Tampilkan postingan dengan label Di Bawah Bendera Revolusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Di Bawah Bendera Revolusi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Oktober 2017

Surat Saudara Ir. Sukarno dari Sukamiskin


Ilustrasi Bung Karno

KEPADA SAUDARA MR. SARTONO

Sukamiskin, 14 Desember 1931.

Yth. Saudara Mr. Sartono di Jakarta.



Saudara,



Dari saudara Thamrin yang kemarin pagi mengunjungi saya di dalam penjara Sukamiskin, saya mendapat berita, bahwa dari mana-mana tempat (jauh dan dekat) datanglah khabar, bahwa banyak sekali saudara-­saudara kaum sefaham yang berniat menjemput saya beramai-ramai di ­muka penjara Sukamiskin nanti pada hari Kemis 31 Desember pagi-pagi. Berita ini sangatlah mengharukan hati saya, dan memenuhinyalah dengan rasa cinta dan terima kasih pada sekalian saudara-saudara yang begitu setia itu. Tetapi walaupun begitu, menurut fikiran saya, penjemputan itu kurang perlu. Zaman sekarang adalah zaman meleset, zaman kesempitan pencaharian rezeki, – uang yang akan dipakai untuk perongkosan itu, terutama bagi saudara-saudara yang dari jauh, lebih utamalah kalau digunakan untuk barang yang lebih berfaedah. Oleh karena itu, maksud untuk menjemput saya beramai-ramai itu seyogianya janganlah dilang­sungkan.



Untuk saudara-saudara dari Bandung sendiri dan sekitarnya, sepan­jang hari Kemis 31 Desember itu, dari pagi sampai sore, kada cukup kesempatan untuk berjumpa dengan saya. Sebab baru keesokan harinyalah saya berangkat ke Surabaya dengan kereta api eendaagsche untuk hadir di dalam kongres Indonesia-Raya. Dan di dalam kongres itupun saya tokh akan berhadapan muka juga dengan banyak dari saudara-saudara.



Kawan-kawan yang lain-lain haruslah sabar: Insya Allah, saya tiada akan lupa lekas-lekas menemui mereka.

Di dalam zaman meleset ini kita harus berhemat!

Dengan salam pergerakan.

Saudaramu,



SUKARNO

Keadaan di Penjara Sukamiskin, Bandung



Sukamiskin, 17 Mei 1931.

Saudaraku!

Barulah sekarang ada sepucuk surat dari Sukamiskin kepada Saudara. Lebih baik saya katakan daripada tidak sama sekali saya berkirim surat kepada Saudara, karena orang tangkapan seperti macamku ini hanyalah sekali dalam dua minggu boleh berkirim surat. Dua pekan yang lalu ada jugalah kesempatan bagiku untuk mengirimkan surat, tetapi kesempatan itu saya pakai untuk memberi kabar kepada isteriku, bahwa saya sudah dipindahkan ke Sukamiskin, dan dia boleh datang melihat dan berbicara dengan saya dua kali dalam sebulan, serta tidak boleh membawa apa-apa sebagai tanda-kasih atau “oleh-oleh” untukku. Berapakah lamanya, cuma sepuluh menit. Menerima surat bolehlah saya tiap-tiap hari; tentu sahaja diperiksa baik-baik.


Tidak berapa lamanya sesudah masuk ke dalam rumah kurungan,

maka saya lalu bertukar pakaian dengan pakaian orang kurungan

yang berwarna biru; rambutku dipotong hampir menjadi gundul, di milimeter dalam bahasa Belandanya. Hampir segala apa yang saya bawa dari rumah tahanan (di kota Bandung) – itu semuanya diambil. Besok harinya hari besar Islam; jadi saya tak perlu bekerja. Sehari sesudah itu saya mesti pergi berbaris ke tempat … membuat kitab tulisan: di sanalah saya sampai sekarang meladeni satu daripada mesin garis dan mesin potong yang besar­-besar; tiap-tiap hari saya kerjakan berpuluh-puluh rim kertas: memedat barang, memuat dan membongkarnya. Pada malam hari kalau peker­jaan sudah selesai dan sesudah mandi yang lamanya ditentukan enam menit, ya, enam menit, dan membersihkan badan karena kotor oleh minyak mesin yang melekat pada tangan kaki dan pipi; dan kalau saya sudah makan, makan nasi merah dengan sambal yang sederhana, maka besarlah hati saya karena kembali ke dalam bilik kecil yang besarnya 1,50 x 2,50 M, sehingga dapat melepaskan lelah pekerjaan sehari-hari. Badanku sudah letih lesu, dan otakku seolah-olah tertidur (lethargie), sehingga kitab yang terbuka di hadapanku tidak terbaca lagi, dan belajarpun tak ada hasilnya. Sebentar lagi pukul sembilan cahaya mesti digelapkan dengan tidak dapat disangkal lagi; baiklah begitu, karena hari ini sudah bekerja keras, dan besoknya bekerja keras lagi, dan kedua-duanya memaksa saya mesti lekas pergi tidur.



Boleh juga pergi ke bilik tempat bermain-main, ke recreatie-zaal.

Di sana boleh bermain dan bermain catur; dapat membaca kitab perkara sport, perdagangan dan kitab yang berdasarkan agama; membaca ditengah­-tengah saudara-saudaraku yang sedang bersuara: dapat juga berkata-kata. Tetapi hati dan badan yang haus tiadalah dapat dipenuhinya; itupun menurut perasaanku pula. Itulah sebabnya, maka saya hanya sekali-kali sahaja pergi ke sana;

biasanya malam hari saya berkurung dalam bilikku sahaja.



Saya coba-coba mengusahakan supaya waktu dalam bilik kecil

ini besar hasilnya. Sampai sekarang percobaan itu tak ada manfaatnya. Karena tahadi telah saya katakan: saya tak dapat belajar dengan baik, karena badan sudah payah. Otak seolah-olah dapat penyakit kekurangan darah (anaemie), sehingga tidak banyak yang dapat diterima dan difikir­kannya; otakku merasa lekas benar penuh isinya, lekas payah. Alangkah baiknya, sekiranya ada surat-kabar. Tetapi segala surat-kabarku-ditahan, begitu juga surat-berkala; sedangkan “d’Orient” tak boleh saya terima.



Bibliotheek rumah kurungan ini lebih dimaksudkan sebagai pelepas lelah dan untuk mempertebal perasaan agama daripada untuk belajar. Kitab pengetahuan hanya sedikit; untuk keperluanku, yaitu perkara sosial dan sosiologi, tidak ada sama sekali. Memasukkan buku sendiri hanya diizinkan dengan pemeriksaan keras. Dahulu dalam rumah kurungan di Bandung, dapat juga saya meneruskan pelajaranku perkara pergaulan hidup dan sejarah, walaupun dengan beberapa perjanjian yang berat‑berat. Tetapi sekarang pelajaran ini, yaitu untuk mengetahui pergerakan pergaulan hidup, syarat-syarat pergerakan dan pergaulan orang Timur, semuanya itu terpaksalah saya hentikan, tak dapat diluaskan lagi. Bagai­mana jadinya? Hanyalah ini: Sukamiskin ialah tak lebih daripada suatu rumah kurungan, dan saya ini tak lebih daripada seorang-orang hukuman; seorang manusia yang mesti menyembah larangan dan suruhan, seorang manusia yang mesti melupakan kemanusiaannya. Dahulu dalam rumah tahanan hidupku telah dibatasi, sekarang batasnya bertambah sempit lagi. Segalanya di sini dikerjakan dengan suruhan komando; makan, pulang balik ke tempat bekerja, makan, mandi, menghisap udara, keluar masuk bilik kecil, semuanya dikerjakan seperti serdadu berbaris; semua­nya seolah-olah disamakan dengan suatu derajat, tempat kemauan merdeka mesti dihilangkan. Orang hukuman sebenarnya tiada lain dari­pada seekor binatang ternak; orang hukuman menurut kata pengarang Jerman Nietzsche, ialah seorang manusia yang dijadikan manusia yang tiada mempunyai kemauan sendiri, seperti binatang ternak. Sungguh sayang benar hati kita kepada Nietzsche! Kalau dicobanya menghidupkan seorang “uber-Mensch”, dalam suatu rumah kurungan, yaitu orang yang lepas dari segala kebaikan dan keburukan, tentulah akan sia-sia belaka. Alangkah heran hatinya, setelah dibacanya kembali kitabnya, yang bernama “Zarathustra”!

Seperti saya ini tinggal dalam bilik kecil pada malam hari dipandangnya sebagai keburukan yang paling kecil; tinggal dalam kandang yang sempit, tempat manusia dapat insyaf akan dirinya, tempat manusia dapat mengemudikan sedikit-sedikit, walaupun dibatasi betul-betul. Saya tentu akan dibenarkan, kalau saya lebih suka dibuang tiga tahun daripada dihukum 21/2 tahun dalam rumah kurungan … Tetapi entah di mana ada tertulis kalimat ini: “Walau di mana sekalipun, patutlah kemajuan diusahakan!” Hatiku tinggal tetap; selalu insyaf akan diriku; tak pernah saya melupakan suara hatiku. Dan selalu saya mengusahakan kemajuan itu, baik dahulu atau sekarang. Barang siapa yang tidak berusaha menu­ju derajat Uber-Mensch, itulah tandanya ia tak tahu akan suruhan kemajuan. Korban yang sebenar-benarnya dilakukan tentulah tidak akan terbuang-buang sahaja; bukankah Sir Oliver Lodge telah menga­jarkan “no sacrifice is wasted” atau dalam bahasa Jawa “Jer basuki mawa beya”.

Rabu, 18 Oktober 2017

Ke Arah Persatuan



MENYAMBUT TULISAN H. A. SALIM

Kaum pergerakan di Indonesia adalah berbesar hati, bahwa semangat persatuan Indonesia sudah masuk ke mana-mana.

 Semangat itu sudah melengket di atas bibir tiap-tiap orang

pergerakan Indonesia, mendalam ke hati tiap-tiap orang Indonesia yang berjoang membela keselamatan tanah-air dan bangsa. Ia mewahyui berdirinya Studie Club di Surabaya dan di Bandung. Ia menjadi kekuatan-penghidup yang menyerapi badan-persaudaraan pandu Indonesia, yakni P.A.P.I. Ia menjadi alas dan sendi yang teguh bagi gerak dan terjangnya P.N.I. Ia menjadi rokh dan penuntun bagi berdirinya dan geraknya P.P.P.K.I  Ia, Semangat Persatuan Indonesia, ialah yang menyebabkan kini tiada lagi perselisihan antara fihak kanan dan fihak kiri, tiada lagi pertengkaran antara kaum “sabar” dan kaum “keras”, tiada lagi percerai-beraian antara kita dengan

kita … Dan di dalam Kerja-Persatuan ini, yang memang tiap-tiap putera Indonesia dan tiap-tiap partai Indonesia telah kerjakan

dengan sepenuh-penuh keyakinannya dan sepenuh-penuh kekuatannya, maka P.N.I. sangatlah bersuka-syukur serta mengucap Alhamdulillah, bahwa P.N.I. ada kekuatan ikut urun tenaga dan ikut urun usaha, ikut berdiri di dalam bagian barisan yang terkemuka. P.N.I. di dalam umurnya yang baru setahun itu adalah mempunyai hak untuk berbesar hati, bahwa tiadalah sedikit bagian yang ia ambilnya dalam pengabdian menjadi hamba dari pada Semangat-Persatuan dan Kerja-Persatuan itu. P.N.I., Alham­dulillah, dalam Kerja-Persatuan itu, tidaklah ketinggalan …

Di dalam tiap-tiap rapat, di dalam tiap-tiap pertemuan, di dalam tiap­-tiap tulisan, maka voorzitter H.B.P.N.I. (Pengurus Besar P.N.I.) tiada puas-puasnya mengajak dan menggerak-gerakkan kemauan kepada Persatuan Indonesia itu, tiada puas-puasnya membangun-bangunkan keinsyafan akan benarnya pepatah “rukun membikin sentausa”, – tiada puas-puasnya membangkit-bangkitkan bangsa Indonesia masuk ke dalam kalangan pergerakan, tidak sahaja dalam kalangan P.N.I., tetapi juga­lah hendaknya masuk ke dalam kalangan Budi Utomo, masuk ke dalam kalangan Pasundan, masuk ke dalam kalangan Partai Sarekat Islam, dan masuk ke dalam kalangan partai-partai Indonesia yang lain, … yakni sebagai suatu bukti, bahwa P.N.I. tidak sekali-kali meninggi-ninggikan diri di atas partai-partai yang lain itu, tidak sekali-kali menyombongkan din sebagai partai yang terbaik satu-satunya. Tiada puas-puasnya voorzitter (Ketua) H.B.P.N.I. membangun-bangunkan dalam hati-sanubari sesama bangsa Indonesia perasaan cinta pada tanah-air, membangun­bangunkan rasa ridla-hati menghamba dan mengabdi pada Ibu-Indonesia, agar supaya dengan kekuatan perasaan cinta tanah-air dan dengan wahyunya keridlaan hati menghamba pada Sang Ibu itu, dengan gampang diperkuat lagi perasaan cinta-rukun satu sama lain, dan dengan gampang diperkuat lagi keridlaan hati membelakangi kepentingan-kepentingan partai yang sempit, guna mengemukakan kepentingan yang lebih besar dan lebih tinggi, yakni kepentingan Persatuan itu adanya.

