Rabu, 04 Oktober 2017

Mencapai Indonesia Merdeka

Hanya Rakyat yang mau merdeka bisa merdeka.

 Tilak

 Selatan dari Bandung adalah satu tempat-pegunungan yang bernama Pangalengan. Di tempat itu saya, sekembali saya dari saya punya tournee tempo hari ke Jawa Tengah yang membangkitkan Rakyat sejumlah 89.000 orang, bervakansi beberapa hari melepaskan kelelahan badan. Di dalam vakansi itu saya menulis ini risalah, ini vlugschrift.

 Isinya buat kaum ahli-politik tidak baru, tapi buat orang yang baru menjejakkan kaki di gelanggang perjoangan ada faedahnya juga.



 Untuk menjaga jangan sampai risalah ini menjadi terlalu tebal, – dus juga jangan sampai terlalu mahal harganya – , maka hanya garis­-garis besar sahaja yang bisa saya guratkan. Mitsalnya fatsal “Di seberang Jembatan-emas” kurang jelas. Tetapi Insya Allah ,akan saya bicarakan nanti spesial di dalam risalah lain, yang juga akan bernama

“Di seberang Jembatan-emas”.

Moga-moga risalah ini banyak dibaca oleh Marhaen.



SUKARNO



Maret 1933


1. SEBAB-SEBABNYA INDONESIA TIDAK MERDEKA

 Professor Veth pernah berkata, bahwa sebenarnya Indonesia tidak pernah merdeka. Dari zaman purbakala sampai sekarang, dari zaman ribuan tahun sampai sekarang, – dari zaman Hindu sampai sekarang, maka menurut professor itu Indonesia senantiasa menjadi negeri jajahan: mula-mula jajahan Hindu, kemudian jajahan Belanda.

Dengan per­setujuan yang sepenuh-penuhnya, maka di dalam salah satu bukunya ia mencantumkan syairnya seorang penyair yang berbunyi

 “Aan Java’s strand verdrongen zich de volken;

Steeds daagden nieuwe meesters over ‘t meer:

Zij volgden op elkaar, gelijk aan ‘t zwerk de wolken

De telg des lands alleen was nooit zijn heer.”

 syair mana berarti:


“Di pantainya tanah Jawa rakyat berdesak-desakan;

Datang selalu tuan-tuannya setiap masa:

Mereka beruntun-runtun sebagai runtunan aware;

Tapi anak-pribumi sendiri tak pernah kuasa.”

 Pendapat kita tentang pendirian ini? Pendapat kita ialah, bahwa professor yang pandai itu, yang memang menjadi salah satu “datuk”nya penyelidikan riwayat kita, ini kali salah raba. Ia lupa, bahwa adalah per­bedaan yang dalam sekali antara hakekatnya zaman Hindu dan hakekatnya zaman sekarang. Ia lupa, bahwa zaman Hindu itu tidak terutama sekali  berarti suatu pengungkungan oleh kekuasaan Hindu, yakni tidak terutama sekali berarti suatu machtsusurpatie dari fihak Hindu di atas pundaknya fihak Indonesia. Ia lupa, bahwa di dalam zaman Hindu itu Indonesia sebenarnya adalah merdeka terhadap pada Hindustan, sedang di dalam zaman sekarang Indonesia adalah tidak merdeka terhadap pada negeri Belanda.


Merdeka terhadap pada Hindustan? Toch raja-raja zaman purbakala itu mula-mula bangsa Hindu? Tokh kaum ningrat zaman purbakala itu mula-mula bangsa Hindu? Toch kekuasaan zaman purbakala itu ada di tangannya orang-orang bangsa Hindu? Tokh dus, Rakyat jelata zaman purbakala itu diperintah oleh orang-orang bangsa Hindu? Ya! Merdeka terhadap pada Hindustan, oleh karena kaum yang kuasa di dalam zaman Hindu itu tidaklah terutama sekali kaum “usurpator”, tidak terutama sekali kaum “perebut kekuasaan”, tidak terutama sekali kaum penja­jah. Mereka bukanlah kaum yang merebut kerajaan, tetapi mereka sendirilah yang mendirikan kerajaan di Indonesia! Mereka menyusun staat Indonesia, yang tahadinya tidak ada staat Indonesia,. Mereka “mene­mukan” masyarakat Indonesia tidak sebagai suatu masyarakat yang sudah berupa “negeri”, tetapi suatu masyarakat yang belum ketinggian susunan. Mereka mendirikan di sini suatu keadaban, suatu cultuur, yang bukan suatu cultuur “dari atas”, bukan suatu “imperialistische cultuur”, – tetapi suatu cultuur yang hidup dan subur dengan masyarakat Indonesia. Mereka pu­nya perhubungan dengan Hindustan bukanlah perhubungan kekuasaan, bukanlah perhubungan pemerintahan, bukan perhubungan macht, – tetapi ialah perhubungan peradaban, perhubungan cultuur. Raja-raja zaman purbakala itu hanya di dalam permulaannya sahaja orang-orang bangsa Hindu, – raja-raja itu kemudian adalah orang-orang Hindu-Indonesia, dan kemudian lagi orang-orang Indonesia-Hindu, yang adat-istiadatnya, cara-hidupnya, agamanya, cultuurnya, kebangsaan-nya, darahnya, rasnya berganda-ganda kali lebih Indonesia daripada Hindu, ya, akhirnya samase‑kali Indonesia dan hanya “berbau” sahaja Hindu. Pendek-kata, di dalam zaman purbakala itu negeri Indonesia bukanlah “koloni” dari negeri Hindu, bukan “kepunyaan” negeri Hindu, bukan jajahan negeri Hindu. Negeri Indonesia di zaman itu adalah merdeka terhadap pada negeri Hindu adanya!



Negeri Indonesia ketika itu merdeka, – tetapi penduduk Indonesia, Rakyat-jelata Indonesia, Marhaen Indonesia, adakah ia juga merdeka? Marhaen Indonesia tidak pernah merdeka. Marhaen Indonesia, sebagai Rakyat Marhaen di seluruh dunia, sampai kini belum pernah merdeka! Marhaen Indonesia itu di zaman “Hindu”, tatkala negeri Indonesia ber­nama merdeka dari Hindustan, adalah diperintah oleh raja-rajanya secara feodalisme: Mereka hanyalah menjadi perkakas sahaja dari raja-raja itu dengan segala bala-keningratannya, mereka tidak mempunyai hak menentukan sendiri putih-hitam nasibnya, mereka senantiasa ditindas oleh “kaum atasan” daripada masyarakat Indonesia itu, sebagai­mana kaum Marhaen di mana-mana negeri di muka bumi di zaman feodal­isme juga menderita nasib tertindas dan terkungkung. Mereka haruslah hidup dengan selamanya ingat bahwa miliknya dan nyawanya “nek awan duweke sang nata, nek wengi duweke dursila”, yakni dengan selamanya ingat akan nasibnya perkakas, yang banyak kewajibannya tetapi tiada hak-haknya samasekali. 0, Marhaen Indonesia, yang dulu celaka dalam zaman feodalismenya kerajaan dan keningratan bangsa sendiri, yang kini celaka dalam zaman modern kapitalisme dan imperialisme, – berjoang­lah habis-habisan mendatangkan nasib yang sejati-jatinya merdeka!



