Jumat, 03 November 2017

Non Cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa Aksi dan Machtsvorming


Di dalam golongan kaum radikal Indonesia, sekarang tampak tiga aliran:

Satu aliran menghendaki non-cooperation hanya buat dewan-dewan di Indonesia sahaja; satu aliran menghendaki non-cooperation terhadap pada semua dewan-dewan kaum pertuanan, yaitu pendirian saya, sebagai yang ternyata dari karangan saya yang lalu; dan kini ada satu aliran lagi yang menolak sama sekali non-cooperation itu!

Aliran yang belakangan ini adalah yang dipropagandakan oleh salah seorang kaum radikal yang pada saat ini masih berada di negeri Eropah. Salah satu keberatan yang diajukannya terhadap pada non-cooperation ialah, bahwa, katanya, non-cooperation itu tak dapat mendatangkan massa­aksi dan machtsvorming.

Benarkah keberatan-keberatan ini?

Keberatan-keberatan ini adalah salah sama sekali!

Sebab bagaimanakah kenyataan?

Kenyataan adalah menunjukkan, bahwa non-cooperation itu di Hindustan bisalah menggerakkan suatu massa-aksi yang menggetarkan seku­jur badannya natie, dan bisa menyusun semangat rakyat yang menurut perkataannya Henriette Roland Holst adalah “tiada bandingannya”, “zonder weerga”, di dunia ini, sebagai ternyata dengan organisasinya Congress yang mengadakan bermacam-macam badan perlawanan yang menyerang kepada musuh.

Kenyataan adalah menunjukkan, bahwa non-cooperation itu di Irlandia, di dalam tahun-tahun 1916-1920, bisa mengadakan massa-aksi yang juga menggetarkan seluruh tubuhnya bangsa, dan bisa pula menyu­sun machtsvorming yang sangat kuasa.

Kenyataan adalah menunjukkan, bahwa non-cooperation di negeri­ negeri lain, misalnya di Hongaria, di Korea, dan lain-lain bisa juga mengadakan massa-aksi dan machtsvorming itu.

Kenyataan adalah pula menunjukkan, bahwa non-cooperation itu di negeri kita sendiri, oleh usahanya kaum Partai Nasional Indonesia, kaum Partai Sarekat Islam, kaum Partindo, kaum Pendidikan Nasional Indonesia, dan juga dulu kaum P.K.I. dan S.R. adalah bisa juga menyalakan massa-aksi dan menyusun machtsvorming, walaupun massa­ aksi dan machtsvorming di sini itu belum sepadan dengan massa-aksi dan machtsvorming di Hindustan atau di Irlandia.

 Dan jikalau pergerakan Hindustan sampai sekarang belum berbuah 100%, jikalau pergerakan Hindustan itu sampai sekarang belum juga mendatangkan Hindustan-Merdeka, jikalau pergerakan Hindustan itu kadang-kadang “menjadi dingin”, maka itu bukanlah salahnya non­-cooperation, tetapi ialah salahnya cara menjalankan non-cooperation itu. Non-cooperation India adalah non-cooperation yang menurut faham saya non-cooperation yang terlalu pasif, yakni suatu non-cooperation yang kurang menyerang, kurang mendesak, kurang mengaanval, kurang mili­tant. Non-cooperation India adalah mempunyai suatu bagian, yang oleh Gandhi sendiri disebutkan “passive-civil-disobedience”, yakni “tidak me­nurut, secara passif”. Jawaharlal Nehru sendiri, ya, malahan juga Sen Gupta yang tokh terkenal “lunak”, pernah minta kepada Gandhi supaya passive-civil-disobedience ini diganti dengan militant-civil-disobedience.

Tetapi karena Gandhi menyandarkan non-cooperationnya itu kepada ilmu “ahimsa”, yang melarang segala sikap penyerangan, maka Gandhi teguh mempertahankan sifat pasif itu. Inilah yang menurut faham saya menjadi sebabnya, yang pergerakan non-cooperation di Hindustan itu kadang-kadang terjangkit penyakit “dingin”. Inilah yang menjadi sebabnya publik luaran sering-sering bertanya, apakah dengan non­cooperation rakyat Hindustan bisa mendatangkan Hindustan-Merdeka.

