris daripada gerakan rakyat India menentang imperialisme Inggris itu, berwujud gerakan Swadeshi di lapangan ekonomi dan di lapangan politik gerakan satyagraha.

Kita yang segenap zaman pre­ atau pra­imperialis memiliki bibit­-bibit nationale bourgeoisie, tetapi yang oleh proses imperialis di segala lapangan verpauveriseerd sehingga menjadi rakyat marhaen, kita tak dapat menjalankan cara perjuangan sebagai yang dijalankan oleh rakyat India itu. Maka boodschap kepada kita ialah mempersatukan segenap tenaga revolusioner yang ada di dalam rakyat Indonesia yang verpauveriseerd itu. Baik yang proletar maupun yang bukan proletar. Sehingga boodschap perjuangan kita di Indonesia ialah boodschap persatuan. Hal itu sudah saya terangkan kepada saudara­saudara pada kursus saya yang pertama. Dan memang dengan menyelenggarakan persatuan daripada segenap tenaga revolusioner itulah akhirnya kita pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat mengadakan proklamasi kita dan juga dengan persatuan itu kita dapat mempertahankan proklamasi itu. Hanya di waktu­waktu yang sekarang ini persatuan itu terganggu sehingga sewajibnya kita berikhtiar lagi untuk memperbaiki lagi keretakan­keretakan di dalam tubuhnya bangsa Indonesia itu.

Mempersatukan segenap tenaga revolusioner, – dan arti perkataan revolusioner pun di dalam kursus yang pertama sudah saya jelaskan kepada saudara­-saudara ­. Saya ulangi dengan singkat: untuk bersifat revolusioner tak perlu dari golongan proletar, tak perlu dari golongan demokrasi formil, tak perlu dari golongan sosialis, ­sosialis dalam arti yang luas, – revolusioner adalah tiap­tiap orang yang progresif menghantam kepada impe­ rialisme. Revolusioner adalah tiap­tiap orang yang hendak mengakhiri kolonialisme dan hendak mengadakan kemerdekaan nasional. Oleh karena itu adalah progresinya sejarah. Tidak perlu seorang proletar, sebab yang bukan proletar bisa juga revolusioner. Sebaliknya ada contoh proletar tidak revolusioner. Tidak perlu demokrasi formil, sebab orang yang tidak berdemokrasi formil bisa revolusioner. Tidak perlu berangan­angan atau dari golongan sosialis, dalam arti yang luas, sebab ada yang sosialis tetapi tidak revolusioner. Ada yang bukan sosialis tetapi revolusioner, sosialis dalam arti yang luas.

Di dalam kursus saya yang pertama, hal ini tidak saya kemukakan kepada saudara­ saudara. Tapi sosialis, seperti waktu saya membuat kuliah di Yogyakarta saya terangkan bahwa perkataan sosialisme saya ambil dalam arti nama kumpulan, verzamelnaam, dari semua aliran­aliran yang menghendaki masyarakat sama rasa sama rata. Dus ya sosialis demokrat, ya anarchist, ya komunis, ya utopist sosialis, ya religieus socialist. Semuanya saya cakup dengan satu perkataan: sosialis.

Saudara­-saudara, konklusi daripada kursus saya yang perta tadi, sudah saya katakan: boodschap yang diberikan sejarah kepada kita ialah persatuan, mempersatukan segenap tenaga. Bukan saja untuk menumbangkan imperialisme, tetapi juga untuk mempertahankan negara yang kita dirikan dan yang hendak ditumbangkan kembali oleh imperialisme itu.



Maka berhubung dengan itulah, timbul pertanyaan kepada segenap rakyat Indonesia, tatkala rakyat Indonesia hendak mengadakan kemerdekaan nasional, apakah negara yang hendak didirikan itu harus diberi satu dasar yang di atas dasar itu segenap rakyat Indonesia dipersatupadukan, apa tidak. Dan jawabnya ialah: ya, perlu dasar yang demikian itu, dasar pemersatu daripada segenap rakyat Indonesia. Sehingga sebagai saudara-­saudara ketahui, soal dasar ini menjadi pembicaraan di dalam sidang­sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang bersidang sebelum kita mengadakan proklamasi, jadi pertengahan tahun 1945. Dan di dalam salah satu sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itulah dianjurkan oleh onder getekende untuk memakai Pancasila sebagai dasar negara yang akan kita adakan. Dan kemudian Pancasila ini diterima di dalam Jakarta Charter. Kemudian sesudah kita mengadakan proklamasi diterima oleh sidang daripada pemimpin pertama daripada negara yang telah kita proklamirkan.

Dasar negara yang kita butuhkan ialah pertama: harus satu dasar yang dapat mempersatukan. Kedua: satu dasar yang memberi arah bagi perikehidupan negara kita itu. Katakanlah dasar statis, di atas mana kita bisa hidup bersatu dan dasar dinamis ke arah mana kita harus berjalan, juga sebagai negara. Sebab apa yang dinamakan negara saudara-saudara? Negara adalah tak lebih dan tak kurang daripada satu organisasi, satu organisasi kekuasaan, satu machtorganisatie. Tentang hal negara ini banyak sekali teori­ teori, apa negara itu. Ada teori yang mengatakan negara adalah satu hal sudah semestinya terjadi. Sonder maksud ini atau maksud itu, dengan sendirinya sesuatu bangsa mencapai negara. Teori ini di dalam sejarah manusia nyata telah dibantah. Sebab di dalam sejarah manusia sering sekali tampak bangsa­bangsa atau gerombolan­ gerombolan manusia yang berjumlah banyak hidup tanpa negara. Ambillah misalnya kafilah­kafilah di Sentral Afrika. Mereka itu hidup, mencari makan, membuat perumahan, hidup bersuami isteri, tetapi tiada ikatan yang dinamakan negara. Ada juga yang berkata bahwa negara adalah penjelmaan daripada ide yang luhur sekali. Ya, ini masih harus ditanya, ide itu ide apa.

Hegel misalnya, salah seorang ahli falsafah yang besar, berkata: de staat of een staat is de tot werkelijkheid geworden idee. Ya boleh kita terima ini. Tetapi apa yang dinamakan idee, de tot werkelijkheid geworden idee, ide yang terjelma? Ini masih diminta jawaban lagi apa yang dinamakan idee Hegel.

Saya sendiri berpendirian bahwa negara itu tak lain tak bukan ialah sebenarnya satu organisasi. Dan tegasnya satu organisasi kekuasaan. Satu machts­organisatie. Kita bisa mengadakan organisasi partai. Dan partai itu dipmpin oleh segolongan manusia yang dinamakan dewan pimpinan. Demikian pula kita bisa mengadakan organisasi daripada seluruh manusia di dalam lingkungan bangsa yang bernama negara. Dan negara ini dipimpin oleh segolongan manusia yang dinamakan pemerintah. Pada hakekatnya tiada perbedaan antara dua hal ini. Partai dengan ia punya dewan pimpinan, negara dengan ia punya pemerintah. Pada hakekatnya partai mempunyai statuten, negara memakai Undang Undang Dasar. Partai mempunyai peraturan­peraturan rumah tangga, negara mempunyai organieke wetten, hukum­hukum organik. Pada hakekat­nya, basically, kata orang Inggris, tidak ada perbedaan di antara dua ini.

Keterangan Karl Marx lebih lanjut lagi daripada ini. Negara adalah satu organisasi kekuasaan, kata Karl Marx, macht­organisatie. Bahkan satu machtorganisatie daripada sesuatu kelas untuk mempertahankan dirinya terhadap lain kelas. Karl Marx berkata, bahwa di dalam sejarah dunia ini selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Di dalam sejarah manusia, selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Ada kelas feodal yang bertentangan dengan kelas horigen, yaitu rakyat jelata yang ditindas oleh feodalisme itu. Sekarang ada kelas kapitalis dan kelas proletar. Selalu ada dua kelas. Maka kata Marx, negara adalah satu machts­organisatie di dalam tangannya salah satu kelas ini untuk menindas kelas yang lain. Di dalam zaman feodal negara adalah satu machts­organisatie di dalam tangannya kaum bangsawan untuk menindas kaum horigen. Di dalam zaman kapitalisme negara adalah machts­organisatie di dalam tangannya kaum kapitalis untuk menindas kaum proletar. Ditindas artinya untuk men­ jalankan sesuatu yang cocok dengan kepentingan kelas kapitalis ini, tetapi tidak cocok dengan kepentingan kaum proletar.

Teori ini ditarik terus oleh Marx. dalam arti jikalau nanti ada revolusi, kapitalis ini dengan alat kekuasaannya yang bernama negara, dengan kaum proletar yang karena mereka itu mengorganisasikan dirinya dengan semboyannya: “Proletaries aller landen, verenigt U”, mengorganisasikan dirinya, akhirnya dapat merebut negara atau alat kekuasaan yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis ini, ­jikalau revolusi demikian itu telah terjadi, maka alat kekuasaan yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis, yaitu negara yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis terebut oleh kelas proletar dan kelas proletarlah yang memegang alat kekuasaan yang dinamakan negara ini.

Sesudah sesuatu revolusi sosial ini terjadi, alat kekuasaan yang dinamakan negara jatuh di dalam negara kaum proletar. Maka berhubung dengan itulah apa yang dinamakan dictatuurproletariaat berjalan dan bukan berjalan secara insidentil, tetapi berjalan secara historis, sebab negara adalah pada hakekatnya alat kekuasaan di dalam tangan sesuatu kelas. Tadi di dalam tangan kaum kapitalis, sesudah revolusi proletar di dalam tangan kaum proletar. Dan alat kekuasaan ini dipergunakan oleh kaum proletar untuk menindas kaum kapitalis. Dus, sifat daripada praktik alat kekuasaan yang sekarang ini adalah dictatuur­proletaar.

Nah, saya teruskan uraian mengenai Marx ini. Sesudah demikian bagaimana? Sesudah demikian kelas kapitalis ini karena dialatkuasai oleh dictatuur proletaar ini, makin lama makin lemah, makin lama makin surut, akhirnya hilanglah kelas yang dinamakan kelas kapitalis. Tinggal kelas proletar itu. Dan oleh karena tinggal hanya satu kelas sebenarnya sudah tidak ada kelas lagi. Orang bisa bicara tentang kelas jikalau masih ada perbedaan. Kelas I, kelas 11, kelas 111, kelas VIII, kelas IX, karena ada perbedaan. Kalau tinggal cuma satu, itu bukan kelas lagi. Nah, kalau tinggal proletar saja, rakyat jelata saja, tidak ada kelas kapitalisnya, itulah oleh Marx yang dinamakan satu masyarakat tanpa kelas, satu klasseloze maatschappij. Manusianya tetap ada, bahkan berkembang biak banyak. Tetapi masyarakat itu tidak mempunyai kelas, klasseloos. Dan oleh karena klasseloos, maka masyarakat itu menjadi staatloos, sebab, – saya ulangi lagi ­, menurut teori Karl Marx, negara adalah machts­organisatie di dalam tangan sesuatu kelas.

Jikalau kelas itu juga tidak ada, maka machtsorganisatie sebagai machts­organisatie tidak ada lagi. Maka menjadi satu masyarakat yang staatloos. Ini saya beri tahu kepada saudara-saudara, agar supaya saudara-­saudara mengerti istilah­istilah di dalam ilmu Marxisme; klasseloze maatschappij dan staatloze maatschappij. Dus tidak ada lagi sesuatu golongan yang harus di­onderdruk, yang harus ditindaso Kalau ada dua kelas, ada satu golongan yang berkuasa dan satu golongan yang harus ditindas. Kalau sudah staatloos dan klasseloos, tidak ada lagi golongan yang harus ditindas. Fungsi negara hilang. Fungsi negara sebagai alat kekuasaan hilang. Yang tinggal ialah fungsi administratif daripada manusia­manusia. Ada fungsi opseter, ada fungsi insinyur, ada fungsi guru dan lain­lain sebagainya, tetapi fungsi negara sebagai negara, tidak ada lagi.

Saya beri penjelasan kepada saudara­-saudara tentang hal ini untuk mengerti bahwa kita tatkala kita concipieren, membentuk negara kita, sebagai negara kita harus mengerti bahwa negara itu adalah suatu hal yang dinamis. Kalau Marx berkata: ini adalah alat kekuasaan, maka tadi saya berkata: kita dalam mengadakan negara itu harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja yang statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntutan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.

Saya beri uraian itu tadi agar saudara-­saudara mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita memerlukan satu dasar yang bisa menjadi dasar statis dan yang bisa menjadi Leitstar dinamis. Leitstar, bintang pimpinan.

Nah, ini yang menjadi pertimbangan daripada pemimpin-­pemimpin kita dalam tahun 1945, dan sebagai tadi saya katakan, sesudah bicara, bicara, akhirnya pada satu hari saya mengusulkan Pancasila, dan Pancasila itu diterima masuk dalam Jakarta Charter, masuk dalam sidang pertama sesudah proklamasi. Jadi kalau saudara ingin mengerti Pancasila, lebih dulu harus mengerti ini: meja statis, Leitstar dinamis.

Kecuali itu kita sekarang lantas masuk kepada persoalan elemen-­elemen apa yang harus dimasukkan di dalam meja statis atau Leitstar dinamis ini. Kenapa Pancasila? Mungkin Dasasila, atau Catursila, atau Trisila atau Saptasila. Kenapa justru lima ini? Bukan kok lima jumlahnya, tetapi justru Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial. Kenapa tidak tambah lagi, atau dikurangi lagi beberapa. Kenapa justru kok lima macam ini.

Saudara-­saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu Leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam­dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri. Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri daripada elemen­elemen yang ada pada jiwa Indonesia. Kalau kita mau masukkan elemen­elemen yang tidak ada dalam jiwa Indonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.

Misalnya kalau kita ambil elemen­elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak in concordantie dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus memper­ satukan. Demikian pula elemen­elemen untuk dijadikan Leitstar dinamis harus elemen­ elemen yang betul­betul menghikmati jiwa kita. Yang betul­betul, bahasa Inggrisnya appeal kepada jiwa kita. Kalau kita kasih Leitstar yang tidak appeal kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi Leitstar dinamis yang menarik kepada kita.

Ini adalah satu soal yang susah, saudara-­saudara. Apalagi bagi saudara-­saudara, pemimpin­pemimpin yang salah satu tugas daripada pemimpin itu harus bisa menggerakkan rakyat. Tiap­tiap saudara­-saudara yang ada di sini ingin bisa meng­ gerakkan rakyat, bisa menarik pengikut­pengikut, tidak pandang saudara dari partai apa, yang duduk di sini, semuanya sebagai pemimpin ingin memimpin, ingin mempunyai golongan yang dipimpin yang bisa mengikuti dia, yang bisa diajak berjalan. Untuk memenuhi ini saja sudah susah, saudara-­saudara. Banyak pemimpin yang kandas, tidak bisa menggerak­kan rakyat, tidak bisa mendapat pengikut banyak, oleh karena ia tidak bisa mengadakan appeal. Appeal yaitu ajakan, tarikan yang membuat si rakyat itu mengikuti dia, pada panggilannya.