 Dan kita yakin, bahwa memang t i a d a partai Indonesia yang kini tidak insyaf akan gunanya Persatuan itu, t i a d a partai Indonesia yang kini sengaja mencari-percerai-beraian, t i a d a partai Indonesia yang kini tidak bekerja dan berusaha memperkokoh dan memperteguh Persa­tuan itu. Kita yakin, bahwa Rokh-Persatuan inilah juga yang hidup dalam kalbu saudara Haji Agus Salim, tatkala beliau menulis karangan dalam “Fajar Asia” no. 170  yang akan kita bicarakan di bawah ini. Kita yakin, bahwa tidak sekali-kali saudara Salim itu bermaksud persaingan dan per­ceraian, tatkala saudara itu, dalam pemandangannya atas pidato voorzitter H.B.P.N.I. tentang faham cinta tanah-air dan faham menghamba pada tanah-air, menulis kalimat-kalimat yang kita kutip di bawah ini:

 “Atas nama “tanah-air”, yang oleh beberapa bangsa disifatkan  “Dewi” atau “Ibu”, bangsa Perancis dengan gembira menurunkan Lodewijk XIV, penganiaya dan pengisap darah rakyat itu, menyerang, merusak, membinasakan negeri orang dan rakyat bangsa orang, sesamanya manusia.

Atas nama “tanah-air” kerajaan Pruisen merubuhkan Oostenrijk daripada derajat kemuliaannya itu.

 Atas nama “tanah-air”, balatentara Perancis menurut tuntutan Napoleon menakluk-menundukkan segala negeri dan bangsa yang berdekatan dengan dia, menghinakan raja-raja orang dan menindas rakyat bangsa lain.

Atas nama “tanah-air” pemerintah Jerman pada sebelum perang besar dan dalam masa perang itu, menarik segala anak laki-laki yang sehat dan kuat dari pada ibu-bapaknya, dari pada kampung dan halamannya, bagi menguatkan balatentara untuk mengalahkan, menaklukkan dunia.

Atas nama “tanah-air” Italia sekarang ini memberi senjata, sampai kepada anak-anak, laki-laki dan perempuan, supaya kuat negerinya merendahkan derajat orang di negeri orang, merampas hak orang atas tanah-air orang itu, memperhambakan kepada bangsanya juga.

Bahkan, atas nama “tanah-air” masing-masing, kita lihat bangsa-­bangsa Eropah merendahkan derajat segala bangsa luar Eropah, bagi meninggikan derajat bangsa Eropah atas segala bangsa luar Eropah.

Demikianlah kita lihat, betapa “agama”, yang menghambakan manusia kepada berhala “tanah-air” itu mendekatkan kepada persaingan berebut-rebut kekayaan, kemegahan dan kebesaran; kepada membusukkan, memperhinakan dan merusakkan tanah-air orang lain, dengan tidak mengingati hak dan keadilan. Inilah bahaya, apabila kita “menghamba” dan “membudak” kepada “Ibu Dewi” yang men­jadi tanah-air kita itu karenanya sendiri sahaja; karena eloknya dan cantiknya; karena kayanya dan baiknya; karena “airnya yang kita minum”, dan “nasinya yang kita makan”.

Atas dasar perhubungan yang karena benda dunia dan r u p a dunia belaka tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan.”

Begitulah tulisan Haji Agus Salim. Begitulah tulisan, yang walau­pun kita sesalkan kurang jelasnya, sekali-kali tidak menimbulkan pada kita dugaan akan persaingan dan perceraian, dan memang tidak bermak­sud persaingan dan perceraian itu. Bukankah begitu, saudara Haji Agus Salim?

Dan begitu juga kitapun, – kita, yang memang menulis anasir Persatuan Indonesia di atas panji dan di atas bendera kita kitapun tidak sekali-kali bermaksud persaingan, tidak sekali-kali bermaksud perceraian serambutpun dengan tulisan ini, bahkan mendoa-doa, moga-moga oleh tulisan ini Persatuan antara kita dengan kita dapat menjadi lebih kokoh dan lebih sentausa karenanya. Kitapun masih menetapi akan pepatah: “di dalam persatuan kita berdiri, di dalam perceraian kita jatuh, – united we stand, divided we fall” … Tulisan ini hanyalah tulisan penambah. Ia hanyalah bermaksud mengemukakan apa-apa yang H. Salim lupa menge­mukakan. Ia hanyalah bermaksud mengenyahkan salah-faham yang bisa juga timbul dari pads tulisan    H. Salim itu. Ia tidak membantah, ia tidak menyerang.

Ia menambah belaka …

 Sebab Haji Agus Salim lupa mengatakan, bahwa rasa-kebangsaan yang beliau gambarkan dengan kalimat-kalimat yang kita kutipkan tahadi, ialah rasa-kebangsaan yang b e r l a i n a n dengan rasa-kebangsaan yang kini berapi-api di dalam hati-sanubari kita, kaum Nasional Indonesia.

Haji Agus Salim lupa mengatakan, bahwa rasa cinta pada tanah-air yang menggelapkan matanya pengikut-pengikut Lodewijk XIV, pengikut­-pengikut Napoleon, pengikut-pengikut Bismarck, pengikut-pengikut Mussolini, pengikut-pengikut “raja-riwayat” yang lain-lainnya, – bahwa rasa cinta pada tanah-air yang menjadi sebabnya tabiat angkara-murka di Eropah itu ialah rasa-kebangsaan yang agressif, rasa-kebangsaan yang menyerang-nyerang.

Haji Agus Salim lupa mengatakan, bahwa beliau tabu, bahwa rasa­-kebangsaan yang dimaksudkan oleh Ir. Sukarno ialah rasa-kebangsaan yang tidak agressif, tidak menyerang-nyerang, tidak timbul daripada keinginan akan merajalela di atas dunia, tidak diarahkan keluar, tetapi ialah diarahkan ke dalam.

Haji Agus Salim lupa mengatakan, bahwa nasionalisme ke-Timur-an yang mitsalnya mewahyui juga Mahatma Gandhi, atau C. R. Das, atau Arabindo Ghose, atau Mustafa Kamil, atau Dr. Sun Yat Sen dan juga mewahyui kita, kaum nasional Indonesia, – bahwa nasionalisme ke-Timur­an ini adalah sangat berlainan dan menolak pada nasionalisme ke-Barat-an, yang menurut Bipin Chandra Pal ialah nasionalisme yang “duniawi”, nasionalisme yang “kerah (Jv) satu sama lain”.

Bahwa sesungguhnya… Sebagai yang sering-sering kali sudah

kita terangkan di mana-mana, sebagai yang kebetulan juga pernah kita tuliskan, maka nasionalisme kita, kaum nasional Indonesia, bukanlah nasionalisme yang demikian itu. “Ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari kesombongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme yang lebar, – nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah “jingo-nationalism” atau chauvinisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme Barat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, yang menerima rasa-hidupnya sebagai suatu wahyu, dan menjalankan rasa-hidupnya itu sebagai suatu bakti. Nasional­isme kita adalah nasionalisme, yang di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup. Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-Barat-an, yang menurut perkataannya C. R. Das adalah “suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluannya sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi” … Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan”, dan membuat kita menjadi “hidup dalam Rokh” sebagai yang saban-saban dikhotbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu. Dengan nasionalisme yang demikian ini maka kita insyaf dengan seinsyaf-insyafnya, bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah seba­gian daripada negeri Asia dan rakyat Asia, dan adalah sebagian daripada dunia dan penduduk dunia adanya … Kita, kaum pergerakan nasional Indonesia, kita bukannya sahaja merasa menjadi abdi atau hamba daripada tanah tumpah darah kita, akan tetapi kita juga merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba s e m u a kaum yang sengsara, abdi dan hamba dunia” …

Sekali lagi: nasionalisme kita, kaum nasional Indonesia, tidaklah berlainan daripada nasionalisme pendekar Islam Mustafa Kamil,yang mengatakan bahwa “cinta pada tanah-air adalah perasaan yang terindah yang bisa memuliakan nyawa”, – ia tidaklah berlainan daripada nasional­ismenya Amanullah Khan, pendekar Islam dan raja di Afghanistan, yang menyebutkan dirinya “hamba daripada tanah-airnya”; – ia tidaklah berlainan dengan nasionalismenya pendekar Islam Arabi Pasha yang bersumpah “dengan Mesir ke sorga, dengan Mesir ke neraka”; – ia tidaklah berlainan dengan nasionalismenya Mahatma Gandhi, yang mengajarkan bahwa nasionalismenya ialah sama dengan “rasa-kemanusiaan”, sama dengan “menselijkheid” … Ia, nasionalisme kita, yang oleh biru­-birunya gunung, oleh indah-indahnya sungai, oleh molek-moleknya ladang, oleh segarnya air yang sehari-hari kita minum, oleh nyamannya nasi yang sehari-hari kita makan, menjunjung, menjunjung tanah-air Indonesia di mana kita lahir dan di mana kita akan mati itu menjadi I b u kita yang harus kita abdii dan harus kita hambai, – nasionalisme kita itu tidaklah berlainan dengan nasionalisme yang berseri-seri di dalam semangatnya lagu nyanyian Bande Mataram yang menggetarkan udara pergerakan nasional India, yakni nyanyian yang juga memuji-muji negeri India oleh karena “sungai-sungainya yang berkilau-kilauan”, juga menjatuhkan air mata patriot India oleh pujiannya atas segarnya

“angin yang meniup dari puncaknya bukit-bukit Vindhya”, juga menguatkan bakti kepada tanah-air itu menjadi bakti kepada Janani Janmabhumi, yakni bakti kepada Ibu dan Ibu Tanah-Air adanya.

 Atau haruslah nasionalismenya Mustafa Kamil, nasionalismenya Amanullah Khan, nasionalismenya Arabi Pasha, nasionalismenya Mahatma Gandhi, nasionalismenya Dr. Sun Yat Sen, nasionalismenya Aurobindo Ghose, – haruskah nasionalismenya pendekar-pendekar yang di dalam pe­mandangan kita ada maha-besar dan maha-luhur itu, kita sebutkan agama yang menghambakan manusia kepada berhala “tanah-air” itu? Harus­kah nasionalisme yang berseri-serian di dalam kalbu pahlawan-pahlawan dan panglima-panglima kemanusiaan itu kita sebutkan pembudakan kepada “benda”? Haruskah nasionalisme ke-Timur-an dari pada pendekar­-pendekar ini, yang berganda-ganda kali lebih tingginya daripada imperia­listisch nationalisme ke-Barat-an yang “berkerah” satu sama lain, – haruskah nasionalisme yang demikian itu kita sebutkan berdasar “kedu­niaan” belaka?   Amboi, jikalau memang harus disebutkan begitu, – jikalau i t u yang disebutkan menyembah berhala, jikalau i t u yang disebutkan membudak kepada benda, jikalau i t u yang disebutkan mendasarkan diri atas keduniaan, – maka kita, kaum nasional Indonesia, dengan segala kesenangan hati bernama penyembah berhala, dengan segala kesenangan hati bernama pembudak benda, dengan segala kesenangan hati bernama mendasarkan diri atas keduniaan itu!

Sebab kita yakin, bahwa nasionalisme pendekar-pendekar itu, yang pada hakekatnya tidak beda asal dan tidak beda sifat dengan nasionalisme kita, adalah nasionalisme yang 1 u h u r ! .

Begitulah tambahan kita atas tulisannya Haji Agus Salim.

 Tambahan ini, sekali lagi kita katakan, tidaklah bermaksud persaingan, tidaklah bermaksud perpecahan. Jauh sekali kita daripada persaingan; jauh sekali kita dari pada perpecahan. Akan tetapi dekat sekali, sampai melengket di atas bibir kita, bersulur-akar dalam hati kita, terfiilkan dalam perbuatan-perbuatan kita, – dekat sekali kita daripada mencari peker­jaan-bersama dan Persatuan. Sebab di dalam pepatah “dalam persatuan kita berdiri, dalam perpecahan kita jatuh”, – di dalam pepatah inilah letaknya rahasia rakyat-rakyat menjadi besar, di dalam pepatah inilah juga letaknya rahasia rakyat-rakyat menjadi tersapu dari muka bumi. Di dalam pepatah inilah letaknya rahasia, yang P.N.I. dalam pekerjaan-bersama dengan Partai Sarikat Islam, ada cukup kekuatan untuk mendirikan P.P.P.K.I. Di dalam pepatah inilah letaknya jawab atas pertanyaan kita akan menang atau kita akan kalah, – jawab atas pertanyaan Indonesia-Sentausa atau Indonesia-Binasa, Indonesia-Luhur atau Indonesia-Hancur.


Oleh karena itu: tiada perceraian, tetapi maju, ke arah persatuan!

 SUKARNO


Dari fihak Nasional Indonesia.

 Bandung, 12 Agustus 1928.

 “Suluh Indonesia Muda”, 1928

Senin, 16 Oktober 2017

Kongres Kaum Ibu



Bedenk dat het voor de eer van de natie is, dat India’s vrouwen dag na dag treden voor de poorten den doods, zodat het yolk van India geboren mag worden duizendmalen vrij!

Sarojini Naidu

Pada penghabisan bulan Desember ini, maka kaum ibu Indonesia akan berkongres di Jogya.