Tetapi marilah kembali pada pokok pembicaraan: Negeri Indonesia, berlainan dengan pendapat professor Veth, dulu adalah negeri yang mer­deka. Negeri Indonesia itu kemudian hilang kemerdekaannya, kemudian menjadi koloni, kemudian menjadi bezitting, kemudian menjadi negeri-jajahan. Dan bukan negeri Indonesia sahaja! Seluruh dunia Azia kini, – kecuali satu-dua bagian sahaja, – adalah tidak merdeka. Mesir tidak merdeka, Hindustan tidak merdeka, Indo-China tidak mer­deka, Philippina tidak merdeka, Korea tidak merdeka, ya, Tiongkok tidak merdeka. Sebab-sebabnya?



Sebab-sebabnya, sumber sebab-sebabnya, haruslah kita cari di dalam susunan dunia beberapa abad yang lalu. Tiga empat ratus tahun yang lalu, di dalam abad keenam-belas ketujuh-belas, maka di dunia Barat adalah selesai suatu perobahan-susunan-masyarakat: feodalisme Eropah mulai surut sedikit-persedikit, timbullah suatu kegiatan-pertukangan dan perdagangan, timbullah suatu klasse pertukangan dan perdagangan, yang giat sekali berniaga di seluruh benua Eropah-Barat. Dan tatkala klasse ini menjadi sekuat-kuatnya, tatkala mereka punya kedudukan menjadi kedudukan kecakrawartian, tatkala seluruh masyarakat Eropah-Barat bersifat mereka punya vroeg-kapitalisme, maka benua Eropah segeralah menjadi terlalu sempit bagi perniagaannya. Terlalu sempit benua Eropah itu bagi usahanya berjengkelitan membesar-besarkan tubuh dan anggau­tanya, terlalu sempit sebagai padang-permainannya vroeg-kapitalisme itu! Maka timbullah suatu nafsu, suatu stelsel, mencahari padang-padang­permainan di benua-benua lain, – terutama sekali di benua Timur,

di benua Azia!



Masih kecillah imperialismel) ini pada waktu itu, jauh lebih kecil daripada imperialisme-modern di zaman sekarang! En tokh dunia Timur waktu itu tiada kekuatan sedikitpun jua untuk menolak imperialisme yang masih kecil itu? Di manakah kekuatan Hindustan, di manakah kekuatan Philippina, di manakah kekuatan Indonesia, – di manakah ke­kuatan masyarakat Indonesia, yang dulu katanya mempunyai kerajaan­-kerajaan gagah-sentausa seperti Sriwijaya, seperti Mataram kesatu, seperti Majapahit, seperti

Pajajaran, seperti Bintara, seperti Mataram kedua?

Ah, masyarakat Indonesia khususnya, masyarakat Azia umumnya, pada waktu itu kebetulan sakit. Masyarakat Indonesia pada waktu itu adalah suatu masyarakat “in transformatie”, yakni suatu masyarakat yang sedang asyik “berganti bulu”: feodalisme-kuno yang terutama sekali feodalisme­nya Brahmanisme, yang tidak memberi jalan sedikitpun jua pada rasa-keperibadian, yang menginggap raja beserta bala-keningratannya sebagai titisan dewa dan menganggap Rakyat sebagai perkakas-melulu daripada “titisan dewa” itu, -feodalisme-kuno itu dengan pelahan­-pelahan didesak oleh feodalisme-baru, feodalismenya ke-Islam-an, yang sedikit lebih demokratis dan sedikit lebih memberi jalan pada rasa­ keperibadian. Pertempuran antara feodalisme-kuno dan feodalisme-baru itu, yang pada lahirnya mitsalnya berupa pertempuran antara Demak dan Majapahit, atau Banten dan Pajajaran -, pertempuran antara feodal­isme-kuno dan feodalisme-baru itulah seolah-olah membikin badan­ masyarakat menjadi “demam” dan menjadi “kurang-tenaga”. Memang tiap-tiap masyarakat “in transformatie” adalah seolah-olah demam. Dan memang tiap-tiap masyarakat yang demikian itu adalah “abnormal”, lem­bek, kurang-tenaga. Lihatlah mitsalnya “demamnya” dan lembeknya masyarakat Eropah di zaman abad-pertengahan tatkala masyarakat Eropah pada waktu itu “in transformatie” dari feodalisme ke-vroeg-kapitalisme, lihatlah “demam”-nya masyarakat Eropah itu juga satu-setengah-abad yang lalu tatkala “mlungsungi” dari vroeg-kapitalisme ke-modern-kapitalisme, lihatlah “demam”-nya masyarakat Tiongkok-sekarang yang juga sedang

 1)   Buat jelasnya imperialisme, lihatlah saya punya pleidooi, hoofdstuk II. Sekarang “Indonesia Menggugat”, Red.

“berganti bulu” masuk ke tingkat kapitalisme. Tubuh masyarakat memang tak beda dari tubuh manusia, tak beda dari sesuatu tubuh yang hidup, yang juga tiap-tiap saat perobahannya membawa kesakitan dan kekurangan tenaga!