Jikalau saudara baca mengenai hal ini, saya ini sedang mengupas hal Leitstar, baca mengenai hal ini, bagaimana cara kita menggerakkan rakyat. Dan bukan saja menggerakkan rakyat, tetapi kadang­kadang minta supaya mau berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang, pendek mau menggerakkan kemauan dalam hati rakyat, bukan sekadar satu keinginan, tetapi kemauan untuk berjuang.

Syarat­syaratnya ini apa? Kalau saudara baca kitab-­kitab yang ditulis pemimpin­ pemimpin yang berpengalaman tentang hal ini, saudara akan melihat bahwa hal ini tidak gampang. Baru sekadar hendak membangunkan di dalam hati rakyat keinginan, itu gam­ pang sekali. Keinginan kepada masyarakat yang kenyang makan, keinginan pada satu masyarakat yang manis, tiap­tiap orang bisa. Asal bisa mengiming­imingi (membayang­ bayangkan). Tetapi untuk meng­gumpalkan keinginan ini menjadi kemauan, menjadi tekad, bahkan menjadi keredlaan berkorban, that is another matter, lain hal. Kalau saudara baca kitab-­kitab yang menganalisa hal ini, maka saudara akan menemui tiga syarat:

Pertama, memang saudara harus bisa menggambarkan, mengiming­iming: Mari kita capai itu! Lihat itu bagus, lihat itu indah, lihat itu lezat. Di situlah kebahagiaan. Pemimpin yang tidak bisa menggambarkan, melukiskan cita­cita, tidak akan mendapat hasil. Itu syarat yang pertama. la harus bisa melukiskan cita­cita.

Di dalam sejarah dunia saudara akan melihat bahwa pemimpin­pemimpin besar yang bisa menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin­pemimpin yang bisa melukiskan citacita. Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi di dalam segala lapangan.
Ambil contoh Nabi­nabi, yaitu pemimpin­pemimpin besar sekali. Semua Nabi-­nabi itu pandai benar melukiskan cita­cita. Katakanlah mengiming-­iming. Misalnya Nabi Muhammad: Kalau engkau berbuat baik, engkau masuk di sana. Malah digambarkan secara plastis, dilukis betul indahnya sorga, nyamannya sorga, nikmatnya sorga. Bahkan ditulis di dalam firman Allah, Quran sendiri, di sorga itu betapa amannya, indahnya, tidak ada terik matahari, semuanya enak, ada sungai­sungai, dan airnya itu jernih cemerlang, atau air susu, atau air madu, dan berkeliaran bidadaribidadari di situ.

Sehingga betul teriming-­iming umat Islam itu ingin masuk di sana dengan melalui jalan kebajikan. Untuk mencapai itu, jalannya ialah kebajikan. Yang ada di dunia ini, bagai­ manapun bagusnya kalah indahnya daripada itu.

Ambil Nabi Isa: Kerajaan di dunia ini, bagaimanapun bagusnya, kalah bagus dengan kerajaan Langit, het Koninkrijk der Hemelen. Kerajaan Langit dilukiskan di dalam ciptaan kita sebagai lawan daripada kerajaan yang ada di bumi ini.

Ambil pemimpin­-pemimpin lain, bukan di lapangan agama, tetapi di lapangan politik, bahkan yang fasis, atau yang sosialis. Fasis, Hitler misalnya. Hitler itu kok bisa sampai mendapat pengikut juta­jutaan dan pengikut yang fanatik­fanatik. Oleh karena ia pandai memasangkan Leitstar­nya.

Hitler berkata: jikalau kau ingin satu kerajaan yang lebihhebat daripada sekarang, jangan kerajaan sekarang ini kau terima. Bongkar! Kita harus meng­adakan kerajaan yang ketiga, das dritte Reich. Reich yang pertama masih kurang baik bagi kita, yaitu zaman Germanentum. Zaman baheula, zaman ceriteranya Nibelungen yang di dalam puisi Jerman digambar­kan sebagai zaman keemasan daripada Germanentum. Dengan pahlawanpahlawannya, misalnya Brunhilde, Kriemhilde, Siegfried. Siegfried jago yang tidak tedas senjata, kecuali ada satu tempat di punggungnya yang tidak kebal, karena pada waktu ia mandi di air kebal, ada daun jatuh di atas punggung­nya, sehingga bagian daun itu tidak terkena air kebal; yang lain­lain kena air kebal.

Zaman itu digambarkan oleh Hitler, belum, kurang besar, kurang bagus. Kerajaan yang kedua, di bawah pimpinan Kaisar Frederick de Grote, zaman itu ya besar, tetapi kurang besar bagi kita. Tidak, kita menghendaki kerajaan yang ketiga, yang di dalam kerajaan ketiga ini, hanya orang­orang yang berambut jagung, mata biru yang akan hidup, tidak dicemarkan dengan darah Yahudi, atau darah Roman dari Selatan. Tetapi hanya orang­ orang yang murni Ariers. Kerajaan ketiga inilah, yang di dalamnya tidak ada kemiskinan dan tidak ada kehinaan. Itu kita punya cita­cita. Dengan jalan demikian ia mengiming­ iming kepada rakyat Jerman.

Ambil Marx, tadi saya ceriterakan kepada saudara-­saudara, ia dapat betul menggambarkan satu, bukan saja klasseloze maatschappij, tetapi satu staatloze maatschappij, yang di situ tidak ada penindasan. Sebaliknya semua manusia hidup di dalam suasana kekeluargaan. Satu staatloze dan klasseloze dan klasseloze maatschappij yang hanya ada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Demikianlah saudara-­saudara maka salah satu syarat untuk bisa menjadi pemimpin ialah harus dapat mengiming­iming, tetapi jangan mengiming­iming barang yang bohong. Itulah salah satu syarat. Perkataan saya saja mengiming­iming, tetapi sebenarnya ialah dapat membentangkan Leitstar kepada rakyat.

Nomor dua, harus bisa memberi kepada rakyat. Demikian­lah, menganalisa hidup, cara bekerjanya pemimpin­pemimpin besar, bisa memberi kepada rakyat rasa mampu mencapai apa yang diinginkan itu. Merasa mampu, membangunkan rasa mampu. Meskipun engkau bisa mengiming­iming, tetapi jikalau engkau tidak bisa mem­ bangunkan rasa mampu di dalam rakyat bahwa rakyat bisa mencapai apa yang engkau iming­imingkan, ya, maka di dalam kalbu rakyat akan hanya hidup kepingin, ingin, tetapi belum menggumpal menjadi satu kehendak, kemauan, satu wil. Sebab sebelumnya sudah terhambat oleh rasa, toh tidak mampu.

Ibaratnya engkau bisa mengiming­imingi seseorang yang badannya lemah. Lihat itu, di puncak pohon itu ada buah merah, buah itu paling enak. Si dahaga kepingin buah itu, tetapi ia merasa dirinya lemah, dus, tinggal kepingin saja, tidak ia mempunyai kehendak, kemauan, wil untuk mencapai buah itu. Atau engkau bisa ambil seorang pemuda, anak orang biasa. Engkau imingiming dia dengan seorang gadis cantik, entah anak bangsawan tinggi, entah milyuner. Bung lihat, bukan main cantiknya. Tetapi ia tidak mempunyai rasa mampu untuk mengambil hati si gadis itu. Malahan ia merasa dirinya lemah sekali.

Aku anak orang miskin. Ia anak orang kaya. Mana bisa kawin sama dia. Tidak akan timbul kehendak, wil untuk mengawini gadis itu. Itu syarat nomor dua.
Syarat nomor tiga, bukan saja menanamkan keyakinan, atau rasa mampu, tetapi menanamkan kemampuan yang sebenarbenarnya. Menanamkan kemauan memberi kepada rakyat de werkelijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Jadi tadinya sekadar keinginan oleh karena teriming­iming, keinginan ini timbul, naik lagi setingkat menjadi kemauan, oleh karena saudara bisa memberi kepada rakyat itu rasa mampu, krachtsgevoel. Krachtsgevoel ini dinaikkan setingkat lagi rnenjadi de werkilijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Kalau tiga ini saudara-­saudara sudah bisa dijadikan trimurti, artinya dipersatukan di dalam tindakanmu sebagai pemimpin, saudara akan bisa menggerakkan massa.

Dus, Leitstar yang dinamis saudara-saudara, harus memberi kemungkinan kepada tiga hal ini. Rakyat tertarik, satu. Rakyat mempunyai rasa, aku atau kita bisa mencapai, dua. Tiga, bukan saja rasa mampu, tetapi memang mampu untuk mencapai itu. Kalau sekadar dua, dapat mengiming­iming, dapat memberi krachtsgevoel, tetapi saudara tidak bisa memberi tenaga, buah di atas pohon itu tidak bisa terpetik. Saudara bisa berkata, he,

buah itu enak betul, kepingin apa tidak? Kepingin. Mau apa tidak? Mau. Tetapi saudara lupa melatih dia untuk manjat pohon itu. Meskipun ia mempunyai kemauan tetapi ia tidak bisa memetik oleh karena baru naik 2, 3 meter sudah jatuh lagi. Tiga syarat ini Harus dipenuhi.
Leitstar daripada negara harus bisa realiseren tiga syarat ini. Dus, dasar negara pertama harus bisa menjadi meja statis yang mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar negara itu harus bisa merealisir tiga syarat yang saya sebutkan itu agar supaya rakyat dengan alat yang dinamakan negara dapat benar­benar mencapai apa yang dileitstarkan itu. Maka berhubung dengan itu, elemen­elemen daripada dasar ini harus elemen yang tidak asing bagi bangsa Indonesia sendiri. Kalau kita mengambil elemen yang asing, tidak bisa elemen itu menjadi dasar statis. Demikian pula tidak bisa menjadi dasar Leitstar dinamis.

Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kira seperti kursi­kursi yang dijajarkan. Bangsa atau rakyat mempunyai jiwa sendiri. Ernest Renan berkata: une nation est une ame, een natie is een ziel. Bangsa itu satu jiwa. Jangan kira bangsa itu adalah jumlah daripada manusia itu dengan manusia itu, seperti kursi­kursi dijajar. Bcnar bangsa itu terdiri dari manusia­manusia yang berjiwa, malahan apalagi bangsa­bangsa itu terdiri dari manusia­manusia yang berjiwa, tetapi kecuali daripada itu, bangsa itu mempunyai jiwa sendiri pula. Ada misalnya kitab Gustave Le Bon yang mengatakan, bahwa bangsa itu mempunyai jiwa sendiri yang tidak het algemeen totaal daripada si Polan, si Polan dan seterusnya. Mempunyai jiwa sendiri. Satu bangsa adalah satu jiwa.

Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita memikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal­hal di luar jiwa rakyat itu sendiri. Kalau kita mencari hal­hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya bisa menghikmati satu dua, seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. Itulah kepribadian. Tiap­tiap bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai bangsa. Tidak bisa opleggen dari luar. Itu harus latent telah hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri. Susah mencarinya, mana ini elemen­elemen yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total menjadi Leitstar dinamis. Dicari­cari, berkristalisir di dalam lima hal ini: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikema­ nusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, ini yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu schakering itu lima ini.

Ada orang berkata: pada waktu Bung Karno mempropagir­kan Pancasila, pada waktu ia menggali, ia menggalinya kurang dalam. Terang-­terangan yang berkata demikian dari pihak Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam, tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya. Sebab dari pihak Islam dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali, ia akan mendapat dari galiannya itu Islam. Kenapa kok Pancasila? Kalau ia menggali dalam sekali, ia akan mendapat hasil dari penggaliannya itu, Islam.

Saya ulangi, saya adalah orang yang cinta kepada agama Islam. Saya beragama Islam. Saya tidak berkata saya ini orang Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam. Dan saya menolak tuduhan bahwa saya menggali ini kurang dalam. Sebaliknya saya berkata: penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindu dan pra­Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf­safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam­macam saf. Saf pra­ Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa yang berkultur dan bercita­cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita­cita sudah.

Jangan kira bahwa kita pada zaman pra­Hindu adalah bangsa yang biadab. Baca kitab misalnya dari Professor Dr. Brandes. Di dalam tulisan itu ia buktikan bahwa Indonesia se­ belum kedatangan orang Hindu di sini sudah mahir di dalam sepuluh hal. Apa misalnya? Tanam padi secara sawah sekarang ini, jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Tidak. Pra­Hindu. Tatkala Eropa masih hutan belukar, belum ada Germanentum, di sini sudah ada cocok tanam secara sawah. Ini dibuktikan oleh professor Dr. Brandes. Alfabet ha­na­ ca­ra­ka­da­ta­sa­wa­la, jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Wayang kulit dibuktikan oleh Professor Brandes bukan pembawaan orang Hindu.
Orang Hindu memperkaya wayang kulit, membawa tambahan lakone Lakon terutama sekali Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah punya wayang kulit, tetapi belum dengan Mahabarata dan Ramayananya. Sebagian daripada restan wayang kulit kita dari zaman pra­Hindu, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala, Cepot dan lain­ lain itu. Itu pra­Hindu. Kita dulu mempunyai wayang kulit yang menceriterakan kepahlawanankepahlawanan kita, sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata dan Ramayana. Karena kita ini satu bangsa yang bisa menerima segala hal yang baik, lakonlakon itu kita masukkan di dalam wayang sebagai perkayaan daripada wayang kulit kita.
Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra­Hindu.

Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutei, berupa Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintaro, negara Pajang, negara Mataram kedua, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan

Eropa, yaitu saf imperialisme, yang di dalam bidang politiknya zaman hancur­leburnya negara kita, hancur­leburnya perekonomian kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd. Jadi empat saf, saf pra­Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis. Saya lantas gogo (gogo itu seperti orang mencari ikan, di lubang kepiting) sedalam­dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra­Hindu.

Jadi saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya menggali­-gali, menyelami saf­saf ini, saban­saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan sosial. Saya lantas berkata: kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, Insya Allah, seluruh rakyat Indonesia bisa menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu padu.

Ambil misalnya hal sila yang pertama, Ketuhanan. Salah satu karaktertrek bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa Indonesia selalu hidup di dalam alam pemujaan daripada sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya, saya ulang­ulangi pada umumnya, sebab sila­sila ini adalah grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud. Jadi jangan kira tiap­tiap manusia Indonesia itu merasa ber­Ketuhanan, bahwa tiap­tiap orang Indonesia berkobar­kobar rasa kebangsaannya, bahwa tiap­tiap orang Indonesia menyala­nyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan sosial. Tidak! Tetapi sebagai keseluruhan, grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, saya menemukan lima corak ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, grootste gemene deler itulah. Het kan niet anders daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan.

Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiaologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan tambahkan bukan hal­hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana? Het kan niet anders, tidak bisa lain. Daripada bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannnya, tempat kepercayaan.

Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan­hutan, di gua­gua. Saya namakan itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase daripada kehidupan manusia sebagai manusia. Sebab, dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut, apakah manusia itu berada di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil daripada evolusi.

Saya cuma menceriterakan saja bahwa ada satu cabang ilmu pengetahuan bahwa manusia itu adalah hasil daripada evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bernama Adam dan satu manusia bernama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusiamanusia lain, tetapi manusia itu adalah hasil daripada pertumbuhan. Mungkin juga dulu berupa een cellige wezens, sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren. Evolusi, menjadi semacam ikan­ikan. Evolusi lagi, binatang yang merayap tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang memanjat di atas pohon. Lama-­lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-­lama menjadi binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan empat kaki menjadiberdiri di atas dua kaki. Evolusi lagi, menjadi manusia yang seperti kita kenal sekarang ini. Mula­muia hidup di dalam hutan dan gua. Evolusi­evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus­ratus ribu tahun.

Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu bukti daripada teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi di desa Trinil terdapat tulang­tulang daripada makhluk yang demikian ini. Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki. Setengah monyet tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus yang ditaksir menurut ilmu biologi, batu yang membungkus tulang­tulang itu, – sebab tulang itu pada suatu hari mungkin terbenam, entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa ­, katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga akhirnya tulang ini terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu tahun. Jadi lebih daripada setengah j uta tahun. Dus tulang yang di dalam batu ini asal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.

Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus, tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. Itu fase pertama hidup dalam gua, mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senj ata Mauser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong kayu. Cara hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan jangan lupa akan stelling ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari hidup, mem­pertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mem­pengaruhi alam pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua­gua, di bawah pohon­pohon, mencari makan dengan memburu dan mencari ikan.

Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua. Jangan kira, tingkat yang kedua ini datangnya sekonyongkonyong. Tidak. Ini adalah satu pertumbuhan yang evolusioner. Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari pemburuan dan mencari ikan, mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburu, memburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang­binatang itu bisa ditangkap, diikat, dikurung, anaknya dipelihara, bisa ber­kembang biak. Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali, – garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud ­, hidup dari peternakan, memelihara binatang.

Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini, setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya memburu dan kemudian menjadi peternak, ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada ternaknya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja mem­ beri makan kepada diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya. Lama­-lama ia tahu bahwa makanan vang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu buah­buahan, ia pergi ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan. Berjumpa padi di rawa­rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui, biasa baginya, bahwa buahnya dapat dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. tetapi lambat­laun ia berpengalaman bahwa tanamanpun bisa ditanam. Tumbuh­tumbuhan yang berupa jagung, padi, gandum, buahbuahan bisa ditanam.

Dan terutama sekali, saudara-­saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian terutama sekali. Di sini kita pantas memberi saluut kepada wanita. Wanitalah makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi merasa harus. Ia melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya dikorek­korek menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga tanam­tanaman yang lain.

Salah satu jasa daripada wanita ialah: dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang pertama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit binatang. Lama­-lama ia berpikir: kalau kulit binatang yang satu ini disambung dengan kulit binatang yang lain, barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan serat atau akar, dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak, darah, – zaman dahulu itu orang masih makan darah, – harus dikumpulkan. Wanitalah yang pertama­tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorek­korek. Atau untuk tempat biji­biji yang dikumpulkan dari hutan­hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip wadah. Bahkan, karena barangkali tidak ada buah labu, wanita yang menggali tanah liat, dibentuknya dengan cara yang amat premitif, akhirnya menjadi semacam periuk.

Wanita vang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belurn rumah seperti sekarang, meskipun rumah desapun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran menyusun daun­daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama daripada atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapat­kan apa yang dinamakan civilization, peradaban.

Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat menjadi tenunan kasar. Wanita yang bercocok tanam mula­mula.

Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-­lama melihat bahwa jagung, padi bisa ditanam. Lama-­lama si laki pun meninggalkan cara hidup beternak, cape selalu mencari tempat penggembalaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindahpindah, nomade. Tatkala ia beternakpun, tingkat yang kedua, tidak menetap, berpindah­pindah, mencari makanan untuk ternaknya. Nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki, dus manusia cara hidupnya terutama sekali dari pertanian, manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch menjadi orang­orang yang menetap. Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan evolusi.

Pertanian, lama-­lama timbul pikiran: tanah ini kalau dicokel-­cokel dengan suatu alat, lebih subur. Lama-­lama timbul pikiran akan semacam bajak. Timbul pikiran untuk memotong. Timbul pikiran untuk membuat alat. Lama-­lama timbul satu kelas: aku tidak ikut bercocok tanam; aku membuat alat, aku membuat bajak, aku membuat cangkul, aku membuat semacam linggis dari kayu. Timbul juga satu pikiran, bahwa untuk mengangkut barang dari satu ke lain tempat harus ada alat yang bisa mengelinding. Lama-­lama menjadi begrip gerobak. Gerobak yang sederhana. Wanita yang bikin periuk, timbul pikiran: bikin periuk saja, sehari­hari bikin periuk. Wanita yang bikin tenunan, timbul pikiran mengumpulkan serat­serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas yang sehari­hari mengumpulkan serat­serat untuk menenun. Kelas penenun.

Demikianlah seterusnya timbul golongan­golongan manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian ditukarkan kepada orang yang bercocok tanam. Aku membuat periuk, aku perlu makan; ambillah periukku dan berilah aku jagungmu atau gandummu, atau padimu. Begrip ruilhandel, tukar­menukar timbul.

Di dalam tingkat keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup daripada apa yang dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul, membuat bajak, membuat pedang dan lain­lain. Hidup hanya membuat alat, yang hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian. Ruilhandel.

Evolusi lagi. Akhirnya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam alam yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan daripada nijverheid ini, membuat produksi, lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perburuhan, dengan terdapatnya mesin uap dan lain­lain. Industrial­isme. Itu adalah sifat yang kita hidup sekarang ini atau kita mengalami, melihat sekarang ini terutama sekali terjadi di dunia barat, di Amerika dan di Eropa. Saya ulangi, dus manusia ini pertumbuhannya melalui lima tingkat, sesudah ia berbentuk dan berupa manusia. Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan mencari ikan, satu. Berternak, dua. Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat. Industrialisme, lima.

Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene deler dan de kleinste gemene veelvoud, corak umum daripada masyarakat manusia. Tadi saya menandaskan kepada saudara­-saudara, cara hidup manusia mempengaruhi alam pikirannya. Juga mem­ pengaruhi alam persembahannya, kalau boleh saya pakai perkataan ini. Tatkala ia masih hidup di dalam hutan, di dalam guagua, apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam hutan, ia hidup di dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. Ia melihat bulan dan bintang­bintang. Ia sembah bulan dan bintang­bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut kepada petir, laksana petir itu menyambarnya. Ia menyembah pada petir. Ia menyembah kepada sungai, yang memberi ikan kepadanyaa la menyembah kepada pohon yang rindang yang ia bisa bernaung di bawahnya. Ia menyembah kepada awan yang berarak. Ia menyembah kepada matahari yang memberi cahaya cemerlang pada siang hari. Ia menyembah kepada barang­barang yang demikian itu.

Itulah Tuhannya pada waktu itu. Berupa gunung yang mengeluarkan api, berupa bulan, berupa bintang, berupa matahari. Ia punya Tuhan. Saya tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat, tetapi ia punya Tuhan pada waktu itu. Dan ini zaman tidak sebentar, lama sekali. Tuhannya yang berupa guntur dan petir, ia materialisir, ia materikan. Ia mendengar guntur yang menggeludug. Apa itu? O, itu Thor, yang turun dari satu mega ke lain mega. Tiap­tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara. Kalau ia mendengar guntur menggeledek itu: Thor sedang berjalan. Thor sedang naik kuda, yang berlompat dari satu awan ke lain awan. la menyembah sungai yang memberi makan kepadanya. Sebagai di alam India yang dahulu, orang masih mengagungkan sungai. Sungai Gangga misalnya.

Sungai Gangga misalnya, bengawan Silugangga kata orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya dari zaman baheula.

Yang menyembah sungai, menyembah petir, menyembah batu yang di dalam Bagawad Gita diceriterakan, pada hakekat­nya yang harus kita kenal dan kita hormati bukan batunya itu, tetapi dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bagawad Gita Kresna berkata kepada Arjuna: Kau kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah angin.
Aku tiada mula tiada akhir, aku adalah di dalam geloranya air samudra yang membanting di pantai. Itu juga disembah.

Sang manusia zaman dulu, fase pertama itu, kalau samudra sedang menggelora, membanting di pantai, menekukkan lutut­nya menyembah sebagaimana orang Jawa pantai selatan dulu, kalau mendengarkan Iautan kidul sedang menggelora, berkata: lampor, lampor. Manusia Jawa zaman dahulu, menyembah Iautan Selatan.

Saya kembali kepada Bagawad Gita, Bagawad Gita berkata: aku adalah di dalam geloranya air laut yang membanting di pantai, aku adalah di dalam sepoinya angin yang sedang meniup. Aku adalah di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di dalam awan yang berarak. Aku ada di dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku ada di dalam bulan, aku ada di dalam sinarnya bulan. Aku di dalam senyumnya sang gadis yang cantik. Aku yang tiada mula tiada akhir.

Bagawad Gita menegaskan bahwa jiwa manusia sejak dari zaman dulu itu ada yang disembah. Tapi yang disembah itulah yang berubah­ubah. Zat yang ia sembah, yang ia tidak kenal, di dalam zaman fase pertama berupa pohon, berupa petir, berupa air laut, berupa sungai sampai dimaterialisir, Thor, dewa daripada donder. Notabene, saudara­ saudara, kita punya perkataan guntur. Nama Guntur itu universil, saudara­-saudara. Di daerah Skandinavia dewa langit dinamakan Thor, Geluduk, guruh, petir itu, orang Skandinavia zaman dulu mengatakan Kung Thor, King Thor, raja Thor.

Perkataan Kung Thor itu sama dengan kita punya perkataan guntur. Ini adalah oleh karena pada hakekatnya manusia di dunia itu adalah satu, mandkind is one. Manusia itu satu sebetulnya. Yang berbeda­beda itu warna kulitnya. The same under the skin kata orang Amerika. Di bawah kulit sama saja. Kalimat itu pernah diucapkan pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer.

Fase pertama itu, Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenarnya, yang tepat. Dia punya begrip itu manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan air sungai, Tuhan angin. Contoh dari restan­restan kepercayaan ini tadi saya sebutkan. Di India orang masih menyembah sungai Gangga. Di Jawa lampor. Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada angin dari selatan meniup: lampor, lampor, lampor. Bahkan di kota Yogyakarta orang pasang lentera di luar rumah.

Fase kedua, manusia hidup dari peternakan. Pindah bentuknya ia punya Tuhan, terutama sekali berupa binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit kepadanya, oleh karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya Tuhan lantas dirupakan binatang. Ia malahan mengatakan kepada orang yang masih menyembah batu: masak batu disembah, pohon disembah, sungai disembah. Ini Tuhan yang betul, berupa binatang. Bangsa Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi yang bernama Apis, atau burung yang bernama Osiris. Bahkan di India sampai sekarang masih ada restan penyembahan binatang.

Di daerah yang masih memegang adat kuno, jika saudara mengganggu seekor sapi, saudara dibunuh. Sapi adalah binatang keramat. Begitu keramatnya sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja sapi boleh masuk toko, masuk di mana­mana. Orang India yang masih kolot, sakit misalnya, minta tahi sapi yang masih hangat dicampur air, dan airnya dipercikkan kepada orang yang sakit. Wanita India yang masih kolot, tiap pagi sebelum membuat api untuk membuat roti bakar, sekeliling dapurnya disiram dengan air tahi sapi. Yah, oleh karena dia anggap ini keramat. Pagar menolak segala bahaya. Ini adalah restan dari zaman manusia yang masih hidup terutama sekali di alam peternakan.

Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, saudara­-saudara, dia punya begrip daripada Tuhan itu, kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi, timbul Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan. Dewi­dewi yang memberkati pertanian. Sebab pertanian adalah satu onzekere factor, tergantung dari iklim, tergantung kepada kering atau hujan, tergantung dari banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam tanamannya, tidak lain ia lantas memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa agraris. Tentu ia hidup di dalam alam kata kanlah keagamaan, ketuhanan, religieus, tiap­tiap bangsa agraris, oleh karena segala sesuatu tergantung kepada onzekere factoren, yang mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya, kalau untung, bisa memiliki hasilnya. Kalau kebanyakan hujan, mati tanamannya. Oleh karena itu ia memohon. Nah, Tuhannya itu lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian, Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci, godinnen van de landbouw. Malah­ an dibentukkan manusia. Tetapi di dalam alam pertama, tidak selalu dibentuk­kan manusia, pohon ya pohon, kayu ya kayu yang disembah. Sungai ya sungai yang disembah, belum dibentukkan manusia. Di dalam alam kedua, peternakan juga belum dibentukkan manusia. Sapi ya sapi. Buaya ya buaya. Buaya disembah di alam Mesir yang dulu. Coba lihat lukisan­lukisan Mesir dulu.

Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular. Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk “Tuhan”, yang manusia sembah, dibentukkan manusia. Dalam ilmu pengetahuan dinamakan anthropromorph. Anthropus adalah manusia, morph adalah bentuk. Berbentuk manusia. Berbentuk Dewi Laksmi, manis. Coba lihat patung Sri, Dewi Laksmi, manis. Di dalam pikiran, dewi­dewi ini, manis. Anthropromorph. Demikianlah perpindahan begrip manusia daripada Tuhannya. Batu pindah kepada sapi, sapi pindah kepada anthropus, dewi.

Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu daripada alam pembuatan alam itu. Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal, akallah yang melahirkan sabit, bajak, jarum. Uitvindingen yang waktu itu masih sangat primitif, tapi toh uitvinding daripada akal.

Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bcrsarang di sini, di akal. Yang tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di dalam alam keempat itu menjadi gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba, batu bisa diraba, sungai bisa, sapi bisa. Dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes, tiap tahun, siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis cantik didewikan, diadakan satu pemilihan di kalangan alim­ ulama zaman itu, ini dewi.

Salah satu contoh yang sampai sekarang masih ada yaitu patung Aphrodite buatan Praxiteles. Praxiteles seorang pembuat patung yang pandai sekali, membuat patung wanita Aphrodite, Dewi Asmara yang sampai sekarang kalau orang melihat patungnya itu, bukan main. Tetapi ia membuat patung itu dari apa, modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak. Betul­betulan. Pada satu hari di tempatnya itu ada pemilihan dewi Asmara, seorang wanita yang cantik, dikeramatkan menjadi dewi Asmara. Dan ahli seniman ini membuat patung, modelnya, dus, benar­benar wanita itu, materi, zuiver mens, dan ia namakan patung ini Aphrodite.
Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib. Tuhan di mana? Tidak kelihatan tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh karena akallah menjadi penentu daripada hidup manusia.

Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih daripada digaibkan. Karena di situ manusia merasa dirinya atau sebagian daripada manusia merasa dirinya Tuhan. Di dalam alam industrialisme itu apa yang tidak bisa dibikin oleh manusia. Mau petir, aku bisa bikin petir. Aku, aku, aku bisa bikin petir. Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit sekian milyun volt, aku buka dia punya stroom, petir. Aku bisa membuat petir.

Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa mem­buatnya. Mau hujan? Sekarang ada pesawat­pesawat pembikin hujan. Mau outer space, keluar daripada alam ini? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan, tidak ada Tuhan itu. Lucunya di situ! Sebagian daripada manusia berkata: Tuhan, tidak ada. Saudara­ saudara bisa mengikuti analisa ini? Batu atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa, pindah ada Tuhan tetapi tidak bisa dilihat, gaib.

Nomor lima, sebagian daripada manusia, de heersers van de industrie, de geleerden, banyak yang berkata: tidak ada Tuhan. Hilang sama sekali begrip itu.