Non-cooperation kita tidak bersandar pada kepercayaan ahimsa, tidak bersandar pada ajaran “weersta den boze niet”, yakni tidak bersandar pada ajaran menjauhi dan tidak menyerang kepada siapa yang jahat, – tetapi non-cooperation kita adalah, sebagai yang saya terangkan dalam karangan saya yang lalu, kita sandarkan kepada keyakinan dan kenyataan, bahwa antara sana dan sini adalah suatu pertentangan kebutuhan yang tak dapat ditutup atau di-“jembatani”.

Non-cooperation kita adalah, juga sebagai yang sudah saya terangkan, berisi aktiviteit dan radikal­isme,- radikalisme semangat, radikalisme fikiran, radikalisme sepak­ terjang, radikalisme dalam segala sikap lahir dan bathin. Radikalisme inilah yang menolak segala sikap yang pasif, radikalisme inilah yang tak mau tahu akan sikap “diam sahaja jangan menyerang”, radikalisme inilah yang menuntut sikap militant. Kita tidak boleh bersikap “diam sahaja jangan menyerang”, kita harus “keluar dari rumah-rumah kita”, keluar menjalankan penyerangan atas segala pusat-pusat musuh!

Dan di Irlandia? Di Irlandia itu, pergerakan rakyat justru menjadi “dingin”, sesudah non-cooperation tidak lagi dijalankan dengan sepenuh­-penuhnya. Rakyat Irlandia, yang di bawah panji-panjinya non-cooperation seolah-olah tak dapat ditundukkan, tak dapat dikalahkan, tak dapat di bubarkan aksinya walaupun Inggeris mengirimkan bedil dan meriam dan tank dan mitralyur, ya walaupun Inggeris mengadakan barisan “sarekat hejo” yang bernama barisan “Black and Tans”,  rakyat Irlandia itu menjadi mundur massa-aksi dan machtsvormingnya sesudah beberapa kaum yang tahadinya kaum non-cooperator yang “sengit”, menjadi “lunak” dan suka bekerja bersama-sama dengan Inggeris.

0, memang, perjoangan rakyat di negeri-negeri yang merdeka, di negeri-negeri yang sudah ada parlemen nasionalnya sebagai di Inggeris, di Perancis, di Jerman, di Belgia, di negeri Belanda, perjoangan rakyat di situ itu menjadinya haibat dan besar antara lain-lain memang oleh per­joangan yang membarengi perjoangan parlemen. Memang terutama pemilihan-pemilihan buat parlemen itulah memberi suatu pegangan, suatu aangrijpingspunt, yang sebaik-baiknya buat menjalankan agitasi dan massa-aksi.

Memang di dalam negeri-negeri merdeka itu, adalah suatu kesalahan besar, kalau perjoangan rebutan kursi parlemen dan per­joangan yang membarengi aksi parlemen itu tidak dipakai sebagai alat-propaganda dan alat-aksi yang berkobar-kobar. Memang jikalau di Indonesia  misalnya ada suatu parlemen nasional sebagai di negeri Jerman atau Perancis atau Inggeris atau Belgia atau Belanda, maka kitapun tak emoh akan mengobarkan massa aksi dan menghaibatkan machtsvorming kita dengan cara perjoangan merebut kursi parlemen dan perjoangan membarengi aksi parlemen itu.

Tetapi selama di atas negeri kita masih duduk sesuatu negeri pertuanan, selama masih ada kaum “sana” menduduki pundak “sini”, selama masih perlu sekali kita melebarkan dan mendalamkan jurang antara “sana” dan “sini”, selama Indonesia masih dicap dengan nama Hindia ­Belanda dan belum bernama Indonesia-Merdeka,  selama itu maka kita punya azas-perjoangan haruslah tetap non-cooperation. Sebab non­cooperation itu di dalam negeri jajahan bukanlah mendinginkan massa-aksi dan melembekkan machtsvorming, tetapi sebaliknya ialah menghidupkan massa-aksi dan menguatkan machtsvorming itu!