Hairankah kita, kalau masyarakat Indonesia, yang pada waktu datang­nya imperialisme dari Barat itu kebetulan ada di dalam keadaan transfor­matie, tak cukup kekuatan untuk menolaknya? Kalau imperialisme Barat itu segera mendapat kedudukan di dalam masyarakat yang sedang bersakit demam itu? Kalau imperialisme Barat itu segera bisa menjadi cakra­warti di dalam masyarakat yang lembek itu? Satu-per-satu negeri-negeri di Indonesia tunduk pada cakrawarti yang baru itu. Satu-per-satu negeri­negeri itu lantas hilang kemerdekaannya. Satu-per-satu negeri-negeri itu lantas menjadi kepunyaannya Oost Indische Compagnie. Indonesia yang dahulunya, ondanks professor Veth, adalah Indonesia yang merdeka, pelahan-lahan menjadilah Indonesia yang semua daerahnya tidak mer­deka. Rakyat Indonesia yang dahulunya berkeluh-kesah memikul feodalismenya kerajaan dan keningratan bangsa sendiri, kini akan lebih-lebih lagi berkeluh-kesah memikul “berkah-berkahnya” stelsel imperialisme dari dunia Barat. Rakyat Marhaen, sebagai disyairkan oleh sahabatnya prof. Veth, boleh terus menyanyi:


“Tapi anak-pribumi sendiri tak pernah kuasa” …

 Inilah asal-muasalnya kesialan nasib negeri Indonesia! Inilah pokok­ sebabnya permulaan negeri Indonesia menjadi negeri yang tidak merdeka: suatu masyarakat sakit yang kedatangan utusan-utusannya masyarakat yang gagah-perkasa, – utusan-utusan yang membawa keuletannya masyarakat yang gagah-perkasa, alat-alatnya masyarakat yang gagah-perkasa„ ilmu­ kepandaiannya masyarakat yang gagah-perkasa. Masyarakat yang sakit itu tidaklah lagi mendapat kesempatan menjadi sembuh, – masyarakat yang sakit itu malahan makin lama makin menjadi lebih sakit, makin habis semua “kutu-kutunya”, makin habis semua tenaga dan energienya. Tetapi imperialisme yang menghinggapinya itu sebaliknya makin lama makin ber­sulur dan berakar, melancar-lancarkan tangannya ke kanan dan kekiri dan ke belakang dan ke depan, melebar, mendalam, meliputi dan menyerapi tiap-tiap bagian daripada masyarakat yang sakit itu. Imperialisme yang tatkala baru datang adalah imperialisme yang masih kecil, makin lama makin menjadi haibat dan besar, menjadi raksasa maha-shakti yang seakan-akan tak berhingga kekuatan dan energienya. Imperialisme-raksasa itulah yang kini menggetarkan bumi Indonesia dengan jejaknya yang seberat gempa, menggetarkan udara Indonesia dengan guruh suaranya yang sebagai guntur, – mengaut-aut di padang-kerezekian negeri Indonesia dan Rakyat Indonesia.

 Imperialisme-raksasa inilah yang harus kita lawan dengan keberaniannya ksatrya yang melindungi haknya!

 2. DARI IMPERIALISME-TUA KE IMPERIALISME-MODERN

 Tahukah pembaca bagaimana mekarnya imperialisme itu? Bagai­mana ia dari imperialisme-kecil menjadi imperialisme-raksasa, dari imperialisme-zaman-dulu menjadi imperialisme-zaman-sekarang, dari imperialisme-tua menjadi imperialisme-modern? Bagaimana imperialisme-tua itu berganti bulu sama sekali menjadi imperialisme-modern, yakni bukan sahaja berganti besarnya, tetapi juga berganti wujudnya, berganti sifatnya, berganti caranya, berganti sepak-terjangnya, berganti wataknya, berganti stelselnya, berganti sistimnya, berganti segala-galanya, – dan hanya satu yang tidak berganti padanya, yakni kehausannya men­cahari rezeki?



Kamu belum mengetahui hal ini? Pembaca, imperialisme adalah dilahirkan oleh kapitalisme. Imperialisme adalah anaknya kapitalisme. Imperialisme-tua dilahiikan oleh kapitalisme-tua, imperialisme-modern dilahirkan oleh kapitalisme-modern. Wataknya kapitalisme-tua adalah berbeda besar dengan wataknya kapitalisme-modern. Sedang kapitalisme ­tua belum kenal akan tempat-tempat-pekerjaan sebagai sekarang, belum kenal paberik-paberik sebagai sekarang, belum kenal industri-industri sebagai sekarang, belum kenal bank-bank sebagai sekarang, belum kenal perburuhan sebagai sekarang, belum kenal cara-productie sebagai seka­rang, – sedang kapitalisme-tua itu cara-productie-nya hanya kecil-kecilan sahaja dan di dalam segala-galanya berwatak kuno, maka kapitalisme ­modern adalah menunjukkan kemoderenan yang haibat sekali: tempat­-tempat-perkerjaan yang ramainya menulikan telinga, paberik-paberik yang asapnya menggelapkan angkasa, bank-bank yang tingginya mencakar langit, perburuhan yang memakai ribuan-ketian kaum proletar, pembikinan barang yang tidak lagi menurut banyaknya pesanan, tetapi pembikinan barang yang hantam-kromo banyaknya sampai bergudang-gudang. Maka imperialisme ­tua yang dilahirkan oleh kapitalisme-tua itu, – imperialismenya Oost Indische Compagnie dan imperialismenya Cultuurstelsel, – imperialisme tua itu niscayalah satu watak dengan “ibunya”, yakni watak-tua, watak­kolot, watak-kuno. Tidaklah kenal imperialisme-tua itu akan cara-cara “modern”, tidaklah kenal ia akan cara-cara “sopan”. Ia menghantam ke kanan dan ke kiri, menanam dan menjaga stelsel monopoli dengan ke­kerasan dan kekejaman. Ia mengadakan sistim paksa di mana-mana, ia membinasakan ribuan jiwa manusia, menghancurkan kerajaan-keraja­an dengan kekerasan senjata, membasmi milliunan tanaman cengkeh dan pala yang membahayakan keuntungannya. Ia melahirkan aturan contin­genten1) dan leverantien2) yang sangat sekali berat dipikulnya oleh Rakyat, ia dengan terang-terangan melahirkan aturan-aturan yang memadamkan perdagangan Indonesia, ia dengan terang-terangan menjalankan politik­nya memecah-mecah. Ia menjalankan tindakan-tindakan kekerasan, yang menurut professor Snouck Hurgronje, “sukar sekali kita menahan kita punya rasa-jemu dan rasa-jijik”. Ia di zaman akhir-akhirnya mela­hirkan suatu stelsel-kerja-paksa baru, yang lebih kejam lagi, lebih menguntungkan lagi, lebih memutuskan nafas lagi, yakni cultuurstelsel yang sebagai cambuk jatuh di atas pundak dan belakangnya Rakyat. Ya, pendek-kata, sangat sekali “kuno” di dalam sepak-terjang dan wataknya: paksaan dan perkosaan terang-terangan adalah iapunya nyawa!



Tetapi lambat-laun di Eropah modern-kapitalisme mengganti vroeg­kapitalisme yang sudah tua-bangka. Paberik-paberik, bingkil-bingkil, bank-bank, pelabuhan-pelabuhan, kota-kota-industri timbullah seakan-­akan jamur di musim dingin, dan tatkala modern-kapitalisme ini sudah dewasa, maka modal-kelebihannya alias surplus kapitaalnya lalu ingin dimasukkan di Indonesia, – modern-imperialisme lalu menjelma di muka bumi, ingin menggantikan imperialisme-tua yang juga sudah tua-bangka.



