Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Pidato Sukarno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Pidato Sukarno. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Mei 2017

Pidato Heroik Bung Karno - Apa Sebab Revolusi Kita Berdasar Pancasila

Apa Sebab Revolusi Kita Berdasar Pancasila 

(Amanat Presiden Sukarno pada 24 September 1955 di Surabaya)

Saudara-­saudaraku sekalian,
Saya adalah orang Islam, dan saya adalah keluarga Negara Republik Indonesia.
Sebagai orang Islam saya menyampaikan salam Islam kepada saudara­-saudara sekalian
“assalamu’alaikum wr. wb!”

Sebagai warga negara Republik Indonesia saya menyampaikan kepada saudara­saudara sekalian, baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu – Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara­saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional “merdeka!”

Tahukah saudara­saudara arti perkataan “salam” sebagai bagian daripada perkataan assalamu’alaikum wr. wb? Salam arti­nya damai, sejahtera. Jikalau kita menyebutkan assalamu” alaikum wr. wb, berarti damai dan sejahteralah sampai kepadamu. Dan moga­ moga rakhmat dan berkat Allah jatuh kepadamu. Salam berarti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu saya minta kepada kita sekalian untuk merenungkan benar­benar akan arti perkataan “assalamu’ alaikum”.

Salam – damai – sejahtera! Marilah kita bangsa Indonesia terutama sekalian yang ber­agama Islam hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu­ lalu sampai membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan­ gerombolan yang menyebutkan assalamu’­alaikum, akan tetapi membakar rumah­ rumah rakyat.

Salam – damai! Damai – sejahtera! Rukun – bersatu! Terutama sekali di dalam revolusi nasional kita yang belum selesai ini.

Dan sebagai warga negara merdeka saya tadi memekikkan pekik “merdeka” bersama­ sama dengan kamu. Kamu yang beragama Islam, kamu yang beragama Kristen, – kamu yang beragama Syiwa Budha, Hindu – Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “Sekali merdeka, tetap merdeka!”

Pekik merdeka, saudara­saudara adalah “pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialisme, – dengan tiada ikatan penjajahan sedikitpun. Maka oleh karena itu saudara­saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional yang belum selesai, jangan 1 upa kepada pekik merdeka! Tiap­tiap kali kita berj umpa satu sama lain, pekikkanlah pekik “merdeka!”

Tatkala aku mengadakan perjalanan ke Tanah Suci beberapa pekan yang lalu, aku telah diminta oleh khalayak Indonesia di kota Singapura untuk mengadakan amanat terhadap kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh­puluh ribu orang Indonesia berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republik­nya lewat di Singapura. Mereka mcnyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap­gernpita, dan minta kepada Presiden Republik Indonesia Umtuk memberikan amanat kepadanya. Di dalam amanat itu beberapa kali dipekikkan pekik kepadamu salam “assalamu’alaikum!” Sebagai warga negara Republik Indonesia aku menyampaikan kepadamu “merdeka!”

Saudara­saudara aku pulang dari Bali, – beristirahat beberapa hari di sana. Diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanat, terutama sekali yang mengenai hal “apa sebab Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Pancasila?” Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.

Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara­ saudaraku dan anakanakku sekalian, maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya saudara­saudara diberi izin lebih dekat. Sebab saudara­saudara tahu isi hati Bapak ini, isi hati Presiden, isi hati Bung Karno, – kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.

Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara­saudara, Insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekadar sebagai Soekarno. Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno. – Aku berpidato di sini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta untuk memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atas Pancasila?

Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah kuanjurkan dengan resmi pula di dalam pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dan pcrmintaan itu, Insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik lndonesiau justru oleh karena pada saat sekarang ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia, maka dengan gembira dan senang hati saya memenuhi permintaan wltuk memberi penjelasan “merdeka”.

Apa lacur? Sesudah Bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok, ke Rangoon, ke New Delhi, Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke Negara Saudi Arabia. – sesudah Bapak meninggalkan kota Singapura, geger pers imperialisme Singapura, saudarasaudara. Mereka berkata: “Presiden Sukarno kurang ajar”. Presiden Sukarno menjalankan ill­ behaviour katanya. I11­behaviour itu artinya tidak tahu kesopanan. Apa sebab pers imperialisme mengatakan Bapak menjalankan ill­behaviour, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri merdeka? Toh tahu, bahwa di sini masih di dalam kekuasaan asing, kok memekikkan pekik “merdeka”?

Tatkala Bapak kembali dari Tanah Suci, singgah lagi di Singapura, – Bapak dikeroyok oleh korenponden­koresponden dan wartawan­wartawan. Mereka menanyakan kepada Bapak: “Tahukah Presiden, bahwa tatkala Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, Presiden dituduh “kurang ajar, kurang sopan, ill­behaviour, oleh karena Presiden memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini memekikkan pekik merdeka? “Apa jawab Paduka Yang Mulia atas tuduhan itu?”



Bapak menjawab: “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara Republik Indonesia, berjumpa dengan warga negara Republik Indonesia, – pendek kata jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu me­ mekikkan pekik “merdeka”! Jangankan di sorga, di dalarn nerakapun!”

Nah saudara­saudara dan anak­anakku sekalian. jangan lupa akan pekik merdeka itu. Gcgap­gempitakan tiap­tiap kali pekik merdeka itu. Apalagi sebagai Bapak katakan tadi dalam fase revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama Islam aku menyampaikan kepadamu salam “assalamu’alaikum!” Sebagai warga negara Republik Indonesia aku menyampaikan kepadamu “merdeka!”

Saudara­saudara aku pulang dari Bali, – beristirahat beberapa hari di sana. Diminta oleh Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanat, terutama sekali yang mengenai hal “apa sebab Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada Pancasila?” Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.

Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa sebab? Terlalu jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara­ saudaraku dan anakanakku sekalian, maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya saudara­saudara diberi izin lebih dekat. Sebab saudara­saudara tahu isi hati Bapak ini, isi hati Presiden, isi hati Bung Karno, – kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.

Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara­saudara, Insya Allah saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekadar sebagai Soekarno. Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno. – Aku berpidato di sini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta untuk memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atas Pancasila?

Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah kuanjurkan dengan resmi pula di dalam pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus vang lalu. Dan permintaan itu. Insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik Indonesia, justru oleh karena pada saat sekarang ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia, maka dengan gembira dan senang hati saya memenuhi permintaan untuk memberi penjelasan tentang Pancasila.

Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik Indonesia disumpah atas Undang­Undang Dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya memenuhi perminta­an Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar Undang­Undang Dasar kita. Disumpah harus setia kepada Undang­Undang Dasar kita. Di dalam Undang­Undang Dasar kita, dicantumkan satu Mukaddimah, kata pendahuluan. Dan di dalam kata pendahuluan itu dengan tegas disebutkan Pancasila. “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Indonesia yang bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”. Malahan bukan satu kali ini Pancasila itu disebutkan di dalam Undang­Undang Dasar kita. Sejak kita di dalam tahun 1945 telah berkemas­kemas untuk menjadi satu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat kali naskah.

Sebelum mengadakan Proklamasi 17 Agustus, sudah ada satu naskah. Kemudian pada 17
Agustus satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk satu naskah lagi. Kemudian sesudah itu tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan satu naskah lagi. Empat kali naskah saudara­saudara. Dan di dalam keempat naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila.

Pertama tatkala kita di dalam zaman Jepang, kita telah berkemas­kemas di dalam tahun 1945 itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang dinarnakan “Charter Jakarta”. Di dalam Jakarta Charter itu telah disebutkan dengan tegas lima azas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk negara vang akan datang. “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada 17 Agustus 1945, dengan tegas pula keesokan harinya saudara­saudara kukatakan Undang­Undang Dasar yang kita pakai ini, yaitu Undang­Undang Dasar yang kita rencanakan pada waktu caman.lepang di bawah ancaman bayonet Jepang, kita rencanakan satu Undang­Undang Dasar daripada Negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan di dalam Undang­Undang Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.

Tatkala berhubung dengan jalannya politik, Negara republik Indonesia Serikat dibentuk (RIS), pada waktu itu dibuatlah Undang­Undang Dasar RIS. Dan di dalam Mukaddimah Undang­Undang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.

Kita tidak senang akan federal­federalan. Segenap rakyat memprotes akan adanya susunan federal ini. Delapan bulan susunan federal ini. Delapan bulan susunan RIS berdiri – hancur lebur RIS, berdirilah Negara Republik Indonesia Indonesia Kesatuan. Dan Undang­tlndang Dasar yang dipakai RIS ini diubah lagi menjadi Undang­Undang Dasar Sementara daripada Negara Republik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi Mukaddimah yang mengandung Pancasila.

Jadi dengan tegas saudara­saudara, – jelas! Empat kali di dalam sepuluh tahun ini kita melewati empat naskah. Tiap­tiap naskah menyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Allah s.w.t. dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara lain ialah setia kepada Undang­Undang Dasar. Maka oleh karena itulah saudara­saudara, rasa sebagai kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu grolongan akan keterangan tentang Pancasila. – mcmcnuhi pcrmintaan itu. Dan pada ini malam dengan mengucap suka­syukur ke hadirat Allah s.w.t. aku berdiri di hadapan saudara­saudara. Berhadap­hadapan muka dengan kaurn buruh, dengan pegawai. rakyat jelata, dengan pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak Tentara, dengan pihak Mobrig, pihak Polisi, Pihak Perintis, dengan Pemuda, dengan Pemudi, – berdiri di hadapan saudara­ saudara dan anakanak sekalian, yang telah datang membanjiri lapangan yang besar ini Iaksana air hujan, – aku mengucap banyak terima kasih kepadamu. Dan Insya Allah saudara­saudara aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab Negara Republik didasarkan atas dasar Pancasila.

Saudara­saudara,

Ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara!
Yah jikalau diambil di dalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja Pancasila adalah sementara, bahkan misalnya ketentuan di dalam Undang­Undang Dasar kita, bahwa Sang Merah Putih, bendera kita, – itupun sementara! Segala Undang­ Undang Dasar kita sekarang ini adalah sementara.

Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang­Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini, malahan disebutkan Undang­Undang Dasar Sementara daripada Negara Republik Indonesia? Apa sebab sementara? Yah oleh karena akhirnya nanti yang akan menentukan segala sesuatu ialah konstituante. Maka itu Saudarasaudara kita akan mengadakan pernilihan umurn 2 kali. Pertama pada tanggal 29 September nanti, Insya Allah s.w.t. untuk memilih DPR.

Kemudian pada tanggal 15 Desember untuk memilih Konstituantcadalah Badan Pembentuk Undang­Undang Dasar. t JndanuUndang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk konstitusi. Konstitusi berarti Undang­Undang Dasar. Undang­Undang Dasar tetap bagi Negara Republik Indonesia, vang sampai sekarang ini segala­galanya masih sementara. Tetapi saudara­saudara, jikalau ditanya kepadaku “apa yang berisi kalbu Bapak ini akan permohonan kepada Allah s.w.t.?”

Terus terang aku berkata, jikalau saudara­saudara membelah dada Bung Karno ini, permohonanku kepada Allah s.w.t. ialah saudara­saudara bisa membaca di dalam dada Bung Karno memohon kepada Allah s.w.t. supaya Negara Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila.

Yah benar, bahwa segala sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang Merah Putih adalah sementara, adalah bendera Republik Indonesia­pun sementara. Dan jikalau nanti konstituante bersidang, Insya Allah s.w.t. saudara­saudaraku, siang dan malam Bapak akan memohon kepada Allah s.w.t. agar supaya konstituante tetap menetapkan Bendera Sang Merah Putih sebagai bendera Negara republik Indonesia.
Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ini. Jangan ada satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia.

Tahukah saudara­saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia? Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apa lagi bukan buatan Bung Karno, bukan buatan Bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini. Bukan seribu tahun. bukan dua ribu tahun. bukaii tiga ribu tahun, bukan empat ribu tahun, bukan lima ribu tahun! – Enam ribu tahun kita telah mengenal warna Merah Putih!