 Bahagialah kongres kaum ibu: Diadakan pada suatu waktu, di mana masih ada sahaja kaum bapak Indonesia yang mengira, bahwa perjoang­annya mengejar keselamatan nasional bisa juga lekas berhasil zonder sokongannya kaum ibu; diadakan pada suatu waktu juga, di mana masih belum banyak tertanam keyakinan, bahwa tiada keselamatan nasional bila tidak terpikul oleh keselamatan kaum bapak d a n kaum ibu, dan bahwa “keselamatan nasional” yang demikian itu ialah keselamatan nasional yang pincang;- diadakan pada waktu yang demikian itu, maka kita sangatlah gembira hati. Dan kita tidak sahaja gembira hati akan kongres itu, oleh karena daripada kaum bapak masih banyak yang kurang pengetahuan akan harganya sokongan kaum ibu itu; kita tidak sahaja gembira hati akan kongres itu oleh karena kaum bapak belum insyaf akan keharusan­nya kenaikan derajat kaum ibu itu, – kita gembira hati ialah teristimewa juga oleh karena di kalangan kaum ibu sendiri belum banyak yang mengetahui atau menjalankan kewajibannya ikut menyeburkan diri di dalam perjoangan bangsa, dan belum banyak yang berkehendak akan kenaikan derajat itu. Adat-istiadat yang berabad-abad, adat-istiadat yang sudah menyulur-akar itu, adalah menyebabkan, yang banyak kaum ibu bangsa kita tak memikirkan soal kenaikan derajat, malahan ada yang memusuhi usaha menaikkan derajat itu: hamba yang bernama kaum ibu itu adalah banyak yang tak insyaf akan perhambaannya sendiri …

 Tetapi, … desakan zaman tak dapat alah, desakan zaman tentu menang. Desakannya zaman ini makin lama makin membukakan keinsyaf­an akan perhambaan kaum ibu itu, dan melahirkan perhatian akan “soal­ wanita” di Indonesia juga.

 Toch … jikalau kita bandingkan dengan negeri-negeri Asia lain, jikalau kita bandingkan dengan Turki, dengan Mesir, dengan India, dengan Japan dan lain sebagainya, di mana derajat kaum perempuan itu belum lama berselang toch juga rendah sekali dan juga terhina sekali, maka Indonesia kini tampak jauh sekali ketinggalan.

Sedang misalnya di negeri-negeri Asia yang lain orang sudah mulai banyak yang mengerti, bahwa agama Islam yang asli ialah tidak merendah­kan derajat kaum ibu, bahkan mempunyai orang-orang perempuan yang ternama dan termasyhur, sebagai Dewi Fatimah yang sering-sering ikut duduk berunding tentang soal-soal yang penting misalnya soal chalifaat, atau Zobeida permaisuri Harun-Al-Rashid yang mengongkosi pembuatan­nya jalan air di Mekkah dan mendirikan lagi kota Alexandria sesudah kota ini dilebur oleh bangsa Griek, atau Fakhroenvissa Sheika Shulda yang membuat ceramah-ceramah di muka umum di Bagdad tentang sastra dan syair, atau pula berpuluh-puluh tabib dan penyair perempuan di kota Cordova … sedang negeri-negeri yang lain-lain itu kaum ibunya sudah melepaskan diri daripada kesesatan tentang memahamkan kehendak­-kehendak Islam yang sejati, maka di Indonesia kaum yang beragama Islam masih banyaklah sekali yang belum terlepas daripada ikatannya kesesatan faham tahadi. Dan bangsa kita kaum ibu yang beragama lainpun, yang memang sebenarnya tiada ikatan yang semacam itu, adalah juga jauh ketinggalan oleh kaum ibu bangsa Asia yang lain tahadi. Lihatlah! Adakah Indonesia-Muda mempunyai seorang perempuan sebagai Halide Edib Hanum dan Nakie Hanum-nya Turki-Muda? Adakah Indonesia-Muda berputeri sebagai Sarojini Naidu atau Sarala Devi-nya India-Muda, se­bagai Soong Ching Ling-nya Tiongkok-Muda, sebagai Zorah Hanum-nya Persia-sekarang? Adakah Indonesia-Muda mempunyai isteri sebagai isterinya Saad Zahlul Pasha di Mesir-Baru? Dan adakah kaum ibu Indo­nesia pernah bergerak sebagai kaum ibunya Korea, yang menentang penghinaannya Jepang? Belum! Tetapi marilah tidak kecil hati.

Sebab jikalau zaman nanti sudah mau melahirkan lagi kita punya Ratu Wandan Sari atau kita punya puteri Ratu Ibrahim, jikalau zaman nanti sudah mau mengembalikan lagi Ratu Bundo Kandung atau

kita punya Ratu Jangpati, maka pastilah mereka lahir, pastilah mereka kembali juga!

Sekarang hendaklah kita selidiki sebentar, arti yang bagaimanakah harus kita beri pada soal-perempuan di Indonesia itu.

 Soal-perempuan di Indonesia. Menuliskan kata-kata ini, maka dengan tidak disengaja, tergambarlah di dalam angan-angan kita keadaan dan cara-metodenya kumpulan-kumpulan kaum ibu Indonesia di kota-kota besar dan kecil: tidak beda dengan keadaan dan cara-metodenya perhimpunan-perhimpunan perempuan kaum pertengahan di Eropah abad yang lalu, tidak beda dengan mula-mulanya “vrouwenbeweging” di Eropah itu baru lahir di zamannya liberalisme; semuanya belum mengambil soal­ perempuan itu di dalam artinya yang luas, belum mengambil soal itu di dalam artinya sosial-politis yang selebar-lebarnya, yakni belum melan­carkan tangannya keluar pagar-pagarnya perikehidupan “keperempuanan”: … hanya memperhatikan ilmu dapur, belajar menyongket, bersama-sama mengurus perkara beranak, mengadakan kursus ilmu obat-obatan, mem­perhatikan pendidikan,

dan lain-lain.

 Dan sebagaimana pula kaum perempuan di Eropah sesudahnya zaman “keperempuanan” itu lalu meluaskan sedikit lapang pekerjaannya dan lantas berdaya-upaya mencari persamaan-hak dengan hak-hak kaum laki-laki; sebagaimana kaum perempuan di Eropah itu lantas menginjak lapangnya usaha “vrouwen-emancipatie”, dengan belum mengetahui bahwa persamaan-hak dan persamaan-derajat dengan kaum laki-laki itu ialah belum berarti keselamatan, maka di Indonesia-pun kaum ibu pada waktu ini sedikit-sedikit mulai berusaha ke arah persamaan-hak dan persamaan-derajat dengan kaum laki-laki, yakni mulai ikut pula memikirkan “vrouwen – emancipatie” itu. Tetapi sebagaimana August Bebel dalam tahun 1879 membikin terperanjatnya kaum “persamaan-hak” ini dengan peringatannya, bahwa kaum perempuan tidaklah dapat men­capai keselamatan yang sebenar-benarnya dengan persamaan-hak itu sahaja, melainkan ialah harus meluaskan lagi lapang-usahanya dengan ikut bekerja untuk mendatangkan suatu aturan pergaulan­ hidup baru, maka bagi kaum ibu Indonesia haruslah kita peringatkan pula, bahwa persamaan-hak dan persamaan-derajat itu janganlah dipandang sebagai cita-cita yang penghabisan hendaknya! Betul sekali: “keperempuanan” haruslah diperhatikan; “emancipatie” harus dikejar. Tetapi dengan “keperempuanan”, dengan “emancipatie”, kaum ibu Indonesia, jikalau mereka memang ingin mencapai kehidupan yang sem­purna

dan jikalau mereka ingin bernasib manusia yang seselamat­-selamatnya, – kaum ibu Indonesia haruslah pula meluaskan lagi lapang pergerakannya, mengejar hak-hak kita semua laki-perempuan, mengejar hak-hak sebagai bangsa. Sebab apakah kiranya sudah cukup, yang kaum ibu Indonesia menjadi sama haknya dengan kaum bapak Indonesia, – hak kaum bapak Indonesia yang terikat-ikat ini? Apakah kiranya sudah cukup, yang kaum ibu Indonesia menjadi sama derajatnya dengan kaum bapak Indonesia, – derayjat kaum bapak Indonesia yang tak lebih dari­pada derajatnya orang jajahan, tak lebih daripada derajatnya putera negeri yang tak merdeka?  Bahwasanya: jikalau kaum ibu Indonesia hanya ingin sama haknya dan hanya ingin sama derajatnya dengan kaum bapak Indonesia itu; jikalau hanya ingin i t u sahaja dipandangnya sebagai cita-cita yang tertinggi, maka tak lain tak bukan, mereka hanyalah ingin mengganti derajatnya budak kecil menjadi budak besar belaka …

Tidak! Sebagai yang sudah kita tuliskan di muka, maka tujuan kaum ibu Indonesia haruslah lebih tinggi lagi: mereka harus bersikap sebagai saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia yang tak merdeka. Mereka harus mengerti bahwa sebagai Sarojini Naidu mengatakannya, bukan sahaja kaum laki-laki, tetapi kaum perempuan juga harus siap “mengha­dapi gerbangnya maut di dalam usahanya membuat natie” …

Seorang penulis bangsa Timur mengatakan, bahwa “laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung”, yang jika dua sayap itu “dibikin sama kuatnya”, lantas “terbang menempuh udara sampai kepuncaknya kemajuan yang setinggi-tingginya”. Ia bermaksud menuntut supaya “semua pintu harus dibuka seluas-luasnya” bagi kaum perempuan itu; ia bermaksud menuntut persamaan-hak dan persamaan-derajat baginya … Tetapi kaum ibu Indonesia, kaum ibu di tiap-tiap negeri ja­jahan haruslah mengerti, bahwa baginya, burung tahadi ialah burung yang terkurung, burung yang oleh karenanya belum dapat “menempuh udara sampai kepuncaknya kemajuan yang setinggi-tingginya” … Buat kaum ibu Indonesia di negeri-negeri yang tak merdeka, buat tiap manusia di ne­geri-negeri yang tak merdeka, maka bukan sahaja dua sayap itu harus di­jadikan sama, bukan sahaja laki-laki dan perempuan harus dijadikan sama kuatnya dan lalu bekerja bersama-sama, agar supaya burung kebang­saan lantas dapat bertenaga menggerak-bantingkan dirinya di dalam sangkar itu, yang nanti tidak boleh tidak, pasti menjadi terbuka oleh karenanya, sehingga burung kebangsaan itu lalu dapat terbang keluar dan terbang ke atas dengan leluasa menuju segala keindahannya angkasa dan menghi­sap dengan leluasa pula segala hawa-kesegarannya udara yang merdeka!

 Inilah soal-perempuan di Indonesia di dalam sifatnya sosial-politis yang luas. Kita barangkali lalu mendapat tuduhan, bahwa kita terlalu “mem­politikkan” soal ini. Kita tidak terlalu “mempolitikkan” soal ini. Kita memujikan pendirian yang demikian, tak lain tak bukan ialah oleh karena pada hakekatnya soal-perempuan tidak dapat dipisahkan daripada soal laki-laki. Sebab perikehidupan laki-laki dan perikehidupan perem­puan adalah bergandengan satu sama lain, mempengaruhi satu sama lain, menyerapi satu sama lain. Kitapun harus memperingatkan, bahwa yang menderita pengaruhnya sesuatu proses kemasyarakatan, dus juga proses kolonial sebagai di sini, ialah bukan sahaja satu bagian, bukan sahaja kaum laki-laki, tetapi semua manusia l a k i p e r e m p u a n-yang berada di dalam lingkungannya proses kemasyarakatan itu. Oleh karenanya, hen­daklah kaum perempuan mengerti bahwa kerja-perlawanan terhadap pada pengaruh-  nya proses itu, tidaklah harus dijalankan oleh “fihak yang kuat” sahaja, tidaklah harus diserahkan kepada kaum laki-laki sahaja, tetapi haruslah dikerjakan juga oleh “fihak yang lemah” yakni oleh fihak perempuan itu tahadi. Hendaklah saudara-saudara kita fihak ibu sama insyaf, bahwa kerja-perlawanan itu tidak akan berhasil baik dan tidak akan dapat lekas selesai, jikalau tenaga untuk kerja itu tidak dikeluar -kan oleh semua sumber-sumber yang berada di dalam lingkungannya pengaruh proses itu tahadi, ialah jikalau kerja itu tidak dijalankan oleh fihak laki-laki d a n fihak perempuan dua-duanya juga …

Ajakan pada kaum perempuan untuk ikut menceburkan diri ke dalam gelombang lautan perlawanan itu, ajakan itu adalah ajakan yang timbul daripada keharusan, yakni ajakan yang memang dipaksa-kan oleh keadaan­nya pergaulan-hidup; ajakan itu ialah tidak “buat menghasut sahaja”, – ajakan itu ialah “nicht aus agitatorischen Grunden”.

 Pendirian tentang soal-perempuan yang kita pujikan di atas ini, pendirian sosial-politis yang mengenai sendi-sendinya kita punya natio­nale vrijheidsbeweging (gerakan kemerdekaan) itu, oleh karena­nya, tidaklah “terlalu keras”. Kita ulangi lagi: pendirian kita yang demikian itu bukanlah pendirian yang terlampau kita “politikkan”, yang oleh karena memang terdorong oleh sesuatu keharusan yang tak dapat dihindari!

Tetapi, kita toch tidak heran juga, k a l a u ada setengah orang yang mendakwa kita “terlalu keras”, dan mendakwa kita seorang politikus yang tak mengetahui batas. Memang hal yang baru selamanya membuat onar. Memang mata kita belum semuanya dapat menerima tajamnya sorot baru. Memang manusia selamanya tak gampang terlepas daripada ikatannya sesuatu kebiasaan! Di dalam hal ini kebiasaan itu ialah kebiasaan pen­dapat, bahwa orang perempuan janganlah dibawa-bawa di dalam urusan­-urusan “yang tidak cocok dengan sifatnya”, “yang tidak cocok dengan keperempuanannya”, – yang tidak cocok dengan “natuurlijke bestem­mingnya”!