Apakah massa-aksi itu? Tentang hal ini, juga di dalam kalangan kaum pergerakan sendiri kadang-kadang masih ada orang yang kurang faham. Orang mengira bahwa massa-aksi itu “barang yang akan keja­dian nanti”. Apa yang kita kerjakan sekarang ini, begitulah katanya, hanyalah suatu persediaan sahaja buat massa-aksi. “Sekarang bersedia-­sedia, sekarang mengatur-atur, sekarang mempersiapkan segala hal, dan nanti, nanti, sebagai gelombang banjir yang pecah-bendungannya, massa­ aksi akan terjadi!”, begitulah. orang mengira.

Anggapan yang demikian ini ada salah sama sekali! Tetapi anggapan yang demikian ini kadang-kadang masih terdapat juga di kalangan kaum pergerakan. Anggapan yang demikian terutama sekali kadang-kadang terdapat di kalangan orang yang mengelirukan faham massa dengan faham masa

Anggapan yang demikian ini malahan hidup di dalam fikirannya itu landraad-voorzitter yang “cerdik”, yang tempo hari menghukum saya, yang juga berkata: Partai Nasional Indonesia kini sedang bersedia, massa-aksinya terjadi nanti kalau persediaan telah selesai!

Oleh karena itu, maka perlu sekali kita lebih dulu menjawab pertanyaan: apakah massa-aksi itu?

Massa-aksi adalah aksinya massa. Massa artinja: Rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu. Massa-aksi adalah dus: aksinya rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu. Dan oleh karena aksi berarti perbuatan, per­gerakan, perjoangan, maka massa-aksi adalah dus berarti: perbuatannya, pergerakannya, perjoangannya rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun itu. Dan perbuatan itu, pergerakan itu, perjoangan itu bukanlah suatu hal yang hanya nanti akan terjadi; perbuatan, pergerakan, perjoangan itu adalah hal yang sudah berjalan sekarang.

Apa yang sekarang kita ker­jakan, apa jang sekarang kita perbuat, apa sahaja kita punya tindakan ini hari yang berupa menyusun-nyusun perhimpunan, menulis artikel-artikel dalam majalah dan surat-kabar, mengadakan kursus-kursus, mengadakan rapat-rapat umum, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, itu semua sudahlah termasuk dalam perbuatan, pergerakan, perjoangan rakyat Marhaen yang bermilyun-milyun situ, itu semua sudahlah termasuk dalam massa-aksi itu adanya.

Massa-aksi adalah dus bukan suatu “perkara kemudian”, bukan suatu hal yang “kini belum terjadi”, bukan suatu “banjir yang nanti kita lepaskan”; massa-aksi adalah suatu “soal hari sekarang”. Massa-aksi sudahlah kini kita lihat sehari-hari. Massa-aksi sudahlah ada di dalam kegiatan organisasi, dan organisasi sudahlah ada di dalam kegiatan massa­ aksi itu. “In de organisatie ligt reeds de actie besloten, en in de actie de organisatie”, – begitulah August Bebel berkata dengan jitu dan sing­kat, sekalipun massa-aksi itu sebenarnya tidak harus dan tidak selamanya suatu pergerakan rakyat murba yang tersusun.

Riwayat-dunia seringkali menunjukkan massa-aksi massa-aksi yang berjalan zonder organisasi. Riwayat-dunia misalnya menunjukkan massa-aksinya “kaum jembel” di dalam Revolusi Perancis, massa-aksinya sebagian kaum rakyat Belgia di dalam tahun 1830 melawan kekuasaan Belanda, massa-aksinya kaum kuli teh di dalam pergerakannya Gandhi, sebagai contoh-contoh dari massa-aksi yang zonder organisasi terjadi dengan sekonyong-konyong, dan hanya menurut “kemauannya sendiri” daripada kekuatan-kekuatan masyarakat yang tahadinya statis, berbangkit menjadi dinamis.