Tatkala di sini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islanl, belum ada agama Hindu, bangsa Indonesia telah mengagungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenai Tuhan dalam cara mcngcnal sebagai sckarang ini. Pada waktu itu vang kita sembah adalah Matahari dan Bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu Matahari.

Siang Matahari – malam Bulan. Matahari merah – Bulan putih. Pada waktu itu kita telah mengagungkan warna Merah Putih. Kemudian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam menyelami akan hidup di dalam alam ini.

Kita memperhatikan segala sesuatu di dalam alam ini dan kita melihat – O, alam ini ada yang hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk­ makhluk yang bergerak. Ada tumbuh­tumbuhan yang tidak bisa bergerak. “Manusia dan binatang itu darahnya merah. Tumbuh­tumbuhan darahnya putih”. Getih – Getah.

Coba dengarkan hampir sama dua perkataan ini: Getih – Getah.
Cuma i diganti dengan a Dulu kita mengagungkan Matahari dan Bulan yang di dalarn alam Hindu dinamakan Surya Candra. Kemudian kita mengagungkan Getih­Getah. Merah­Putih. Saudara­saudara, itu adalah fase kedua.

Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia.

Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah daripada perhubungan laki dan perempuan, perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih.

Dan itulah sebabnya maka kita turun­temurun mengagung­kan Merah Putih. Apa yang dinamakan “gula­kelapa”, meng­agungkan bubur bang putih. Itulah sebabnya maka kita kemudian tatkala kita, mempunyai Negara­Negara setelah mempunyai kerajaan­kera­ jaan, memakai warna Merah Putih itu sebagai bendera Negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan Singosari, Merah Putih telah berkibar terus dirampas oleh imperialisme asing. Tetapi di dalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada Merah Putih.

Dan tatkala kita mengadakan pergerakan nasional sejak tahun 1908, dengan lahirnya Budi Utomo dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (National lndische Party), oleh ISDP, oleh PKI. oleh Sarikat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain­lain, maka rakyat Indonesia tetap mencintai Merah Putih sebagai warna benderanya.

Dan tatkala kita pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu dengan resmi kita menyatakan Sang Merah Putih adalah bendera kemerdekaan kita.

Itu semua jika dikatakan sementara, yaaah sementara! Sebab konstituante belum bersidang. Konstituante mau merubah warna ini??? Lho, kalau menurut haknya, boleh saja. Sebab konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. Penyusun, pembentuk Konstitusi. Jadi kalau konstituante misalnya hendak menentukan warna Bendera Republik Indonesia bukan Merah – Putih – yaah mau dikatakan apa?

Tetapi Bapak berkata, Bapak memohon kepada Allah s.w.t. agar supaya warna merah­putih tetap menjadi warna Bendera Negara Republik Indonesia.

Kembali kepada Pancasila. Jika dikatakan sementara, yaaaaaa sementara!

Lagi­lagi Bapak ini berkata Allah s.w.t., Allah s.w.t. – Dan Bapakpun bersyukur ke hadirat Allah s.w.t., bahwa cita­cita Bapak yang sudah bertahun­tahun untuk naik Haji dikabulkan oleh Allah s.w.t. Lagi­lagi Allah s.w.t.

Saudara­saudara, jikalau aku meninggal dunia nanti – ini hanya Tuhan yang mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang – jikalau ditanya oleh Malaikat: “Hai Soekarno, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan apa yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang engkau paling ucapkan syukur kepada Allah s.w.t.?”

Moga­moga saudara­saudara aku bisa menjawab. ­ya bisa menjawab demikian atau tidaknya itupun tergantung dari pada Allah s.w.t.: “Tatkala aku hidup di dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara republik Indonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia”.

Sebagai sering kukatakan saudara­saudara, negara adalah wadah. Jikalau diberi karunia oleh Allah s.w.t. mengerjakan pekerjaan satu ini saja, Allahu’akbar – aku akan berterima kasih setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya, wadahnya saja yang bernama Negara ini. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Wadah yang dinamakan negara ini adalah wadah untuk masyarakat.

Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada mem­bentuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah bisa dijalankan di dalam satu hari sebenarnya, – wadah yang bernama Negara itu.

Tidakkah saudara­saudara dari sejarah dunia kadang­kadang mendengar, bahwa oleh suatu konferensi kecil sekonyong­konyong diputuskan dibentuk Negara ini, dibentuk Negara itu. Misalnya dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah Negara Cekoslovakia sekadar dengan coretan pena dari suatu konferensi kecil. Membentuk negara gampang! Dulu di sini juga pernah dibentuk Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, hanya dengan decreet Van Mook saudara­saudara! Tetapi coba membentuk masyarakat, susah!

Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun­tahun, berpuluh­puluh tahun, kadang­kadang berwinduwindu, berabad­abad. Masyarakat apapun tidak gampang dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus­menerus. Baik masyarakat Islam, maupun masyarakat Kristen, maupun masyarakat Sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekret saudara­saudara, dengan satu tulisan. dengan satu unjau napas manusia. Memhentuk masyarakat makan waktu! Yah aku bermohon kepada Tuhan, dibolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat pula.

Masyarakat di dalam wadah itu. Tetapi aku telah syukur seribu syukur kepada Tuhan, jikalau aku nanti bisa menjawab kepada Malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini ialah antara lain­lain telah ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama Negara dan wadah ini buat satu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih daripada satu juta manusia saudara­saudara, wadah itu bukan kok cuma buat satu juta manusia ini saja. Tidak! Wadah yang bernama Negara, Negara yang bernama Republik Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari Sabang sampai ke Merauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka agama, beraneka adat­istiadat, beraneka suku. Bertahun tahun aku ikut memikirkan ini. Nanti jikalau Allah s.w.t. memberikan kemerdekaan kepada kita, – dulu berpikiran yang demikianlah Bapak, ­jikalau Negara Republik Indonesia telah bisa berdiri, negara ini agar supaya selamat, agar bisa menjadi wadah bagi segenap rakyat Indonesia yang 80 juta, Negara harus didasarkan apa?

Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif di dalam pergerakan, aku lebih­lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala di dalam zaman Jepang, tetapi oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiri, – tatkala fajar telah menyingsing, lebih­lebih lagi kupikirkan hal ini. Wadah ini hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat­kuatnya. Wadah untuk segenap rakyat Indonesia, dari Sabang sampai ke Merauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat­istiadat.

Sekarang aku menjadi Presiden Republik Indonesia adalah karunia Tuhan. Aku tidak menyesal, bahwa aku dulu bertahun­tahun memikirkan hal ini. Dan aku tidak menyesal. bahwa aku telah memformulir Pancasila. Apa sebab? Barangkali lebih daripada siapapun di Indonesia ini, aku mengetahui akan keanekaaan bangsa Indonesia ini. Sebagai Presiden Republik Indonesia aku berkesempatan sering­sering untuk melawat ke daerah­daerah. Sering­sering aku naik kapal udara. Malahan jikalau di dalam kapal udara aku sering­sering, katakanlah main gila dengan pilot. Pilot terbang tinggi, aku tanya kepadanya:
“Saudara pilot, berapa tinggi?” “12.000 kaki Paduka Yang Mulia”. “Kurang tinggi, naikkan lagi”.
” 13.000 kaki”.
“Hahaa kurang tinggi Bung!”. “14.000 kaki”. “Kurang tinggi!”.
” 15.000 kaki”. “Kurang tinggi!”. “16.000 kaki!”. “Kurang tinggi!”. “17.000 kaki!” “Kurang tinggi!”.
“Sudah tidak bisa lagi. Paduka Yang Mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon”.
Plafon itu ialah tempat yang setinggi­tingginya bagi kapal udara itu. Aku terbang dari Barat ke Timur, dari Timur ke Barat. Dari Utara ke Selatan, dari Selatan ke Utara. Aku melihat tanah air kita. Allahu’akbar, cantiknya bukan main! Dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang diucapkan oleh Multatuli di dalam kitab “Max Havelaar”, bahwa Indonesia ini adalah demikian cantiknya, sehingga ia sebutkan “Insulinde de zich daar slingert om den evenaar als een gordel van smaragd”. Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada zamrud berlilit­lilit sekeliling khatulistiwa! Indahnva demikian. Ya memang saudara­saudara. jikalau engkau terbang 17.000 kaki di angkasa dan melihat ke bawah. kelihatan betul­betul Indonesia ini adalah sebagai ikat pinggang yang terbuat daripada zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa. Berpuluh­puluh, beratus­ratus, beribu ribu pulau saudara melihat. Dan tiap­tiap pulau itu berwarnawarna.

Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini saudara­saudara. Lebih daripada 3000 pulau. Bahkan kalau dihitung dengan yang kecil­ kecil, – 10.000 pulau­pulau.

Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan Presiden, rakyat beragama Islam. Terbang lagi kapal udaraku, turun di Siborong­borong daerah Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap­gempita kedatangan Presiden Republik Indonesia, – agamanya Kristen.

Terbang lagi saudara­saudara dekat Sibolga, – agama Kristen. Terbang lagi ke Selatan ke Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan, – agama Islam. Demikianlah pula di Jawa. Kebanyakan beragama Islam, di sana Kristen, sini Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Banjarmasin, – kebanyakan Islam. Tetapi di Banjarmasin itu aku berjumpa utusan­utusan dari suku Dayak saudara saudara. Malahan di Samarinda aku berjumpa dengan utusan utusan, bahkan rakyat Dayak yang 9 hari 9 malam turun dari gunung­gunung untuk menjumpai Presiden Republik Indonesia. Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama agamanya sendiri.

Aku ber­ibu orang Bali. Ida Ayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahaii aku jikalau beristirahat di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebutkan aku, kecuali Bung Karno, Pak Karno – menyebutkan Ida Bagus Made Karno. Aku melihat masyarakat Bali yang dua juta manusia itu beragama Hindu – Bali. Di Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar ada masyarakat Islam sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa – Islam. Terbang kapal udaraku ke Sumbawa – Kristen Protcstan. Tcrhang kapal udaraku ke Florcs ­pulau di mana aku dulu diinternir. – rakyat Flores kenal akaii Bung Karno, Bung Karno kenal akaii rakyat Flores – sebagian besar rakyat Flores itu beragama Rooms Katholik (Kristen). Terbang lagi kapal udaraku ke Timor – sebagian besar rakyatnya Protestan Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Ambon – Kristen.

Sekitar Ambon itu adalah masyarakat kristen. Terbang lagi ke Utara ke Ternate – Islam di Ternate. Dari Ternate trbang ke Manado, Minahasa sekelingnya, – Kristen, ke Selatan Makasar – Islam. Di Tengah Sulawesi, Toraja – sebagian besar Kristen, sebagian belum beragama.

Benar apa tidak perkataanku, saudara­saudara, bahwa bangsa Indonesia adalah beraneka agama? Demikian pula aku berkata, bahwa bangsa Indonesia ini beraneka adat­istiadat, beraneka suku pula. Beraneka suku, beraneka agarna, beraneka adat­istiadat. Ini yang menjadi pikiran Bapak berpuluh­puluh tahun.

Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, aku ingin bernama­sama dengan pejuang­pejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang bernama Negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat­istiadat!

Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka­aneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk pula di dalamnya, yang diterima oleh saudara­saudara yang beragama Islam, yang beragama Kristen Katolik, yang beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu­Bali, dan oleh saudarasaudara yang beragama lain, – yang bisa diterima oleh saudarasaudara yang adat­istiadatnya begitu, dan yang bisa diterima sekalian saudara.

Aku tidak mencipta Pancasila saudara­saudara. Sebab sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan tahan lama. Ini adalah satu ajaran yang dari mula­nulanya kupegang teguh. Jikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu negara, dasar untuk sesuatu wadah – jangan bikin sendiri, jangan anggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam­ dalamnya lautan daripada sejarah! Gali sedalam­dalamnya bumi daripada sejarah!

Aku melihat masyarakat Indonesia, sejarah rakyat Indonesia. Dan aku menggali lima mutiara yang terbenam di dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cernerlang tetapi oleh karena penjajahan asing yang 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam bumi bangsa Indonesia ini.
Aku oleh sekolah Tinggi Universitas Gajah Mada di­anugerahi titel Doktor Honoris (titel Doktor kehormatan) dalam ilmu ketatanegaraan. Tatkala promotor Prof. Mr. Notonegoro mengucapkan pidatonya pada upacara pemberian titel Doktor Honoris Causa, pada waktu itu beliau berkata: “Saudara Soekarno, kami menghadiahkan kepada saudara titel kehormatan Doktor Honoris Causa dalam ilmu ketatanegaraan, oleh karena saudara pencipta Pancasila”.