 Riwayat, – jikalau memang ada orang yang mendakwa kita melalui batas riwayat balik kembali:

Juga di zaman dahulu, di zaman Revolusi Perancis dan di zaman pertama daripada abad kesembilanbelas, tatkala orang perempuan buat pertama kali mulai sedikit-sedikit menginjak lapangnya usaha mencari “persamaan-hak”; juga di zaman yang kemudian daripada itu, tatkala kaum perempuan itu di bawah kibarannya bendera merah mulai diajak ikut berjoang merobah sama sekali aturan-aturannya pergaulan -hidup yang kapitalistis itu; juga di zaman yang dekat-dekat ini, tatkala kaum ibu di Mesir, di Turki, di India, di Jepang dan lain-lain mulai juga me­naiki mimbar politik ; – juga di zaman “overgang” itu semuanya, maka aksi kaum perempuan itu hanyalah menemui celaan dan cercaan belaka. Dengarkanlah misalnya bagaimana di dalam Revolusi Perancis seorang pemimpin radikal yang bernama Chaumette melabrak pergerakan kaum perempuan yang dipandangnya melewati batas keperempuanannya itu: “Semenjak kapankah, orang perempuan boleh membuang keperempuan­annya dan menjadi laki-laki? Semenjak berapa lamanyakah adanya ini kebiasaan, yang mereka meninggalkan urusan rumah tangga dan meninggalkan tempat bayi, dan datang di tempat-tempat umum untuk berpidato-pidato, masuk dalam barisan-barisan, pendeknya menjalankan kewajiban yang oleh kodratnya alam sebenarnya diwajibkan pada orang laki-laki? Alam berkata pada orang laki-laki: peganglah kelaki-lakianmu!

Perlombaan-perlombaan kuda, pemburuan, pekerjaan tani, politik dan berjenis-jenis pekerjaan berat yang lain-lain, – itulah sudah kamu punya  h a k ! Kepada orang perempuan alam berkata: peganglah keperempuananmu! Pemelihara anak-anakmu, bagian-bagiannya kerja rumah tangga, manisnya kepahitan menjadi ibu, – itulah kamu punya kerja! Wahai, perempuan yang bodoh, apakah sebabnya kamu ingin menjadi laki-laki9  Atas namanya alam, tinggallah di dalam sifatmu sekarang …”

 Tetapi toch … walaupun berpuluh-puluh alasan-alasan yang dicarikan dan diajukan untuk mencegah “kegilaannya” kaum perempuan yang “lupa akan keperempuanannya” itu; walaupun rintangannya kaum-kaum la Chaumette di zaman dahulu dan di zaman kemudian, yang misalnya begitu memarahkan Bebel, sampai kaum itu olehnya disebutkan “kaum kukuk­-beluk yang ada di mana-mana tempat yang gelap dan menjadi kaget dan geger, kalau ada sinar terang jatuh memasuki kegelapannya itu”, – waktu semua cegahan dan halangan itu, maka tak urunglah kaum ibu kini ikut menggetarkan udara pergerakan di Eropah dan Amerika, dan ikut menggoyang-kan tiang-tiangnya pergaulan-hidup di negeri-negeri  Barat itu. Dan di negeri-negeri Asia-pun, – wahai apakah sebabnya kaum ibu di Indonesia kebanyakan masih tidur? Di negeri-negeri Asia-pun kaum ibu tak sedikit suaranya ikut mencampuri dengungnya suara pergerakan-merdeka, tak sedikit tenaganya ikut mendorong terjangnya pergerakan bangsa. Bu­kankah di negerinya pendekar-puteri Sun-Soong Ching Ling, Srikandi isterinya Dr. Sun Yat Sen, bukankah di Negeri-Naga itu kaum perempuan, yang menyokong pergerakan nasional sekuat-kuatnya dengan bekerja di kantor-kantor cetak, berpidato di pinggir-pinggir jalan, mengadakan pemogokan-pemogokan kaum buruh, malahan maju kemedan peperangan memanggul bedil? Bukankah di India ialah kaum perempuan, yang menghaibatkan kekuatannya pergerakan bangsa “dengan mereka punya keberanian yang tak dapat ditakar, kekuatan kemauan, keridlaan mengor­bankan diri, yang memang menjadi wataknya keperempuanan”, dan bukankah di India itu juga seorang puteri, Sarojini Naidu, yang menun­tun Indian National Congress yang keempat-puluh? Bukan-kah kaum perempuan, yang sebenar-benarnya menjadi pengaju-aju kaum laki-laki Mesir di dalam hal mengejar kemerdekaan bangsa, sehingga “kaum laki-laki itu sebenarnya hanya terbawa hanyut di dalam aliran kekuasaannya kaum perempuan, dan oleh karenanya hanya menjadi ekor daripada layang-layang Nasionalisme Mesir?” Bukankah di Mesir itu orang perem­puan juga, yakni isterinya, yang meneguhkan hatinya Saad Zahlul Pasha dengan kata-kata: “jangan takut ini buat Mesir!”, tatkala Sang Pasha dadanya diterjang pelornya seorang pengkhianat bangsa? Bukankah di Turki ialah kaum perempuan, yang ikut membela bangsa, bukankah di Turki menjeritnya Halide Edib Hanum, yang kadang-kadang, “sedang kapal-kapal udara dari kaum sekutu bersambar-sambaran kian kemari mengelilingi menara-menara, dengan api-pidatonya mengobar-kobarkan hatinya (electrified) suatu rapat dari duaratus ribu pendengar, yang mem­protes halnya Smyrna diduduki oleh bangsa Griek” – dan yang belakangan juga ikut memegang bedil di atas medan peperangan mengusir musuh?

Pendek kata … bukankah hampir di seluruh Asia itu walaupun cegahannya kaum kuno adat-istiadat, walaupun halangannya kaum fanatik agama, walaupun rintangannya kaum kolot politik, kaum perempuan juga makin maju ke depan mengisi barisan-barisan yang ter­kemuka daripada balatentara kebangsaan, makin maju ke depan di atas lapangannya soal-perempuan sosial-politis sebagai yang kita maksudkan itu?

Bahwasanya: ini memang desakannya zaman! Dan sebagai yang sudah kita katakan di muka: kalau zaman itu memang sudah mendesakkan juga kita punya kaum ibu ke atas lapang sosial-politis itu, kalau zaman itu memang sudah menjalankan segenap k e h a r u s a n n y a di atas kita punja kaum puteri, maka mereka pastilah ditemukan juga beribu-ribu di atas lapang sosial-politis itu, dan pastilah kita lalu mendapat juga kita punya Sun-Soong Ching Ling, kita punya Halide Edib, k i t a punya Sarojini Naidu!

 Maka kita yakin: zaman itu pada saat ini memang sudah mulai menjalankan kerjanya …

Pembaca jangan salah faham. Kita tidak menulis, bahwa soal “keperempuanan” harus diabaikan: kita tidak suruh meremehkan soal persamaan-hak dan soal persamaan-derajat. Kita hanya memperingat­kan, bahwa soal “keperempuanan” dan soal “vrouwen-emancipatie” tidak­lah boleh dijadikan soal yang penghabisan. Kita hanya memperingatkan, bahwa di belakang dua soal ini, ya, seolah-olah melingkupi dua soal ini, masih adalah lagi soal yang lebih besar dan lebih lebar lagi, yakni soal n a t i e – emancipatie adanya! Dan jauh daripada menyuruh mengabaikan soal “keperempuanan” itu, jauh daripada menyuruh meremehkan soal vrouwen-emancipatie itu, maka kita di sini memperingatkan, bahwa soal natie-emancipatie itu tidaklah dapat diudarkan dengan sesungguh-sung­guhnya, tidaklah dapat diselesaikan dengan sehabis-habisnya, kalau soal “keperempuanan” dan soal “vrouwen-emancipa­t i e” tidak d i u d a r k an juga. Tiga soal ini adalah bergandengan satu sama lain; tiga soal ini adalah menyerapi satu sama lain!

 Oleh karena itu, maka hendaklah kaum perempuan Indonesia senantiasa memperhatikan k e t i g a – t i g a n y a soal ini di dalam tali p e r ­h u b u n g a n n y a satu dengan yang lain. Hendaklah kaum puteri senantiasa memperingati dan senantiasa menyubur-nyuburkan “wissel­werkingnya” antara tiga soal tahadi. Hendaklah mereka misalnya bekerja sekeras-kerasnya buat mencapai persamaan-hak, tidak untuk persamaan­ hak itu sahaja, tetapi dengan niat yang tertentu dan keinginan yang keras, menghilangkan barang apa yang memberat-berati kakinya atau menghalang-­halangi langkahnya di dalam perjalanan ikut mengejar keselamatan bang­sa. Hendaklah mereka misalnya juga, dengan setinggi-tingginya budi dan semulia-mulianya tenaga menjalankan kewajiban “keperempuanannya” mendidik putera-puteranya, dengan keinsyafan dan keridlaan-niat yang tertentu, sebenarnya mendidik putera-puteranya n a t i e Hendaklah mereka terutama terhadap pada kewajiban “keperempuanannya” men­didik anak-anaknya itu, sama insyaf dengan seinsyaf-insyafnya, bahwa selamat-celakanya bangsa sebenar-benarnya adalah di dalam genggaman mereka itu. Hendaklah mereka oleh karenanya, semua­nya bertabiat sebagai ibu yang Besar .

 De man heeft grote kunstwerken geschapen; de vrouw heeft de mens geschapen; en Grote moeders maken een Groot ras.

 Memang! Di dalam pertanyaan: Besar atau tidak besarnya kaum ibunya, di dalam pertanyaan itu buat sebagian adalah terletak jawabnya pertanyaan akan selamat atau celakanya sesuatu bangsa. Ibu-ibu kita Besar, atau kecil; ibu-ibu kita sadar atau ibu-ibu kita lalai, – itulah buat sebagian berisi jawabnya soal Indonesia akan Luhur atau Indonesia akan hancur … Tidakkah Mustapha Kemal Pasha juga berkata, bahwa kita punya kemerdekaan, kebangsaan, kekuasaan, dan lain-lain hal yang bagus, adalah tergantung daripada kebudimanannya kita punya puteri-puteri di dalam hal didik-mendidik? Tidakkah budiman pula, kalau seorang patriot Timur yang juga insyaf akan harganya “Ibu-Besar” itu, memu­jikan supaya: bilamana tak cukup uang sekolah untuk dua anak, lebih baik anak p e r e m p u a n yang lebih dulu disekolahkan, yakni “oleh karena ialah yang akan menjadi ibu, dan oleh karena pendidikan itu mulainya ialah sudah pada waktu memberi air susu”?  Ringkasannya kata: buat kaum perempuan Indonesia, adalah bertimbun-timbun banyaknya kerja yang menunggu. Di dalam tiap-tiap lapisan, di dalam tiap-tiap bagian, baik bagian “keperempuanan”, maupun bagian “vrouwen-eman­cipatie”, maupun “natie-emancipatie”, – di dalam tiap-tiap bagian itu, yang begitu menyerupai satu sama lain, sehingga pengabaian salah satu daripadanya sudah membuat tak sempurnanya hasil dan oleh karenanya harus diperhatikan semuanya bersamaan, – di dalam tiap-tiap bagian itu mereka sangatlah kurang majunya.

 Moga-moga Kongres Mataram menginsyafi hal ini. Moga-moga kongres itu bukan kongres kaum perempuan sahaja, tetapi ialah sebenar‑benarnya kongres puteri-puteri Indonesia yang sejati.

Moga-moga impian kaum putera-putera Indonesia yang kita kutip di bawah ini, dapat terkabul: Moga-moga kongres itu buat kita semua berarti pembaharuannya Zaman!

 “Sudah lama bunga Indonesia tiada mengeluarkan harumnya, semenjak sekar yang terkemudian sudah menjadi layu. Tetapi sekarang bunga Indonesia sudah kembang kembali, kembang ditimpa cahaya bulan persa­tuan Indonesia; dalam bulan yang terang benderang ini, berbaulah sugandi segala bunga-bungaan yang harum, dan menarik hati yang tahu akan harganya bunga sebagai hiasan alam yang diturunkan Tuhan Ilahi. Kembangnya bunga ini, ialah bangunnya bangsa Indonesia menurut langkah yang terkemudian sekali, didahului oleh bangunnya laki-laki Indonesia beserta pemudanya. Langkah yang terkemudian, tetapi jejak yang per­tama sekali dalam sejarah Indonesia, dan permulaan zaman baru.

 Sudah lama Indonesia kehilangan ibu, sudah lama Indonesia kehilangan puterinya, tetapi berkat: disinari cahaya persatuan Indonesia bertemulah anak piatu dengan ibu yang disangka sudah hilang, berjabatan tanganlah dengan puteri yang dikatakan sudah berpulang. Pertemuan anak piatu dengan ibu kandung, ialah saat

yang semulia-mulianya dalam seja­rah anak piatu yang ber-ibu kembali. Saat ini tiada dapat dilupakan: sedih dan suka, pedih dan pilu bercampur-baur, karena kenang-kenangan yang sudah berlaku dan oleh karena nasib baru yang akan dimulai. Baru se­karang Persatuan Indonesia ada romantiknya; apa guna gamelan dalam pendopo kalau tiada dibunyikan, terletak sahaja jadi pemandangan

kaum keluarga turun-menurun? Gamelan Indonesia berbunyi kembali, berbunyi dalam pendopo Indonesia dan melagukan persatuan Indonesia, pada waktu bulan purnama-raya, penuh dengan bau bunga dan kembang yang harum. Indonesia piatu sudah ber-ibu kembali.

“Suluh Indonesia Muda”, 1928

Minggu, 15 Oktober 2017

Mohammad Hatta - Stokvis

NASIONALIS INDONESIA – SOSIAL-DEMOKRAT

En Weest niet gegriefd dat ik de waarheid zegge.