Tetapi tetaplah kebenaran kata, bahwa apa yang kita kerjakan sekarang itu, sudahlah massa-aksi. Dan jikalau pergerakan kita pada waktu ini belum haibat sehaibat-haibatnya, jikalau, pergerakan kita pada waktu ini belum “bergerak 100%”, jikalau pergerakan kita itu belum se­bagai “banjir yang pecah-bendungannya”, maka itu bukanlah karena belum berjalan massa-aksi, tetapi ialah karena massa-aksi kita itu belum mencapai ketinggian puncaknya.

Cukupkah sekian sahaja keterangan tentang arti massa-aksi? Cukupkah keterangan, bahwa massa-aksi ialah pergerakannya rakyat Marhaen yang berjuta-juta? Keterangan sekian itu sama sekali belum cukup! Sebab keterangan kita itu masih melupakan satu hal lagi, yang sangat sekali penting di dalam soal massa-aksi. Keterangan kita itu masih lupa menerangkan, bahwa massa-aksi haruslah bersemangat dan bersepak-ter­jang radikal, bersemangat dan bersepak-terjang revolusioner.

Bukan tiap-tiap “pergerakan rakyat-murba” adalah suatu massa-aksi. Bukan tiap-tiap pergerakan dari orang yang ratusan, ribuan, jutaan, adalah suatu massa-aksi. Massa-aksi adalah pergerakan rakyat-murba yang berjuta-juta secara radikal dan revolusioner.

Pergerakan rakyat-murba yang tidak secara radikal dan revolusioner, pergerakan rakyat-murba yang tidak bersemangat perlawanan, pergerakan rakyat-murba yang “tidak sengit” dan tidak bersemangat “banteng” pergerakan rakyat-murba yang demikian itu, walaupun milyun-milyunan orang yang bergerak, bukanlah massa-aksi, tetapi hanyalah suatu “Massale actie”, aksi Massal, belaka.

Di dalam uraian saya yang lalu sudahlah saya terangkan apakah yang dinamakan massa-aksi itu. Saya terutama sekali memusatkan perhatian pembaca atas hal yang maha-penting berhubung dengan faham massa ­aksi: bahwa massa-aksi haruslah radikal dan revolusioner. “Massa-aksi” yang tidak radikal dan revolusioner,“massa-aksi” yang tidak bersemangat perlawanan, “massa-aksi” yang tidak bersemangat “banteng”, “massa-aksi” yang demikian itu bukanlah massa-aksi, tetapi hanyalah suatu “MASSALE actie” belaka, begitulah saya berkata.

Memang keradikalan dan kerevolusioneran itulah yang memberi “cap” pada massa-aksi sebagai suatu “technisch-politieke term”, suatu istilah politik, yang tidak bisa disalin dalam bahasa Indonesia. Memang keradikalan dan kerevolusioneran itulah yang membedakan massa-aksi daripada “pergerakan rakyat jelata” yang biasa. Lihatlah misalnya per­gerakan rakyat Indonesia dulu, tatkala Sarekat Islam baru lahir di dunia. Lihatlah misalnja juga pergerakan rakyat di Ngayodya, di Mataram, se­karang ini. Ribuan, laksaan, ketian, ya milyunan rakyat sama bergerak, milyunan rakyat sama beraksi, tetapi aksinya hanyalah suatu “MASSALE actie” belaka. Aksinya hanyalah suatu “massale actie”, dan bukan suatu ”massa-actie”, oleh karena aksinya bukan aksi rakyat-jelata yang radikal dan revolusioner.

Lihatlah juga suatu hal lagi yang menggelikan hati: Orang kadang­kadang menulis dalam surat-kabar: partai ini atau itu, pada hari ini atau itu, akan mengadakan “massa-aksi” untuk memprotes sesuatu hal ini atau itu! Seolah-olah massa-aksi ada suatu kejadian “hari ini atau itu”! Se­olah-olah massa-aksi itu suatu kejadian yang mulai jam sebegini dan selesai jam sebegitu! Seolah-olah massa-aksi ada suatu hal yang boleh diperintahkan atau dihentikan menurut waktu yang saksama!