Di dalam jawaban itu aku berkata: “Dengan terharu aku menerima titel Doktor Honoris Causa yang dihadiahkan kepadaku oleh Universitas Gajah Mada, tetapi aku tolak dengan tegas ucapan Profesor Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila”.

Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada burninya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalarn bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya, ­aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali.

Tidak benar saudara­saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia – sebenarnya telah mengenal akan – Pancasila? Tidakkah benar kita dari dahulu mula, telah mengenal Tuhan. – hidup di dalam alarn Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu pernah mengUu­aikan hal ini panjang lebar. Bukan anggitan baru. bukan ­karangan baru. Tetapi sudah sejak dari dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang cinta kepada Ketuhanan. Yah kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agarna­agarna. Disempurnakan oleh Agama Islam, – disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula kita memang adalah satu bangsa yang berketuhanan. Demikian pula, tidakkah benar bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan Bangsa? IJidup di dalam alam kebangsaan? Dan bukan saja kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai engkau pemuda­pemuda, pernah engkau mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan Mataram yang membuat candi­candi Prambanan, candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke­2 di waktu itu di bawah pimpinan Sultan Agung Hanjokrokusurno? Tahukah saudara­saudara akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu, maka aku akan berkata kepadamu “Mataram berarti Ibu”. Masih ada perkmaan perkataan Mataram itu misalnya perkataan Mutter di dalam bahasa Jerman – Ibu. Mother dalam bahasa Inggeris – Ibu. Moeder dalam bahasa Belanda – Ibu. Mater dalam bahasa Latin – Ibu. Mataram berarti Ibu.

Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman dulu mula, sehingga negeri kita, negara kita, kita putuskan Mataram.

Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah kita mempunyai kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak mempunyai rasa kebangsa­an yang berkobar­kobar di dalam dada kita?
Yaah kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang Maha Patih Ihino Gajah Mada. Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali “tidak akan makan kclapa. jikalau bclum segenap kepulauan Indonesia tergabung di dalam satu negara yang besar”. Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah pemimpin inikah yang sebenarnya pencipta daripada kesatuan kerajaan Majapahit? Tidak!

Pernimpin besar sekadar adalah sambungan lidah daripada rasanya rakyat jelata. Tidak ada satu orang pemimpin besar, walaupun besarnya bagaimanapun juga, – bisa lnembentuk satu negara yang sebesar Majapahit ialah satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke, – Bahkan sampai ke daerah Philipina sekarang.

Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil – pernimpin gurem atau pemimpin yang bagaimanapun, – Tetapi jikalau ada orang yang berkata: “Bung Karno yang mengadakan negara Republik Indonesia”. Tidak benar! ! ! Janganpun satu Soekarno sepuluh Soekarno, seratus Soekarno, seribu Soekarno – tidak akan bisa membentuk negara Republik Indonesia, jikalau segenap rakyat jelata Republik Indonesia tidak ber­ juang mati­matian!”

Kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan segenap rakyat. Maka itu pula menjadi pikiran Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat­istiadat, – tetapi milik kita semua dari Sabang sampai ke Merauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalan­kan oleh semua bangsa Indonesia.

Aku melihat di dalam daerah­daerah yang kukunjungi, di manapwn aku datang, aku melihat Taman­taman Pahlawan. Bukan saja di bagian­bagian yang beragama Islam, tetapi juga di bagianbagian yang beragama Kristen. Aku melihat Taman­taman Pahlawan di mana­mana. Di sini di Surabaya, pada tanggal 10 November tahun 1945 ­siapa yang berjuang di sini?
Scgcnap pcmuda­pcmudi. kiai. kawli buruh. kaum tani, segenap rakyat Surabaya berjuang dengan tiada perbedaan agama, adat­istiadat. oulongan atau suku.

Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu.. demikian pula rasa perikemanusiaan. Kita bangsa Indonesia adalah satu­satunya bangsa di dalam sejarah dunia ini satu­satunya bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa lain adalah bangsa Indonesia. Aku tentang orang­orang ahli sejarah yang bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah kepada bangsa lain.

Apa sebab? Oleh karena bangsa Indonesia berdiri di atas dasar perikemanusiaan sejak dari zaman dahulu. Dari zaman Hindu, kita sudah mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan lagi rasa perikemanusiaan itu dengan agama­agama yang kemudian.
Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan: “Tattvamasi”. Apa artinya Tattvamasi? Tat tvam asi berarti “Aku adalah dia, dia adalah aku”. Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tattvamasi – perikemanusiaan.

Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada perikemanusiaan pula. Malah lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan ajaran­ajaran fardhu kifayah, kewajiban­kewajiban yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di kampungmu, dan kalau orang mati itu tidak terkubur, – siapa yang dianggap berdosa, siapa yang dikatakan berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan daripada dosa itu? Bukan sekadar kerabat famili daripada sang mati itu. Tidak! Segenap masyarakat di situ ikut tanggung jawab.

Demikian pula bagi agama Kristen. Tidakkah di dalam agama Kristen itu kita diajarkan cinta kepada Tuhan, lebih daripada segala sesuatu dan cinta kepada sesama manusia, sama dengan cinta kepada diri kita sendiri? “Hebs U naasten lief gelijk U zelve. God boven alles”. Jadi rasa kemanusiaan, bukan barang baru bagi kita.

Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan Nasional Indonesia laksana api mencetus dan meledak­kan segenap rasa kebangsaan Indonesia? Oleh karena pergerak­an nasional Indonesia itu berdiri di atas dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dari dahulu mula kita gandrung kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh karena engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat.

Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di dalam alam kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang baru bagi kita. Demikian pula cita­cita keadilan sosial. – bukan cita­cita baru bagi kita. Jangan kira, bahwa cita­cita keadilan sosial itu buatan Bung Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis. Tidak!

Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada keadilan sosial. Kalau zaman dahulu, kalau ada pemberontakan, – saudara­saudara berhadapan dengan pemerintah Belanda, – semboyannya selalu “Ratu Adil” Ratu adil para marta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah yang menjadi gandrungnya jiwa bangsa Indonesia. Bukan saja di dalam alam pergerakan sekarang atau di dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu mula. Maka oleh karena itulah aku berkata, baik Ketuhanan Yang Maha Esa maupun Kebangsaan, maupun Perikemanusia­an, maupun Kedaulatan Rakyat, maupun Keadilan Sosial, bukan aku yang menciptakan. Aku sekadar menggali sila­sila itu. Dan sila­sila ini aku persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia untuk dipakai sebagai dasar daripada wadah yang berisi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat­istiadat. Inilah saudarasaudara, maka di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyousakai di dalarn zaman Jepang, pertengah­an tahun 1945 telah diadakan satu sidang daripada pemimpin­pemimpin Indonesia, dan di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai itu dibicarakan hal­hal ini.

Pertama apakah negara yang akan datang itu harus berdasar satu falsafah ataukah tidak? Semua berkata “harus berdasarkan satu falsafah”. Harus memakai dasar. Sebab kita melihat di dalam sejarah Dunia ini banyak sekali negara­negara yang tidak berdasar,lantas berbuat jahat, oleh karena tidak mempunyai ancer­ancer hidup bagi rakyatnya.

Kita melihat negara­negara yang besar. Tetapi oleh karena tidak mempunyai ancer­ ancer hidup, tidak mempunyai dasar hidup dengan sedih kita melihat bahwa negara­ negara itu berbuat sesuatu yang sebenarnya melanggar kepada kedaulatan dan perikemanusiaan.

Di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyousakai itu memutus­kan akan memberi dasar kepada negara. Akhirnya saya mem­persembahkan Pancasila. Dan syukur Alhamdulillah sidang menerimanya. Dan tatkala kita memproklamirkan kemerdekaankemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dasar ini yang dipakai. Dan aku berkata oleh karena dasar ini – segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke menyambut­nya proklamasi itu dengan gegap­gempita. Disambut oleh kaum alim ulama, disambut oleh kaum buruh, disambut oleh kaum tani, disambut oleh saudara­saudara yang berdiam di Aceh, disambut oleh saudara­saudara yang berdiam di Minangkabau, disambut oleh saudara­saudara yang berdiam di Flores, disambut oleh saudara­saudara yang berdiam di Kalimantan, disambut oleh saudara­saudara yang berdiam di Bali, disambut oleh segenap rakyat Indonesia.

Aku baru pulang dari Bali – tahukah penyambutan rakyat Bali yang beragama Hindu Bali itu terhadap kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia? Rakyat Bali, hidup di dalam alam perjuangan yang hebat. Ada satu tempat kecil di Bali, misalnya namanva Tabanan. Yah kalau dibandingkan dengan di sini

Tabanan itu barangkali hanya sebesar Waru, atau sebesar Tulangan, sebesar Prambon. Di Tabanan itu saja di dalam tahun 1951 diresmikan satu Taman Pahlawan, vang di dalam Taman Pahlawan itu 680 jenazah.

Demikian pula di ternpat yang lain­lain. Memang rakyat Bali menyambut proklamasi ini dengan gegap­gempita. Agamanya adalah Hindu – Bali. Tetapi mereka menyambut proklamasi ini ialah oleh karena proklamasi ini didasarkan kepada Pancasila. Pendek kata tatkala usul saya kepada Dokuritzu Zunbi Tyousakai itu diterima oleh sidang dan kemudian dipakai sebagai dasar negara Republik Indonesia, tak putus­putus aku mengucapkan syukur kepada Tuhan. Inilah dasar yang menjamin keutuhan bangsa kita yang beraneka agama, yang beraneka adat­istiadat, yang beraneka suku.

Maka oleh karena itu, jikalau dikatakan Pancasila adalah sementara? Ya Konstituante nanti yang akan menentukan. Tetapi aku memohon kepada Tuhan agar supaya Negara Republik Indonesia tetap berdasarkan Pancasila!

Aku hidup gandrung dalam suasana persatuan. Aku masuk di dalam gelanggang perjuangan, tatkala aku berumur 18 tahun. Dulu sebelum 18 tahun tidak boleh masuk partai politik. Umur 18 tahun aku kintil (ikut) Rama Tjokroaminoto. Ikut berjuang. Sejak daripada itu tetap aku gandrung kepada persatuan, sekali lagi persatuan. Perkataan gandrung ini keluar dari mulutku dari tahun 1918 sampai sekarang. 37 tahun lamanya aku gandrung persatuan. Memang aku gandrung persatuan. Oleh karena aku mengetahui, bahwa hanya persatuanlah bisa mencapai kemerdekaan. Hanya persatuan bisa menetapkan kemerdekaan. Hanya persatuan inilah yang bisa membawa kita kepada cita­cita kita sekalian!

Di dalam kongres Rakyat Indonesia kuanjurkan persatuan ini. Di dalam Kongres Partai Nasional Indonesia di Randwlg, 10 bulan yang lalu – kuanjurkan pcrsatuan ini. Oleh karcna aku mclihat gejala­gejala perpecahan makin lama makin meningkat, makin lama makin menampak. Bersatulah kembali saudara­saudara, bersatulah rakyat Indonesia – bersatu kembali di dalam persatuan nasional revolusioner yang sebulat­bulatnya. Sebab kita duduk di dalam alam revolusi nasional. Kalau kita mengadakan persatuan yang bukan persatuan nasional revolusioner tidak bisa kita menyelesaikan revolusi nasional kita itu. Aku hidup di dalam alam persatuan ini, aku gandrung kepada persatuan ini, – maka oleh karena itulah, jikalau aku sekarang sebagai Presiden Republik Indonesia berbicara di hadapan saudara­saudara, resmi sebagai Presiden Republik Indonesia yang membentangkan kepada saudara­saudara dasar negara, yang akan sumpah di atasnya sebagai Presiden.

Di samping itu aku bergembira hati diberi kesempatan oleh Allah s.w.t. sebagai warga negara biasa membicarakan hal dasardasar negara ini.