Socrates

Tulisan saudara Mohammad Hatta yang kita muat dalam nomor ini, dan yang mengeritik akan sikapnya sosialis-internasional II terhadap pada soal-jajahan, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam kongresnya di Brussel akhir-akhir ini, – tulisan itu adalah membangunkan kecewanya hati kaum sosialis di sini, terutama tuan  (Stokvis). Di dalam “Indische Volk” No. 29, maka sebagai “Leitartikel” adalah termuat jawaban tuan Stokvis itu terhadap pada kritiknya saudara Mohammad Hatta tahadi. Ja­waban ini memang sedari mulanya kita ketahui datangnya. “Betul I.S.D.P. programnya dan kerjanya tidak dibawa-bawa, akan tetapi kita merasa diri begitu keras berhubungan dengan susunan internationale sociaal democratie, yang kita tak boleh tidak, harus juga ikut membantah”, – begitulah tuan Stokvis berkata.



Yang menjadi sebabnya kritik saudara Mohammad Hatta? Pembaca dapat menyaksikan sendiri: tak lain tak bukan, ialah sikap sosialis-inter­nasional II, yang memang pantas menggerakkan hati tiap-tiap nasionalis sejati dan yang memang pantas dikritik sekedarnya, yakni sikap mem­bagikan negeri-negeri jajahan itu dalam empat bahagian:- bahagian negeri jajahan yang harus dimerdekakan ini waktu juga;- bahagian negeri-negeri jajahan yang boleh mendapat hak “menentukan nasib sendiri” ; – bahagian negeri-negeri jajahan yang hanya boleh mendapat “zelfbestuur” sahaja;- dan bahagian negeri-negeri jajahan yang “biadab”, yang masih harus dijajah entah buat berapa lamanya.

Dan sebagai pembaca dapat menyaksikan sendiri, haibatlah kritiknya saudara Mohammad Hatta, haibatlah ia punya serangan. Haibat pula jawabnya dan tangkisannya tuan Stokvis! Kongres di Brussel itu, betul memintakan zelfbestuur sahaja bagi Indonesia, tetapi tidaklah sekali-kali mengambil putusan, bahwa Indonesia harus tak merdeka selama-lamanya. Kongres ini, kata tuan Stokvis, hanyalah menghitung-hitung apa yang dapat tercapai pada waktu ini sahaja. Dan tentang penuntutannya kaum sosialis supaya Irak dan Syria dimerdekakan: – Irak dan Syria dituntutkan ke­merdekaannya, tidak oleh karena sedikitnya rezeki yang keluar dari negeri itu, Irak dan Syria mereka tuntutkan kemerdekaannya, ialah walaupun Irak banyak hasilnya minyak dan walaupun Syria ada hasilnya dagang, Irak dan Syria inilah memberikan bukti, bahwa kongres itu sama sekali tidak mendasarkan putusan-putusannya atas “platte duitenkwestie” sahaja, tidak mendengarkan “suara keroncongnya perut” sahaja. Daripada dituduh dan dicerca, daripada diserang dan dihina, maka kongres ini lebih pantas dan mendapat pujian, yang ia menuntut­kan kemerdekaannya Irak dan Syria itu, dan yang menuntutkan hak menentukan nasib sendiri bagi Annam dan Korea!



Daripada menuduh dan mencerca sahaja, maka kita, kaum nasional Indonesia, lebih baik mengerti, bahwa kongres itu mengambil sikap yang demikian, ialah oleh karena soal-kemerdekaan itu bagi beberapa negeri jajahan sudah men­jadi problim, sudah menjadi soal yang sukar sekali dicari pemecah­annya; kita lebih baik mengerti, bahwa kaum sosialis itu tidak mau bersikap “agitatie en demonstratie” sahaja, tidak mau “ramai-ramai dan membuat pertunjukan” sahaja, sebagai Liga yang dimasyhurkan itu,­ Liga yang sebenarnya tiada hasil sekecil juapun, tiada “ketentuan” sedikit juapun bagi Indonesia atau lain-lain negeri jajahan. Pendek kata: tuan Stokvis tak mau terima, bahwa kaumnya dihina; tuan Stokvis menolak tiap-tiap “smaad”.

Begitulah kira-kira isinya tangkisan tuan Stokvis sebagai sosialis, sebagai partij-man, sebagai partij-leider, maka tuan Stokvis sudah ada di dalam haknya. Ia sudah ada dalam kewajibannya sendiri. Ia sudah selayaknya mencoba menangkis kritik yang dijatuhkan pada kaum dan fihaknya itu. Di dalam hal ini kitapun menghormati padanya. Memang tuan Stokvis pantas kita hormati. Tetapi marilah kita selidiki lebih jauh, salah-benarnya ia punya bantahan itu adanya!

 Sebermula, maka haruslah kita peringatkan, bahwa bukan saudara Mohammad Hatta sahaja yang mengeritik kepada kaum sosialis-internasional itu. Banyak lagi pembela-pembela rakyat jajahan lain yang juga sama kecewa hati dan menyerang akan sikap kaum sosialis tahadi itu. Clemens Dutt, Shapurji Saklatvala, sekretariat Liga sendiri dan lain-lain. Mereka juga sama menuduh, bahwa kaum sosialis itu kini di dalam soal-jajahannya ialah sudah sama sekali “tak mengindahkan lagi akan azasnya hak menentukan nasib sendiri” yakni azasnya national self-determination, sama sekali tak mau mengerti bahwa sikapnya di dalam tempo belakangan ini ialah berarti “sokongan pada kapitalisme dan im­perialisme”, dan sama sekali tak mau insyaf, bahwa pendiriannya yang demikian itu ialah sama dengan “melanjutkan exploitatie dan perhambaannya negeri-negeri jajahan itu untuk keperluannya kekuasaan-kekuasaan imperialis belaka”.



Maka oleh karenanya, hendaklah hilang sangkaan, bahwa hanya kaum Mohammad Hatta c.s. sahajalah yang menyerang akan sikapnya kaum sosialis tentang soal-jajahan itu tahadi. Bukan kaum Hatta sahaja! Tetapi seluruh dunia radikal sama kecewa hati. Seluruh dunia yang oleh kaum sosialis dinamakan dunia “panasan hati” sama menunjukkan, bahwa kaum sosialis itu kini sudah menyabotir keras akan azas-azasnya sendiri, sebagai yang ditentukan di dalam kongresnya di London dalam tahun 1896 dan di Stuttgart dalam tahun 1907. Bukankah di London itu mereka menetapkan “hak

self-determination yang sepenuh-penuhnya buat semua bangsa”, dan bukankah di Stuttgart itu mereka dengan sekeras-kerasnya mencela kepada penjajahan kapitalistis-imperialistis “yang menyebabkan penduduk asli daripada negeri-negeri jajahan itu menjadi terjerumus ke dalam perbudakan, ke dalam kerja-paksa atau ke dalam pembinasaan sama sekali”?

Dan marilah mengerti! Hatta tidak menyesalkan, yang kaum sosialis itu menuntut kemerdekaannya Tiongkok, atau kemerdekaannya Mesir, atau kemerdekaannya Irak atau kemerdekaannya Syria; Hatta tidak iri hati. Ia tentu juga memujikan atas penuntutan mereka itu; ia tentu juga ikut syukur akan kemerdekaan tiap-tiap bangsa. Tetapi ia hanya menanya: apa sebab jajahan-jajahan yang lain tidak dituntut juga kemerdekaannya? Apa sebab Indonesia, Philipina, Annam, Korea, dan lain-lain tidak boleh merdeka ini waktu, kalau Irak dan Syria boleh mendapat hak menentukan “nasib sendiri”, kalau Annam dan Korea sudah dianggap masak baginya? Pendek kata: apa sebabnya pembahagian dalam empat golongan itu …kalau tidak sebab-sebab rezeki?

 Maka sebagai yang kita ceriterakan di atas, tuan Stokvis melindungi fihaknya dengan jawab, bahwa kaum sosialis tidaklah membuat pembahagian itu oleh karena urusan rezeki, tidaklah membuat perbedaan itu oleh karena “urusan-perut” sahaja. Tidaklah Irak dan Syria dituntut­kan kemerdekaannya, oleh karena dulu kaum geallieerden sudah men­janjikan kemerdekaannya itu padanya.

Dan Annam dan Korea? Annam dan Korea pantas mendapat hak menentukan nasib sendiri, oleh karena penjajahan dua negeri ini ialah belum lama, sehingga soal-kemerdeka­annya belumlah menjadi sukar, belumlah menjadi problim.

Kita mau juga menerima alasan ini; kita mau menghargainya; kita tak akan menyangkal, bahwa tentunya pertimbangan yang demikian itu memang telah diambil. Tetapi kita menanya: adakah benar, adakah bisa jadi, bahwa sama sekali tiada dasar-dasar-kerezekian di dalam hal ini? Adakah bisa jadi bahwa sikap kaum buruh Eropah yang demikian ini tiada economische ondergrond sama sekali? Bukankah sendi-azasnya kaum sosialis sendiri, bukankah faham historis-materialisme sendiri, mengajarkan bahwa tiap-tiap keadaan, tiap-tiap kejadian di dunia ini, baik yang berhubung dengan budi-akal, maupun yang berhubung dengan politik atau agama, dalam hakekatnya ialah berdasar kerezekian adanya? Bukankah historis-materialisme itu sendiri mengajarkan, bahwa “bukan budi-akal manusialah yang menentukan peri-kehidupannya, tetapi sebalik­nya peri-kehidupannyalah yang menentukan budi akalnya”?



Maka dengan tuntutannya historis-materialisme itu, keterangan tuan Stokvis belumlah memuaskan fikiran kita. Dengan tuntutannya historis materialisme itu, maka kita, yang memandang perobahan sikap kaum buruh Eropah yang berjuta-juta itu sebagai suatu kejadian besar dalam pergaulan-hidup, yakni sebagai maatschappelijk verschijnsel, haruslah menginjak dunia-keterangan daripada peri-kerezekian itu tahadi. Tegasnya: dengan tuntutannya historis-materialisme itu, maka kita lantas sahaja boleh menentukan, bahwa dasar-kerezekian daripada perobahan sikap itu a d a !

 Dasar-kerezekian itu a d a ! Dan kita, sebagai manusia yang berbudi-akal, lantas ingin mengudari soal ini lebih jauh. Kita lantas ingin mencari jawabannya pertanyaan: dasar-kerezekian yang bagaimana­kah menjadikan sebabnya sikap buruh di Eropah itu.

Maka kita mengambil contoh; contoh yang memang menjadi perbantahan antara Hatta c.s. dan Stokvis c.s.: kita mengambil Irak dan Syria.

Irak banyak minyaknya di Mosul; Syria ada hasilnya dagang.

Toch, kaum sosialis menuntutkan kemerdekaannya; toch kaum itu tak memper­dulikan akan “kemanfaatannya” ini.

 Tetapi Adakah caranya menghisap minyak Mosul itu banyak faedah bagi kaum buruh Inggeris? Adakah caranya memegang Irak itu suatu berkat baginya? Dan adakah Syria itu begitu besar faedahnya bagi kaum buruh Perancis, sehingga harus digenggam seterus-terusnya dengan tidak menghitung kerugian atau korbanan? Tidak! Sebab penghisapan­nya minyak Irak dan pemegangannya negeri Irak adalah tidak sedikit minta korban harta, tidak sedikit minta korban darah dan jiwa. Seratus­ ribu serdadu kadang-kadang perlu digerakkan di Irak untuk melawan pemberontakan-pemberontakannya penduduk. Publik Inggeris dan kaum buruh Inggeris merasa kesal dan merasa rugi oleh mahalnya harta yang harus dibuang dan oleh mahalnya darah yang harus ditumpahkan untuk pembeli dan penjagaan mandaat di Irak itu. Maka “publieke opinie di Inggeris lantas menuntut berhentinya Inggeris menjadi “wall” di Messopotamia”, … dan “Mosul betul berisi sumber-sumber minyak yang besar harga; tetapi apakah tidak lebih baik buat Inggeris jikalau ia memenuhi kebutuhan-kebutuhannya di dalam hal ini dengan jalan jual-beli sahaja yang menguntungkan dengan Turki, dan membiarkan Irak menjadi merdeka?” begitulah suaranya publieke opinie di Inggeris itu. Lagi pula: kaum buruh Inggeris insyaf benar artinya Irak sebagai strategisch gebiednya kaum imperialis; mereka insyaf benar akan artinya negeri itu dalam peri-peperangan, – peri-peperangan, yang tokh me­numpahkan  kaum buruh punya darah, melayangkan kaum buruh punya jiwa, menyengsarakan kaum buruh punya fihak!

Dan Syria? Syria menguntungkan kepada Perancis; Syria mengambil barang dagangan Perancis seharga f. 55.000.000 setahunnya  Tidakkah ini berarti suatu pengorbanan, kalau kaum buruh Eropah menuntut kemerdekaannya Syria. Tidakkah ini sebenarnya suatu alasan buat memegang terus pada Syria itu, buat mengekalkan akan kekuasaannya di Syria itu, kalau kaum buruh Eropah memang cuma menurutkan suara “keroncongan perut” sahaja?

Maka kita menyahut: bukan begitulah harusnya bunyi pertanyaan itu! Bukan begitulah harusnya bunyi kita punya probleem-stelling. Kita harus bertanya: adakah bahaya, bahwa perdagangan dengan Perancis itu akan menjadi padam, kalau Syria menjadi merdeka! Kita harus bertanya: adakah sekedar bahaya bagi kaum buruh Perancis, kalau Syria bebas! Maka dengan tentu kita bisa menjawab: tidak! Sebab kultur Perancis, baik berhubung dengan pendidikan, maupun berhubung dengan ekonomi, – kultur Perancis yang masuknya di Syria telah berabad-abad semenjak zaman kruistochten itu, – kultur Perancis ini adalah begitu menyerapi peri-kehidupan rakyat Syria, sehingga perhubungan perdagangan antara Perancis dan Syria rupa-rupanya tidak akan menjadi terganggu oleh kemerdekaan Syria adanya.