Tak berhenti-henti, begitulah saya tempohari menulis dalam saya punya pleidooi tak berhenti-henti modern-imperialisme itu memukul-mukul di atas pintu-gerbang Indonesia yang kurang lekas dibukanya, tak berhenti­henti kampiun-kampiunnya modern-imperialisme yang tak sabar lagi itu menghantam-hantam di atas pintu-gerbang itu, tak berhenti-henti penjaga­-penjaga pintu-gerbang itu saban-saban sama gemetar mendengar de­ngungnya pekik “naar vrij arbeid!”, “kearah kerja-merdeka!” daripada kaum-kaum modern-kapitalisme yang tak mau memakai lagi sistim kuno yang serba paksa itu, melainkan ingin mengadakan sistim baru yang me­makai “kaum-buruh merdeka”, “penyewaan tanah merdeka”, “persaingan merdeka”, d.l.s. Dan akhirnya, pada kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu­ gerbang itu! Sebagai angin yang makin lama makin meniup, sebagai aliran sungai yang makin lama makin membanjir, sebagai gemuruhnya tentara menang yang masuk ke dalam kota yang kalah, maka sesudah Agrarische wet dan Suikerwet-de-Waal di dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten­Generaal di negeri Belanda, masuklah modal-partikelir di Indonesia, – mengadakan paberik-paberik gula di mana-mana, kebon-kebon teh di mana-mana, onderneming-onderneming tembakau di mana-mana, dan lain seba­gainya; tambahan lagi modal-partikelir yang membuka macam-macam perusahaan tambang, macam-macam perusahaan kereta-api, tram, kapal, atau paberik-paberik yang lain-lain. Imperialisme-tua makin lama makin layu, makin lama makin mati, imperialisme-modern mengganti tempat­-tempatnya: Tjara-pengambilan rezeki dengan jalan monopoli dan paksa makin lama makin diganti cara-pengambilan rezeki dengan jalan per­saingan-merdeka dan buruh-merdeka, cara-pengambilan rezeki yang menggali untung bagi “negeri” Belanda makin lama makin mengerut, terdesak oleh pengambilan rezeki secara baru yang mengayakan modal­ partikelir.

1)         Contingent = Serupa pajak, dibayar dengan barang-barang hatsil-bumi oleh Kepala-kepala.

2)         Leverantien = Kepala-kepala dipastikan setor barang-barang hatsil-bumi yang dibeli oleh Compagnie. Tetapi banyaknya dan harganya barang itu Compagnie-lah yang menentukan!

 Cara pengambilan berobah, sistimnya berobah, wataknya berobah, – tetapi banyakkah perobahan bagi Rakyat Indonesia? Banjir-harta yang keluar dari Indonesia bukan semakin surut, tetapi malahan makin besar, drainage Indonesia malahan makin makan! “Tak pernahlah untung-bersih itu mengalirnya begitu deras sebagai justru di bawah pimpinannya exploi­tant baru itu; aliran itu7hanyalah melalui jalan-jalan yang lebih tenang”, begitulah seorang politikus pernah menulis.



Memang, bagi Rakyat Indonesia perobahan sejak tahun 1870 itu hanyalah perobahan caranya pengambilan rezeki; bagi Rakyat Indone­sia, imperialisme-tua dan imperialisme-modern dua-dua tinggal imperial­isme belaka, dua-dua tinggal pengangkutan rezeki Indonesia keluar pagar, dua-duanya tinggal drainage. Dan drainage inipun di dalam zaman modern-imperialisme makin membanjir! Raksasa-imperialisme-modern itu tidak tinggal raksasa sahaja, raksasa-imperialisme-modern itu di kemu­dian hari menjadilah raksasa yang bertambah kepala dan bertambah tangannya: Sejak adanya opendeur-politiek” di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh masuk ke Indonesia dan mencari rezeki di Indonesia bukanlah lagi modal Belanda sahaja, tetapi juga modal Inggeris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah imperialisme yang internasional karenanya. Raksasa-“biasa” yang dulu berjengkelitan di atas padang kerezekian Indo­nesia, kini sudah menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang bermulut sepuluh!



Dan bukan sahaja bermulut sepuluh! Juga jalannya mencari rezeki kini bukan satu jalan sahaja, tetapi jalan yang bercabang­cabang tiga-empat. Bukan lagi Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan barang-barang-biasa sebagai di zamannya imperialisme-tua, bukan



3)    Politik “pintu terbuka”.



lagi Indonesia hanya menjadi tempat pengambilan pala atau cengkeh atau merica atau kayu-manis atau nila, tetapi kini juga menjadi pasar penjualan barang-barang keluarannya kepa­berikan negeri asing, juga menjadi tempat penanaman modal asing, yang di negeri asing sendiri sudah kehabisan tempat,pendek-kata: juga menjadi afzetgebied dan exploitatiegebied-nya surplus kapitaal.



Terutama “jalan” yang belakangan inilah, yakni “jalan” penanaman modal asing di sini, adalah yang paling haibat dan makin bertambah haibat: paberik-paberik-gula bukan puluhan lagi tapi ratusan, onderneming teh dibuka di mana-mana, onderneming karet tersebar ke semua jurusan, onderneming kopi, onderneming kina, onderneming tembakau, onderne­ming sereh, tempat-tambang timah, tempat-tambang emas, tempat penge­boran minyak, tempat-perusahaan-besi, bingkil-bingkil, kapal-kapal dan tram-tram, -semua itu adalah penjelmaannya penanaman modal asing di sini, semua itu adalah menggambarkan bagaimana haibatnya raksasa itu memperusahakan Indonesia menjadi exploitatiegebied-nya surplus kapi­taal. Ribuan, tidak, milyunan kekayaan yang saban tahun meninggalkan Indonesia, mengayakan modern-kapitalisme di dunia Barat. Perhatikanlah angka-angka di bawah ini, perhatikanlah angka-angka daripada besarnya impor dan ekspor buat 1924-1930′).