Di dalam pidato 17 Agustus 1955 aku menganjurkan pula Panca Dharma. Apa inti dari Panca Dharma? Tak lain dan tak bukan ialah inti itu keluar daripada j iwa Pancasila. Tidakkah Panca Dharma lima? Pertama – persatuan. Kedua – yang merusak persatuan yaitu yang mengacau­ngacau keamanan ini harus kita lenyapkan. Nomor tiga – pembangunan, pembangun­an, pembangunan! Keempat – Irian Barat. Kelima – pemilihan umum. Pernilihan umum pada intinya ialah persatuan. Segenap bangsa Indonesia yang 80 juta ini, yang sudah dewasa 43 juta, ­diminta mengeluarkan suaranya dengan cara bebas ­dalam alam suasana persaudaraan. Mari kita sekarang dengan tenang dalam suasana persaudaraan bangsa mengemukakan suara kita. Jiwa daripada pemilihan umum adalah persatuan!

Pembangunan juga tidak bisa selesai zonder persatuan. Dapatkah engkau membangun ekonomi Indonesia dengan tidak pcrsatuan? Tahukah engkau bahwa Indonesia ini ekonomi yang sebenarnya satu Unit. satu kesatuan yang besar. – yang jikalau satu daerah dikeluarkan – kocar­kacir ekonomi kita itu. Dan kita menyusun satu ekonomi yang bukan ekonorni kolonial, ekonomi imperialis? Tidak! Di dalam Undang­Undang Dasar kita sebutkan dengan tegas bukan ekonomi untuk membikin gendutnya perutnya satu dua orang. Tetapi ekonomi yang membikin sejahteranya segenap rakyat. Inilah dasar, inti jiwa daripada Undang­Undang Dasar kita, meskipun Undang­Undang Dasar yang dinamakan sementara.

Satu ekonomi nasional yang menjamin semua bangsa Indonesia, hidup sejahtera, layak, makmur. Bukan ekonomi yang membikin gendut orang satu tetapi ekonomi sama rata sama rasa.

Satu ekonomi yang mengandung jaminan kehidupan yang baik buat semua, di dalam suasana kesatuan dan persatuan.

Pengacau keamanan bahwa itu memecah kepada persatuan merugikan kepada rakyat –perlukan masih kuuraikan? Tidak!

Irian Barat. Sebab apa saudara­saudara menuntut Irian Barat? Mungkin saudara beragama Islam? Di sana rakyatnya bukan Islam lho! Kenapa saudara menuntut Irian Barat supaya masuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia? Saudara beragama Islam mereka tidak beragama Islam! Saudara akan menjawab: “Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam wilayah Republik Indonesia oleh karena Irian Barat adalah sebagian daripada tanah air Indonesia, oleh karena suku Irian Barat adalah sebagian daripada bangsa Indonesia seluruhnya.

Lho kenapa saudara menuntut Irian Barat kembali kepada kekuasaan Republik?

Saudara akan menjawab: “Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia oleh karena bangsa kita adalah satu dari Sabang sampai ke Merauke”.

Jadi dasarnva ialah persatuan bangsa. Maka oleh karena itu. ­aku sckali lagi mcnganjurkan kcpada segenap rakyat Indonesia, terutama sekali di hadapan pemilihan umum ini. – ingat kepada persatuan. Ingat kepada persatuan! Bangsa Indonesia adalah selalu kukatakan bukan bangsa yang kecil jumlahnya 80 juta. Lebih besar daripada bangsa yang lain­lainnya.
Aku telah, alhamdulillah, melawat ke Mesir, ke Arabia, ke India, ke Karachi, ke Pakistan, ke Sailan, ke Rangoon dan sebagainya, kecual1 ke Eropa dan Amerika, – aku melihat bangsa kita potensinya hebat­hebat. Tidak ada satu tanah air daripada sesuatu bangsa yang lebih hebat daripada tanah air Indonesia.

Tidak ada satu bangsa yang lebih – seragam, sebenarnya jikalau mau, – daripada bangsa Indonesia. Tidak ada satu tanah air yang lebih indah daripada bangsa Indonesia. Jumlahnyapun tidak sedikit 80 juta. Lebih daripada bangsa yang lain!

Yaah kita kalah dengan Amerika Serikat jumlah bangsa kita ini. Kalah dengan USSR (Sovyet Unie) jumlahnya bangsa kita ini. Kalah dengan Tiongkok jumlah bangsa kita. Kalah dengan India jumlah bangsa kita. Tetapi di samping yang empat ini saudara­ saudara, tidak ada lagi yang mengalahkan kita. Ada yang memadai kita jumlah rakyatnya yaitu Jepang tetapi yang lain­lain, sernuanya kurang daripada kita.

Mesir yang Bapak tempo hari kunjungi dan yang Bapak melihat semangatnya meluap­ luap, berapa jumlah mereka? Mereka yang Bapak melihat mereka membangun. Membuat damdam yang besar, membuat jalan­jalan yang besar. – Jumlah mereka berapa? Yang mereka membangun pula Tentara, Tentara yang hebat. Yang mereka membangun angkatan Udara yang aku melihat pesawat­pesawat udara yang terbang di angkasa saudarasaudara, – berapa jumlah rakyat Saudi Arabia? 6 juta – kita 80 juta!

Aku datang di Bangkok, disambut oleh P.M.  Phibul Songoram. Tahukah engkau rakyat Thailand jumlahnya? 20 juta. kita – 80 juta. Kita bangsa yang 80 juta bukan bangsa yang kecil. kalau kita bersatu kataku berkali­kali, – jikalau kita 80 juta bersatu padu di dalam kesatuan nasional revolusioner. tidak ada satu cita­cita yang tidak terlaksana oleh kita.

Sekian sajalah, amanat Bapak.

⏩Download Pidato Bung Karno - Apa Sebab Revolusi Kita Berdasar Pancasila Versi PDF ⏪
(Google Drive)


Pidato Bung Karno - Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia

Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia
(Ceramah Presiden Sukarno pada Pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Pada Tanggal 17 Juni 1954)

Saudara-­saudara sekalian,

Lebih dahulu saya mengucap banyak­-banyak terima kasih kepada Saudara­saudara sekalian, bahwa Saudara­saudara pada malam ini memerlukan datang di sini untuk bersilaturahmi dengan kepala negara serta Ibu Soekarno.

Sekarang saya diminta untuk membuat ceramah. Ceramah yang terutama sekali mengenai hal Pancasila dasar dan azas negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kadang­- kadang saya mendengar sebutan “Gerakan Pembela Pancasila”. Sebenarnya sebutan yang demikian itu kurang lengkap. Harusnya, ialah “Gerakan Pembela Pancasila Sebagai Dasar Negara”. Kalau sekadar dinamakan “Pembela Pancasila”, maka berarti bahwa Pancasila itu harus dibela. Dan dengan sendirinya timbullah pertanyaan: Apakah Pancasila itu harus dibela? Pertanyaan ini ada hubungannya dengan paham atau pendapat yang pernah dikemukakan oleh salah seorang Saudara bangsa kita, bahwa Pancasila adalah buatan manusia.

Saudara-­saudara,

Dalam hubungan ini buat kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar memformulir perasaan­perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata­kata, yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia. Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan Tuhan, itu lain pertanyaan.

Aku bertanya. Aku melihat daun daripada pohon itu hijau. Nyata hijau itu bukan buatanku, bukan buatan manusia. Apakah warna hijau daripada daun itu dus buatan Tuhan? Terserah kepada Saudara­saudara untuk menjawabnya. Aku sekadar konstateren, menetapkan dengan kata­kata satu keadaan.

Di dalam salah satu amanat yang saya ucapkan di hadapan resepsi para penderita cacat beberapa pekan yang lalu, saya berkata bahwa saya sekadar menggali di dalam bumi Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini dengan cara yang seindah­indahnya. Aku bukan pembuat berlian ini; aku bukan pencipta dari berlian ini, sebagaimana aku bukan pembuat daun yang hijau itu. Padahal aku menemukan itu ada daun hijau. Jikalau ada seseorang Saudara berkata bahwa Pancasila adalah buatan manusia, aku sekadar menjawab: “Aku tidak merasa membuat Pancasila itu; tidak merasa mencipta Pancasila itu”.

Aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan daripada manusia. Malahan manusia yang tidak lebih daripada Saudara­saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekadar memformulirkan adanya beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletak­kan kepada daya pemersatu daripada Pancasila itu.



Di belakangku terbentang peta Indonesia, yang terdiri dari berpuluh­puluh pulau yang besar­besar, beratus­ratus, beribu­ribu bahkan berpuluh­puluh ribu pulau­pulau yang kecil­kecil. Di atas kepulauan yang berpuluh­puluh ribu ini adalah hidup satu bangsa 80 juta jumlahnya. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna adat­istiadat. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara berpikir. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara mencari hidup. Satu bangsa yang beraneka warna agama­nya.

Bangsa yang berdiam di atas puluhan ribu pulau antara Sabang dan Merauke ini, harus kita persatukan bilamana bangsa ini ingin tergabung di dalam satu negara yang kuat. Maksud kita yang pertama sejak daripada zaman kita melahirkan gerakan nasional ialah mempersatukan bangsa yang 80 juta ini, dan kemudian memerdekakan. Menggabungkan bangsa yang 80 juta ini di dalam satu negara yang kuat. Kuat, karena berdiri di atas kesatuan geografi, kuat pula oleh karena berdiri di atas kesatuan tekad.

Pada saat kita menghadapi kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, dan alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian ­, kita menghadapi soal bagaimanakah negara yang hendak datang ini, kita letakkan di atas dasar apa. Maka di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh Indonesia, dipikir­pikirkan soal ini dengan cara yang sedalam­dalamnya. Di dalam sidang inilah buat pertama kali sayan formuleren apa yang kita kenal sekarang dengan perkataan “Pancasila”.

 Sekadar formuleren, oleh karena lima perasaan ini telah hidup berpuluh­puluh tahun bahkan beratus­ratus tahun di dalam kalbu kita. Siapa yang memberi bangsa Indonesia akan perasaan­perasaan ini? Saya sebagai orang yang percaya kepada Allah swa. berkata: “Sudah barang tentu yang memberikan perasaan­perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Allah swa. pula”.
Lima perasaan yang Saudara­saudara kenal dengan perkataan­perkataan:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kebangsaan Indonesia yang Bulat,
3. Perikemanusiaan,
4. Kedaulatan Rakyat,
5. Keadilan Sosial,

Kelima perasaan ini hidup di dalam kalangan bangsa Indonesia. Hidup di dalam kalangan bangsa Indonesia sebelum aku dan engkau ada. Lima perasaan ini hanyalah belum pernah diformulir. Aku mempunyai keyakinan, bahwa kalau negara kita didasarkan di atas lima perasaan ini, maka negara kita dapatlah mempunyai territour (wilayah) dari Sabang sampai ke Merauke.
Saudara­saudara mengetahui bahwa tiap­tiap negara  barulah boleh disebut negara jika negara itu memenuhi syarat paling sedikit tiga buah.
Syarat pertama, ialah bahwa negara itu tegas harus mempunyai wilayah. Tegas harus mempunyai territour. Tegas harus orang dapat melihat, bahwa ini wilayah negara itu. Sesuatu gerombolan manusia yang tidak tegas akan territournya, yang tidak tegas akan wilayahnya, dan tidak tegas akan batas­batas wilayahnya, gerombolan manusia yang demikian itu tidak dapat dinamakan rakyat daripada suatu negara. Syarat yang pertama ini adalah syarat yang mutlak.

Syarat yang kedua ialah di atas territour tadi, harus ada rakyatnya. Dan rakyatnya ini harus berasa sebagai satu bangsa. Satu bangsa yang di dalam bahasa Jerman dinamakan satu Staat Nation. Meskipun territournya tegas, tetapi jika di atas territour itu rakyatnya hidup tidak karuan, tidak mempunyai hubungan batin satu sama lain, tidak merasakan dirinya sebagai satu Staat Nation, maka bangsa yang demikian itu tidak dapat disebutkan bangsa daripada satu negara. Sebaliknya, walaupun bahasanya berupa-rupa, seperti bangsa Swis, ada yang berbahasa Perancis, ada yang berbahasa Jerman, ada yang berbahasa Italia. tetapi karena mereka merasakan dirinya sebagai satu Staat Nation, dan mempunyai territour yang tegas nyata wilayahnya, maka bangsa yang demikian itu dapat menjadi satu negara.