Nah, ini bagaimana? Saya menyelami masyarakat Indonesia, dan pada garis besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud, saya melihat, bahwa bangsa Indonesia percaya pada adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan tetapi sebagai grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena masyarakat Indonesia pada dewasa ini sampai kepada penggalianpenggalian ke dalam, terutama sekali masih hidup di dalam alam perpindahan keempat, tiga keempat, dan empat kelima, sebagian besar masih agraris, dan tiap­tiap bangsa yang agraris, mempunyai kepercayaan. Sebagian hidup di dalam alam kerajinan
.
Tadipun saya terangkan, rakyat yang hidup di dalam alam nijverheid, pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil yang telah hidup di dalam alam industrialisme itu. Tetapi itu bukan lagi corak daripada keseluruhan tingkat masyarakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, terutama sekali ialah sebagian agraris, sebagian nijverheid, dan baru kita melangkah sedikit ke alam industrialisme.

Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu rakyat yang mempunyai kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima. Sebaliknya kalau saya tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat salah satu elemen, daripada meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan atau membuang satu elemen yang bindend, bahkan masuk betul­ betul di dalam jiwanya bangsa Indonesia.

Kalau saudara tanya kepada saya persoonlijk, apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan. Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan saya betul­ betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho la kok manusia itu dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian gaib. Apa Tuhan itu berubahubah? Tidak! Bukan Tuhannya yang berubah­ubah. Zat ini tidak berubah­ ubah, tetapi yang berubah­ubah ialah begrip manusia. Begrip manusia itu yang berubah­ ubah, tergantung kepada fase hidupnya, cara hidupnya. Tuhannya tetap ada, cuma dikira oleh manusia zaman itu, Tuhan itu beledek, atau air laut yang bergelora. Atau suara burung di dalam malam gelap gelita, itu dikira suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam alam peternakan mengira bahwa Tuhan berupa sapi. Atau orang di dalam alam pertanian mengira Tuhan berupa Dewi Sri.

Di dalam alam nijverheid, orang memberikan mahligai kepada akal, ya Tuhan ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan orang yang sudah bisa memecahkan atom, ada yang berkata: nonsens Tuhan, aku bisa membuat atom, aku bisa menguasai langit. Pengiraan manusia yang berubah, Tuhannya tetap.

Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di Candradimuka. Ada lima orang, kelima­limanya buta dan belum pernah melihat gajah, karena butanya. Mereka datang pada seseorang yang mempunyai gajah. He, kami lima orang kepingin tahu gajah. Boleh. Gajahnya besar, dikeluarkan dari kandangnya. Nah ini gajah yang berdiri di muka saudara-saudara.

Coba saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah itu. Si A maju ke muka, dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya oleh yang punya gajah: Bung, bagaimana bentuk gajah? Jawabnya, gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya mendapat belalai. B maju ke muka dan ia meraba­raba mendapat kaki gajah. Gajah itu kok begini, empuk, tetapi seperti pohon kelapa. C maju ke muka, orangnya tinggi, pegang­pegang, dapat telinga gajah. Ya, gajah itu seperti daun keladi, pak. Keempat, seorang agak kerdil, pegang­pegang, dapat ekor gajah. Seperti pecut, cemeti. Nomor lima yang paling kerdil, maju ke muka, di bawahnya gajah. Tidak dapat pegang apa­apa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas Bung itu gajah. O, gajah itu seperti hawa.

Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira gajah seperti belalai, satu mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip manusia yang berbeda­beda.
Nah, saudara-­saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan bagi saya ada. Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets. Di dalam tiap-­tiap saya sembahyang, saya bicara kepada Tuhan, dan saya sering minta apa­apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada saya. Dan itu memperkuat kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. Ini cerita persoonlijk: saya sering mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi, dan mimpi itu saya rasa, ini mimpi­mimpi betul, biasanya keesokan harinya terjadi. Bagi lain orang, lain, barangkali terjadinya itu lain bulan dan sebagainya.

Bagi saya, praktik saya, kalau saya sudah mimpi dan saya merasa betul ini bukan impi­ impian, kontan keesokan harinya terjadi. Hal-­hal yang semacam itu memberi keyakinan kepada saya bahwa Tuhan ada.

Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya, telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah keagamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini.

Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra­-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini dimasuk­kan. Dan itulah sebabnya maka di dalam Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas.


Pidato Bung Karno - Pancasila sebagai Dasar Negara (1)

Pancasila sebagai Dasar Negara (1)
(Kursus Presiden Sukarno tentang Pancasila di Istana Negara, 26 Mei 1958.)

Saudara­-saudara,

Saya diminta untuk memberi kursus mengenai Pancasila. Dan sebagai dikatakan oleh saudara Pamuraharjo tadi, kursus tak dapat selesai dalarn satu uraian. Karena itu, akan diadakan kursus Pancasila ini beberapa kali, dan malam ini akan saya mulai dengan memberikan kepada saudara­saudara satu kursus pendahuluan, inleiding. Jadi pada malam ini belum saya kupas sila­sila daripada Pancasila itu. Belum saya kupas Ketuhanan Yang Maha Esa. Belum saya kupas Perikemanusiaan. Belum saya kupas Kebangsaan. Belum saya kupas Kedaulatan Rakyat. Belum saya kupas Keadilan Sosial. Melainkan saya akan memberi kata pembukaan lebih dahulu.

Saudara mengerti dan mengetahui, bahwa Pancasila adalah saya anggap sebagai Dasar daripada negara Republik indonesia. Atau dengan bahasa Jerman: satu weltanschauung di atas mana kita meletakkan Negara Republik Indonesia itu. Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakinyakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke ha­ nyalah dapat bersatu­padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnyasatu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakitpenyakit yang telah kita lawan berpuluh­puluh tahun yaitu penyakit terutarna sekali, Imperialisme.

Perjuangan sesuatu bangsa, perjuangan melawan Imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendirisendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap­tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mernpunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain­lain sebagainya.
Tadi saya katakan, bahwa tiap­tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai sifat­sifat perjuangan sendiri. Coba saudara­saudara bandingkan, misalnya caranya bangsa Amerika dulu memerdekakan negerinya daripada kolonialisme Inggris, dengan caranya bangsa India memerdekakan dirinya daripada kolonialisme Inggris. Dengan caranya bangsa Indonesia memerdekakan dirinya dari kolonialisme Belanda. Atau dengan caranya rakyat Rusia menggugurkan Kapitalisme.

Jikalau saudara­saudara bandingkan caranya rakyat atau bangsa­bangsa atau golongan­ golongan ini berjuang, saudara­saudara akan melihat perbedaanperbedaan. Perbedaan­ perbedaan yang ditentukan oleh keadaankeadaan obyektif. Dus bukan perbedaan­ perbedaan bikinan seseorang pemimpin. Tidak! Tetapi perbedaan­perbedaan karena sebab­sebab obyektif yang berbeda. Saya akan kemukakan perbedaan­perbedaan itu sebagai contoh, menguraikan kepada saudarasaudara beberapa perbeda­an antara cara berjuangnya orang Amerika melawan kolonial­isme Inggris, cara berjuangnya rakyat India melawan kolonial­isme Inggris, cara berjuangnya rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, cara berjuangnya Rusia menggugurkan kapitalisme.

Dari uraian ini nanti saudara­saudara akan mengerti perlunya, sekali lagi perlunya bagi kita persatuan itu. Dari uraian ini saudara­saudara akan mendapat pengertian bahwa perjuang­an bangsa Indonesia hanyalah dapat berhasil, jikalau seluruh rakyat Indonesia masuk di dalam satu kancah perjuangan.

Perjuangan bangsa Indonesia, saudara­saudara, yang sudah kita alami berpuluh­puluh tahun ini, berbeda daripada misalnya perjuangan rakyat India. Oleh karena imperialisme yang kita tentang adalah pula lain daripada imperialisme yang ditentang oleh bangsa India. Imperialisme itu bermacam­macam, mem­punyai corak­corak sendiri, sifat­sifat sendiri, terutama sekali pada waktu ia lahir. Pada saat sesuatu imperialisme lahir, pada saat sesuatu imperialisme tumbuh, imperialisme itu membawa corak sendiri. Tergantung daripada ibunya. Dan ibu imperial­isme ialah Kapitalisme. Sebagaimana anak bayi manusia pada waktu lahirnya telah membawa sifat watak sendiri, tergantung daripada sifat watak orang tuanya maka demikian pula imperialisme pada waktu lahirnya membawa corak watak sendiri tergantung daripada induknya, yaitu Kapitalisme.

Nanti di dalam pertumbuhannya, dalam bahasa asingnya: di dalam uitgroei, sifat dan watak imperialisme­imperialisme itu lantas mendekati satu sama lain, bahkan kadang­ kadang men­jadi satu konglomerat daripada imperialisme­imperialisme yang tak mudah lagi kita bisa membedakan sifat wataknya satu daripada yang lain. Kalau kita melihat perjuangan rakyat atau lebih tegas, orang Amerika, menentang kolonialisme Inggris sehingga akhirnya bisa mengadakan declaration of indepen­dence sebagai yang saya ucapkan di dalam pidato 20 Mei yang lalu, pada tahun 1776, dan kita selidiki siapa yang sebenarnya berjuang, saudara akan melihat bahwa terutama sekali kaum atasan yang berjuang.


Revolusi Amerika bukan revolusi rakyat. Tetapi revolusi daripada kaum atasan di bawah pimpinan Thomas Jefferson, Thomas Paine, George Washington dan lain­lain. Revolusi mereka berhasil membentuk satu tentara yang tentara ini bertempur dengan tentara Inggris di Amerika dan yang akhirnya dapat mengalahkan tentara Inggris itu, sehingga tentara Amerika ini bisa menang. Dus revolusi Amerika terhadap kepada kolonialisme Inggris, adalah satu revolusi yang tidak meliputi seluruh rakyat. Bagaimana revolusi India? Saya memakai perkataan revolusi di dalam arti yang luas.

Jangan mengira bahwa revolusi adalah selalu disertai dengan peng­gunaan senjata, dalam arti yang luas revolusi adalah satu perubahan yang hebat sekali. Cepat. Di dalam pidato pembelaan diri saya, tatkala saya diperiksa di muka hakim Hindia Belanda, saya telah mensitir ucapan seorang profesor yang termasyhur bahwa revolusi adalah eine umgestaltung von grundauf, artinya perubahan dari bawah sama sekali. Di dalam arti itu saya memakai perkataan revolusi India terhadap kepada kolonialisme Inggris. Revolusi India ini dilakukan oleh siapa? Pada hakekatnya revolusi India dilakukan oleh satu kelas middenstand dan bordjuasi India. Kelas menengah dan kelas borjuis India. Dengan mempergunakan tenaga daripada rakyat.



Berbeda dengan Amerika, Amerika boleh dikatakan revolusinya tidak mempergunakan seluruh tenaga rakyat, tetapi sekadar satu kelas, kelasnya George Washington, kelasnya Thomas Jefferson, kelasnya Thomas Paine, kelasnya Paul Rellier dan lain­lain sebagainya, yang berhasil membentuk tentara dan tentara ini bertempur dengan tentara Inggris. Revolusi India adalah revolusi daripada kaum pertengahan, middenstand dan borjuasi, dengan memperguna­kan tenaga daripada rakyat. Nanti akan saya jelaskan lebih luas.

Revolusi Indonesia dan di sinipun saya pakai perkataan revolusi itu dalam arti yang seluas­luasnya, dus, jangan hanya berpikir dalam istilah 17 Agustus ’45, tetapi berpikirlah dalam istilah sebagai yang saya uraikan dalam pidato 20 Mei yang lalu, istilah gerakan nasional seluruhnya, revolusi Indonesia adalah revolusi seluruh rakyat. Maka revolusi Indonesia bisa berhasil, – ini nanti saya terangkan, – ialah oleh karena revolusi Indonesia, revolusi seluruh rakyat. Ya kelas buruh, ya kelas tani, ya kelas borjuis kecil, ya kelas pertengahan kecil, ya kelas ambtenaren­bond, ya kelas pemuda­pemuda seluruh rakyat. Berbeda dengan di India, rakyat ikut sebagai kuda tunggangan. Saya tadi berkata: India revolusinya ialah revolusi daripada kaum per­tengahan dan kaum borjuis yang naik. dengan mempergunakan atau menunggangi rakyat jelata.

Satu contoh lain daripada revolusi demikian ini ialah revolusi Perancis, revolusi Perancis yang mulai meledak pada tahun 1789, mulai meledaknya, tetapi dalam persiapannya terutama sekali persiapan pikiran, sudah lebih dahulu daripada tahun 1789, revolusi Perancis ini juga satu revolusi daripada kelas borjuis, kelas pertengahan yang tadinya tidak mendapat alam, karena alam perusahaan di dalam tangannya kaum feodal, kaum gereja, tetapi yang sekarang merebut alam yaitu kelas pertengahan dan kelas borjuis, merebut alam dari tangannya kaum feodal dan kaum gereja dengan mempergunakan tenaga rakyat jelata. Seperti pada hakekatnya revolusi India. Revolusi Indonesia kataku adalah revolusi daripada seluruh rakyat.

Revolusi Sovyet, saya lebih setuju memakai perkataan revolusi Sovyet dan janganlah memakai perkataan revolusi Rusia, sebab tatkala saya di Sovyet Uni saya mengucapkan Sovyet Rusia, saya diprotes oleh orang­orang yang berasal misalnya daripada Usbekistan dari Giorgia, mereka memprotes, kami bukan Rusia, kami dari selatan bukan bangsa Rusia. Kami ini orang Usbekistan. Kami orang Giorgia. Jadi negara kami namanya bukan Sovyet Rusia, sebab Sovyet Rusia cuma lor, utara saja. Negara kami yang besar yang terdiri dari sekian banyak Republik­republik Sosialis, negara kami ini adalah Sovyet Uni. Bukan Sovyet Rusia. Saya, dus, lebih senang memakai perkataan Sovyet Uni. Nah revolusi Sovyet, bukan revolusi Rusia, tetapi revolusi Sovyet adalah revolusi daripada kelas proletar dan tani menggugurkan kapitalisme.

Dus di dalam revolusi Sovyet ini apa yang dinamakan bordjuasi bukan saya tidak ikut, malahan menjadi objek penggempuran. Dari beberapa contoh ini, saudara­saudara merasakan dan melihat perbedaan­perbedaan. Saya tadi berkata bahwa tiap­tiap revolusi membawa sifat dan watak sendiri yang ditentukan oleh keadaan­keadaan objektif. Objektif imperial­ismenya, objektif induk daripada imperialisme itu, juga objektif keadaan daripada rakyat yang berrevolusi.

Jadi sifat corak sesuatu revolusi ditentukan oleh keadaan objektif daripada apa yang dihantam oleh revolusi dan daripada apa yang menghantam. Keadaan yang dihantam, yaitu imperialisme, itu berbeda­beda saudara­saudara, membawa corak­corak sendiri dan corak­corak ini ditentukan oleh induknya, kataku tadi. Kalau kita melihat imperialisme­imperialisme di dunia ini dan sebagai tadi saya katakan, terutama sekali saya melihat, pada waktu ia lahir, bukan terutama sekali pada waktu sedang uitgroei, pada waktu ia lahir, tegas dan jelas ada perbedaan­perbedaan. Perbedaan­perbedaan, saya ulangi, daripada induk­induknya pula.