 1924 impor         f 678.268.000 ekspor f 1.530.606.000
1925 f 818.372.000 f 1.784.798.000
1926 f 865.394.000 f 1.568.393.000
1927 f 871.732.000 f 1.624.975.000
1928 f 969.988.000 f 1.580.043.000
1929 f       1.072.139.000 f 1.446.181.000
1930 f 855.527.000 f 1.159.601.0002)

Apa yang ternyata dengan angka-angka ini? Dengan angka-angka ini ternyatalah apa yang saya katakan di atas: bahwa Indonesia adalah terutama sekali tempat penanaman modal asing, yang niscaya barang-hatsilnya lalu dibawa keluar; bahwa Indonesia dus dihinggapi imperialisme yang teru­tama sekali mengekspor, imperialisme yang di dalam masa yang “normal” rata-rata dua kali jumlah harganya rezeki yang ia angkuti keluar daripada yang ia masukkan kedalam; bahwa Indonesia dus sangat sekali menderita drainage.



1)      Impor = baring yang dimasukkan (Indonesia afzetgebied). Ekspor = barang yang dibawa keluar (Indonesia exploitatiegebied).

2)     Malaise!



Amboi, rata-rata dua kali gandanya ekspor daripada impor!- begitu­lah saya tempohari menulis dalam “Suluh Indonesia Muda”–, rata-rata dua kali gandanya ekspor daripada impor, bahwasanya, memang suatu ban­dingan yang celaka sekali, suatu bandingan yang memang memegang rekor daripada semua drainage yang ada di seluruh muka bumi! Indonesia yang celaka! Sedang bandingannya ekspor/impor di negeri-negeri jajahan yang lain-lain ada “mendingan”, sedang bandingan itu di dalam tahun 1924

 buat Afrika Selatan adalah         118,7/100

buat Philippina                                   123,1/100

buat India                                   123,3/100

buat Mesir                                           129,9/100

buat Ceylon                                        132,8/100,

 maka buat Indonesia ia menjadi yang paling celaka, yakni 220,4/100! Dua ratus dua puluh koma empat prosen besarnya ekspor dibandingkan dengan impor, – hairankah kita, kalau seorang ahli ekonomi sebagai Professor van Gelderen tersia-sia mencari angka yang lebih tinggi, dan berkata bahwa “kalau dibandingkan angka-angka di Hindia dengan angka­-angka negeri lain, maka ternyatalah bahwa tidak ada satu negeri di muka bumi ini yang prosentasenya begitu tinggi seperti Hindia-Belanda”? Hairan­kah kita, kalau seorang komunis C. Santin, yang toch biasa melihat angka­-angka yang “kejam”, menyebutkan iniperialisme di Indonesia itu suatu imperialisme yang “mendirikan bulu”?



Dua ratus dua puluh koma empat prosen besarnya ekspor, –

dan apakah yang diekspor keluar itu? Yang diekspor keluar ialah terutama sekali “hatsil-onderneming” dan minyak. Yang diekspor ialah gula, karet, tembakau, teh, minyak-tanah, bensin, dan lain sebagainya, yang menurut angka-angka di atas tahadi total-jenderalnya di zaman “normal” paling “apes” f 1.500.000.000. – zegge: seribu lima ratus juta rupiah setahun­-tahunnya, sebagaimana buat percontohan saya sajikan di bawah ini:1)


Hatsil-hatsil minyak tanah total f 149.916.000
Arachides 4.335.000
Korot 417.055.000
Damar 9.911.000
Kopra 73.083.000
Gambir 1.194.000
Getah-Per,tj a 1.895.000
Jelutung 2.073.000
Topi 2.405.000
Kaju 9.106.000
Kulit 16.067.000

1) Angka-angka buat tahun 1937.
Babakan kina
5.454.000

Pil kina
1.821.000

Kopi
74.376.000

Jagung
4.033.000

Kain-kain
5.425.000

Minyak-minyak (dari tanaman) total
14.766.000

Pinang
7.307.000

Rotan
8.521.000

Beras
2.373.000

Rempah-rempah total
33.409.000

Spiritus
3.125.000

Arang-batu
5.019.000

Gula total
365.310.000

Tembakau total
113.926.000

Tepung ketela
21.423.000

Teh
90.220.000

Timah total
93.864.000

Bungkil
4.132.000

Kapuk, serat nanas, dll.
38.250.000

Lain-lain hal
42.484.000

Total-jenderal

f 1.622.278.000



Inilah daftar daripada “makan jalan” di dalam pesta untu merayakan “beschaving-en-orde-en-rust” yang jadi cangkingannya imperialisme modern di Indonesia! Perhatikanlah nama-nama dan angka-angka yang dicetak dengan huruf tebal: Kecuali minyak-tanah dan timah, maka nama-nama itu adalah semuanya nama-nama hatsil “onderneming land‑bouw”, dan semuanyapun angka-angka yang paling gemuk. Karet sekian milyun, kopra sekian milyun, kopi sekian milyun, minyak-minyak-tanaman sekian milyun, gula sekian milyun, … tembakau, teh, kapuk, serat nanas sekian milliun, – dari delapan macam hatsil onderneming landbouw ini sahaja jumlah ekspor sudah f 1.186.986.000, atau kurang lebih 75% dari semua jumlah ekspor yang f 1.622.278.000 itu! Konklusi? Konklusi ialah, bahwa imperialisme-modern yang mengaut-aut di padang perekonomian Indonesia itu ialah terutama sekali imperialisme-pertanian, atau lebih tegas: landbouw-industrieel imperialisme. Konklusi ialah, bahwa bagi perjoangan kita adalah sangat sekali pentingnya kita antara lain-lain mengadakan sarekat sarekat-tani, sebagai nanti akan kita terangkan dibagian 8 dari ini risalah.


“Makan yalan” ekspor setahun-tahunnya rata-rata                       

f 1.500.000.000 rupiah! Tetapi berapakah besarnya untung yang didapatnya dari penjualan barang yang sekian milyun itu? Ondernemersraad, yakni serikatnya kaum modal sendiri, memberi jawab sendiri yang terus terang di atas pertanyaan ini: setahun-tahunnya mereka mendapat untung sebesar 9% a 10% dari modal-induknya, – di dalam tahun 1924 sejumlah f 490.000.000, di dalam tahun 1925 sejumlah f 540.000.000, di dalam setahun-tahunnya dus rata-rata f 515.000.000. Untung bersih lima ratus limabelas milyun rupiah setahun, dan ini adalah 9% a 10% dari mereka punya modal-induk! Men­jadi dus mereka punya modal-induk, yakni jumlahnya semua modal yang ditanam di Indonesia, adalah: 100/9 x

f 515.000.000 = f 5.722.000.000, atau hampir f 6.000.000.000 ! Amboi, semua angka-angka hanya milyunan sahaja, tidak ada yang ribuan, ya, tidak ada yang ketian atau laksaan! Jumlah modal: enam ribu milyun, jumlah harganya barang yang saban tahun diangkuti ke luar ke pasar dunia: seribu lima ratus milyun, jumlah untung bersih saban tahun: lima ratus limabelas milliun!