Tidak! Massa-aksi tidaklah suatu hal “hari ini atau itu”, massa-aksi tidaklah suatu hal yang bisa di “telegram”kan boleh mulai jam sebegini dan selesai jam sebegitu, massa aksi adalah suatu kebangkitan massa secara radi­kal dan revolusioner yang disebabkan oleh tenaga-tenaga masyarakat­-masyarakat sendiri. Massa-aksi adalah suatu pergerakan revolusioner yang dalam hakekatnya ialah pergerakan sendiri dan yang orang maksudkan dengan perkabaran bahwa partai ini atau itu pada hari ini atau itu akan mengadakan “massa-actie”,  adalah sebenarnya hanya rapat-rapat umum yang berbarengan belaka.

Sekarang, apakah non-kooperasi bisa menghaibatkan massa-aksi yang sebenar-benarnya? Non-kooperasi bisa menghaibatkan massa-aksi yang sebenar-benarnya, yakni pergerakan massa yang berisi radikalisme. Sebab, sebagai yang pernah saya terangkan, justru non-kooperasilah yang di dalam PERJOANGAN TANAH JAJAHAN berisi radikalisme. Banyak haluan di dalam kalangan politik bangsa yang melawan imperialisme asing, banyak azas-perjoangan yang dipakai, ada yang non, ada yang ko, ada yang tidak non tidak ko tetapi hanya satulah yang dalam bathinnya dan dalam hakekatnya radikal dan revolusioner, yakni haluan non-kooperasi. Sebab hanya non kooperasilah yang dalam bathinnya dan dalam hakekat­nya meneruskan antitese antara sana dan sini, mengakui adanya, meneruskan adanya, MENDALAMKAN adanya JURANG antara sana dan sini.

Dan bukan itu sahaja! Non-kooperasi, karena mendinamisir antitese itu, adalah pula satu-satunya azas-perjoangan di dalam negeri jajahan yang, menurut perkataan seorang penulis dalam s.k. “Utusan Indonesia” yang menyebutkan dirinya “Revolutionnair politicus”, bisa mengisi per­joangan itu dengan “isi-revolusioner”, yakni dengan “revolutionnaire lading” yang sehidup-hidupnya. Non-kooperasilah yang bisa memberi isi­ revolusioner yang menjadi syarat yang terpenting dalam soal massa-aksi, isi-revolusioner yang membikin sesuatu pergerakan rakyat menjadi massa-aksi, isi-revolusioner yang membikin sesuatu massa-aksi yang “mlempem” menjadi massa aksi yang hidup dan bernyawa.

Cara-perjoangan di negeri-negeri yang merdeka, yang membikin pemilihan parlemen dan perjoangan dalam parlemen menjadi aangrij­pingspunt, mimbar, dan tempat-komando daripada perjoangan umum, sebagai yang saya terangkan dalam salah satu karangan saya yang lalu, cara perjoangan yang demikian itu di negeri jajahan, terutama sekali negeri jajahan sebagai Indonesia, tidaklah bisa diusahakan dengan hasil yang memuaskan. Baik cara-pemilihan-kursi-dewan

di sini, maupun mimbar daripada dewan di sini; baik kesempatan membikin dewan men­jadi tempat-komando, maupun kesempatan membuka topeng si musuh, semua itu di negeri jajahan sebagai Indonesia hanyalah suatu “tipuan yang tak memper”, suatu “bayangan yang palsu” belaka daripada cara­ pemilihan kursi parlemen di negeri yang merdeka, mimbar parlemen di negeri yang merdeka, tempat komando di parlemen di negeri yang mer­deka!



Bagaimanakah kita mau menghaibatkan massa aksi dengan pemilihan­ kursi dewan, kalau pemilihan kursi dewan itu tidak diatur secara kerakyatan dan sama sekali tergenggam oleh kaum B.B. dan badan-badan pemerintah sendiri! Bagaimanakah kita mau membikin dewan-dewan itu menjadi mimbarnya massa-aksi, kalau di situ misalnya perkataan “over­heersen” sudah dicapkan tabu dan terlarang! Bagaimanakah kita mau membikin dewan itu menjadi commando-brug bagi massa-aksi, kalau misalnya satu pidato yang lunak dari tuan Otto Iskandardinata tempo hari sudah membikin palunya ketua menjadi berdansa di atas meja sebagai palu yang kejangkitan syaitan!