Syarat yang ketiga, ialah adanya Pemerintah yang ditaati oleh segenap Staat Nation itu tadi. Bagi sesuatu bangsa yang telah mempunyai wilayah yang tegas, dan rasa Staat Nation yang tegas, tetapi bilamana tidak ada Pemerintah di puncaknya yang mengereh segenap Staat Nation ini di atas segenap wilayah ini, dan kalau Pemerintah ini tidak ditaati oleh segenap Staat Nation itu tadi, niaka di sini perkataan negara pun tidak boleh dipakai.

Maka untuk memenuhi tiga syarat inilah kami tempo hari menggali­gali di dalam bumi Indonesia ini untuk mendapatkan berlian­berlian yang indah, berlian untuk dijadikan hiasan daripada negara. Tegasnya untuk mendapat dasar agar supaya negara ini bisa teguh dan selamat. Lebih daripada siapapun juga di kalangan bangsa Indonesia ini, aku yang dikaruniai Allah swa. di dalam beberapa tahun ini menjadi Presiden Republik Indonesia, hingga aku telah banyak mengunjungi daerah­daerah daripada tanah air kita ini, mengenal rakyat Indonesia ini di pelbagai daerah itu. Lebih daripada siapapun juga, aku melihat bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang terdiri daripada aneka warna adat­istiadat, aneka warna cara hidup, aneka warna paham keseniannya, aneka warna agamanya. Dan bangsa yang demikian ini memerlukan satu dasar negara yang dapal menipersatukannya.
Dan alhamdulllah sebagai tadi kukatakan ternyata dasar Pancasila ini dapat dipakai untuk mempersatukan segenap bangsa Indonesia yang 80 juta dan beraneka warna itu.

Di wilayahwilayah yang,jauh-­jauh, orang­-orang dengan tegas mengatakan baliwa Pancasila adalah satu-­satunya dasar yang dapat dipakai untuk mempersatukan bangsa Indonesia ini. Dan oleh karena kita tidak ingin mempunyai negara dua atau tiga, tetapi kita ingin negara satu (negara kesatuan), maka marilah kita pertahankan Pancasila itu  sebagai dasar negara. Sebagai dasar negara. kita harus bela Pancasila ini. Jika kita tidak mau menghadapi kemungkinun bangsa Indonesia ini terpecah­helah herantakan.

Beberapa minggu yang lalu, aku telah mengunjungi daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Aku melihat, sebagian besar dari rakyat di Maluku dan Nusa Tenggara itu menghendaki dasar Pancasila tetap sebagai dasarnya Republik Indonesia kelak kemudian hari. Tadi aku katakan bahwa aku hanya sekadar penggali, kemudian sekadar memformuleer, karena kelima perasaan itu memang telah ada di kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluhpuluh bahkan beratus­ratus tahun.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Aku hendak menceritakan kepada Saudara­saudara lebih dahulu asalnya istilah Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Tatkala pemimpin­pemimpinmu pada pertengahan tahun ’45 mempikir-pikirkan dasar apakah yang pantas dipakai untuk menjadi dasar dari Republik Indonesia yang akan datang, maka mula­mula aku menganjurkan sebagai sila yang pertama, Ketuhanan. Kemudian datanglah perbincangan yang hebat, terutama sekali daripada saudara­saudara pihak Islam yang menghendaki dengan tegas jangan sekadar dinamakan “Ketuhanan” saja tetapi ditambah dengan perkataan “Yang Maha Esa”. Dan usul daripada saudarasaudara dari pihak Islam ini, diterima oleh kami semua. Jadi perkataan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah hasil daripada perundingan. Hasil daripada usul dari saudara­saudara pihak Islam yang memang usul itu kami terima dengan segala senang hati. Dari ini saja sudah nyata bahwa Pancasila bukan kuberikan kepada bangsa Indonesia sebagai aku ini diktator. Tidak!!! Dirundingkan. dibicarakan bersama. Dan spesial yang mengenai sila yang pertama malahan diper­sempurnakan oleh saudara­saudara dari piliak Islam dengan perkataan “Yang Maha Esa” itu tadi.

Ketuhanan, (Ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti religieusiteit) itu memang sudah hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh­puluh, beratus­ratus dan beribu­ribu tahun. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan pertama­tama hal yang aku lihat ialah religieusiteit. Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas tarafiiya agraria, taraf pertanian. Semua bangsa yang masih hidup di atas taraf agraria, tentu religius. (Saya belum memakai perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa) tetapi baru saya me­makai perkataan religieusiteit atau kepercayaan kepada suatu hal yang gaib yang menguasai hidup kita ini semua. Perasaan atau kepercayaan yang demikian itu hidup di dalam kalbunya bangsa­bangsa yang masih hidup di dalam taraf agraria.

Betapa tidak? Orang yang masih bercocok tanam, bertani, merasa bahwa segenap ikhtiarnya untuk mencari makan ini sama sekali tergantung daripadaa satu hal yang gaib. Orang yang bertani memohon supaya turun hujan misalnya. Dari mana hujan harus diminta? Kita mempunyai sawah dan ladang, sawah dan ladang ini ditanami dengan padi atau jagung. Padi akan mati, jika tidak dapat air hujan. Bangsa yang bertani tidak boleh tidak, lantas: “ah, ada satu hal yang gaib, kepada Nya aku mohon supaya diturunkan hujan”. Demikian pula jikalau buah padinya telah hampir tua, sebaliknya dia mohon kering jangan ada hujan yang terlalu lebat. Lagi dia berhadapan dengan satu hal yang gaib. Mungkin dia belum dapat mengatakan bahwa itu yang dinamakan Allah. Atau Tuhan pun mungkin belum ada perkataan itu padanya. Tetapi sekadar kalbunya penuh dengan permohonan kepada satu zat yang gaib: “Ya gaib, ya gaib, jangan diturunkan hujan, lagi aku sekarang membutuhkan kering”. Hujan dan kering tidak dapat dibuat oleh manusia. Hujan clan kering dimohonkan oleh bangsa yang demikian itu kepada sesuatu zat vang gaib.

Belum aku menceritakan hal hama. Hama tikuskah. hama belalangkah, hama baksil­ baksilkah. Sama sekali itu di hiar perhitungan manusia. Lagi dia mohon kepada satu hal yang gaib: “Ya, gaib berilah jangan sampai tanamanku ini diganggu oleh hama. tikus”. Ya, barangkali dia belum tahu hal­hal kuman­kuman kecil yang dapat membikin sakitnya padi atau jagungnya itu.
Bangsa yang demikian, yang masih di atas taraf agraria, tidak boleh tidak mesti religieus. Sebaliknya bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak sekali yang meninggalkan religieusiteit itu. Aku tidak berkata bahwa itu adalah baik, meninggalkan religieusiteit. Tidak! Lagi­lagi aku sekadar konstateren. Bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit. Apa sebab? Sebabnya ialah karena ia berhadapan – banyak sekali – dengan kepastiankepastian. Perlu litrik, tidak perlu “oh ya gaib, oh ya gaib”, dengan tekan knop saja, terang menyala. Ingin tenaga, tidak perlu dia memohon ya gaib ya gaib aku ingin tenaga. Dia punya mesin; mesin dia gerakkan, mesin itu bergerak. Di dalam tangannya dia merasa bahwa dia menggenggam kepastian. Ingin perang aku dapat mengadakan perang. Ingin tenaga aku bisa menggerakkan ini mesin. Oleh karena itulah rakyat yang sudah hidup di dalam alam industrialisme banyak yang meninggalkan religieusiteit itu tadi.

Memang pernah kukupas di dalam satu ceramah yang mengenai religieusiteit ini, bahwa religieusiteit ini melewati beberapa fase pula. Sebab memang masyarakat manusia adalah dinamis. Dinamis di dalam arti selalu bergerak. Masyarakat nianusia tidak berhenti pada satu taraf (tidak statis). Masyarakat manusia berjalan (berevolusi). Masyarakat manusia dinamis. Cara hidup manusia berganti­ganti. Dengan pergantian cara hidup ini, dia punya religieusiteit pun berganti­ganti warna. Tatkala dia masih hidup di dalam hutan rimba­raya, belum dia bertani. Dia hidup di rimba­raya tidak mempunyai rumah. Sekadar dia hidup di dalam gua­gua, di bawah pohon­pohon.

Sekadar mencari makan dengan memburu atau mencari ikan. la sudah religieus, tetapi apa yang dia sembah? Dia menyembah petir. Oleh karena dia mengetahui, kalau memerlukan api: “itu dia, petir itu bisa menyembar pohon dan dia memberi api kepadaku”. Dia menyembah sungai, oleh karena sungailah memberi ikan kepadanya. Bahkan dia menyembah batu, karena batu itulah yang memberi perlindungan kepadanya. Dia menyembah geledek, dalam pikirnya geledek inilah satu zat yang gaib. Pikirannya ada satu zat yang gaib yang turun dari satu mega ke lain mega, dengan mengeluarkan suara gernuruh. Dia adalah religieus, dengan cara dia sendiri.

Tatkala manusia kemudian dari itu tidak lagi hidup di dalam rimba­raya, di dalam gua­ gua tetapi hidup dengan beternak, pada waktu itu dia religieus, tetapi ciptaan daripada zat gaib ini lain lagi. Bukan lagi geledek, bukan lagi sungai atau pohon­pohon besar yang rindang­rindang dia sembah, tetapi dia menyembah zat yang berupa binatang­binatang sebagai yang sekarang ini masih ada sisa­sisanya di beberapa bangsa yang menyembah sapi atau binatang ternak.
Tatkala manusia hidup di atas taraf pertanian, makin religieus dia tetapi ciptaannya juga berubah daripada bangsa yang masih hidup di rimba­raya dengan memburu dan mencari ikan daripada bangsa yang hidup dengan berternak saja. Tetapi nyata bangsa yang di atas taraf agraria, bangsa yang demikian itu adalah religieus. Terutama sekali karena tanarn­tanamannya tergantung sarna sekali dari gerak­gerik iklim.

Demikian pula bangsa yang sudah meninggalkan taraf agraria dan sudah masuk taraf industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit seperti kukatakan tadi, oleh karena dia hidup di dalam alam kepastian. Malah di dalam taraf inilah timbul aliran­ aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan. Di dalam taraf inilah timbul apa yang dinamakan atheisme. Tetapi _jikalau Saudara­saudara bertanya kepada Bung Karno persoonlijk apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan, Bung Karno berkata: “Ya aku percaya kepada Tuhan”. Malahan aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dua bukan tiga. Tuhan yang satu. Tuhan yang menguasai segala hidup. Ciptaan manusia yang berubah­ubah. Pikiran manusia yang berubah­ubah.

Dulu tatkala manusia hidup di dalam rimba­raya di bawah pohon­pohon dan di gua­gua, dia mengira bahwa Tuhan adalah berupa pohon, petir atau sungai. Dulu tatkala manusia hidup dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai sekarang masih ada sisa­sisa bangsa­bangsa yang menyembah kepada binatang. Dulu tatkala manusia hidup di dalam taraf agraria, terutama sekali dulu, diapun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan tatkala manusia masuk di dalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui kepada Tuhan lagi. Tetapi bagiku sebagai Bung Karno, Tuhan ada. Aku sering menceritakan tentang hal orang buta yang ingin melihat rupanya gajah. Ada empat orang buta, semuanya belum pernah melihat rupanya gajah. Datanglah seorang kawan yang hendak menunjukkan kepada mereka itu apa gajah itu. Si Buta yang pertama disuruh maju ke muka, dia meraba­raba dan dia mendapat belalai gajah. Dia berkata: “Oh aku sekarang sudah tahu rupanya gajah, rupanya sebagai ular besar yang bisa dibengkok­bengkokkan”.

Si Buta nomor dua disuruh tampil ke muka dan dia mencaricari gajah dan mendapat ekor daripada gajah itu. Lalu dia berkata: “Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu seperti cambuk”.