Sedang bagi Marhaen, yang membanting tulang dan berkeluh-kesah mandi keringat bekerja membikinkan untung sebesar itu, rata-rata di dalam zaman “normal” tak lebih dari delapan sen seorang sehari.



3. “INDONESIA, TANAH YANG MULYA,

TANAH KITA YANG RAYA;

DI SANALAH KITA BERADA,

UNTUK SELAMA-LAMANYA,“



Ya, di dalam zaman “normal”, sebelum meleset, tak lebih dari delapan sen seorang sehari. Dan inipun bukan hisapan-jempol kaum pembohong, bukan hasutannya kaum penghasut, bukan agitasinya pemimpin-agitator. Ini ialah suatu kenyataan yang nyata dan yang telah dibuktikan oleh ahli ­pengetahuan bangsa Belanda sendiri. Memang siapa yang bertulus hati dan bukan orang munafik dan durhaka haruslah mengakui keadaan itu. Memang hanya orang munafik dan durhaka sahajalah yang tak berhenti­henti berkemak-kemik: “Indonesia sejahtera, Rakyatnya kenyang-senang.”


Tetapi angka-angka tak dapat dibantah lagi. Dr. Huender telah mengumpulkan angka-angka itu. Ia membikin perhitungan dari semua inkomsten dan uitgaven-nya Kang Marhaen, dari semua masuknya-rezeki dan keluarnya-rezeki Kang Marhaen. Ia mengumpulkan angka-angka­ perhitungan itu tidak dari “kabar-kabar-bikinan”, tetapi dari verslag­verslag resmi sendiri. Ia berdiri seobyektif-obyektifnya, ia sama tengah, tidak menyebelah kesana, tidak menyebelah ke sini. Ia oleh karenanya, harus dipercaya oleh tiap-tiap orang yang mau bertulus hati.

Ia membagi pendapatan Kang Marhaen itu dalam tiga bagian: pendapatan dari padinya, pendapatan dari palawijanya, pendapatan dari perkuliannya bilamana Marhaen tengah “vrij”. Dan bagaimanakah menurut Dr. Huender rupanya Kang Marhaen punya “makan-jalan”? Bagaimanakah pendapatan-pendapatannya itu masing-masingnya? Lihatlah “daftar” di bawah ini:

Ia mendapat padi seharga       f 103.‑

Ia mendapat palawija seharga f 30.‑

Ia mendapat hatsil-perkulian sejumlah   f 25.—

Ia dus mendapat hatsiltotal jenderal f 158. – zegge:



seratus limapuluh delapan rupiah Hindia-Belanda, – di dalam zaman sebelum meleset!1) Dan inipun pendapatan kotor. Sebab dari “kekayaan” f 158 itu Kang Marhaen masih harus membayar ia punya pengeluaran: membayar iapunya landrente, membayar ia punya pajak-kepala, membayar ia punya Inlandse Verponding, membayar ia punya pajak lain-lain. Dari “kekayaan” f 158 itu Kang Marhaen menurut Dr. Huender masih harus mengeluarkan lagi

total-jenderal f 22.50.2) Dua puluh dua setengah rupiah dari seratus limapuluh delapan rupiah, pendapatan bersih adalah dus

total-jenderal:

f 158 — f 22.50 = f 135.50!

f 135.50 buat duabelas bulan, dan buat makan seanak-bini!

Belum sampai f 12.- sebulan-bulannya!

Belum sampai f 0.40 sehari-harinya!

Belum sampai delapan sen seorang sehari!3)

Sehingga juga di dalam hal ini Indonesia pegang rekor ; di seluruh muka-bumi dari Barat sampai Timur sampai Utara sampai Selatan tidak ada angka yang begitu rendahnya; di negeri Bulgaria, negeri yang terkenal paling melarat, orang masih hidup dengan tigabelas sen sehari. Kita tidak hairan, kalau Dr. Huender berkata, bahwa Marhaen adalah Rakyat “minimum-lijdster”, yaitu Rakyat yang sudah begitu keliwat melaratnya, sehingga kalau umpamanya dikurangi lagi sedikit sahaja bekal-hidupnya, niscaya ia jatuh samasekali, maut samasekali, binasa samasekali!

 Dan Dr. Huender-pun tidak berdiri sendiri; puluhan orang bangsa Belanda lain yang juga berpendapat demikian; puluhan orang bangsa

1)         Ini pendapatan Marhaen tani. Kalau diambil semua Marhaen, rata-rata

f 161.‑

2)         “Kerja-desa”, – desa-diensten, mitsalnya ronda, bikin betul jalan-desa, mem­bikin jembatan-desa dll. – oleh Dr. Huender di-“rupakan uang”, lalu dimasukkan di sini.

3)         Marhaen, bininya dan anaknya yang rata-rata 3 orang.



Belanda lain yang juga mengakui bahwa Marhaen adalah papa-sengsara. Tapi tidak ada gunanya menyebutkan nama-nama itu satu persatu di dalam risalah yang akan dibaca oleh katun Marhaen. Kaum Marhaen sendiri merasakan kepapaan dan kesengsaraan itu saban hari, saban jam, saban menit. Kaum Marhaen sendiri merasakan saban hari, bagaimana mereka kekurangan segala-galanya, – kekurangan bekal-hidup, kekurangan pa­kaian, kekurangan benda rumah-tangga, kekurangan bekal pendidikan anaknya, kekurangan tiap-tiap keperluan-manusia walau yang paling seder­hanapun jua adanya.



En toch, barangkali risalah ini dibaca oleh fihak “twijfelaars” alias fihak “ragu-ragu” di kalangan kitapunya intellectuelen yang karena ter­lampau kenyang “cekokan kolonial” tidak percaya bahwa Marhaen papa-sengsara? Buat kaum “twijfelaars” itu saya hanya tahu satu obat manjur yang akan melenyapkan segala keragu-raguannya; buat kaum “twijfelaars” itu saya punya resep hanyalah: “Pergilah ke kalangan kaum Marhaen sendiri, nyatakanlah hal itu di kalangan kaum Marhaen sendiri!” Maka kamu akan melihat dengan mats sendiri, mendengar dengan telinga sendiri, kebenarannya perkataan Professor Boeke yang berbunyi, bahwa hidupnya bapak tani adalah hidup “ellendig”, hidup yang “sengsara keliwat sengsara”, – atau kebenarannya perkataan Schmalhausen, bahwa masyara­kat kita adalah masyarakat “waar nagenoeg niemand iets bezit”, yakni masyarakat “yang hampir tidak ada seorang juapun mempunyai milik apa-apa”.