Tidak! Kesempatan untuk membikin dewan di sini menjadi aan grijpingspunt, mimbar dan tempat-komando daripada perjoangan kita, adalah sama sekali tidak memper sedikitpun juga dengan kesempatan yang diberikan oleh parlemen di negeri yang merdeka, dan adalah ha­nya suatu “fotografie van het achterdeel!” daripadanya belaka!



Oleh karena itulah maka kita, kaum radikal, bilamana kita di negeri jajahan sebagai Indonesia ini mau membangunkan dan membangkitkan massa-aksi yang sehaibat-haibatnya, haruslah menginjak jalan yang tidak mengambil puling akan “fotografie van het achterdeel” itu, yakni jalan non-kooperasi yang ingkar dan prinsipiil.

Tentang soal non-kooperasi berhubung dengan machtsvorming akan saya uraikan lain kali.



Di dalam uraian saya yang lalu telah saya terangkan bahwa di dalam dunia-politik negeri jajahan non-kooperasilah satu-satunya azas perjoangan yang bisa mendatangkan massa-aksi Kini saya harus menerangkan, bahwa non-kooperasi jugalah yang bisa mendatangkan machtsvorming.



Apakah machtsvorming itu? Pertanyaan ini adalah penting sekali. Sebagaimana kita tidak bisa menjawab soal non-kooperasi berhubung dengan massa-aksi sebelum kita bisa menjawab apakah massa aksi itu; sebagaimana banyak sekali omongan tentang “massa aksi” menjadi obrolan-omong-kosong karena tidak tahu-menahu apakah yang diomong­kan itu, maka kinipun kita tak dapat membicarakan non kooperasi berhubung dengan machtsvorming sebelum kita tahu benar-benar apakah machtsvorming itu.



Jadi sekali lagi: apakah machtsvorming itu?

Machtsvorming adalah berarti: pembikinan kuasa. Machtsvorming adalah penyusunan tenaga, penyusunan macht. Machtsvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana menuruti kehendak kita. Paksaan ini adalah perlu, paksaan ini adalah syarat yang pertama.



Dengarkanlah apa yang tempo hari saya katakan dalam saya punya pleidooi:

“Machtsvorming, pembikinan kugsa, oleh karena soal kolonial adalah soal-kuasa, soal-macht! Machtsvorming, oleh karena seluruh riwayat dunia menunjukkan, bahwa perobahan-perobahan besar hanyalah diadakan oleh kaum yang Menang, kalau pertimbangan akan untung-rugi menyuruhnya, atau kalau sesuatu macht menuntutnya. Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan kemauan sendiri”, be­gitulah Marx berkata … Selama rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang maha sentausa, selama rakyat itu masih sahaja bercerai-­berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun, selama itu maka kaum imperialisme yang mencahari un­tuk sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya sebagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan segala tuntutan­-tuntutannya. Sebab tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia adalah merugikan kepada imperialisme; tiap-tiap tuntutan rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme itu tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia atas imperialisme dan pemerintah adalah buahnya desakan yang rakyat itu jalankan, tiap-tiap kemenangan rakyat Indonesia itu adalah suatu afgedwongen concessie!”)

Begitulah kalimat-kalimat dalam saya punya buku.



1)       Arti “concessie”. Kalau si musuh, karena desakan kita, lantas menuruti sebagian atau semua tuntutan-tuntutan kita, maka si musuh itu adalah menjalankan concessie.



Jadi sekali lagi: machtsvorming adalah pembikinan kuasa, yang perlu untuk mengadakan desakan pada kaum sana. Machtsvorming adalah perlu, oleh karena, berhubung dengan adanya pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, semua kehendak kita adalah bertentangan dengan kehendak kaum sana, bertabrakan dengan kepentingan kaum sana, meru­gikan kaum sana, sehingga kaum sana tidak akan mau dengan kemauan sendiri melulusi kehendak kita itu, jika tidak kita paksa melulusi ke­hendak kita itu dengan desakan yang ia tak dapat menahannya. Dan oleh karena desakan yang demikian itu hanyalah bisa kita jalankan bilamana kita mempunyai tenaga, yakni bilamana kita mempunyai kekuatan, mem­punyai kekuasaan, mempunyai MACHT, maka itulah sebabnya kita harus menyusun macht itu, yakni mengerjakan machtsvorming itu dengan se­giat-giatnya dan serajin-rajinnya!