Si nomor tiga lagi maju ke muka. Cari­cari gajah, lalu memegang kaki gajah. Katanya: “Oh aku sudah tahu gajah rupanya seperti pohon kelapa”. Si nomor empat tampil ke muka (dia cebol) pendek sekali dia punya badan. datang di bawah gajah itu, pegang­ pegang tak dapat apa­apa. Katanya: “O aku sudah tahu, gajah rupanya seperti hawa. Gajah tidak ada. Gajah itu seperti hawa ini”.

Seperti orang di dalarn dunia industrialisme mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Padahal gajah ada. Demikian pula, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia berganti­ ganti. Saudara­saudara.

Aku menceritakan hal ini, untuk mengatakan bahwa bangsa kita yang terutama sekali hidup di atas taraf agraria ini, bahwa bangsa Indonesia itu reliegius. Oleh karena itulah maka sila yang pertama tergalilah olehku hal perasaan ini: Ketuhanan di dalam arti relegieusiteit. Tetapi oleh Saudara­saudara pihak Islam diusulkan supaya ditambah dengan perkataan: Yang Maha Esa. Dan itu kami terima dengan segala senang hati.
Maka oleh karena itulah sila yang pertama sekarang itu, berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kebangsaan
Sudah barang tentu kita yang ingin menjadi bangsa yang satu, harus mengemukakan sila kebangsaan itu. Dan sudah barang tentu rasa kebangsaan itu hidup berkobar­kobar di dalam dada kita. Ialah oleh karena kita sudah 350 tahun dijajah oleh bangsa lain. Sosio­ logis, sernua bangsa yang lama dijajah oleh bangsa asing, mesti kalbunya itu berkobar­ kobar dengan rasa kebangsaan. Ini boleh dinamakan adalah satu perasaan negatif, reaksi kepada imperialisme atau kolonialisme. Tetapi rasa kebangsaan ada di dalarn kalbunya tiap­tiap bangsa yang telah lama dijajah oleh bangsa lain. Tetapi seperti Saudara­saudara mengetahui, kebangsaan yang kita kemukakan bukan sekadar kebangsaan negatif. Tetapi juga kebangsaan positif. Kebangsa­an yang ingin mengemukakan segala rasa­rasa yang mulia dan luhur yang ada di dalam kalbunya bangsa kita.

Bahkan aku berkata, di dalam hal ini bangsa Indonesia telah memberi contoh yang sebaik­baiknya. Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia ini vang belum pernah menjajah bangsa lain. Bangsa Iain pcrnah menjajah Indonesia. Tctapi bukalah kitab sejarah. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang engkau tidak akan mendapat sesuatu bukti bahwa bangsa Indonesia itu pernah menjajah bangsa lain. Tidak! Kita bangsa Indonesia di dalam rasa nasionalismne kita suci murni sebagai satu bangsa yang bukan saja menjunjung tinggi kepada nasionalisme atau kebangsaan, tetapi juga sebagai satu bangsa yang hidup di dalam alam perikemanusiaan sebagai yang terlukiskan di dalam sila ketiga daripada Pancasila itu.

Seluruh bangsa di Asia sekarang masih hidup di dalam rasa kebangsaan itu. Nasionalisme adalah salah satu faktor mental yang penting sekali di dalam segenap dunia dari Magribi (daerah paling Barat dari Afrika) sampai ke daerah Pasifik. Apa sebab? Ialah karena bangsa­bangsa yang dinamakan bangsa Afrika dan Asia ini tidak berselang lama masih hidup di dalam alam penjajahan, dijajah oleh kolonialisme, diperintah oleh bangsa lain, ditindas oleh bangsa asing, dihisap oleh kekuasaan­kekuasaan dari luar. Bangsa­bangsa yang demikian itu tidak boleh tidak tentu kalbunya itu hidup dengan keinginan kembali kepada pribadi sendiri, yaitu yang dinamakan kebangsaan. Tetapi bangsa Indonesia adalah istimewa. Ialah oleh karena bangsa Indonesia ini terutama sekali hidupnya di persimpangan jalan. Persimpangan jalan dari Asia ke Australia, dari lautan Teduh ke lautan Hindia. Bangsa yang dari zaman purbakala sudah belajar kenal dengan bangsa­bangsa yang lain. Bangsa yang tidak pernah hidup eksklusif. Bangsa yang tidak pernah hidup isolationistis. Bangsa yang tidak pernah hidup menyen­diri. Bangsa yang merasa dirinya tertindas benar. Bangsa yang merasa dirinya terjajah benar. Bangsa yang ingin merdeka benar. Bangsa yang ingin bersatu benar. Bangsa yang dus ber­ nasionalisme benar. Tetapi nasionalismenya tidak pernah sekadar negatif, tetapi positif.

Ialah karena bangsa Indonesia itu sebagai tadi kukatakan tidak pernah terpencil daripada bangsa ­bangsa yang lain.
3. Perikemanusiaan
Rasa perikemanusiaan antara lain­lain bisa diterangkan daripada inilah yang bangsa Indonesia tidak pernah hidup isolationistis, yang bangsa Indonesia seperti hidup di dalam satu gedung yang pintu­pintunya terbuka, jendela­jendelanya terbuka. Hawa segar dapat masuk ke dalam gedung bangsa Indonesia itu. (Dengan demikian, bangsa Indonesia itu tidak pernah di dalam kalbunya pula, isolationistis). Selalu mem­punyai rasa manusia dengan manusia dengan manusia dengan bangsa apapun. Apalagi kita sejak daripada zaman dulu mendapat didikan­didikan perikemanusiaan yang beraneka warna.

Ambil misalnya agama Hindu, yang sudah ribuan tahun yang lalu datang di Indonesia. Apa ajaran agama Hindu, yang dulu itu boleh dikaakan agamna dari sebagian besar daripada bangsa Indonesia ini? Apa ajaran agama Hindu yang telah memasuki jiwa Indonesia beratus­ratus tahun lamanya. Di dalam agama Hindu ada satu ajaran dalam bahasa Sanskritnya berbunyi: Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Sering di zarnan Hindu orang menunjuk dirinya dan diri orang lain Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Dia adalah aku, aku adalah dia. Itulah artinya Tat Twam Asi. Aku adalah dia, dia adalah aku, ini adalah rasa perikemanusiaan. Yang sudah di­cekokkan ke dalam jiwa kita beratusratus tahun bahkan beribu­ribu tahun yang lalu.
Kemudian kita mendapat pula didikan agama Islam. Tidak­kah agama Islanl itu justru satu agama perikemanusiaan? Tidak­kah agama Islam itu sejak dari dahulu memberi pengajaran kepada kita hal kifayah, hal kemasyarakatan, sampai misalnya diadakan fardhu kifayah. Jangan sekadar memikirkan saja kepada diri sendiri, tetapi ingat kepada kifayah, fardhu kifayah. Masyarakat, masyarakat. Dan tidakkah ajaran daripada Islam ini telah menyerak pula di dalarn darah­daging bangsa Indonesia?

Engkau menghendaki agama Kristen, tidakkah agama Kristen pula mengajarkan hal perikemanusiaan itu? Tidakkah agama Kristcn pula mengajarkan het God lccft bovcn alles, en Uw naasten ggelijk U zelven.
Sesama manusia harus dicintai, seperti mencintai diri kita sendiri. Jadi jikalau aku menggali rasa perikemanusiaan di dalam bumi Indonesia, itu adalah satu hal yang tidak meng­herankan. Sebagaimana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa Ketuhanan di dalam bumi Indonesia. Sebagai­mana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa kebangsaan di dalam kalbunya bangsa Indonesia.

4. Kedaulatan Rakyat
Demikian pula kalau aku menggali kecintaan kepada Kedaulatan Rakyat di dalam kalangan bangsa Indonesia. Itupun tidak mengherankan, bahwa bangsa Indonesia ini memang beribu­ribu tahun hidup di dalam alam demokrasi itu, walaupun demokrasi kita tidak sebagai apa yang dinamakan parlementaire atau Westerse democratie sekarang  ini. Sejak zaman dahulu kita ini adalah bangsa yang demokratis. Sejak zaman dahulu kita memusyawaratkan segala sesuatu yang mengenai masyarakat kita. Sebelum ada teori­ teori Montesqieu, Voltaire, Rousseau, sebelum teori trias­politica, sebelum ada parlemen­parlemen di dunia barat, kita sudah menjalankan demokrasi di dalam bentuk secara kuno. Tetapi demokrasi telah ada. Oleh karena itu rasa demokrasi ini tidak asing lagi bagi kita.

Sebelum ada parlemen­parlemen, kita telah mempunyai cara berpernerintah di desa­ desa, dan di negara­negara yang demokrasi, walaupun demokrasinya itu adalah demokrasi yang sesuai dengan zaman itu.

5. Keadilan Sosial
Demikian pula kalau aku menggali di dalarn bumi Indonesia ini perasaan Keadilan Sosial. Tidaklah mengherankan pula, terutama sekali di dalam alam imperialisme kita gandrung kepada keadilan sosial. Kita gandrung kepada satu keadaan yang memberikan nyaman hidup kepada kita. Kita gandrung kepada cukup makan, cukup pakaian, cukup perumahan yang layak. Tidak perlu kuceritakan kepada Saudara­saudara betapa akibatnya imperialisme, kolonialisme, penjajahan kepada kehidupan dan perikehidupan kita. Kita bangsa Indonesia yang dahulu hidup di dalam alam kemakmuran, kita menjadi satu bangsa yang miskin di dalam alam imperialisme itu. Tidakkah dulu Saudara mengenal ucapan bahwa bangsa Indonesia dapat hidup dari uang 2 sen atau sebenggol seorang sehari karena isapan daripada kaum imperialisme itu. Padahal kalau kita melihat kitab­kitab zaman kuno yang mengingatkan kita akan zaman yang makmur itu: gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kartoraharjo. Diceritakan masyarakat kita di zaman dahulu sampai poezie kita membawa alam yang seindahindahnya mengenai keadilan sosial itu. Kadang­kadang aku menyuruhkan dalang, jika dalang telah menceritakan kemakmuran bangsa kita di zaman dahulu, toto tentrem kartoraharjo katanya, gemah ripah loh jinawi, poro kawulo ijeg rumagang ing gawe, tebih saking cecengilan, adoh saking laku juti, bebek ayam rajokoyo enjang medal ing pangonan surup bali ing kandange dewe-dewe.

Sampai bebek dan ayam dikatakan pagi­pagi keluar sendiri ke tempat penggembalaan. Pada waktu magrib ternak ayam bebek ini pulang ke kandangnya masing­masing.

Kemudian datang imperialisme hidup di dalam alam kemiskinan. hidup dari sebenggol seorang sehari. Sebagai Dr Huender mengatakan een natie van loontrekkers en een koelie onder de naties. llidup dalam alam kesederhanaan, hidup di dalam alam kepapaan, kekurangan. Herankah kita bahwa kita lantas hidup di dalam alam idealisme ini ingin kepada keadilan sosial? Bahwa bangsa Indonesia gandrung kepada keadilan sosial itu? Heran­kah kita bahwa bangsa Indonesia itu mengenang­ngenangkan akan datangnya seseorang ratu adil yang bisa memberi “sandang pangan” yang layak kepada bangsa Indonesia itu? Dan herankah kita kalau aku menggali sila kelima ini dari buminya bangsa Indonesia yang hidup papa sengsara dan gandrung kepada keadilan sosial itu? Tidak!

Maka sekali lagi Saudara­saudara dan adik­adikku aku sekadar menggali keadaan-keadaan yang nyata, kemudian aku formuleer dan formuleer inilah dinamakan Pancasila. Kemudian tatkala aku menjadi Presiden Republik Indonesia dan mengunjungi daerah­daerah di seluruh Indonesia dari Sabang sampai hampir ke Merauke makin teguh perasaanku bahwa hanya Pancasila inilah harus kita pertahankan sebagai dasar negara. Aku melihat bahaya yang besar mengancam keruntuhan negara kita ini jikalau dasar Pancasila tidak kita pertahankan untuk dasar negara kita. Jangan Pancasila diaku oleh sesuatu partai! Jangan ada sesuatu partai berkata: Pancasila adalah azasku.