Kapitalisme­kapitalisme, saudara­saudara, mempunyai corak objektif tergantung daripada keadaan­keadaan bahan­bahan bagi kapitalisme itu. Sesuatu negeri misalnya, saudara­saudara, yang penuh dengan bahan­bahan untuk kapitalisme, terutama bahan­ bahan yang dinamakan bahan­bahan dasar, basis grondstoffen, sesuatu negeri yang banyak basis grondstoffen, kapitalisme misalnya berbeda dengan sesuatu negeri yang kekurangan basis grondstoffen. Ada negeri yang kekurangan basis grondstoffen en toh mempunyai kapitalisme yang basis grondstoffennya itu, yah terutama sekali, ambil dari negeri lain, beli dari negeri lain. Negeri yang demikian itu mempunyai Kapitalisme lain daripada negeri yang basis grondstoffennya banyak.

Amerika, saudara­saudara, Inggris, negeri Belanda, Spanyol dan lain­lain negara adalah beberapa negara yang mempunyai kapitalisme, dan oleh karena­nya menjalankan imperialisme. Saya ambil contoh Amerika, Inggris, negeri Belanda, Spayol, sebagai klassieke voorbeelden oleh contoh­contoh klasiek daripada kolonialisme dan imperial­ isme. Amerika dulu mempunyai koloni, Inggris mempunyai kolonikoloni, malahan Inggris mempunyai empire yang di situ matahari tak pernah terbenam karena luasnya empirenya, di mana matahari terbenam lantas terbit lagi. Di sana terbenam, sudah terbit lagi di sini. Negeri Belanda mempunyai koloni, Spanyol dulu banyak koloninya, sekarang tinggal beberapa restan.
Masing­masing kok mempunyai sifat corak sendiri­sendiri. Apa sebabnya? Sebabnya ialah sebagai saya katakan, induknya, kapitalismenya, mempunyai corak sifat­sifat sendiri­sendiri, dan apa sebab induknya mempunyai corak sifat sendiri ini? Oleh karena negerinya mempunyai sifat corak sendiri­sendiri terutama sekali mengenai bahan­ bahan grondstoffen untuk kapitalisme itu. Amerika adalah satu negeri yang mempunyai banyak basis grondstoffen, satu negeri yang boleh dikatakan lengkap dengan segala hal.

Apa toh basis grondstoffen kapitalisme itu? Yah, terutama sekali biji besi, arang batu, metal­metal logam­logam lain, dan lain sebagainya. Itu adalah basis grondstof bagi kapitalisme. Amerika adalah satu negeri yang penuh dengan basis grondstoffen. Inggris demikian pula, tetapi lebih kurang dari Amerika. Arang batu punya, biji besi punya tetapi takk begitu banyak, sehingga banyak membeli biii besi dari Ruhr. Bahkan pada tahun ‘ 14­‘ 18, ada peperangan besar yang dinamakan peperangan dunia pertama, tak lain tak bukan ialah rebutan biji besi Ruhr, Ruhr­gebied. Negeri Belanda adalah satu negeri yang basis grondstoffennya lebih kurang lagi. Biji besi tak ada, harus beli dari Ruhr­gebied, arang batu yang sedikit di Limburg, Spanyol adalah satu negeri yang basis grondstoffennya juga sedikit sekali. Biji besi tidak ada, arang batu tidak ada, sedikit sekali.

Karena basis grondstoffen Amerika berbeda banyaknya daripada basis grondstoffen Inggris, Belanda, Spanyol, maka kapitalisme di empat negeri ini berbeda­beda. Karakteristiknya boleh dikatakan kapitalisme Amerika, saya ulangi lagi, saya meninjau pada lahirnya imperialisme, tidak di dalam uitgroei­nya yang sekarang ini. sekarang ini sudah kita menghadapi imperialisme internasional yang roman mukanya boleh dikata­ kan hampir sama semua. Tetapi pada permulaannya imperial­isme lahir, dilahirkan oleh kapitalisme Amerika yang lebih kaya basis grondstoffen daripada imperialisme Inggris yang dilahir­kan oleh kapitalisme Inggris yang kurang sedikit basis grondstoffen; imperialisme Belanda dilahirkan oleh kapitalisme Belanda yang kurang lagi basis grondstoffen, imperialisme Spanyol dilahirkan oleh kapitalisme Spanyol yang sama sekali miskin grondstoffennya.

Kalau saya bandingkan empat kapital­isme ini, empat kapitalisme dengan imperialisme, maka berhubung dengan perbedaan banyaknya grondstoffen itu, boleh saya katakan Amerika adalah kapitalisme royal. Inggeris kapitalisme setengah royal. Belanda kapitalisme setengah kikir. Spanyol kapitalisme kikir. Imperialisme, ialah anak daripada kapitalisme itu, tabiatnya ya lain­lain. Yang anak daripada kapitalisme royal tabiatnya liberal. Liberal imperialisme.
Sekali lagi saya peringatkan, ialah pada saat lahirnya liberal imperialisme. Yang dianakkan oleh kapitalisme setengah royal, ialah Inggris, adalah imperialisme semi liberal. Semi artinya setengah. Yang diperanakkan oleh kapitalisme setengah kikir, adalah imperialisme semi ortodoks. Yang dilahirkan oleh kapitalisme kikir adalah imperialisme ortodoks.

Dus, pada mulanya imperialisme Amerika adalah imperialisme liberal. Imperialisme Inggris adalah imperialisme semi liberal, imperial­isme Belanda adalah imperialisme semi ortodoks, imperialisme Spanyol adalah imperialis ortodoks. Di dalam segala tindak­ tanduknya saudara melihat perbedaannya. Imperialisme yang liberal terhadap kepada rakyat yang dikolonisir, luas dada, liberal, ini boleh, itu boleh, lapang dada. Yang ortodoks sangat menindas kepada rakyat yang dikolonisir. Yang semi liberal, setengah menindas setengah lapang dada. Yang semi ortodoks adalah setengah ya kasih jalan sedikit­sedikit, untuk boleh berpikir, boleh ini boleh itu. Tetapipun menindas.

Apa sebab saudara­saudara? Kok imperialisme Inggris semi liberal? Imperialisme Belanda semi ortodoks, imperialisme Amerika liberal? Imperialisme Spanyol ortodoks? Sebabnya, saya buat perbandingan sekarang, supaya lebih terang bagi saudarasaudara, ialah imperialisme Inggris di India dan imperialisme Belanda di Indonesia. Nanti saudara mengerti: O, Bung Karno itu ke situlah maunya. Mau menerangkan kepada saudara­ saudara bahwa reaksi kepada imperialisme Belanda ini tak boleh lain daripada seluruh rakyat bersatu padu, yang nantinya sampai menjadi dasar uraian Pancasila.

Imperialisme Inggris di India, – sudah saya tidak bicarakan imperialisme Amerika di Filipina, saudarasaudara sudah tahu, memang tadinya itu liberal sekali. Tatkala Filipina jatuh di dalam tangan imperialisme Amerika, lekas mereka buka sekolah ini, buka sekolah itu, buka ini buka itu, kesan pada rakyat Filipina laksana: bolehlah bolehlah, sehingga di dalam tempo 1904 sampai 1947, kurang daripada 50 tahun, Filipina boleh menjadi satu bangsa yang merdeka tetapi ya dengan beberapa injeksi­injeksi dari Amerika. Sebaliknya kita melihat di India sampai ada perjuangan rakyat yang hebat, di Indonesia pun ada perjuangan yang hebat.

Di Filipina dulu ada perjuangan rakyat Filipina yang hebat menentang imperialisme Spanyol yang ortodoks itu tadi. Imperialisme Spanyol itu sama dengan imperialisme Portugis sekarang yang di Timor, wah ortodoks­nya bukan main. Di pulau Timor itu, misalnya, salah sedikit, masuk penjara dengan rantai dibelenggu, sampai sekarang. Coba kalau saudara datang di bagian Timor, di Atamboa yang hanya beberapa kilometer dari daerah kolonisasi Portugis. Saudara mendengar keluhan rakyat di sana, bukan main caranya rakyat ditindas, tidak diberi banyak sekolahan, cuma beberapa sekolah. Main penjara, main penjara. Persis seperti imperialisme Spanyol di Filipina dahulu itu, ortodoks.

Saudara mengetahui sejarah daripada pemimpin­pemimpin Filipina yang termasyhur! Itu semuanya pemimpin­pemimpin Filipina yang menentang Spanyol. Namanya Dr. Rizal, misalnya, yang ditembak zonder banyak proses oleh orang Spanyol. Namanya harum di ingatan kita. Dia adalah pemimpin­pemimpin besar rakyat Filipina menentang imperial­isme Spanyol yang ortodoks. Saudara mendengar nama pemim­pin Apollomario Mabini, juga pemimpin Filipina menen­tang imperialisme Spanyol.

Saudara mendengar nama Aquinaldo, juga Aquinaldo adalah pemimpin Filipina menen­ tang imperialisme Spanyol. Memang perjuangan rakyat Filipina menentang imperialisme, di waktu imperialisme Spanyol Ortodoks. Sebaliknya, rakyat Filipina yang berjuang terhadap imperialisme Amerika tidak sehebat perjuangan yang telah dilakukan di bawah pimpinan Rizal, atau Aquinaldo, atau Mabini. Sebabnya ialah perbedaan antara sifat corak imperial­isme ini.
Sekarang saya mau jelaskan kepada saudara­saudara lebih jelas, imperialisme Inggris di India, imperialisme Belanda di Indonesia. Saya tadi telah berkata kepada saudara, bahwa Inggris adalah negeri yang basis grondstoffennya boleh dikatakan agak cukup. Biji besi ada, batu bara ada, keperluan­keperluan untuk membangunkan kapitalisme ada. Boleh dikatakan Inggris bisa membangunkan kapitalisme tanpa bantuan basis grondstoffen negeri lain. Karena itu pagi­pagi, saudara­saudara, kapitalisme Inggris sudah berkembang biak. Pagi­pagi kapitalisme Inggris sudah memproduksi barang­barang hasil produksi yang banyak sekali. Pagi­pagi kapitalisme Inggris itu sudah menderita overproductie.

Di negeri Inggris sendiri saudara melihat pagi­pagi reaksi kaum buruh terhadap kepada kapitalisme Inggris itu meledak. Gerakan kaum buruh yang paling dulu ialah justru di Inggris. Oleh karena memang kapitalisme di Inggris pagi­pagi sudah tumbuh. Penindasan kaum buruh mendirikan bulu roma kita. Anak­anak kecil umur 8, 9 tahun sudah dikerjakan 13, 14 jam. Gerakan kaum buruh dimulailah di Inggris, bukan gerakan kaum buruh revolusioner, tetapi gerakan kaum buruh yang dipimpin oleh Robert Owen, dipimpin kemudian oleh orang­orang seperti Kale Hardy, Sidney Webb, Beatrice Webb. Dan kemudian gerakan ini bertumbuh menjadi labour party di dalam bidang politiknya. Gerakan kaum buruh di Inggris pagi­pagi telah bangkit sebagai reaksi terhadap kepada kapitalisme Inggris yang pagi­pagi sudah tumbuh itu tadi. Bahkan kapitalisme Inggris ini pagi­pagi sudah menderita penyakit overproductie.

Terlalu banyak produksi yang tidak bisa dijual di Inggris sendiri. Tiap made in England, dulu sangat termasyhur, made in England. Belakangan baru timbul made in Germania, belakangan timbul lagi made in Japan, made in England, made in Germania. Semuanya itu kemudian menjadi asal sebab dari peperangan dunia yang pertama. Saingannya begitu hebat sampai meledak menjadi peperangan. Tapi pagi­pagi sudah kita melihat made in England. Produksi yang banyak sekali dan yang tidak bisa dijual habis di tanah Inggris.

Made in England kita bisa baca di segala barangbarang terutama sekali barang­barang terbuat dari besi, martil made in England, gunting made in England, pisau made in Eng­ land, mesin penjahit made in England, yah segala barang­barang made in England. Demikian pula barang­barang hasil tenun, saudara­saudara mengetahui sendiri bahwa mesin uap dan mesin tenun mula­mula di Inggrislah didapatkan orang. Sebagai pemun­ culan daripada aktivitet•kapitalisme itu, mesin uap, mesin pintal, mesin tenun, made in Inggris semuanya. Hasil daripada pemintalan dan penenunan ini menjadi barang­barang yang terbaik, seperti barang­barang wol, mengalami juga overproductie. Tak bisa habis dijual di Inggris, dicarikan pasar di luar Inggris, sampai sekarang saudara­saudara mengetahui bahwa wol Inggris paling jempol.

Nah, kapitalisme di situ saudara­saudara pagi­pagi subur, tetapi pagi­pagi pula menghadapi persoalan over­productie, pagipagi dus terpaksa mencari pasaran untuk over­ productie itu di luar negeri. Dan ini yang bernama imperialisme. Imperialisme dalam arti yang modern. Dus, barang­barang ini dibawa ke negeri orang lain untuk dijual di negeri orang lain itu, terutama sekali dibawa ke India.

Nah, sekarang yang penting yang saudara harus pegang betul betul, dus, imperialisme Inggris yang datang ke India seperti diketahui, rakyat India 300, pada waktu itu belum 300, tapi 230 juta, toh sudah menjadi pasar yang hebat. 230 juta manusia yang harus membeli overproductie ini. Dus, imperial­isme Inggris ke India itu terutama sekali adalah imperialisme dagang. Handels­imperialisme. Membawa barang ke India untuk dijual di India. Nah agar supaya rakyat India, saudara­saudara, membeli barangbarang overproductie ini yang berupa gunting, berupa pisau, berupa sepeda, berupa mesin jahit, berupa bahan pakaian, agar supaya rakyat India ini bisa membeli, suka membeli, ingin membeli, maka politik daripada imperialisme Inggris di India itu adalah politik yang lain daripada imperialisme Belanda di Indonesia.

Agar supaya sesuatu bangsa, rakyat suka membeli, koopwil dan koopkracht bangsa itu tidak boleh dimatikan sama sekali. Kemauan membeli dan kemampuan membeli. Rakyat India dibuat, dijadikan satu bangsa tidak mati kutunya sama sekali, sebab kalau mati kutunya sama sekali tidak bisa membeli. Karena itulah imperialisme Inggris di India pagi­pagi sudah mengadakan sekolahan, bahkan pagi­pagi telah mengadakan University.

Saudara­saudara dapat membaca di dalam kitab sejarah India, bahwa waktu kita di sini belum mendengar nama sekolah tinggi dan nama university, di India, Inggris sudah buka beberapa university. Koopkracht dan Koopwil daripada rakyat India tidak dimatikan sama sekali, tetapi saudara­saudara, India adalah satu bangsa yang telah mempunyai satu kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh. Kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh ditimpa oleh barang­barang hasil daripada overproductie Inggris. Padahal kelas pertengahan dan kelas borjuis India ini ingin mencari laba, membikin uang, cari uang daripada penjualan barang­barang bikinan kelas pertengahan dan kelas borjuis India sendiri.
Jadi yang paling merasa mendapat saingan dari handels­imperialisme Inggris itu, ialah justru kelas pertengahan dan kelas borjuis, yang opkomend dari India ini. Oleh karena itu gerakan menentang imperialisme Inggris ini, mula­mula terutama sekali keluarnya dari kelas inilah. Yang kemudian membentuk di India itu Indian National Conggress tahun 1885. Pemimpin­pemimpinnya ialah kaum kapital. Saya tidak bicara tentang Gandhi, itu belakangan, tetapi pemimpin­pemimpin India yang mula­mula itu, ya semuanya kapitalis­kapitalis. Semuanya pengusaha­pengusaha.