Dan barangkali ada juga faedahnya bagi kaum ini saya menyajikan lagi beberapa angka? Marilah, jikalau memang begitu, kita sajikan se­dikit angka-angka-statistik. Marilah kita mengambil angka-angka-statistik bikinan pemerintah sendiri.” Maka kita di situ menjumpai angka-angka yang tidak banyak beda dari angka-angkanya Dr. Huender tahadi. Kita melihat di situ, bahwa di seluruh Indonesia jumlah Marhaen (semua angka-­angka adalah angka-angka zaman “normal”) yang mempunyai perniagaan yang hatsilnya lebih dari f 120 setahun hanyalah 1.172.168 orang, dus belum 2 tiap-tiap 100; bahwa ternak Marhaen yang berupa lembu hanyalah 145 per seribu orang.

 Kita melihat bahwa jikalau mitsalnya Kang Marhaen itu menjadi kuli di paberik gula, upahnya rata-rata hanyalah f 0.45 sehari, dan bahwa jikalau mBok Marhaen yang menjadi kuli, upah ini lantas menjadi rata-rata hanya f 0.37 sehari, artinya, jika dimakan seisi rumah: tak lebih dari f 0.08 a f 0.09 seorang sehari. Kita melihat bahwa lebarnya milik tanah tiap-tiap orang Marhaen rata-rata hanyalah kurang-lebih satu bahu, sedang beribu-ribu bahu diberikan erfpacht, sedang di negeri Belanda orang tani

 4)         Statistisch jaaroverzicht tahun 1928.

yang miliknya 5 bahu sudah disebutkan “keuterboer”, “tani yang lebih kecil dari kecil”. Kita melihat, bahwa tanah-pertanian yang ditanami oleh Marhaen hanyalah rata-rata 0.29 bahu, sehingga Marhaen bukanlah keuter­boer, tetap … tani-gurem. Kita melihat, – dan kini kita mengambil per­maklumannya volksraad bahwa di mana duapuluhlima tahun yang lalu 71% dari kaum Marhaen masih bisa tani-melulu, kini tinggal 52% saha­jalah yang bisa bertani-melulu. Kita melihat, … tetapi ah, marilah saya berhenti, marilah saya sudahi “daftar” ini sampai di sini sahaja, – ia menjadi menjemukan!

 Marilah kita lebih baik membuka surat-surat-khabar, dan kita s a b a n hari bisa mengumpulkan beberapa “syair megatruh” yang “menarik hati”, yang melagukan betapa hidupnya Kang Marhaen, yang di dalam zaman “normal” sudah “sekarang makan besok tidak” itu, di dalam zaman meleset sekarang ini menjadi lebih-lebih ngeri lagi, lebih-lebih memutuskan nyawa lagi, lebih-lebih me­gap-megap lagi.



“Darmokondo”, 11 Juli 1932:



“Di kampung Pagelaran Sukabumi ada hidup satu suami isteri bernama Musa dan Unah, dengan ia punya anak lelaki yang kesatu berumur 5 tahun, yang kedua 3 tahun dan yang ketiga baru 1 tahun. Itu familie ada sangat melarat, dan sudah beberapa bulan ia cuma hidup saja dengan daun-daunan dalam hutan, yang ia makan buat gantinya nasi. Lama-kelamaan itu suami isteri merasa yang ia tidak bisa hidup selama-lamanya dengan cuma makan itu macam makanan saja.



Buat sambung ia punya jiwa serta anak-anaknya, itu suami isteri telah dapatkan satu fikiran, yaitu … jual saja anaknya pada siapa yang mau beli.”



“Perca Selatan”, 7 Mei 1932:

“Pegadaian penuh, sebab tidak ada yang menebus, semua menggadai. Sekarang gadaian kurang. Ini barang aneh! Sebab mustinya naik! Bagi saya tidak aneh. Ini tandanya barang-barang yang akan digadai sudah habis! Tandanya miskin dan habis-habisan!



Di desa orang-orang 2 hari sekali makan nasi, selainnya makan ubi, tales, singkong, jantung pisang. Sudah sebagai sapi.”



“Aksi”, 14 November 1931:

“Di desa Banaran dekat Tulung Agung kemarin-dulu orang sudah jadi ribut, lantaran ada orang gantung diri.



Duduknya perkara begini: Sudah lama ia seanak bininya merasa sengsara sekali, malahan anaknya yang masih kecil sekali sering diemiskan nasi pada orang sedesa situ. Saben hari ia cari kerja, berangkat pagi pulang sore, tapi sia-sia, tidak ada orang yang butuh kuli. Kemarin dulu ia tidak bepergian, cuma duduk termenung di rumah saja, rupa-rupanya sudah putus-asa dan bingung mendengarkan anaknya menangis minta makan. Tahu-tahu dia sudah ketemu mati (gantung diri).”



“Siang Po”, 23 Januari 1933:

“Di dekat kota Krawang sudah kejadian barang yang sanget bikin ngenes ati. Ada orang janda namanya Upi, punya anak kecil. Dia punya laki barusan mati, sebab sakit keras yang cuma satu minggu lamanya. Upi memang dari sedari hidupnya dia punya laki, ada sanget melarat sekali, tapi sesudah ia jadi janda, kemelaratan rupanya tida ada bates lagi. Lama-lama Upi sudah jadi putus-asa, dan anaknya yang ia cintain itu sudah ia tawarkan sama tuan L.K.B. di Krawang.

Ditanya apa sebabnya ia mau jual anaknya, ia tida jawab apa-apa, cuma menjatuhkan air mata bercucuran. Tuan L.K.B. sanget kasian sama dia, en kasih uang sekedarnya pada itu janda yang malang.”



“Pewarta Deli”, 7 December 1932:

“Di kota sering ada orang yang menyamperi pintu bui, minta dirawat dibui saja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Dibui misih kenyang makan, sedang di luar belum tentu sekali sehari” …



“Sin Po”, 27 Maart 1933:

“Mencuri ayam sebab lapar. Dihukum juga 9 bulan.

Malaise heibat yang mengamuk di mana-mana telah bikin sengsara dan kelaparan penduduk desa Trogong Kebayuran.



Penduduk di situ rata-rata suda tida bisa dapatken uang dan banyak yang kelaparan kerna tida punya duit buat beli makanan.

Salah satu orang nama Pungut juga alamken itu kasukeren yang heibat. Ia ada punya bini dan dua anak, sedeng penghasilan sama sekali telah kapempet berhubung dengen jaman susa. Sementara itu ia punya beras dan makanan suda abis.