Dan kalau terganggu, kalau 55.000.000 rupiah itu terlepas dari tangannya Perancis, … adakah ini berarti kerugian besar baginya? Adakah ini berarti bencana bagi Perancis, – Perancis yang besarnya negeri, besarnya jumlah rakyat, besarnya rumah­ tangganya ada berlipat-ganda kali Nederland, berlipat-ganda kali negeri-­negeri lain, … Perancis yang di dalam rumah-tangganya tidak sahaja menghitung dengan juta-jutaan, tetapi dengan miliard-miliardan itu?

Pembaca tentu menjawab: tidak …

Membaca bahwa kultur Perancis menyerapi Syria, pembaca janganlah mengira, bahwa tiadalah perjoangan haibat antara imperialis­-imperialis Perancis dan rakyat Syria itu; janganlah mengira, bahwa rakyat Syria itu senang di dalam keadaan sekarang, yakni keadaan tak merdeka. Tidak! Riwayatnya imperialisme Perancis di Syria adalah riwayatnya bedil dan meriam, riwayatnya daging dan darah,- bukan sahaja bedil dan meriam Syria, bukan sahaja daging dan darah Syria, tetapi juga bedil dan meriam Perancis, daging dan darah Perancis. Kita tak heran akan hal ini. Sebab tiap-tiap rakyat yang tidak merdeka, tiap-tiap umat atau natie yang terikat gerak-bangkitnya, walau bagaimanapun juga kulturnya terserapi dengan kulturnya si pengikat, pastilah ingin merdeka, dan pastilah lantas berusaha mengejar kemerdekaan itu!

Maka mahalnya bedil dan meriam Perancis ini, mahalnya daging Perancis yang binasa dan mahalnya darah Perancis yang tumpah, segeralah menggugah­kan juga publieke opinie di negeri Perancis, sebagaimana mahalnya meriam dan mahalnya darah Inggeris pula. “Bukan sahaja kaum anti­ imperialis yang radikal, tetapi kaum konservatif yang sekolot-kolotnya jugalah makin lama makin keras mengeritik akan “avontuur” di Syria ini”, dan diantaranya, senator Victor Berard menyatakan, bahwa “Syria­ merdeka adalah suatu soal keselamatan-kebutuhan dan soal “kehormatan” bagi Perancis sendiri”.

Jadi: kemerdekaan Syria menguntungkan kepada rakyat Perancis, sebagaimana kemerdekaan Irak menguntungkan kepada rakyat Inggeris! Herankah kita sekarang, kalau juga kongres di Brussel itu menuntutkan bebasnya dua negeri ini?

Begitulah bunyinya percobaan kita menerangkan dasar-dasar-kerezekian daripada sikap kaum buruh Eropah itu. Benar salahnya terserah kepada pembaca. Tetapi sekali lagi kita mengulangi, bahwa dasar-dasar ­kerezekian itu a d a, bukan sahaja terhadap Irak-Syria, tetapi juga, terhadap pada negeri jajahan yang lain-lain.

Marilah kita sekarang menyelidiki sikapnya sosialis-internasional terhadap pada Indonesia, – terhadap pada Ibu kita!

Kaum sosialis menuntutkan “zelfbestuur” bagi kita. Apa sebabnya bukan kemerdekaan? Apa sebabnya bukan kebebasan sama sekali, – lepas dari Nederland?

Dan saudara Mohammad Hatta menjawab: oleh karena Indonesia itu menjadi sumber-penghasilan bagi negeri Belanda; – oleh karena negeri Belanda akan kehilangan untung f. 500.000.000. – setiap-tahunnya; –oleh karena pendapatan kaum buruh Belanda akan susut dengan seperempat­nya; – pendek kata: oleh karena kaum buruh Belanda akan rugi.

Memang begitulah sebenarnya; memang begitulah rupanya dasar­dasar-kerezekian daripada sikapnya kaum buruh Belanda itu. Keterangan historis-materialistis yang lain tidaklah ada. Keterangan itu, oleh karenanya, haruslah diakui benarnya oleh tiap-tiap historis-materialis juga. Keterangan tuan Stokvis, bahwa kapital yang diusahakan di sini toch bisa juga “dipindahkan” ke negeri sendiri atau negeri lain, keterang­annya itu belumlah dapat kita terima begitu sahaja. Sebab jikalau kapital itu boleh diusahakan di negeri Belanda, jikalau modal itu, yang sebenarnya ialah modal-kelebihan atau kapital-surplus, boleh di-verwerk­kan di negeri asalnya, maka barangkali Indonesia tidaklah menjadi kapitalistisch-imperialistische kolonie sebagai sekarang. Jikalau kapital­ surplus itu boleh dikerjakan di negerinya sendiri, maka barangkali ia tak usah mencari tempat-kerja asing, tak usah mencari vreemd beleggingsgebied. Negeri Belanda, yang sesak penduduknya, tetapi tidak mempunyai bekal-bekal atau basis-grondstoffen untuk industri besar, yakni tidak mempunyai banyak arang-batu, tidak mempunyai parit besi, tidak mempunyai kapas dan lain sebagainya, negeri Belanda itu b u t u h akan negeri jajahan untuk tempat pengambilan basis-grondstoffen itu dan untuk tempat berusahanya kapital yang kelebihan itu tahadi. Pun kita tak boleh lupa akan faedahnya Indonesia sebagai pasar-penjualan hasil perusahaan-perusahaan yang sekarang ada di negeri Belanda. Pendek kata, koloniaal politiek itu adalah suatu “Notwendigkeit”, koloniaal politiek itu adalah suatu “keharusan”, sebagai Karl Kautsky mengata­kannya.

Sekali lagi kita ulangi: alasan ruginya kaum buruh Belanda kalau Indonesia merdeka adalah benar. Tetapi kita, – ini hendaklah diperhati­kan oleh tuan Stokvis c.s. kita tidaklah mengatakan,

bahwa alasan­ kerezekian itu adalah tertentu hidup dengan b e w u s t

(s a d a r) di dalam budi-akalnya kaum buruh Belanda itu. Kita tidaklah mengatakan, bahwa sikapnya kaum sosialis itu ialah timbul daripada “hati yang jelek” atau daripada “fikiran jahat” yang tertentu. Sama sekali tidak! Alasan ­kerezekian itu bisa juga menjalankan pengaruhnya dengan jalan yang onbewust (tak sadar), yakni dengan jalan yang “tidak sengaja dirasakan” atau “tidak sengaja difikirkan”. Tetapi ia, bewust atau onbewust, sengaja dirasa-fikirkan atau tidak sengaja dirasa-fikirkan, senantiasa dan pasti menjalankan pengaruhnya, – senantiasa dan pasti menjalankan tendenznya.

Oleh karena itu, tuan Stokvis janganlah mengira, bahwa kita memandang fihaknya sebagai fihak yang “jelek hati” atau “jahat fikiran”. Kita tidak mempunyai pemandangan yang demikian itu.

Kita mengetahui, bahwa di antara kaum sosialis memang tak sedikit yang “baik hati” tentang soal negeri kita. Kitapun tidak syak-wasangka akan bona­fidenya kebaikan hati itu. Kita percaya akan tulusnya kebaikan hati itu. Tetapi kita tak mau lupa, bahwa rumah-tangga negeri Belanda sekarang ada t e r g a n t u n g kepada penjajahan Indonesia, sehingga economische afhankelijkheid ini, bewust atau onbewust, pasti menjalankan penga­ruhnya atas sikap kaum buruh Belanda … sampai kadang-kadang kaum sosialis itu, sebagai sekarang, melupakan akan azas-azasnya sendiri, cita-citanya sendiri, doctrine-doctrinenya sendiri.

Betul kaum sosialis tidak berkata anti-kemerdekaan Indonesia buat di kemudian hari; betul mereka tidak “ontzeggen” kemerdekaan itu.

Tetapi dengan mengatakan bahwa Indonesia s e k a r a n g belum dapat “diberi” kemerdekaan, melainkan nanti sahaja di hari kemudian; dengan mengatakan, bahwa soal-kemerdekaan Indonesia ialah sudah begitu menjadi suatu “problim” sehingga kita hanya boleh mendapat zelfbestuur sahaja, dengan mengambil sikap yang demikian itu, kaum sosialis, walau tidak sengaja, adalah sejajar dengan kaum imperialis, sejajar dengan kaum musuhnya, yang mengatakan bahwa kita ini “belum matang” bagi kemerdekaan, bahwa kita ini masih “onrijp” … Sekarang “belum matang”, baru nanti di hari kemudian menjadi “matang”, – sekarang masih “onrijp”, baru nanti di hari kemudian menjadi “rijp” … dus kaum sosialis itu sekarang mengakui akan adanya “mission sacree” (suruhan suci) daripada penjajahan imperialistis itu, … mission sacree “mendidik” kita, mission sacree “mencerdaskan” kita, mission sacree “mematangkan” kita?

Ini pahit terdengarnya buat kaum sosialis; ini terdengarnya seolah­-olah “smaad”. Tetapi tidak ada faham lain bagi kita; tidak ada pertanyaan lain bagi kita. Dan jikalau kaum sosialis memang ingin melihat Indonesia merdeka, apa sebabnya tidak dituntutkan sekarang juga? Apa sebabnya ragu-ragu akan sikap yang demikian itu?

Takut-takut, bahwa gedung­ kerajaan atau staats-gebouw yang kini berdiri di Indonesia, akan hancur menjadi bagian yang kecil-kecil? Takut-takut kalau rakyat akan men­derita hisapan yang lebih keras lagi daripada hisapannya kolonial imperialisme sekarang?

Takut-takut kalau ekonomi negeri jajahan akan binasa oleh binasanya perusahaan-perusahaan yang kini ada?

Karl Kautsky, jagonya kaum sosialis sendiri sudahlah, pada umumnya, menyangkal keras akan pantasnya ketakutan itu. Ia menyangkal keras, bahwa sesuatu negeri jajahan, kalau dimerdekakan, lantas “jatuh kembali ke dalam biadaban”; ia menyangkal keras akan itu “Ruckfall in die Barbarei”. Ia menyatakan, bahwa kalau staats-gebouw itu benar­-benar hancur menjadi bagian yang kecil-kecil, kehancuran ini belum tentu berarti bencana bagi peri-kehidupan rakyat, bahkan bisa juga berarti bahagia; – menyatakan, bahwa kita tak usah takut akan hisapan yang lebih keras lagi dari hisapannya koloniaal imperialisme itu, oleh karena menurut bukti-buktinya riwayat dulu dan s e k a­ r a n g , sesengsara-sengsaranya rakyat yang merdeka, masih belumlah begitu sengsara sebagai rakyat yang dikuasai oleh koloniaal imperialisme itu, koloniaal imperialisme dan kapitalisme yang “bersenjata dengan kekuasaannya kemajuan”, koloniaal imperialisme dan kapitalisme yang bersenjata “mit der ganzen Macht der Zivilisation”; – dan menyatakan, bahwa kemerdekaan itu tidaklah membinasakan ekonominya perusahaan­-perusahaan itu, oleh karena kemerdekaan negeri jajahan ialah berarti hilangnya kerja-paksa dan hilangnya perbudakan koloniaal imperialisme, sedang kemerdekaan itu tidaklah berarti pula matinya kemajuan-kemajuan kapitalistische techniek, melainkan hanyalah berarti gantinya c a r a, gantinya metode daripada tehnik itu adanya. Dengan singkatnya: “Kaum sociaal-democraten di mana-mana adalah wajib menun­tutkan kemerdekaan negeri-negeri jajahan itu”. Dan bukan itu sahaja! Kaum sosial-demokrat haruslah juga menentang keras kepada “tiap-tiap politik kolonial-apa-sahaja yang dapat diadakan”, kalau tidak kepada “tiap-tiap politik kolonial-apa-sahaja yang dapat difikirkan”, – yakni men­jadi “Gegner jeder moglichen, wenn auch nicht jeder denk baren Kolonialpolitik”! !

Begitulah pendapat sosialis Karl Kautsky. Begitulah pendapat partijgenootnya sosialis tuan Stokvis itu. Sayang sekali kita, berhubung dengan kekurangan tempat, tiada kesempatan mengutip semua hal-hal yang ia beberkan. Tetapi kita, sesudahnya menggambarkan alasan-alasan­nya Karl Kautsky itu dengan sesingkat-singkatnya itu,- kita mengulangi pertanyaan kita lagi: apa sebabnya kaum sosialis zaman sekarang, yang toch katanya ingin juga melihat Indonesia merdeka, tak mau menuntut­kan kemerdekaan itu dari sekarang juga? Takut-takut kalau Indonesia akan direbut oleh imperialisme lain? Oh, adakah suatu contoh pen­jadian-merdeka daripada sesuatu rakyat di mana bahaya direbut oleh negeri lain itu tidak ada?   Takut-takut akan sukarnya “problim” kemerdekaan itu? Tidaklah problim itu malah makin menjadi problim kalau kita menunda tuntutan-merdeka itu, di mana sekarang modal-modal Amerika, modal-modal Inggeris, modal-modal Jepang, modal-modal lain, makin lama makin banyak yang masuk di Indonesia, – dimana jaringnya sarang labah-labah internasional imperialisme makin lama makin lebih ruwet, makin lama makin lebih menjirat?