PNI tetaplah kepada azas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berazas Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah ideologi satu partai, lalu partai­partai lain tidak mau.

Oleh karena itu aku ulangi lagi. Pancasila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini. Saudara­saudara.

Hal negara, jagalah negara jangan sampai negara ini pecah. Untuk apa kita bcrjuang bcrpuluh­puluh tahun, tidakkah untuk negara ini? Dan tadi sebagai kuterangkan tidakkah kita telah gandrung kepada kesatuan dari Sabang sampai ke Merauke? Menggandrwngi satu negara yang meliputi satu territour dari Sabang sampai ke Merauke itu? Tidakkah itu tujuan perjuangan kita, hal yang baginya kita telah rela berkorban? Tidakkah untuk itu pemuda­pemuda kita rela mati di medan pertempuran? Tidakkah untuk itu kita mempunyai bangsa berkorban sampai sudah tidak bisa dinamakan pengorbanan lagi, karena pedihnya sudah tiada hingga lagi? Tidakkah untuk negara yang satu ini kita berjuang berpuluh­puluh tahun dan kemudian kita bertempur di dalam revolusi bertahun­tahun pula?

Negara adalah “wadah”. Dari territour Sabang sampai ke Merauke ini adalah harus terbentang satu wadah yang besar. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Dan kalau Saudara­saudara atau siapapun, ingin masukkan ideologi, masukkanlah di dalam masyarakat ini! Ini tegas kukatakan beda antara wadah dengan masyarakat yang di dalam wadah ini.

Yang harus di sini itu, masyarakatnya. Wadahnya ini, jangan sampai retak. Engkau mempunyai wadah yang berupa piring, berupa gelas ataupun berupa bejana. Di dalam wadah itu dapat engkau isikan air, bier, stroop, kecap, segala apa yang dapat. Tetapi janganlah wadah ini retak. Negara menurut teori populer, adalah wadah. Menurut teori lain­lain, macam­macam. Misalnya salah satu teori yang amat terkenal, ialah teori daripada Marx. Karl Marx berkata bahwa negara adalah sekadar satu organisasi. Organisasi kekuasaan (macht organisatie) kata Marx. Apa sebab katanya, karena di dalam masyarakat selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sarna lain. Kelas yang satu menundukkan kelas yang lain dan ingin mengekalkan penundukannya ini dan untuk menundukkan itu, kata Marx, maka kelas yang menang ini mengadakan macht­ organisatie yang dinamakan negara. Ini teori Marx tentang negara.
Lenin. komunis yang terkenal malahan lebih populer Iagi mcngatakan. Pernah orang bertanya kepada Tovarich Lenin, apa negara itu? Lenin menjawab “de staat is een knuppel” (negara adalah pentung). Di dalam cara berpikir kaum Marxist memang iiegara adalah satu pentung. Negara adalah macht organisatie kata Marx sendiri. (organisasi kekuasaan daripada satu kelas yang berkuasa). Organisasi kekuasaan ini bisa dipakai untuk mementung ke Iuar, dapat dipakai untuk mementung ke dalam. Mementung keluar, yaitu kalau ada musuh dari Iuar datang hendak menyerbu. Maka dihadapi dengan organisasi negara ini, dihadapi dengan alat­alat kekuasaan daripada macht organisatie ini. Dan alat kekuasaan itu berupa tentara, armada dan lain­lain sebagainya. Negara adalah macht organisatie yang mempunyai alat­alat kekuasaan untuk menahan musuh yang datang dari luar. Tetapi negara juga macht organisatie yang mempunyai alat­alat kekuasaan untuk mementung memukul musuh­musuh dari dalam. Yang dari dalam itu apa, pencuri­pencuri dan lain­lain sebagainya. Alat­alatnya ke dalam yang berupa hakim­hakim, penjara­penjara dan lain­lain.

Dia membantah pendapatnya kaum idealis yang mengata­kan bahwa negara adalah: de tot werkelijkheid van geworden idee. Kaum idealis, kaum yang disebut oleh Marx tidak berdiri di atas realiteit. Kaum idealis itu berkata bahwa negara adalah de tot werkelij kheid geworden idee. Jadi seperti satu pengelamunan, satu cita­cita kemnudian terselenggara. Marx membantah akan hal itu, dan mengatakan akan hal itu, dan mengatakan negara adalah satu macht­organisatie, yang bukan timbul sebenarnya daripada idee, tetapi daripada verhoudingen, daripada klassen­strijd, perbandingan­ perbandingan di dalarn masyarakat yang bertabrakan satu sama lain ini memaksa kepada keadaan terbentuknya macht­organisatie sebai:,ai kelas yang menang.

Dan oleh karcna negara menurut anggapan Marx adalah macht organisatie daripada kelas yang menang, maka Marx berkata: di kelak kemudian hari jika telah tercapai satu masyarakat yang tidak berkelas (sekarang ini masih ada kelas kapitalis, kelas proletar), tetapi di kelak kemudian hari jikalau kelas kapitalis sudah hilang, tinggal satu masyarakat yang tidak berkelas katanya, semuanya itu satu golongan saja tidak ada kapitalis, proletar, tidak ada feodal tidak ada horige, di dalam masyarakat yang tidak ada berkelas lagi, kata Marx, dengan sendirinyapun negaranya lenyap. Satu maatschappij yang klassenloos akan menjelmakan juga satu maatschappij yang staatloos. Itu anggapan Marx.

Tetapi bagi kami, terutama sekali untuk menyelamatkan kita punya Republik Indonesia ini, kami menggambarkan negara ini dengan cara yang populer, yaitu menggambarkan gambaran wadah, agar supaya bangsa Indonesia mengerti bahwa wadah inilah yang harus dijaga jangan sampai retak. Dan wadah ini hanyalah bisa selamat tidak retak, jikalau wadah ini didasarkan di atas dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen­elemen yang tersusun daripada Pancasila. Gelas terbuat dari gelas, cangkir terbuat dari porselen, keranjang terbuat dari anyaman bambu, periuk terbuat daripada tanah, belanga terbuat daripada tanah atau tembaga.

Wadah kita yang bernama negara ini, terbuatlah hendaknya daripada elemen­elemen yang tersusun dari Pancasila. Sebab hanya jikalau wadah ini terbuat daripada elemen­ elemen itu saja, dan hanya kalau wadah ini ditaruhkan di atas dasar Pancasila itu maka wadah ini tidak retak, tidak pecah.

Aku berani mengatakan ini karena aku telah melihat sendiri di beberapa daerah daripada tanah air kita ini manakala sesuatu ide saja dipakai sebagai dasar, datanglah perpecahan. Ada daerah yang dengan tegas menyatakan moh tidak mau ikut itu aku hanya mau Pancasila. Pancasila itu saialah yang bisa mempersatukan kami semuanya.

Oleh karena itu aku masih yakin baiknya Pancasila sebagai dasar negara. Ini wadah bisa diisi, dan mcmang wadah ini telah terisi masyarakat. Masyarakat ini yang harus diisi. Orang Islam isilah masyarakat ini dengan Islam. Orang komunis, masukkan­lah atau isilah masyarakat ini dengan komunisme. Orang Kristen, masukkanlah kekristenan di dalam masyarakat ini. PNI yang berdasar di atas marhaenisme, isilah masyarakat ini dengan marhaenisme, dengan satu masyarakat yang berdasar dengan marhaenisme. Masyarakatnya yang harus diisi. Tempo hari aku menggambarkan dengan tamzil lain, ini wadah diisi air, engkau mau apa, airnya diisi dengan warna apa, warna hijau, ya isilah dengan hijau air ini. Engkau senang warna merah, isilah dengan warna merah. Engkau senang dengan warna kuning, isilah air ini dengan warna kuning. Engkau senang kepada warna hitam, isilah air ini dengan warna hitam. Airnya yang harus diisi, bukan wadahnya. Wadahnya biar tetap dengan berdasarkan Pancasila, tetap terbuat daripada elemen­ elemen Pancasila ini. Sebab bilamana tidak, maka wadahnya retak. Kalau retak, bocor. Bisakah kita mengisikan air di dalam beker yang retak? Tidak! Bisakah kita mengisikan susu di dalam beker yang retak? Tidak! Oleh karena itu kita harus jaga jangan sampai wadah ini retak.

Saudara­saudara
Inilah pokok daripada anjuranku kepada segenap bangsa Indonesia supaya mengerti betul­betul akan hal ini. Orang berkata aku diktator katanya memaksakan orang memakan Pancasila. Tidak! Aku tidak berdiktator. Pertama aku sekadar menjaga jangan sampai negara ini pecah. Dan sebagai telah kukatakan di satu tempat aku berbicara sebagai Presiden Republik Indonesia dan tatkala aku dijadikan Presiden Republik Indonesia aku harus mengucapkan sumpah. sumpah mem­pertahankan dan setia kepada UUD. Dan di dalain UUD ini Mukaddimahnya dengan tegas mengatakan hal Pancasila itu. Kita telah mengalami beberapa UUD Sementara. Bahkan sebelum ada UUD Senientara itu kita telah mengalami apa yang dinamakan Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter telah disebutkan lima sila itu.

Kemudian di dalam UUD daripada Negara Republik Indonesia yang pertama, Pancasila sebagai Mukaddimah, kemudian di dalam UUD RIS. Mukaddimah­nyapun berisikan Pancasila. Kernudian di dalam UUD Sementara yang sekarang ini, lagi­lagi Pancasila. Di atas UUD ini aku harus mengadakan surnpah. Tidakkah sudah sebaiknya sepantasnya seyogyanya seharusnya semestinya aku tidak berhenti­henti membela kepada Pancasila ini sebagai dasar negara. Dasar negara yang UUD­nya telah kusumpah. Dan bukan saja oleh karena aku telah bersumpah, tidak! Lebih daripada sumpah itu, ialah keyakinan di dalam dadaku bahwa Pancasila ini adalah satu­satunya yang dapat menyelamatkan Negara Republik Indonesia ini. Oleh karena itu aku dengan yakin pula berkata kepada semua orang harap Pancasila ini dipertahankan. Sebab jikalau Pancasila tidak diper­tahankan sebagai dasar negara kita, kita nanti mengalami bencana. Bolehkah kita mempropaganda­kan ideologi kami? Boleh semerdeka­merdekanya. Tetapi negara, tetaplah letakkan di atas Pancasila.

Beberapa kali di dalam waktu yang akhir­akhir ini malahan aku berkata kita hendak mengadakan konstituante, hendak mengadakan pemilihan umum untuk konstituante dan DPR. Aku dengan tegas selalu berkata pemilihan umum buat apa, untuk memilih konstituante. Konstituante untuk apa, untuk menyusun UUD tetap. Apa sebab tetap, oleh karena UUD kita sekarang ini masih sementara. UUD tetap untuk apa, kataku untuk negara yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak untuk negara lain, negara baru. Tegas kataku, adakah orang yang hendak mau diajak membikin ULID baru bagi sesuatu negara lain sesuatu negara baru yang bukan negara 17 Agustus 1945?

Mungkin ada orang­orang yang demikian itu. Tetapi aku yakin Saudara­saudara tidak mau. Sebab itu aku berkata dan menganjurkan kalau diajak oleh seseorang mengadakan UUD tetap untuk sesuatu negara lain. negara baru, bukan negara yang kita proklamirkan bersama pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan tegas aku berkata jangan mau!

Tidakkah kita untuk itu kita berjuang untuk negara yang kita proklamirkan 17 Agustus 1945? Kalau kita tidak berjuang lagi untuk negara yang 17 Agustus 1945, kalau tidak sekarang ini masih kita membanting tulang mengulur kita punya tenaga, memeras kita punya keringat untuk negara 17 Agustus ini lebih baik kita tidur, jangan bekerja jangan berjuang. Sebab negara ini yang kita cita­citakan sejak dari dahulu. Negara ini penluda­ pemuda kita telah mengorbankan dia punya jiwa dan raga. Untuk negara ini bapak kita telah membakar dia punya rumah. Untuk negara ini kita punya pelayan­pelayan ikut berjuang menderita sehebat­hebatnya. Untuk negara ini kita pegawai­pegawai mengungsi ke gunung­gunung. Untuk negara ini kita punya gerilya kita punya TNI hancur habis­habisan. Untuk negara ini kita punya bumi hangus. Untuk negara ini kita punya pemimpin­pemimpin beriburibu masuk penjara ada yang digantung oleh Belanda. Tidakkah benar kataku ini?