Machtsvorming adalah dus suatu hal yang bersendi atas antitese antara sana dan sini, suatu hal yang berisi semangat dan keyakinan perla­wanan, suatu hal yang berisi semangat dan keyakinan bahwa tiada perdamaian antara sana dan sini, – suatu hal yang berisi semangat dan keyakinan radikal.



Memang, sebagaimana radikalisme adalah pokok-pangkalnya massa­ aksi, maka radikalisme itu adalah pula pokok-pangkalnya machtsvorming itu. “Machtsvorming” zonder radikalisme, “machtsvorming” zonder pen­dirian antitese dan perlawanan, “machtsvorming” yang demikian itu bukanlah machtsvorming

yang sebenarnya.



Orang bisa mengumpulkan anggauta perhimpunan yang banyak sekali, orang bisa mendirikan cabang-perhimpunan yang banyak sekali, orang bisa mendirikan badan-badan-kooperasi yang banyak sekali, serikat seker­ja yang banyak sekali, sekolahan yang banyak sekali, majalah-majalah yang banyak sekali, macam-macam hal lain yang banyak sekali, – tetapi jikalau semua hal itu bertindak dengan semangat dan sepak-terjang “kambing”, jikalau semua hal itu tidak diisi dan berisi radikalisme dan revolusionerisme, maka itu tidaklah boleh dinamakan machtsvorming atau pembikinan kuasa.

Sebab, sebagai tahadi saya terangkan, faham machtsvorming

adalah justru timbul daripada antitese antara sana dan sini, – perlawanan segala hal antara sana dan sini!



Ambillah misalnya,- sekali lagi        Sarekat Islam zaman dulu. Anggautanya banyak, cabangnya banyak, badan-kooperasinya banyak, serikat sekerjanya banyak, segala-galanya banyak,-

tetapi karena semangat dan sepak-terjangnya adalah semangat dan sepak-terjang perdamaian, maka ia tidaklah boleh dinamakan menyusun machtsvorming, dan memang tidak ditakuti oleh musuh. Tetapi ambillah misalnya pula: Partai Nasional Indonesia.

Semangat radikalisme dan sepak-terjang radikalisme adalah di situ, dan yang disusun atau akan disusunl) adalah pusat-pusatnya ke­kuasaan imperialisme! Partai ini ditakuti sekali oleh musuh, dan

segera dibunuhnya mumpung-mumpung machtsvormingnya belum berkembang! Memang partai inilah ada salah satu partai di Indonesia yang menyusun machtsvorming ang sejati.

Sekarang, – apakah non-kooperasi bisa mendatangkan machts-vorming? Sebagaimana non-kooperasi buat negeri jajahan adalah satu­satunya azas perjoangan yang bisa menghaibatkan massa-aksi, maka ia adalah pula buat negeri jajahan satu-satunya azas-perjoangan yang bisa menghaibatkan machtsvorming rakyat. Sebab, – pembaca sudah tahu, hanya non kooperasilah yang mengakui adanya dan mendalamkan adanya antitese dan perlawanan antara sana dan sini, mengerjakan (uitwerken) adanya antitese dan perlawanan antara sana dan sini itu.

Non-kooperasi dan machtsvorming, yang dua-duanya bersemangat dan bersepak-terjang radikalisme itu, adalah dua hal yang “bersaudara” satu sama lain, menyokong satu sama lain, memperkuat satu sama lain!

Karena itu, siapa ingin machtsvorming di Indonesia, haruslah menjalankan non-kooperasi!
1)       Sebelum partai ini mulai menyusun, ia keburu dijatuhi palang-pintu

2)     Musuh tidak mengamuk (1932).

Artikel Terkait