Memang, kaum sosialis selamanya terlampau membutakan-mata atas faham “problim” itu tahadi, terlampau blindstaren di atas “problim” itu tahadi bukan sahaja tentang soal-soal jajahan, tetapi juga tentang soal-soal di Eropah sendiri. Mereka punya politik terlampau “menghitung -­hitung”, terlampau opportunistis, terlampau possibilistis, – kadang-kadang hampir sama menghitung-hitungnya dan hampir sama possibilistisnya de­ngan fihak kaum kolot yang mereka musuhi. Mereka, oleh karenanya, tak habis-habisnya membutakan-mata di atas “belum matangnya” negeri Rusia buat cita-citanya, “belum matangnya” hampir semua negeri jajahan buat kemerdekaan. Mereka sering-sering kurang-hati, masuk ke dalam hari kemudian, kurang-hati masuk ke dalam toekomst.

Dengarkanlah bagaimana redakturnya “De Vlam”, surat bulanannya Stenhuis, mencela akan sikapnya kaum sosialis “yang takut akan luput-tangkap” itu: – luput­ tangkap “memang bisa terjadi pada setiap orang yang menangkap; hanya siapa yang tidak menangkap, tidaklah bisa luput-tangkap. Bagi kita, siapa yang berbuat, dan kadang-kadang luput akan apa yang dimaksudkannya, adalah lebih utama daripada orang yang karena takut akan luput-tangkapnya itu, lantas tidak menangkap sama sekali” … “Aileen wie niet grijpt, kunnen geen misgrepen overkomen. Ons is de doener, die ‘t wel eens mis heeft liever als degeen, die uit angst om mis to grijpen, het grijpen zelf maar liever laat”

Memang sebenarnya! Siapa yang menangkap dan kadang-kadang luput-tangkapnya, adalah lebih utama daripada siapa yang tidak menang­kap sama sekali, oleh karena takut akan luput-tangkapnya itu.

Kaum sosialis zaman sekarang lupa akan moral ini. Mereka, di dalam adatnya terlampau sekali menghitung-hitung, seringlah lantas jatuh ke dalam soal yang kecil-kecil, seringlah jatuh ke dalam details; mereka, oleh opportunismenya dan possibilismenya, seringlah menjadi terbenam di dalam opportunismenya dan possibilismenya itu.

Mereka oleh karenanya sering pula lalu lupa akan soal yang besar, lupa akan “de grote lijn” … Oleh lupanya akan grote lijn dan terlampau menghitung-hitungnya barang yang kecil-kecil; oleh opportunismenya dan possibilismenya, maka kaum sosialis itu senantiasa berselisihan dengan kaum radikal, berselisihan dengan kaum yang terus sahaja disebut kaum “demonstrasi dan agitasi” olehnya, – bukan sahaja kaum komunis atau bolshevis, tetapi juga kaum sosialis yang radikal, juga kaum nasionalis kiri di mana-mana negeri jajahan. Opportunisme dan possibilisme inilah juga yang pada hakekat­nya menggerakkan pena saudara Mohammad Hatta itu … Kita, kaum nasional Indonesia, tidak mengatakan, bahwa kita harus meremehkan kekuatannya musuh; kita tidak mengatakan bahwa kita harus hamuk-­hamukan sahaja, dengan tidak menimbang-nimbang lebih dulu buah­ hasilnya tiap-tiap tindakan kita.

Kita bukan bolshevis, kitapun b u k a n anarchis. Tetapi kita toch harus ingat, bahwa pertama-tama kita harus mengikuti, “grote lijn” itu, pertama-tama kita harus senantiasa insyaf akan m a k s u d

pertama-tama daripada kita punya pergerakan, yakni Indo­nesia-Merdeka! Ya, tidak kurang dan tidak lebih Indonesia-Merdeka, dengan jalan yang cepat. Dan bukan sahaja mengejar Indonesia­ Merdeka sambil memperbaiki susunan-susunan pergaulan-hidup kita yang morat-marit itu, tetapi pertama-tama mengejar Indonesia-Merdeka untuk memperbaiki kembali; kita punya pergaulan-hidup itu! Kemerde­kaan inilah yang pertama-tama; kemerdekaan inilah yang primair.

Begitulah pemandangan kita atas perbantahan Mohammad Hatta – Stokvis itu. Tak usah kita katakan, bahwa kita tidak bermusuhan dengan tuan Stokvis atau dengan I.S.D.P., dan t i d a k bermaksud memutuskan persahabatan kita dengan Stokvis c.s. itu. Persahabatan ini kita hargakan besar. Kita hanya bermaksud ikut memikirkan soal perbantahan itu. Dan jikalau di dalam tulisan ini ada beberapa bagian yang tidak nyaman didengarkan oleh Stokvis c.s.; jikalau di dalam tulisan ini kita kerap kali “keras perkataan”, maka itu hanyalah terjadi oleh perbedaan-azas dan oleh perbedaan-pendirian antara kita dan Stokvis c.s. itu sahaja … Perbedaan-azas dan perbedaan-pendirian memang ada di mana-mana. Oleh perbedaan-perbedaan inilah makanya ada bermacam-macam-partai!

Kaum nasional Indonesia berjalan terus; kaum I.S.D.P. hendaklah juga berjalan terus. Begitulah harapan kita …


Dan dengan lebih teguh keyakinan kita, bahwa nasib kita ada di dalam genggaman kita sendiri … ; dengan lebih teguh keinsyafan kita, bahwa kita harus percaya akan kepandaian dan tenaga kita 

s e n d i r i  dengan menolak tiap-tiap politik opportunisme dan tiap-tiap politik possibilisme, yakni tiap-tiap politik yang menghitung-hitung: ini-tidak-bisa dan itu­ tidak-bisa, maka kita bersama Mahatma Gandhi berkata: ”Siapa mau mencari mutiara, haruslah berani selam ke dalam laut yang sedalam-dalamnca; siapa yang dengan kecil-hati berdiri di pinggir sahaja dan takut akan terjun ke dalam air, ia tak akan dapat sesuatu apa !”



“Suluh Indonesia Muda”, 1928

Jumat, 13 Oktober 2017

Menyambut Kongres PPPKI

En vraagt men U: Hoevelen zijt gij? Antwoordt dan: Wij zijn een!

Delamennals

“Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia” nanti pada hari tanggal 30 Agustus sampai tanggal 2 September akan berkongres di Surabaya. Dengan kongres yang pertama ini, maka kita pertama kali pula akan melihat berkumpulnya utusan-utusan partai-partai politik Indonesia yang berazas kebangsaan atau bersifat kebangsaan. Utusan-utusan dari Partai Nasional Indonesia, dari Partai Sarekat Islam, dari Pasundan, dari. Boedi Oetomo, dari Studieclub, dari Sarekat Sumatera, dari Sarekat Madura, dari Kaum Betawi, – dan utusan-utusan dari berpuluh-puluh lagi perkumpulan Indonesia yang belum masuk permufakatan tetapi sengaja diundang,- utusan-utusan itu akan berjabatan tangan satu sama lain. Surabaya akan menjadi saksi akan hari-hari yang besar. Sebab bukankah Kongres P.P.P.K.I. yang pertama ini boleh kita namakan suatu kejadian nasional yang maha-penting? Bukankah kongres ini boleh juga kita sebutkan permulaannya suatu masa-baru di dalam riwayatnya kita punya pergerakan nasional?

Sebab, apakah rupa dan wujudnya P.P.P.K.I. itu? P.P.P.K.I. adalah berarti suatu barisan kaum kulit berwarna; ia adalah berarti suatu “bruin front”; akan tetapi barisan ini tidaklah diarahkan keluar sahaja; ia teru­tama diarahkan ke dalam. Ia lahirnya tidaklah sebagai suatu sikap untuk memprotes; ia tidaklah didirikan oleh    k a r e n a kita diserang; ia bukannya suatu sikap yang negatif, – tetapi ia ialah suatu sikap untuk mengumpulkan kembali kekuatan-bersama, diserang atau t i d a k dise­rang … suatu sikap yang positif, suatu sikap “self-realization”, suatu sikap “terugkeer tot het zelf”.


Dengan sikap yang demikian itu, P.P.P.K.I. adalah sesuai dengan majunya zaman, sesuai dengan majunya inzicht (penglihatan yang jernih) dalam kita punya pergerakan pada umumnya. Sebab sudah liwatlah kini temponya, yang pergerakan kita itu bersikap keluar sahaja; sudah liwatlah temponya yang pergerakan kita itu hanya bersikap memprotes; sudah habis pulalah temponya kita meminta-minta. Tetapi sudah datang­lah temponya, untuk bekerja s e n d i r i, dengan kalau perlu tidak memprotes, tetapi menangkis atau mendesak!

 Maka adalah cocok sekali dengan sikap dan sifat ini, bahwa fatsal­-fatsal yang akan dibicarakan dalam kongres itu ialah fatsal-fatsal yang “mendalam” sahaja, yakni fatsal-fatsal yang teristimewa sekali minta diperhatikan dengan k e r j a s e n d i r i itu tahadi; fatsal onderwijs nasional dan fatsal bank nasional.

Dengan memilih fatsal-fatsal yang tersebut itu, maka pimpinan P.P.P.K.I. adalah betul sekali pilihannya.

Tetapi tidakkah P.P.P.K.I. mempunyai sifat atau karakter yang menghadap keluar juga?

Di dalam suatu koloniale samenleving, di dalam suatu pergaulan-hidup jajahan, maka tiap-tiap badan Bumiputera, tiap-tiap susunan Bumi­putera, tidak boleh tidak, tentu mendapat sifat “keluar” itu juga.

Di dalam sesuatu pergaulan-hidup, di mana sehari-hari pertentangan-keadaan dan pertentangan-pendirian antara fihak pertuanan dan fihak jajahan ada terasa seterang-terangnya; di dalam sesuatu pergaulan-hidup di mana kolo­niale antithese, yakni pertentangan tahadi      menjalankan pengaruhnya saban hari, saban jam, saban menit, –di dalam suatu pergaulan-hidup  yang demikian itu, maka suatu
b a r i s a n si kulit berwarna yang b e r h a d a p­-h a d a p a n dengan barisan si kulit putih, ya, menjadi suatu “benteng” si kaum sini yang berhadap-hadapan dengan “bentengnja” si kaum sana.

 Dan inipun suatu keadaan yang baik sekali! Sebab tak baiklah bagi pergerakan kita tiap-tiap daja-upaya yang mau menipiskan atau meniadakan guratan antara sini dengan sana; tak baiklah bagi pergerakan kita tiap-tiap usaha yang mau mengumpulkan sini dengan sana itu. Tetapi baiklah perjoangan kita tiap-tiap usaha yang menyempurnakan p i s a h a n  a n t a r a kita dengan mereka itu … Makin terang tampaknya garis antara kaum kita dan kaum pertuanan, makin tajam terlihatnya guratan antara sini dan sana,- yakni makin nyata tampaknya dan terasa­nya antithese itu, maka makin terang dan tajam pula sifatnya per­joangan kita, makin jernih dan bersih pula wujudnya perjoangan kita itu oleh karenanya, sehingga perjoangan kita itu lantas mendapat karakter.

Sebab, bagi kita kaum nasional Indonesia, maka soal perjoangan kita itu adalah soal kekuasaan, soal macht. Soal ini bukanlah soal keadilan, soal ini bukanlah soal hak.

Bukankah sudah adil dan hak kita, yang misalnya poenale sanctie dihapuskan, yang misalnya merajalelanya modal gula atau modal tembakau diberhentikan, yang misalnya tanah-tanah kita tidak dibagi-bagikan kepada modal asing sebagai membagikan kuweh? Bukankah sudah adil dan hak kita, yang misalnya pengurangan hak berkumpul dan bersidang bagi kita dihapuskan, yang misalnya pemimpin-pemimpin kita tidak di­buang ke mana-mana? … Ya, bukankah sudah adil dan hak kita, yang negeri kita menjadi merdeka?

 Namun … poenale sanctie masih ada, modal asing masih meraja­lela, tanah kita masih sahaja dibagi-bagikan seperti kuweh, hak berkum­pul dan bersidang masih sempit sekali, negeri kita – belum merdeka! Sebabnya? Tak lain tak bukan, ialah oleh karena kita belum k u a s a ;tak lain tak bukan, ialah oleh karena kita belum mempunyai macht !

Dan oleh karena itu, maka kita punya kerja haruslah kita arahkan kepada pembikinan-kuasa, kepada machtsvorming ini. Dengan kepandaian sendiri ke arah kekuatan, dengan usaha sendiri ke arah kekuasaan, – itulah semboyan yang kita ambil. Dan tak dapatlah pembikinan-kuasa, tak dapatlah machtsvorming ini terjadi dengan hasil baik, selama garis dan guratan antara sini dan sana belum kita gariskan dengan setajam­-tajamnya !

Maka bagi kita, kaum nasional Indonesia, P.P.P.K.I. adalah faedah yang demikian itu. Oleh adanya P.P.P.K.I. maka pisahan antara sini dan sana lalu menjadi terang dan sempurna; dengan adanya P.P.P.K.I., maka kekuatan fihak kita kulit berwarna dapat ditimbun-timbunkan, tenaga kita dapat diganda-gandakan, sehingga barisan si kulit berwarna itu tidak sahaja bernama barisan, tetapi dalam sebenarnya ialah suatu barisan yang berkuasa, suatu barisan yang mempunyai macht, suatu barisan dengan mana kita dapat mendesakkan laksananya tiap-tiap kemauan kita, “memaksa tiap-tiap kekuasaan yang menghalang -halangi kita menjadi t u n d u k kepada kemauan kita”.

Dan tiap-tiap perbuatan-bersama, tiap-tiap fi’il yang terjadi dengan pekerjaan-bersama, adalah suatu langkah ke arah kekuasaan itu.