Orang­orang kaya dari gerakan ini dibantu oleh milyuner­milyuner, misalnya Tata. Tata yaitu satu pengusaha milyuner, membantu keras kepada gerakan ini, oleh karena Tata­ pun merasa mendapat saingan hebat daripada produksi besi dari Inggris. Tata ialah pengusaha besi. Pabriknya besar di Jamsithpoor. Dia membikin barang besi, membikin gunting, membikin pisau, membikin meja dari besi, bikin ini bikin itu. Lhoo ini impor dari Inggris, terutama sekali dari Birmingham. Wah, dus Tata ya sangat merasa mendapat saingan. Tata membantu kepada gerakan ini.

Begitu pula milyuner Birla, membantu keras kepada gerakan ini, bahkan Birla itu sahabat karib daripada Mahatma Gandhi. Bahkan Mahatma Gandhi ini ditembak orang di rumahnya Birla. Saya tadi menceriterakan bahwa gerakan daripada kaum pertengahan dan borjuis India ini menunggangi rakyat India. Coba saudara­saudara lihat, semboyan daripada gerakan di sana itu, terutama sekali apa? Semboyan ekonomisnya, ialah Swadesi. Yah, tentu gerakan swadesi itu mempunyai harga­harga moril yang tinggi sekali bagi bangsa.

Ya, tentu gerakan Swadesi itu adalah baik bagi bangsa. Sebab dianjurkan kepada bangsa untuk membuat sendiri keperluan hidupnya. Swa artinya sendiri, desi dari perkataan desa; desa yaitu negeri sendiri. Swadesi artinya dari desa sendiri, dari negeri sendiri. Sebagai slogan memang baik sekali. Tetapi tidak baiknya gerakan Swadesi ini ialah ia punya kekolotan. Artinya kekolotan, tidak mau kepada kemodernan.

Memang keadaan rakyat India yang hendak dipergunakan oleh kaum pertengahan dan kaum bordjuasi ini tidak bisa diajak kepada kemodernan, tidak bisa menggerakkan rakyat berpuluh­puluh, beratus­ratus milyun: ayo kita bersama­sama mengada­kan pabrik modern. Ayo kita bersama­sama mengadakan listrik. Tidak! Tidak bisa usaha mengadakan pabrik modern, mengadakan listrik, mengadakan kereta api, mengadakan kapal udara, segala modern. Hanya bisa oleh sekelompok orang yang banyak uang, yaitu kapitalisten atau oleh organisasi negara. tetapi mengajak rakyat jelata untuk modern­ isme, tidak bisa.
Nah, inilah salah satu cacat daripada gerakan Swadesi. Oleh karena gerakan swadesi itu di bawah pimpinan Mahatma Gandhi yang tidak mau kepada kemodernan. Bahkan Gandhi memberi kepada rakyat satu falsafah anti mesin. Dikatakan bahwa mesin itu bikinan setan. Ya, ini perkataan Gandhi, devilswork. Gandhi tidak mau kepada mesin, sebab dia melihat mesin di Eropa Barat menjadi alat penindasan manusia. Memang dipergunakan oleh kapitalisten di Eropa Barat sebagai alat penindasan. Maka oleh karena itu Iantas Gandhi berkata: jangan pakai mesin, mesin adalah devilswork. Buatan Setan. Dia anti kepada segala kemodernan. Ia punya cita­cita adalah satu cita­cita sosial yang kolot.

Gandhi tidak mempunyai politik ideologi, tidak punya cita­cita politik yang jelas. Kalau ditanya kepada Gandhi: Gandhi ji, apakah cita­cita politik daripada tuan? Apakah Republik, apakah monarki, apakah Negara Kesatuan, apakah Federalisme? Gandhi tidak bisa menjelaskan dengan tegas. Paling­paling ia menjawab: Swa radj, Swa artinya sendiri, radj artinya raja, pemerintah. Swa radj artinya pemerintah sendiri. Paling­paling itu, kita mesti mengejar swa radj, swa radj. Cita­cita politiknya tidak tegas, entah Republik entah monarki, entah Negara Kesatuan, entah negara Federal entah dominan status, tidak tegas. Swa radj, segala swa radj, sebaliknya ia mempunyai cita­cita sosial. Jadi cita­cita kemasyarakatan.

Dan apa yang ia cita­citakan yaitu satu masyarakat yang di situ tidak ada penindasan, yang di situ tidak ada pengisapan, tetapi juga yang di situ tidak ada mesin­mesin, tidak ada pabrik­pabrik. Ia punya cita­cita sosial yaitu manusia dengan manusia hidup tenteram, rukun, tiap­tiap orang mempunyai sebidang tanah kecil, tanam makanan rakyatnya sendiri, tanam pohon kapasnya sendiri, memintal ia punya benang sendiri, menenun sendiri. Tidak perlu lokomotif, tidak perlu ini itu. Rakyat harus hidup dalam satu suasana tenteram.

Nah, ini yang saya namakan kolotnya gerakan swadesi. Tetapi pada hakekatnya gerakan swadesi ini adalah satu penentangan terhadap kepada imperialisme, sebab di dalam praktiknya gerakan swadesi bukan sekadar positif dari segi positifnya menanam kapas sendiri, memintal benang, menenun sendiri. Tidak! Tetapi juga mempunyai bidang negatifnya, yaitu tidak mau membeli barang bikinan Inggris. Yang dinamakan boycot action. Tidak boleh rakyat ter­utama sekali anggota­anggota dari Indian National Conggress membeli barang­barang buatan Inggris. Bahkan eksesnya barang­barang buatan Inggris kadang­kadang diserbu, dibawa ke luar, ditumpuk, ditimbun, dibakar. Seperti yang terjadi di Chouri Chora.

Dengan gerakan swadesi ini maka handels imperialisme Inggris menjadi lumpuh. Karena seluruh rakyat tidak mau membeli barang­barang buatan Inggris itu, padahal doel daripada handels imperialisme Inggris ialah agar supaya rakyat India membeli barang­barangnya. Ditentang oleh gerakan swadesi, diboikot barang­barang Inggris, dan rakyat India mengadakan gerakan swadesi positif, membikin barang sendiri. Tetapi di dalam bidang kaum pertengahan dan kaum borjuasinya ia memakai mesin­mesin pula. Saudara­saudara kalau datang di Bombay misalnya, sekarang, di Calcuta, saudara akan melihat pabrik­pabrik tenun yang hebat. Tata yang begitu membantu dengan uang kepada gerakan Gandhi, ia adalah industriil besi yang besarnya hanya dikalahkan oleh industriil Jepang Yawata Kaisha.

Dus, saudara­saudara, jelas, gerakan India adalah satu gerakan yang sebenarnya daripada kaum pertengahan dan kaum borjuasi yang timbul dengan mempergunakan rakyat jelata. Ada baiknya saya di sini menerangkan kepada saudara hal kenapa gerakan India itu tidak mempergunakan kekerasan? Memang saudara­saudara, situasinya lain daripada kita. Kita mempergunakan kekerasan, mengadakan physical revolution, karena kita pada bulan Agustus menghadapi imperialisme yang hendak kembali, dan pada waktu itu ada kesempatan baik sekali untuk merampas senjata dari tangan Jepang. Bahkan di waktu pendudukan Jepang, dan tidak boleh saudara­saudara lupakan, kita tiga setengah tahun mendapat mendapat kesempatan baik untuk melatih kita punya diri mempergunakan senjata.

Di India tidak. Kesempatan yang sedemikian itu tidak ada, bahkan sekali lagi Gandhi keluar dengan ia punya falsafah, yang bukan saja menentang devils­work yang berupa mesin, berupa segala hal yang modern, tetapi juga menentang penggunaan kekerasan. Ia punya falsafah ialah apa yang dinamakan Ahimsya, tidak boleh mempergunakan kekerasan dan bikin saja kekerasan pisik. Bahkan mempergunakan kekerasan batin juga tidak boleh. Jangan menyakiti hati orang lain, begitu pula jangan menyakiti badan orang lain. Ahimsya! Yang di dalam pemunculan bidang politiknya, berupa gerakan Satyagraha, ekonomis bikin barang sendiri, jangan beli barang Inggris, ekonomis. Bidang politik­nya, yang keluar daripada falsafah Ahimsya ini, ialah Satyagraha.

Satyagraha artinya setia kepada kebenaran. Bagaimana setia kepada kebenaran? Tidak mau ikut atau membantu kepada yang salah. Tidak mau ikut tidak mau membantu kepada yang salah, dus, di dalam bidang politiknya jangan kerjasama dengan pihak Inggris, sebab pihak Inggris itu salah.

Dus, non cooperation. Lha ini perkataan yang termasyhur, non cooperation. Jangan kerjasama dengan pihak yang salah. Mau jadi ambtenar Inggris keluarlah, letakkan kau punya jabatan. Dan kalau engkau tetap jadi ambtenar Inggris, engkau ikut juga punya ke­ salahan. Jangan menjadi hakim di kehakiman Inggris, jangan menjadi guru di sekolahan Inggris, jangan menjadi anggota dari sesuatu dewan yang dibikin oleh Inggris.

Satyagraha dan sekalikali jangan memperguna­kan kekerasan, membandellah, ham­ balela. Membandel, jangan ikut, jangan mau dan jikalau kau ditangkap, ya sudah. Biarlah, masuk di dalam penjara, biarlah, jangan melawan. Dipukuli polisi­polisi di sana itu, pada zaman itu sama dengan polisi Belanda di sini, mem­punyai pentung, yang namanya lathi, meskipun engkau punya kepala hampir pecah kena pukulan lathi, jangan membantah,membandellah, hambalela. Beribu­ribu, berpuluh­puluh ribu, pada satu saat, 76.000 kaum gerakan Satyagraha ini dimasukkan di dalam penjara. Itu adalah bidang politiknya, non cooperation. Bidang ekonomisnya, swadesi.

Nah, begitulah asal mulanya gerakan India, oleh karena menghadapi handels­ imperialisme. Kita bagaimana? Kita sekarang mulai menguraikan kita sendiri. Persatuan daripada tiap golongan, sedang di India kaum pertengahan dan kaum borjuis yang merasa mendapat saingan dan pukulan hebat daripada impor handelsimperialisme, yang menentang kepada handels­ imperialisme Inggris ini, dengan mempergunakan rakyat India agar rakyat India tidak mau membeli barang­barang bikinan Inggris, swadesi, satyagraha, memang akhirnya berhasil.

Pihak imperialisme Inggris kewalahan dan pada tahun 1947, India diberi kemerdekaan yang mempunyai Dominion­Status dan di dalam tahun 1950 tanggal 26 Januari oleh rakyat India Dominion Status ini diganti dengan Republik India, tetapi masih di dalam Commonwealth. Indonesia bagaimana? Indonesia tidak menghadapi hanya handels­ imperialisme. Apa sebabnya? Sebabnya ialah negeri Belanda adalah satu negeri yang miskin, yang kekurangan basis grondstoffen. Saudara saudara tahu sejarah daripada imperialisme Belanda di Indonesia. Mula­mula, dan kalau saudara membaca “Indonesia Menggugat”, mula­mula orang Belanda itu datang di sini sekadar untuk membeli barang­barang seperti cengkeh, pala, beli ini beli itu, hasil­hasil pertanian di sini.

Kalau ditinjau sejarah yang lebih tua, begini: dulu, di abad XV, XVI, orang Eropa sudah mengenal cengkeh, pala, sutera bikinan Tiongkok dan sebagainya. Tetapi barangbarang ini pala, cengkeh, sutera bikinan Tiongkok ada juga cat merah dan lain­lain sebagainya, didatangkan ke Eropa ini tidak seperti sekarang. Jalannya dulu ialah barang­barang dari Indonesia, pala, cengkeh, barang­barang dari India, barang­barang dari Tiongkok dan lain­lain sebagainya, semuanya boleh dikatakan dikumpulkan di Tiongkok lebih dulu. Dari Tiongkok lalu melalui ialan jalan karavan, kafilah­kafilah, melalui Sentral Asia, Asia Tengah, padang pasir Gobi, muncul di Midden Oosten, Middle East, yaitu di Libanon. Dari situ di bawa ke kota di sebelah laut Adriatic, Venesia.

Dari kota Venesia diambil oleh perahu­perahu, kapal­kapal pedagang dari Inggris, dari Belanda, dari negerinegeri lain­lain, dus, pada waktu itu, Venesia adalah satu kota transito. Barang­barang dari Tiongkok melalui Sentral Asia, pergi ke Libanon ke Venesia, dari Venesia disebarkan ke Eropa Barat. Pada waktu itulah Venesia naik dia punya kedudukan. Pada waktu itu Istana­istana di Venesia yang indah, yang sampai sekarang menjadi kekaguman orang, dibuat. Kalau saudara datang ke Venesia sekarang, saudara melihat Istana dari marmer, itu buatan zaman itu. Gereja San Marco buatan dari zaman itu. Istana Togen, buatan dari zaman itu.

Abad XIV, XV, XVI, dan belakangan ini tukang mengambil cengkeh, pala dan lain­lainnya itu, mempunyai hasrat untuk mencari sendiri jalan pengambilan barang­barang ini. Lantas dikirimlah orang­orang untuk mencari jalan. Saudara tahu sejarah Vasco de Gama, Bartolomeus Diaz, sejarahnya Cornelis de Houtman dan lain­lain itu, mereka itu mencari jalan ke tempat cengkeh, pala, merica, sutera ini. Mencarinya jalan ada yang ke Barat terus dan dia terdampar di Amerika yaitu Columbus, dan dia bertepuk dada, merasa menemukan Amerika. Padahal tidak.

Lebih dulu daripada Columbus ialah Amerigo Vesvucci yang menemukan Amerika, – kalau boleh memakai perkataan menemukan, – sebagian ke Barat, sebagian dari negeri Belanda dan Spanyol, mengelilingi Tanjung Harapan, ujung paling selatan dari Afrika, masuk Lautan Hindia, ketemulah tempat­tempat merica dan cengkeh itu. Nah, dus, bisa ketemu jalan ini, saudara­saudara, – belum ada terusan Suez, – datanglah apa yang di dalam kitab saya, saya namakan imperialisme Belanda kuna.

Dus, sekadar mengambil bahan­bahan ini tadi, mengambil cengkeh, merica, pala dan lain­lain sebagainya, dibawa ke Eropa, melewati Tanjung Harapan, dibawa ke Eropa, dijual di Eropa dengan banyak laba. Di situ negeri Belanda mulai naik, sehingga pada abad XVII negeri Belanda mengalami abad keemasan. Orang Belanda sendiri menamakan abad XVII itu de gouden eeuw. Yaitu laba daripada pengambilan sini, pulang dijual, berangkat lagi, pulang, jual. Nah, uang laba ini, saudara­saudara, sebetulnya bertumpuk­tumpuk. Dibawa kemana uang laba ini? Apakah op potten, dicelengi terus, di negeri Belanda? Tidak. Terutama sekali kelihatan di Inggeris kapitalisme timbul, di Jerman kapitalisme timbul, uang ini dibawa ke Indonesia kembali, dan ditanamkan di Indonesia. Inilah asal mula daripada imperialisme Belanda modern di Indonesia. Uang ditanamkan di Indonesia dalam pelbagai obyek. Ada yang dijadikan pabrik gula, ada yang kebun­kebun teh, ada yang kebun­kebun karet, ada yang dijadikan tempat pertam­ bangan dan sebagainya.