Apa sebab sekarang kita mau membuat Undang­Undang Dasar tetap bagi sesuatu negara lain atau negara baru. Jangan! Jangan!

Adakah yang mengadakan negara lain? Ya ada, antara lain, Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh. Dan ada orang­orang yang simpati kepada Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh. Tetapi kita tidak mau dan kita mohon kepada Allah swa ya Allah ya Rabbih, semoga kita tetap kepada tekad yang semula yaitu setia kepada Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Saudara­saudara
Sekarang kita menghadapai soal ini: “Pancasila tetap sebagai dasar negara atau tidak”. Aku sebagai Presiden Republik Indonesia dan lebih­lebih pula sebagai Bung Karno. aku tetap menganjurkan pakailah Pancasila ini tetap sebagai dasar negara kalau kita tidak ingin negara ini menjadi pecah.
Ini satu perjuangan yang mengenai dasar. Ini menjadi satu perjuangan untuk meyakinkan Saudara­saudara kita yang lain­lain yang belum yakin. Dan perjuangan yang demikian ini tidak bisa kita jalankan dengan diam­diam. Perjuangan yang demikian ini merninta kita mencurahkan segenap kita punya tenaga segenap kita punya daya penarik, segenap kita punya daya meyakinkan kepada orang lain. Kita harus bekerja keras sekeras­kerasnya. Tatkala dulu pemimpin­pemimpin menyebar­kan paham entah pa­ ham ke Islaman, entah paham kesatuan Indonesia, entah paham sosialisme, entah paham komunisme, entah paham Markhaenisme, mereka tidak duduk memeluk lutut. Mereka bergerak, meninggalkan kursi yang empuk­empuk, mereka masuk kampung keluar kampung, masuk desa keluar desa. Mereka menjalankan darma baktinya dengan memberikan tenaga yang 100%.

Kita sekarang menghadapi konstituante, pemilihan umum. Segenap jiwa ragaku ingin agar dasar Pancasila ini tetap dipakai oleh bangsa Indonesia. Aku sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sering bisa meninggalkan Istana Negara atau Istana Merdeka ini. Kalau umpamanya aku manusia biasa bukan Presiden, insya Allah swa. tiap hari aku akan masuk kampung dan desa. Tiap hari suaraku kugunturkan dan isinya suaraku tak lain tak bukan, hai bangsa Indonesia jangan negara kita ini sampai retak. Jangan negara Republik Indonesia ini sampai terpecah belah. Marilah kita selamatkan negara ini, dan selamatnya hanya bisa di atas dasar Pancasila.

Aku minta kepadamu sekalian. untuk betul-­betul menganjurkan hal Pancasila ini kepada segenap rakyat agar supaya selamatlah negara kita ini.

Sekian, terima kasih.

Minggu, 30 April 2017

Download Pidato Bung Karno Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945

Pada 1 Juni 2017 ini, Presiden Jokowi telah menetapkan hari tersebut sebagai hari libur nasional. Keputusan tersebut merupakan keputusan hal yang sangat bijaksana. Mengingat pada tanggal tersebut terjadi peristiwa sejarah yang sangat besar. Ir Sukarno (Bung Karno) menyampaikan pidato pertama tentang Pancasila. Di bawah ini merupakan teks pidato pertama Pancasila yang diucapkan Bung Karno di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, 1 Juni 1945).





Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!

Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk menge­mukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Maaf, beribu maaf. Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische-grondslag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikir­an – yang – sedalam-dalamya, jiwa, hasrat – yang – sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
Merdeka buat saya ialah: political independence – politieke onafhankelijkheid.”
Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini – “zwaarwichtig” akan perkara yang kecil-kecil. “Zwaar-wichtig” sampai – kata orang Jawa – “jelimet”. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.

Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi banding-kanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggeris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka.
Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyat­nya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu.

Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan peme­rintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toh Saudi Arabia merdeka!

Lihatlah pula – jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adalah rakyat Musyik yang lebih daripada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan menge­tahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-­macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, – sampai di lubang kubur!

(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ’33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun ’33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.

Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, – in one night only! -, kata Amstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn Saud berulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandang-an sebagai nomade yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk ber­cocok tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, – semuanya di seberang jembatan.

Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Jnepprprostoff, dam yang maha besar di sungai Jneppr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru meng-adakan Jnepprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-­tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya tuan-tuan punya semangat, – jikalau tuan-tuan demikian, – dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!

(Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada­hal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MER­DEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!

(Tepuk tangan riuh).

Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, – kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar­ hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhan-kelijkheid, ti­dak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar!

Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesem­patan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo diganti dengan orang­-orang Indonesia pada sekarang ini, sebenarnya kita telah menda­pat political independence, politieke onafhan-kelijkheid, – in one night, di dalam satu malam!

Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semua-nya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka?

(Seruan: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)

Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggeris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggeris sanggup mem-perta­hankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.

(Tepuk tangan riuh)

Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusiapun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih f. 500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada per­madani, sudah ada lampu listrik, sudah mempu-nyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai meja-kursi yang se­lengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu “meja makan”, lantas satu zitye, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara ­saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitye, satu tempat tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrische­kookplaat, tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig. belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!

(Tepuk tangan, dan tertawa)

Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus kinder-uitzet, – buat 3 tahun lamanya! (Tertawa).

Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: – kita ini berani merdeka atau tidak ? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang ter­lebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala men-jawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap – tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka! (Tepuk tangan riuh)

Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di da1am Indonesia Merdeka itulah kita me-merdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu persatu.

Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit honge-rudeem, ba­nyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”.

Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng ker­bau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah di­utarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenar-nya inter­nationaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!

Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationaal-recht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak perduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum inter­nasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya, – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menye-lesai­kan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak? (Jawab hadirin : Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.

Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophische grondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”.
Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Welt-anschauung”, – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltan-schauung”, yaitu Marxistische, His­torisch – Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu “Weltan-schauung”, yaitu yang dinamakan “Tennoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tennoo Koodoo Seishin” inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, men-dirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltan­schauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltan­schauung”, bekerja mati-matian untuk me “realiteitkan” “Weltan­schauung” mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misal­nya, walaupun menurut perkataan John Reed: “Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”, – John Reed, di dalam kitabnya: “Ten days that shook the world”, “sepuluh hari yang menggoncangkan dunia” -, walaupun Lenin mendirikan Sovyet­ Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltan-schauung” nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”- nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Welt­anschauung” yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di “generale-repetitie” – kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” daripada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltan­schauung” itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?

Di dalam tahun 1933 Hitler manaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas
National-Sozialistische- Welt­anschauung.

Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Welt­anschauung” itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiar­kan pula, agar supaya Naziisme ini, “Weltan-schauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “Munchener Putsch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar “Welt­anschauung” yang telah dipropa-gandakan berpuluh-puluh tahun itu.

Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indone­sia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialime? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yan Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiong­kok merdeka, tetapi “Weltanschauung” nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles” San Min Chu I, -Mintsu, Minchuan, Min Sheng, – nasionalisme, demokrasi, sosialisme, – telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau men-dirikan negara baru di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme – kah, Marxisme – kah, San Min Chu I – kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, – macam-macam -, tetapi alangkah benarnya perkataan dr.Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltan-schauung” yang kita semua setuju.

Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indo­nesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-­saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semua-nya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indo­nesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.

Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara­-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebang­saan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta ke-pada saudara­-saudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya kata­kan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu National Staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan­pun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu National Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya urai-kan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang di­namakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa:
“le desir d’etre en­semble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan dijawabnya ialah:
“Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”.
Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu per­satuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Profesor Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengada-kan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.

Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoe-soemo, atau tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipi­sahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekadar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft” nya dan perasaan orangnya, “1’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah swt membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengata-kan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “golfbreker” atau pengadang gelombang laut­an Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengata-kan, bahwa kepulauan Inggeris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah swt demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani. adalah satu kesatuan.

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita. tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesia lah tanah air kita. Indonesia yang bulat. bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah swt menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer, “aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charakter-gemeinschaft” itu.

Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minang-kabau. Di antara bangsa di Indonesia, yang paling ada “le desir d’etre ensem­ble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2­ milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minang­kabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indo­nesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopoli­tik yang telah ditentukan oleh Allah swt, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! , karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi “Charakter­gemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indone­sia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu , sekali lagi satu!
(Tepuk langan hebat).
Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nation­ale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”.
Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jer­mania lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia lah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di Utara di-batasi oleh pe­gunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India ah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan di jaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-­raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah mem­bentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bernama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.
(Tuan Liem Koen Hiant: Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.)
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya “menschheid”, “perike­manusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa!
Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, – katanya: jangan ber-paham kebangsaan, tetapi berpaham­lah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebang­saan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, – ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran yang mem­bongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsan, oleh pengaruh “The Three People’s Principles” itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indone­sia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterimakasih kepada Dr. Sunn Yat Sen, – sampai masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara. Tetapi…, tetapi…, memang prin­sip ke-bangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, se-hingga berpaham “Indonesia uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mem­punyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsa-an saya adalah perikemanusiaan”.
“My nationalism is humanity”.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, beram­but jagung dan bermata biru, “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch prin­cipe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-Tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggeris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indo­nesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak un­tuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk me-meli­hara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam, – maaf beribu-­ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, – tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang ter-besar daripada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indo­nesia rakyat yang bagian terbesarnya rakyat Islam, dan jikalau me­mang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malah­an saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun ter­utama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada per­juangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-­betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-­akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-­saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-per­aturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-ma­tian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, – fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada per­geseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara prin­sip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejah­teraan, prinsip: tidak akan ada kemiskin­an di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidak-kah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-­badan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu, sekadar menu­rut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah politieke democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, – takada keadilan sosial, tidak ada ecomomis economische democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggam­barkan politieke democratie.”Di dalam Parlementaire Democra­tie”, kata Jean Jaures, “di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parle­men. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi:
“Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister. la seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di kalangan paberik, – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demo­krasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusya-waratan yang memberi hidup, yakni politieke economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu-Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadil­an, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke recht­vaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara­saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monar­chie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “vooronderstelt erfe­lijkheid”, – turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negarapun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, mau­pun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indo­nesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anak-nya Ki Hadi­koesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepa­da prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5?
Saya telah menge­mukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, –atau perikemanusiaan
3. Mufakat, –atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber­tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menu­rut petunjuk Isa al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita se­muanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara ke­budayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”.
Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad saw telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indo­nesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pengkuan azas yang kelima inilah, saudara-­saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan ber-Tuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing de­ngan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa Lima).
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasio­nalisme, mufakat, kesejahteraan dan ke-Tuhanan, lima pula bilang­annya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman akhli bahasa – namanya ialah Pancasila.
Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar­dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nasionalisme.
Dan Demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek­economische democratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio – democratie.
Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-national­isme, socio-demokratie, dan ke-Tuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indo­nesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indo­nesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, – semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah).
“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggam­barkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama – sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang ber­sama, pemerasan keringat bersama, perjoangan bantu-binantu ber­sama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepent­ingan bersama! Itulah Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh-ren­dah).
Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-­saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usul­kan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, – di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa kita mendirikan negara Indo­nesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indo­nesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubungan dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh be­berapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltan-schauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan In­donesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perike­manusiaan; untuk permufakatan; untuk sosiale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltan­schauung dapat menjelma dengan sendiri-nya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan per­juangan!
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, janganpun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
“De Mensch”, – manusia! – , harus perjuangkan itu. Zonder perjuangan itu tidakkah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perju­angan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang mer-deka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar per­musyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale re­chtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdiri­nya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyeleng­garakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan teru­tama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Mer­deka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani men­gambil resiko, – tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai mer­deka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka, – merdeka atau mati” !
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “ver­schrikkelijk zwaarwichtig” itu.
Terima kasih!
(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin.)



Download Pidato Bung Karno Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 pdf  ⏪

(Google Drive)