Baik soal perguruan, maupun soal bank, baik soal poenale sanctie, maupun soal exorbitante rechten atau soal apapun juga … perhatiannya semua soal itu dengan perhatian-bersama dan mengerjakannya semua soal itu dengan pekerjaan-bersama, adalah

berarti penambahan kekuasaan kita, – penam­bahan kekuasaan kita keluar, dan penambahan kekuasaan kita ke dalam.

Di atas perbuatan-bersama dan perhatian-bersama daripada P.P.P.K.I. yang berarti penambahan kekuasaan itu, maka kita sebagai kaum nasionalis sejati, mengucap syukur. Sebab sekali lagi kita katakan: zonder kekua­saan, zonder macht, kita di dalam pergaulan-hidup jajahan tidak da­pat mencapai suatu apa!

 Sekarang kongres P.P.P.K.I. yang pertama akan terjadi, moga-moga dalam kongres ini terletak bibit-bibitnya rakyat Indonesia berbuat dan bersikap sebagai suatu umat, berbuat dan bersikap sebagai suatu natie! Sebab jikalau sesuatu rakyat yang terperintah sudah insyaf dan bernyawa sebagai suatu natie, jikalau oleh keinsyafan natie dan nyawa natie itu, rakyat tahadi sebagai satu n a t i e pula lalu insyaf akan nasib-kehambaannya, maka sebagai yang diajarkan oleh Professor Seeley, tidak boleh tidak, natie itu pasti bergerak dan berbangkit men­jadi natie yang merdeka.

 Dan mengingat akan harapan itu, maka motto yang kita tulis di atasnya tulisan ini adalah suatu peringatan supaya menjauhi semua percerai-beraian, mendekati semua hal yang menyatukan. Tidak beribu­-ribulah harusnya jumlah bangsa kita, tidak berjuta-jutalah harusnya jumlah badan dan nyawa kita, tetapi hendaklah jumlah badan dan jumlah nyawa kita itu hanya satu. Sebab tidakkah akhirnya terbuka mata kita, bahwa bukan kita, tetapi kaum sanalah yang mendapat bahagia daripada setiap pertengkaran kita dengan kita pada zaman dulu dan zaman akhir; – bahwa bukan kitalah yang mendapat bahagia, tetapi kaum sana, tatkala pada zaman Amangkurat kita bertengkar-tengkar, tatkala pada zaman Mangkubumi dan Mas Said kita berselisih, tatkala pada zaman yang terdahulu dan kemudian daripada itu kita menyembelih kita sendiri … tatkala udara politik Indonesia disuramkan oleh perkelahian antara S.I. dan P.K.I. antara P.K.I. dan Boedi Oetomo?

Tidak! Bukan kitalah yang mendapat bahagia … tetapi kitalah yang menjadi makin terdesak, kitalah yang menjadi makin masuk ke dalam lumpur, kitalah yang menjadi makin mendekati maut.


Oleh karena itu:

Kearah Persatuan!

Kearah Kekuasaan!

Kearah Kemenangan!



“Suluh Indonesia Muda

Kamis, 12 Oktober 2017

Melihat Ke Muka

Rencana yang pertama dalam Persatuan Indonesia ini mempunyai sifat rencana “pembuka”. Pembuka untuk segenap perbuatan, daya-upaya dan usaha, yang oleh Persatuan Indonesia akan disajikan di hadapan duli kita punya Ibu, yakni kita punya Tanah-Air, – sebagai suatu “pendahuluan” daripada segenap perbuatan dan fi’il yang akan ia sajikan di dalam kita punya perjoangan ke arah kemerdekaan Tanah-Air dan Bangsa.

Bagaimanakah sifatnya kita punya perjoangan itu?

Kita punya perjoangan pada hakekatnya ialah perjoangan Rokh; ia ialah perjoangan Semangat; ia ialah perjoangan Geest. Ia ialah suatu perjoangan yang dalam awalnya lebih dulu harus menaruh alas-alas dan sendi-sendinya tiap-tiap perbuatan dan usaha yang harus kita lakukan untuk mencapai kemerdekaan itu; alas-alas yang berupa Rokh-Merdeka dan Semangat-Merdeka, yang harus dan musti kita bangun-bangunkan, harus dan musti kita hidup-hidupkan dan kita bangkit-bangkitkan, bila­mana kita ingin akan berhasilnya perbuatan dan fi’il tahadi. Sebab selama Rokh dan Semangat ini belum bangun dan hidup dan bangkit, – selama Rokh dan Semangat yang berada di dalam hati-sanubari kita masih mati, selama Rokh itu masih Rokh perbudakan, – selama itu akan sia-sialah perbuatan dan usaha kita, ya, selama itu tak d a p a t l a h kita melahirkan suatu perbuatan dan usaha yang luhur. Sebab perbuatan tidak bisa luhur dan besar, jikalau ia tidak terpikul oleh Rokh dan Semangat yang luhur dan besar pula adanya!



Oleh karena itu, maka kita pertama-tama haruslah mengabdi pada Rokh dan Semangat itu. Rokh-Muda dan Semangat-Muda, yang harus menyerapi dan mewahyui segenap kita punya tindakan dan segenap kita punya perbuatan.

Jikalau Rokh ini sudah bangun, jikalau Rokh ini sudah bangkit, maka tiadalah kekuatan duniawi yang dapat menghalang-halangi bangkit dan geraknya, tiadalah kekuatan duniawi yang dapat mema­damkan nyalanya! Dapatkah ditahan alirannya gelombang kekeristenan oleh kelaliman dan kekuasaan Nero, sesudah Rokh dan Semangat kekeristenan itu bangkit? Dapatkah ditahan kekuatannya gelombang keislaman, sesudah Rokh dan Semangat keislaman itu tertanam dan hidup? Dapatkah ditahan majunya demokrasi Perancis, sesudah rakyat Perancis terserapi hati sanubarinya oleh Rokh kedemokrasiannya Jean Jacques Rousseau, yang sebagai penulis Thomas Carlyle mengatakan “boleh” ditutup di dalam loteng, ditertawakan sebagai binatang yang kejangkitan syaitan, disuruh mati kelaparan sebagai binatang buas dalam kerangkeng­nya, – tetapi yang tak bisa dihalang-halangi membikin terbakarnya dunia? Dapatkah ditahan geraknya kaum buruh di Eropah mencari kemerdekaan, sesudah Rokh kaum buruh itu hidup dan bangkit di bawah wahyu sosialisme dan komunisme9  Sebagaimana kepala Sang Kumbakarna masih hidup menggelundung walaupun sudah terlepas daripada badannya, maka Geest-nya manusia tidak dapat dibinasakan pula!

Bahwasanya, tiada satu rakyat yang dapat diperbudak, jikalau Rokhnya tidak mau diperbudak. Tiada satu rakyat yang tidak menjadi merdeka, jikalau Rokhnya mau  merdeka. “Tiada satu kelaliman yang dapat merantai sesuatu Rokh, jikalau Rokh itu, tidak mau diran­tai”, – begitulah pendekar India Sarojini Naidu berkata.

Sebaliknya tiada satu rakyat yang dapat menggugurkan bebannya nasib tak merdeka, jikalau Rokhnya masih mau memikul beban itu. “Walau­pun dewa-dewapun tak dapat memerdekakan seorang budak belian, jikalau hatinya tidak berkobar-kobar dengan api keinginan merdeka”, begitulah Sarojini Naidu mengatakan pula. Dengan apa yang tertulis di atas ini, maka tergambarlah sifatnya kita punya perjoangan.

 Jikalau kita ingin mendidik rakyat Indonesia ke arah kebebasan dan kemerdekaan, jikalau kita ingin mendidik rakyat Indonesia menjadi t u a n di atas dirinya sendiri, maka pertama-tama haruslah kita mem­bangun-bangunkan dan membangkit-bangkitkan dalam hati-sanubari rakyat Indonesia itu ia punya Rokh dan Semangat menjadi Rokh-Merdeka dan Semangat-Merdeka yang sekeras-kerasnya, yang harus pula kita hidup-­hidupkan menjadi api  k e m a u a n –m e r d e k a yang sehidup-hidupnya! Sebab hanya Rokh-Merdeka dan Semangat-Merdeka yang sudah bangkit menjadi K e m a u a n –          M e r d e k a sahajalah yang dapat melahirkan sesuatu perbuatan-Merdeka yang berhasil.

Di dalam membangunkan dan membangkitkan Rokhnya rakyat Indonesia inilah kewajiban semua nasionalis Indonesia, dari azas apa dan haluan apapun jua. Tiap-tiap nasionalis Indonesia haruslah menjadi propagandisnya kita punya Zaak (urusan, kepentingan), – menebarkan benih dan bijinya kita punya Zaak itu ke kanan dan ke kiri, membangun­-bangunkan dalam hati-sanubari tiap-tiap orang Indonesia yang ia jumpai ia punya Rokh-Merdeka dan Semangat-Merdeka, agar supaya Rokh dan Semangat yang kini menyala-nyala di dalam hati-sanubari sebagian dari rakyat Indonesia itu, dengan segera menyala-nyala pula di dalam hati­-sanubari s e t i a p orang Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, baik rendah derajat maupun tinggi,- artinya: agar supaya Rokh dan Semangat itu menjadi Rokh dan Semangat r a k y a t Indonesia semua, yakni Rokh dan Semangat nasional, nationale geest! Dan jikalau Rokh nasional itu sudah hidup dan bangkit, jikalau hati-sanubari segenap rakyat ‘Indonesia sebagai bangsa atau natie sudah berkobar-kobar oleh apinya Rokh itu, maka k e m a u a n merdeka yang kini berapi di dalam hati­-sanubarinya sebagian daripada rakyat Indonesia itu harus pula melebar dan mendalam menjadi berapi di dalam hati-sanubarinya semua rakyat Indonesia, yakni menjadi kemauan nasional, nationale wil,- yang tidak boleh tidak, p a s t i melahirkan perbuatan dan fi’il nasional pula, nationale daad! Dan percayalah! Nationale daad inilah yang menjadi pembawanya Indonesia-Merdeka!

Dalam usaha membangun-bangunkan dan membangkit-bangkitkan Rokh dan Semangat nasional ini, maka nasionalis-nasionalis kita tidak boleh lalai, bahwa tiap-tiap geraknya Rokh-Nasional hanyalah bisa ter­jadi, jikalau rakyat itu mempunyai harapan atas berhasilnya usaha kekuatan sendiri dan mempunyai kepercayaan dalam kekuatan sen­diri itu. Tiada contoh daripada riwayat-dunia, yang menunjukkan adanya sesuatu Rokh-Nasional, yang tidak terpikul oleh harapan dan keper­cayaan ini. Tiada contoh daripada riwayat-dunia, yang menunjukkan berbangkitnya sesuatu Rokh-Nasional, yang dengan cara yang buta atau ngawur. Sebab sesuatu bangsa yang kokoh-kuat ia punya harapan dan kepercayaan atas dirinya sendiri, tidaklah berbuat dengan cara buta atau ngawur; siapa percaya, tidaklah pahit-hati; siapa percaya adalah berbuat tentu. Siapa percaya, tidaklah kejangkitan geestelijk dan maatschappelijk nihilisme, tidaklah ada di dalam kegelapan, tidaklah buta, tidaklah putus-asa, melainkan berbesar hati dan berketentuan tindak, bersenyum atas segenap rintangan-rintangan yang menghalang-halanginya.

 Oleh karena itu, maka pertama-tama haruslah kita bangunkan kernball kepada rakyat Indonesia harapan dan kepercayaan atas diri sendiri. Sebab sebagai yang saya tuliskan di atas, harapan dan kepercayaan atas diri sendiri itulah yang menjadi sendinya tiap-tiap Rokh-Nasional.

Nasib celaka yang diderita oleh rakyat Indonesia berabad-abad lamanya, nasib tak merdeka yang ia derita turun-temurun, nasib ini hampir­-hampir sudahlah membinasakan sama-sekali harapan dan kepercayaan itu. Tak sedikitlah bangsa kita yang tiada harapan sama-sekali; tak sedikitlah bangsa kita yang berputus-asa; tak sedikit pulalah yang dalam kegelapan dan kebingungannya dijangkiti oleh maatschappelijk dan geestelijk nihilisme. Akan tetapi sudah banyaklah pula yang hatinya berseri-serian dengan harapan dan kepercayaan itu … Fajar kini sudah mulai menyingsing! Kegembiraan hati untuk menerima khotbahnya propaganda nasional Indonesia sudahlah terbangunkan di mana-mana. Dan walaupun majunya semangat nasional Indonesia itu dirintang-rintangi oleh fihak yang merasa rugi-diri oleh karenanya, walaupun ia mendapat anti-propa­ganda yang keras daripada fihak yang merasa terancam kepentingannya, maka tak dapat tertahanlah ia dalam bangkit dan geraknya. Semangat tidaklah dapat mati; semangat tidaklah dapat dipadamkan. Dan kita, kaum nasional Indonesia, yang melihat dan ikut merasai majunya se­mangat ini, kita menjadi berbesar hati oleh karenanya. Kita berjalan terus, dengan tidak mundur selangkah, tidak berkisar sejari. Kita percaya bahwa satu kali pastilah datang saatnya; yang kita punya maksud akan tercapai. Sebab sebagai Arabindo Ghose menulis di dalam ia punya manifes atas nasionalisme India, maka “Kebenaran adalah pada kita, keadilan adalah pada kita, pekerti adalah pada kita, dan hukum Allah yang lebih tinggi daripada hukum manusia, adalah membenarkan kita punya tindakan”.

Keyakinan yang demikian inilah yang memberi kekuatan bathin pada kita, memberi kekuatan tindakan pada kita, memberi kekuatan bersenyum pada kita, pada saat rintangan sekeras-kerasnya …

“Suluh Indonesia Muda”, 1928