Dus, imperialisme modern di Indonesia adalah imperialisme penanaman uang. Di dalam ilmu ekonomi uang yang demikian ini dinamakan finanz kapital. Dus imperialisme Belanda di Indonesia adalah imperialismenya finanz kapital. Indonesia oleh imperialisme finanz kapital ini dijadikan tempat pengambilan basis grondstoffen untuk kapitalisme di negeri Belanda. Uang ditanamkan di sini, misalnya di dalam kebun karet atau dalam kebun kelapa sawit dan sebagainya. Ini kelapa sawit atau karet, ini menjadi basis grondstoffen. Misalnya minyak kelapa sawit dibawa ke negeri Belanda, minyak ini menjadi salah satu basis grondstof untuk pabrik sabun dan lain­lain sebagainya. Hasil daripada produksi ini dengan bahan kelapa sawit, dibawa lagi ke Indonesia, dijual di Indonesia.

Jadi akhirnya menjadi tempat pengambilan bahan­bahan untuk kapitalisme di negeri Belanda, juga menjadi tempat­tempat penjualan produksi di negeri Belanda itu. Tetapi yang paling mendalam di dalam peri­kehidupan kita, ialah terutama sekali penanaman modal. Di sini dibangunkan perkebunan, industri­industri tetapi semuanya perkebunan­ perkebunan dan industri­industri imperialisme, dengan uang ini tadi, finanz kapital.
Nah, agar supaya perkebun­an atau industri­industri itu tadi bisa berjalan dengan sebaik­ baiknya, harus dipenuhi beberapa hal yang berbeda sekali daripada syarat­syarat berkembangnya handels­imperialisme.

Handels­imperialisme, saya ulangi lagi, bisa berkembangbiak kalau rakyatnya mempunyai koopwil dan koopkracht. Handels­imperialisme dengan sendirinya mampus, kalau rakyatnya tidak bisa dan tidak mau beli. Tetapi finanz kapital mempunyai eisen lain. Mau menanamkan modal di sini, dijadikan onderneming. Onderneming pegunungankah atau onderneming di tanah datarkah. Mau tanam tembakau di daerah Yogyakarta atau Solo. Mau tanam tebu di lembah sungai Berantas misalnya.

Bagaimana bisa tanam tebu di lembah sungai Berantas? Atau bisa tanam tembakau di lembah Bengawan Solo? Sekitar Solo dan Yogyakarta dan sebagainya.) harus menyewa tanah, sebab tanah milik daripada rakyat. Agar supaya sewa tanah ini dimungkinkan, diadakannya ordonansi yang dinamakan grondhuurordonnantie, pada pertengahan abad ke­19, yang memberi kesempatan kepada pengusaha asing menyewa tanah daripada rakyat untuk ditanami tebu, untuk ditanami tembakau, untuk ditanami apapun, agar supaya laba bisa tinggi, sewa tanahnya jangan mahal. Agar supaya sewa tanah tidak mahal, levensstandaard daripada rakyat ditekan, handels­imperialisme malahan agak menaikkan levens­standaard, artinya dipiara, koopwil en koopkracht.

Finanz kapital imperialisme malahan menekan supaya sewa tanah tidak terlalu tinggi. Sewa tanah itu ditentukan oleh levensstandaard, standar hidup daripada rakyat. Rakyat yang standar hidupnya rendah akan sudah senang menerima sewa yang murah. Kecuali sewa tanah, finanz kapital yang menanamkan modalnya di sini itu memerlukan kaum buruh. Juga kaum buruh ini harus kaum buruh yang upahnya rendah. Kalau kaum buruh itu upahnya tinggi, labanya kurang bagi kaum imperialis.

Dus, diusahakan dengan segala macam agar supaya kaum buruh upahnya rendah. Sampai kita pernah mengalami satu waktu, upah kaum buruh 8 sen, satu orang sehari. Dihitung­hitung hidupnya rakyat Indonesia bahkan pernah segobang seorang sehari. Tetapi upah buruh pernah di suatu tempat itu 8 sen sehari, 12 sen seorang sehari. Paling­ paling 25 sen seorang sehari. Minimumloon, rakyat Indonesia dijadikan minimum­ leidster, ini istilah daripada seorang Belanda sendiri, daripada orang yang selalu saya sitir  yaitu Dr. Uwender, yang mengata­kan bahwa rakyat Indonesia itu adalah minimum­ leidster, segalanya itu minimum, kebutuhan­kebutuhannya ya minimum, kebutuhan makanannya minimum, pakaian minimum, segala­nya minimum, upahnya pun minimum sehingga konklusinya ialah yang sering saya katakan rakyat Indonesia adalah een volk van koelies en een koelie onder de natie.

Inilah efek dan usaha daripada finanz kapital imperialis. Jangan diajarkan kepada rakyat kebutuhan­kebutuhan yang bukan­bukan. Sekolah­sekolah jangan lekas­lekas diberi, paling­paling sekolah yang sudah paling minimum. Di India tidak, kata saya tadi, pada tahun 1865 kalau tidak salah, Universitas yang pertama dibuka. Kita, saudara­saudara, sampai permulaan abad sekarang ini, tidak mengenal akan universitas. Sekolahnya sekolah rendah semuanya, sekolah menengah hanya untuk orang Belanda sendiri atau puteraputera daripada pegawai Indonesia. Dan sistemnya nyata, sistem membikin kita menjadi kaum buruh. Saya pernah duduk di dalam sekolah rendah.

Permulaan abad sekarang ini, padahal waktu itu sudah tahun 1915, sebagai murid daripada sekolah rendah itu saya masih diajar ilmu ukur dengan meetketting, rante ukur itu, kita murid­murid harus bisa mengukur halaman, mengukur sebidang tanah, tak lain tak bukan agar supaya nanti bisa menjadi mandor ukur. Jadi standar hidup direndahkan sekali, saudara­saudara. Bahkan demikian jauhnya usaha merendahkan levenstandaard kita ini, sehingga dulu, kelas pertengahan kita dan kelas borjuasi dulu sama sekali akhirnya juga padam. Dulu misalnya kita membikin bahan pakaian kita sendiri.

Saudara kalau baca di dalam kitab­kitab yang ditulis oleh komisi minderwelvaarkomisi atau kitab yang ditulis oleh Kroevaart, saudara masih bisa membaca bahwa di dalam abad ke­18, kita ini masih selfsupporting di dalam lapangan tekstil. Ya bukan tekstil mesin, tetapi tekstil tenunan. Sebagaimana saudara lihat di pulau­pulau Indonesia Timur sekarang, masih ada di sana selfsupporting barang tenun sendiri, misalnya di Sumba, di pulau Kisan dan lain­lain. Itu masih selfsupporting, tetapi sebagai tadi saya katakan sebagian daripada laba finanz kapital ini, dijadikan industri di negeri Belanda antara lain industri tenun Twente, oleh industri tenun ini saudara­saudara, matilah sama sekali minddenstand kita yang tadinya bisa membuat tekstil.

Jadi meskipun di satu pihak finanz kapital ini merendahkan standar hidup rakyat, oleh karena memang demikianlah eisen daripada finanz kapital tetapi sebaliknya handels kapital Belanda yang datang di sini membawa tekstil daripada Twente mematikan kelas pertengahan kita dan kelas borjuis. Bisa mematikan oleh karena impor yang dibawa ke sini adalah impor yang amat murah sekali tidak sebagai impor Inggris di India. Impor di

India itu mengenali kwaliteiten, ada kualitet yang hebat­hebat, sebagaimana sampai sekarang saudara mengetahui wol daripada Inggris kualitet tinggi, untuk menjual barang kualitet tinggi ini memerlukan koopwil dan koopkrahct daripada rakyat.

Impor tekstil dari negeri Belanda ke sini bukanlah tekstil kualitet tinggi bukan tekstil untuk kaum wanita yang berupa bembergzijde, bukan kain wol yang hebat­hebat seperti bikinan Leincheser. Tidak! Impor kebanyakannya berupa blaco, kain mori, paling­paling kain hitam, kain merah, cita­cita yang murah. Saya mengalami saudara­saudara, dulu kain cita yang saya pakai enam sen satu elo.

Dulu ukurannya itu elo, 70 cm. Jadi laage kwaliteiten, dan itu tidak memerlukan satu bangsa yang levensstandaard­nya harus dinaikkan. Cukup dengan satu bangsa yang levens­standaard­nya memenuhi eisen daripada finanz kapital imperialisme itu. Se­ hingga saudara­saudara, akhirnya kita ini menjadi satu bangsa kelas kecil. Kita tidak mempunyai orang­orang yang kaya, seperti di India. Di India mempunyai Burla, mempunyai Tata, mempunyai famili Nehru, Mothilal Nehru, bapaknya Jawaharlal Nehru itu bukan main dia milyunernya, – orang bilang, – dia cucikan dia setrikakan baju­ bajunya itu di London. Tidak mau cucian di Alahabat, meskipun dia diam di Alahabat. Pakaian kotor­kotor dikirim ke London, cuci di London, disetrika di London. Orang kaya di Indonesia tidak ada, semuanya kelas kecil.

Pegawai, kelas kecil, tidak ada pegawai tinggi. Paling­paling yang paling tinggi vaitu Bupati atau Adipati. Tetapi yang lain­lain ialah klerk­klerk, paling­paling opseter­opseter. Dalam tentara KNIL, berapa orang yang jadi kapten? Tidak ada. Satu orang atau dua orang Mayor. Yang lain itu paling­paling sersan. Pendek segala hal yang besar ialah Belanda, yang kecil­kecil Indonesia sampai kepada rakyat jelatanya merupakan minimum leidster. Kaum buruh ada yang mendapat 8 sen sehari, tani ya tani kecil, tidak ada tani besar. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus mempunyai grootbezit, tidak, tetapi saya hanya mengatakan bahwa rakyat Indonesia itu hanyalah rakyat kecil.

Berhubung dengan itu saudara­saudara, maka aksi untuk meruntuhkan imperialisme itu haruslah terdiri dari gabungan semuanya yang kecil ini. Di India bisa dipergunakan kekuatan dari kaum borjuis dan middenstand. Di Amerika kekuatan dari borjuis dan middenstand, yang bisa mengadakan satu Angkatan Perang. Saudara tahu bagaimana di Amerika permulaan revolusi itu? Yaitu di waktu beberapa orang pedagang teh melemparkan tehnya di dalam laut oleh karena impor teh harus membayar pajak. Itulah meletusnya revolusi di Amerika, ialah membuang teh di dalam laut, yang dimulai oleh kaum pengusaha. Di India gerakan nasional bertulang punggung kepada kaum borjuasi nasional. Kita tidak. Kita tidak mempunyai borjuasi nasional. Sudah tidak mempunyai.

Dulu di dalam abad ke­16, 17, 18 kita mempunyai borjuasi nasional yang bisa selfsupporting di atas lapangan tekstil misalnya, tetapi di dalam abad ke­20 akhir 19 tidak ada kelas borjuasi nasional ini.

Dus gerakan melawan imperialisme itu adalah gerakan daripada segala golongan yang kecil. Sifatnya sudah lain, saudarasaudara. Di sana borjuasi nasional yang menunggangi rakyat jelata, di Indonesia tidak bisa berjalan yang demikian itu. Di Indonesia gerakan nasionalnya ialah gerakan daripada rakyat jelata tok. di dalam segala macam. Ambtenar­ ambtenar kecil duduk di dalamnya. Dari pihak pengusaha­pengusaha ada duduk di dalamnya, tapi kecil. Semuanya kecil.

Gerakan Sarikat Islam misalnya, Sarikat Dagang Islam yang diadakan mula­mula oleh Kiai Samanhudi, di dalam tahun 1910 begitu setelah Budi Utomo, yah, Sarikat Dagang Islam ya pedagang­pedagang yang kecil bukan pedagang­pedagang seperti Tata, seperti Birla, seperti Nehru. Bapaknya Nehru itu bukan pedagang tetapi advokat besar yang mempunyai andil di dalam beberapa perusahaan. Sarikat Dagang Islarn pun, saudara­ saudara, gerakan daripada pedagang kecil bahkan yang kemudian diubah menjadi Sarikat Islam yang bukan saja pedagang yang masuk di dalamnya tetapi tani kecil, buruh kecil, semuanya yang kecil masuk di dalamnya. Ini yang menjadi kekuatan kita, siap di seluruh Indonesia, golongan kecil, ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya daripada pihak pedagang, ya nelayan, ya kusir, ya tukang bengkel, ya semuanya, kita himpun kekuatannya.

Dus, kita perlukan bagi menangnya gerakan kita satu hikmat persatuan. Kita menghadapi soal ini, saudara­saudara, bagai­mana bisa menumbangkan imperialisme. Yah, kita harus bisa bersatu, mempersatukan tenaganya yang kecil ini, ya tenaganya kaum buruh, ya tenaganya kaum tani, tenaga kaum buruh untuk menghadapi industri­ industri daripada finanz­kapital itu, tenaga­tenaga kaum tani kita butuhkan untuk menentang perkebunan­perkebunan baik di tanah datar maupun di pegunungan, kita butuh­ kan segenap tenaga daripada rakyat Indonesia.

Pada satu waktu saya sampai kepada satu saat yang saya memerlukan satu nama umum bagi sernua yang kecil­kecil ini. Ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya nelayan dan lain­

lainnya ini, semuanya tidak ada yang besar, melainkan kecil­kecil semua­nya, lantas saya beri nama kepada semuanya ini Marhaen. Tidak bisa disebutkan proletar, kataku. Sebab apa yang dinama­kan proletar? Barangkali saudara­saudara sudah mendengar uraian ini, tetapi baiklah sava uraikan sekali lagi.

Apa yang dinamakan proletar? Pak, proletar itu kaum buruh. Tidak jelas! Marilah kita tanya kepada Karl Marx sendiri, dia yang mengadakan perkataan, terkenalnya perkataan proletar, menurut Marx proletar adalah orang yang menjualkan tenaganya kepada orang lain dengan tidak ikut memiliki alat produksi, ini defenisi Marx. Proletar adalah orang yang menjualkan tenaganya kepada orang lain dengan tidak memiliki alat produksi. Sekadar menjual tenaga tok. Tidak ikut memiliki alat produksi.

Apa alat produksi? Kereta api adalah alat produksi. Bahkan gergaji, palu dan lain­lain sebagainya adalah alat­alat produksi. Jikalau engkau menjualkan tenagamu di dalam sesuatu perusahaan tetapi engkau tidak ikut memiliki alat produksi, tidak ikut memiliki pabrik, tidak ikut memiliki mesin, tidak ikut memiliki martil­martil, palu­palu, gergaji­ gergaji di dalam pabrik itu, kamu cuma menjual tenagamu saja, engkau adalah proletar. Dan ini definisi mengenai semua yang menjual tenaga.

Kaum intelektuil pun, insinyur yang menjualkan tenaganya kepada satu perusahaan besar, perusahaan Philips, Unilever apapun, engkau hanya menjual tenagamu sebagai insinyur, dengan tidak ikut memiliki pabrik Unilever, atau pabrik Krupp, engkau adalah proletar, tetapi namanya intelektuil proletar, proletar intelektuil. Padahal, ya rumah, gedung, rumah yang didiami, engkau pergi ke pekerjaan dengan mobil yang mengkilap, engkau adalah insinyur, engkau adalah doktor, engkau adalah ahli kimia, oto yang mengkilap, tidak miskin, tetapi yang engkau jual hanya tenagamu, pikiranmu, tidak ikut memiliki alat produksi, engkau adalah proletar. Dus, si insinyur proletar, si doktor ilmu kimia yang bekerja kepada Bayer misalnya, proletar, cuma ya intelektuil proletar.

Saya memerlukan satu istilah buat ini, si kecil­kecil semuanya itu tadi. Buruh kecil ya proletar, dia masuk di dalam golongan yang saya carikan istilah tani kecil yang perlu juga istilah bagi si tani kecil ini tetapi si tani kecil ini bukan proletar. sebab ia punya alat produksi milik sendiri, si nelayan kecil masuk di dalam golongan yang saya carikan istilah tetapi dia bukan proletar, alat produksi milik dia sendiri. Si tukang gerobak kecil, gaji, ya tidak punya gaji, gerobaknya dia punya sendiri, kudanya yang kurus itu dia punya sendiri. Lha ini namamya apa, saya carikan pada suatu ketika, untuk semua rakyat Indonesia yang kecil­kecil ini.

Ceriteranya ialah pada suatu hari saya berjalan di sebelah selatan kota Bandung, kalau saudara mau tahu desanya, nama desanya Cigereleng. Di Cigereleng saya berjalan jalan di sawah. Pada waktu itu saya memimpin Partai, saya jalan jalan di sana, saya melihat seorang laki­laki sedang menggarap sebidang tanah. Saya tanya: bung, ini tanah siapa?
Gaduh abdi. Pacul ini siapa punya, Gaduh abdi, artinya gaduh abdi itu, saya punya. Gubuk ini siapa punya? Gaduh abdi. Engkau kalau sudah tanam padi ini, hasil padi ini untuk siapa? Buat abdi. Wah engkau kaya? Tidak. Miskin. Maklum cuma begini, dan meskipun tanah punya saya sendiri, pacul saya punya sendiri, hasilnyapun saya punya sendiri, tetapi saya miskin, paling miskin. Coba lihat gubuk itu sudah reyot. Orang ini bukan proletar. Miskin, tetapi proletar, sebab alat produksi milik dia sendiri. Sebaliknya sebagai tadi saya katakan meski­pun mobil mengkilat kalau alat produksi tidak dimilikinya dan dia cuma menjual tenaganya saja, adalah proletar. Orang ini bukan proletar, tetapi miskin, seperti 95% daripada rakyat Indonesia adalah miskin. Saya tanya kepadanya: nama bung siapa? Marhaen, jawab dia.

Timbul ilham, kalau begitu semua rakyat Indonesia yang miskin ini saya namakan Marhaen, ya, yang proletar ya yang bukan proletar, ya yang buruh, ya yang tani, ya yang nelayan, ya tukang gerobak, ya yang pegawai, pendeknya yang kecil­kecil ini semua, Marhaen.
Ini bahan kita untuk digerakkan bersama untuk menumbangkan imperialis, tidak memiliki borjuasi nasional, tidak memiliki tenaga Angkatan Perang seperti sekarang.

Dulu tidak ada Angkatan Perang kita, revolusi Amcrika segera setelah Thomas Jefferson, Thomas Paine, George Washington dan Paul Rellier mengatakan: hayo kita melepas­kan diri dari Inggris, terus dibentuknya Angkatan Perang bahkan George Washington menjadi Panglima Besar daripada Angkatan Perang yang kemudian dipilih menjadi Presiden.

Kita tidak mempunyai Angkatan Perang, kita tidak mempunyai borjuasi nasional, kita harus dan mutlak harus hanya bisa mempergunakan tenaga daripada rakyat jelata sebagai satu verzamelnaam yang saya namakan Marhaen, dus, sejak daripada mulanya atau lebih tegas sejak fase revolusioner, daripada gerakan nasional kita, kita harus bisa memegang panji persatuan.

Sejak daripada fase revolusioner, jangan kira, tadi sudah saya peringatkan bukan, perkataan revolusioner jangan dihubung­hubungkan dengan kekerasan senjata. Sejak dari fase revolusioner, jikalau saya boleh mempergunakan istilah yang saya ucapkan pada pidato 20 Mei, sejak angkatan penegas yang dengan tegas berkata: Indonesia merdeka, itulah satu umgestaltung von grundauf, sejak daripada fase itu kita meng­ hadapi persoalan mempersatukan semua revolutionnaire krachten, semua tenaga­ tenaga revolusioner, yaitu tenaga­tenaga dari segenap Marhaen, Marhaen di dalam arti, sebagai tadi saya katakan ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya tukang gerobak, ya tukang nelayan, ya tukang pedagang, semua rakyat Indonesia yang 95% Marhaen.

Jadi alat kita hanyalah persatuan, jikalau kita tidak berdiri di atas dasar ini, mungkin gerakan kita tidak berhasil. Di Sovyet Uni lain saudara­saudara, di sana ada kelas kapitalis, kelas proletar dan tani, bersama­sama proletar dan tani ini menumbangkan kelas kapitalis. Kita terdiri daripada macam­macam golongan tetapi kecil semuanya, ini harus kita gabung, yaitu menentang imperialisme yang pada hakekatnya ialah finanz­ kapital imperialisme, tetapi saudara­saudara. untuk mempersatukan segenap golongan­ golongan Marhaen ini, yang terdiri dari elemen buruh, elemen tani. elemen pedagang, elemen tukang gerobak, elemen nelayan dan sebagainya itu, kita tentu menghadapi beberapa persoalan. Persoalan kepentingan daripada golongan, persoalan rasa daerah, kepentingan rasa agama, kepentingan lain­lain.

Karena itu sejak mulanya di dalam ide mempersatukan marhaen sudah dimasukkan terutama sekali elemen keaslian Indonesia ialah gotong royong. Gotong royong yang memang salah satu sendi daripada masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu, dan dianjurkan kepada semua golongan ini bahwa kita hanyalah bisa menumbangkan imperialisme itu kalau kita bersatu dan berdiri di atas dasar revolusioner. Diterangkan kepada kaum marhaen terutama sekali kepada kaum marhaen yang menjadi anggota partai saya, sebab kaum marhaen ini di mana­mana, saya bicara secara wetenschappelijk, jangan mengira Bung Karno memakai perkataan marhaen itu karena mengingat PNI dahulu, tidak.

Saya tadi ‘kan berkata, marhaen itu meliputi semua, dus, di dalam partai­partai yang sekarang ini dinamakan PKI ya ada Marhaen, di dalam partai Masyumi ya ada Marhaen, di dalam partai Nahdlatul ‘Ulama ya ada Marhaen, di dalam Gerwani ya ada Marhaen, Marhaen di dalam arti rakyat Indonesia dari segala golongan yang kecil itu tadi, yang tidak bisa diberikan nama kepadanya proletar.

Saya mencari satu istilah baru untuk menggambarkan kekecilan daripada rakyat Indonesia ini, meskipun jumlahnya jutaan tetapi ekonominya kecil, saya carikan satu perkataan, satu istilah yaitu istilah Marhaen. Di dalam arti yang demikian itu, saya pakai perkataan marhaen itu tidak dengan ingatan kepada sesuatu partai. Marhaen daripada semua golongan ini harus dipersatupadukan, karena itu sejak daripada semula Angkatan penegas berkata: harus berdiri di platform revolusioner. Apa yang dinamakan revolusioner, revolusioner di dalam arti umgestaltung von grund auf, perubahan radikal revolusioner di dalam arti cukup dengan kehendak zaman yang cepat revolusioner di dalam arti menentang kepada imperialisme. Semua golongan yang ikut aliran zaman yang cepat semua golongan yang hendak menumbangkan imperialisme, semua golongan itu adalah revolusioner. Ya dari buruh, ya dari tani, ya dari golongan apapun.

Dus istilah revolusioner saudara­saudara, jangan saudara campurkan kepada, misalnya revolusioner harus proletar, atau revolusioner harus orang yang berdiri di atas taraf, di atas platform demokrasi formil, atau revolusioner harus orang sosialis. Sosialis di dalam arti, bukan PSI, tetapi di dalam arti menghendaki masyarakat sama rata sama rasa tanpa kapital­isme. Jangan dihubungkan dengan tiga hal ini. Revolusioner tidak harus hanya orang proletar saja, tidak harus hanya orang sosialis saja, tidak harus hanya orang yang berdiri di atas dasar demokrasi formil. Revolusioner adalah tiap­tiap orang yang menentang imperialisme, revolusioner adalah dus tiap­tiap orang yang mengikuti kehendaknya zaman yang cepat. Misalnya kalau saudara­saudara berkata: tidak, revolusioner harus proletar. Tidak klop, saudara­saudara, sebab ada juga golongan­ golongan proletar yang tidak revolusioner, misalnya gerakan kaun buruh di Inggris yang telah saya ceriterakan, gerakan kaum buruh di Inggris yang terdiri dari proletar­proletar, saudarasaudara.

Sejak daripada pemimpinnya entah yang namanya Mac Donald, sebutlah pemimpin Labourparty Inggris Atlee, sampai kepada anggotanya, taxi driver, atau machineworker atau dockworker, semuanya proletar. Atlee dahulu kaum proletar, Mac Donald adalah kaum buruh pertambangan batubara, proletar. Begitu pula anggota­anggotanya, semuanya proletar tetapi sama sekali tidak revolusioner, sebab misalnya menentang kepada kemerdekaan penuh daripada bangsa­bangsa, menentang kepada gerakan anti kolonialisme 100%, menentang kepada memberi kemerdekaan penuh pada India. Atlee memberi kemerdekaan kepada India, kalau boleh dipakai perkataan memberi, sebab kemerdekaan India adalah hasil keringat rakyat India sendiri, di dalam bentuk dominion status, belakangan kataku tadi wet 1947 dominion status, tahun 1950 oleh perjuangan rakyat India sendiri, dirubah menjadi Republik masih di dalam gabungan common­ wealth. Dus proletar Inggris saudara­saudara, tidak revolusioner, dus tidak klop bahwa perkataan revolusioner harus proletar.

Demikian pula saudara­saudara akan berkata: revo­lusioner itu harus sosialis, di dalam arti tadi masyarakat sama rasa sama rata tanpa kapitalisme. Tidak klop lagi. Misalnya gerakan dari rakyat Mesir, revolusioner yang sekarang memun­cak kepada gerakan di bawah pimpinan Gamal Abdul Nasser, revolusioner tetapi mereka tidak terdiri dari kaum sosialis.

Bahkan aku pernah membaca satu uraian yang menamakan gerakan Amanullah Khan dari Afganistan itu revolusioner, Amanullah Khan adalah seorang raja Afganistan yang di dalam tahun 1926 mencoba menumbangkan imperialisme Inggris. Tetapi gagal. Amanullah Khan sama sekali bukan proletar, sama sekali bukan sosialis, bahkan namanya Khan, kalau bahasa Indonesia Khan itu barangkali Raden Mas Panji Ario. Amanullah Khan di dalam tulisan ini yang ditulis oleh seorang pemimpin besar revolusi. Dus tidak klop kalau kita berkata: revolusioner harus sosialis. Demikian pula tidak klop kalau dikatakan revolusioner harus orang yang berdiri di atas platform demokrasi formil. Apa demokrasi formil itu? Demokrasi yang menghendaki parlemen, pungut suara, stem­ steman itulah yang dinamakan formele democratie.

Dengan cara Parlemen yang begini, jangan berkata bahwa orang revolusioner hanyalah orang yang berdiri di atas platform parlemen­parlemenan, pungutan suara, demokrasi formil, tidak. Seperti Amanullah Khan itu tadi, yang bukan seorang demokrat formil, dia bahkan orang Khan, orang raja yeng memerintah tidak dengan parlemen tetapi toh oleh seorang penulis revolusioner ini dinamakan revolusioner. Nah ini saudara, masukkan di dalam gerakan rakyat, bahwa semua harus revolusioner, artinya semuanya harus menentang imperialisme, sebab siapa menentang imperialisme, buruhkah, tanikah, pegawaikah, orang dari golongan agamakah, sosialis­kah, proletarkah, demokrasi for­ milkah, bukan proletarkah, bukan sosialiskah, bukan demokrasi formilkah, siapa yang menentang imperialisme ada­lah revolusioner. Ini adalah satu slogan mempersatu daripada segenap kaum kecil Indonesia yang tadi kuterangkan.

Dus, gerakan rakyat Indonesia ialah yang akhirnya bisa berhasil menggerakkan 17 Agustus 1945, sebagai yang sudah saya gambarkan pada pidato 20 Mei, demikian pula sejak 17 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan tahun 1950 ternyata satu gerakan persatuan.

Berlainan sekali dengan gerakan India yang pada hakekat­nya ialah gerakan kaum pertengahan dan borjuis menunggangi kaum proletar, berlainan sekali dengan gerakan revolusi Perancis, berlainan dengan gerakan revolusi Amerika. Kita adalah satu gerakan dari seluruh rakyat dengan dasar persatuan dan revolusioner. Nah, saudara­saudara mengerti sekarang background daripada pahampaham ini, dengan background inilah saudara­saudara dicarikan kemudian formulering sebagai weltanschauung agar supaya kita dapat meletakkan negara yang akan kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu di atasnya, yaitu Pancasila, Pancasila kecuali satu weltanschauung adalah alat pemersatu, dan siapa tidak mengerti perlunya persatuan, siapa tidak mengerti bahwa kita hanyalah dapat merdeka dan berdiri tegak merdeka, jikalau kita bersatu, siapa yang tidak mengerti itu, tidak akan mengerti Pancasila.

Kejadian - kejadian yang akhir-­akhir ini, saudara-­saudara, membuktikan sejeias-­jelasnya bahwa jikalau tidak di atas dasar Pancasila kita terpecah belah, membuktikan dengan jelas bahwa hanya Pancasilalah yang dapat tetap mengutuhkan Negara kita, tetap dapat menyelamatkan Negara kita. Oleh karena itu saya harap saudara­saudara nanti kalau saya sudah menguraikan Pancasila ini selalu ingat kepada background yang pada malam ini saya berikan kepada saudara­saudara, bahwa kita membutuhkan persatuan dan bahwa Pancasila adalah kecuali satu weltanschauung adalah satu alat pemersatu daripada rakyat Indonesia yang aneka warna ini. Sekarang saudara­saudara telah pukul 10 lebih 3 menit, saya kira sudah cukuplah sebagai inleiding. Insya Allah dua pekan lagi akan saya mulai mengupas Pancasila, sila per sila.

Sekian. Jakarta, 31 Mei 2012


⏩Download Pidato Bung Karno - Pancasila Sebagai Dasar Negara (1) versi Pdf. ⏪