Apa boleh buat, saking tida bisa tahan sengsara kerna suda 2 hari tida punya beras, pada satu malem ia bongkar kandang ayam dari tetangganya nama Jaya dan dari ia timpa 2 ekor ayam.

Itu binatang kamudian ia jual di pasar buat 3 picis dan dari itu uwang ia beli beras 15 cent.

Blakangan Pungut ditangkep dan dibui. Pada tanggal 25 Maart ia mesti mengadep pada landraad di Mr. Cornelis dan Pungut aku saja betul telah colong itu 2 ekor ayam sebab suda 2 hari ia tida makan.

Landraad anggep ia terang bersalah ambil ayamnya laen orang dan Pungut dihukum 9 bulan. Anak bininya menangis di luar ruangan landraad! (Rep.)”

Enz., enz., enz

 …………………

Aduhai, – dan di dalam zaman air-mata ini, di mana Marhaen terpaksa hidup dengan sebenggol seorang sehari, di mana beban-beban yang harus dipikul Marhaen semakin menjadi berat, di mana menurut verslag Voor­zitter Kleine Welvaartcommissie penghatsilan dari perusahaan-perusahaan­ kecil di desa-desa dan di kampung-kampung sudah turun dengan 40 sampai 70%, di mana kesengsaraan sering membikin Marhaen menjadi putus-asa dan gelap-mata, sebagai ternyata dari kabar-kabar di atas, – di dalam zaman air-mata ini Marhaen di tanah Jawa masih harus memelihara juga hidup­nya ribuan orang kuli-kontrakan, yang dipulangkan dari Deli dan lain sebagainya zonder tunjangan sepeserpun jua, yang seolah-olah untuk membuktikan isinya peribahasa: “habis manis sepah dibuang.”

Ya, se­melarat-melaratnya Marhaen, maka Marhaen selamanya masih “ridla membahagi kemelaratannya itu dengan orang yang lebih melarat lagi daripadanya”, – begitulah Schmalhausen menulis. Ya, imperialisme me­ngetahui ketinggian budi Marhaen itu: kuli-kuli yang ia lepas tidak usah diambil pusing, tokh nanti mereka dapat makan juga dari kawan-ka­wannya di desa-desa dan di kampung-kampung. Sedang kaum “werkloos” bangsa asing di sini mendapat tunjangan. Sedang kaum “werkloos” di hampir tiap-tiap negeri yang sopan mendapat penyambung nyawa. Se­dang kaum “werkloos” di negeri Belanda mendapat uitkering f 2. – sehari. Sedang … ya sedang Kang Marhaen, walaupun umpamanya ia tidak “werkloos”, walaupun ia membanting-tulang dan mandi keringat di atas ladangnya dari syubuh sampai magrib, harus tahan nyawanya dengan sebenggol sehari …



Aduhai, kemanakah Marhaen harus menyimpankan nyawanya yang penuh dengan keteduhan itu? Yang penuh dengan ratap dan penuh dengan tangis, penuh dengan kemalangan dan penuh dengan kesedihan, penuh dengan sakit dan penuh dengan lapar? Di dalam zaman “normal”, bilamana kaum imperialis berpesta dan bersuka-raya mengekspor barang kehatsilan­nya yang lebih dari f 1.500.000.000 setahunnya itu, ia hanyalah mendapat nafkah-hidup f 0.08 seorang sehari; di dalam permulaannya zaman meleset, menurut “Economisch Weekblad”, ia hanyalah makan f 0.04 seorang sehari; dan di dalam tengah-tengahnya zaman meleset, tatkala menurut angka statistik ekspornya kaum imperialis setahunnya tokh masih sahaja tidak kurang dari f 1.159.000.000, ia terpaksa mempertahankan nyawanya dengan sebenggol seorang sehari! Garis-penghidupannya memang penuh dengan corek-corek kemalangan; garis-penghidupannya itu tidak pernah naik, garis-penghidupannya itu senantiasa menurun. Lebih dari seperempat abad yang lalu voorzitter “Mindere Welvaartcommissie” telah mengatakan, bahwa ia punya peri-kehidupan adalah di dalam “tuitelig evenwicht”,. peri­kehidupan yang gampang terpelanting ; seperempat abad kemudian orang mengatakan bahwa ia adalah “minimum-lijder”; dan kini tiga-empat tahun kemudian lagi, Marhaen boleh hidup dengan sebenggol sehari dan … memberi juga makan pada ribuan lepasan kuli-kontrak. Di dalam tempo yang kurang dari tigapuluh tahun itu, modern-imperialisme, yang senantiasa mengagul-agulkan ia punya “kesopanan” dan “ketenteraman umum”, telah melihat kans “memperbaiki” nasib Marhaen dari setengah hidup menjadi setengah megap-megap!



Tetapi, apakah memang benar, imperialisme samasekali tidak ada “berkah” sedikit juapun bagi kita bangsa Indonesia? Tidakkah ia mendatangkan beberapa kemajuan, mendatangkan pengetahuan, mendatangkan “beschaving”? Tidakkah dus modern-imperialisme itu “ada baiknya” juga? 0, memang, zaman modern-imperialisme mendatangkan “beschaving”, zaman modern-imperialisme mendatangkan jalan-lorong yang indah dan jalan-jalan kereta api yang haibat, zaman modern-impe­rialisme mendatangkan perhubungan kapal yang sempurna, mendatangkan “ketenteraman”, mendatangkan “perdamaian”, mendatangkan telepon, mendatangkan telegrap, mendatangkan lampu listrik, mendatangkan radio, mendatangkan kedokteran, mendatangkan keteknikan, ya, mendatangkan kepandaian barang apa-sahaja sampai yang mendekati kepandaiannya jin­-peri-perayanganpun, – tetapi, adakah semua hal itu didatangkannya buat keperluan  Kang Marhaen? Adakah semua hal itu, sekalipun umpamanya didatangkan buat keperluan Kang Marhaen, bisa ditimbangkan dengan bencana-hidup yang disebar-sebarkan oleh modern­imperialisme di kalangan Kang Marhaen? Adakah tidak lebih mirip kepada kebenaran, perkataannya Brailsford yang berbunyi bahwa: “anugerah­-anugerah pendidikan, kemajuan dan aturan-aturan bagus yang ia bawa itu hanyalah rontokan-rontokan sahaja dari ia punya keasyikan cari rezeki yang angkara-murka itu”?



Lagipula, adakah berhadapan dengan bencana-hidup yang disebar­-sebarkan oleh modern-imperialisme ini Marhaen mendapat cukup hak-hak dari pemerintah yang sekedar boleh dianggap sebagai “obat” bagi hatinya yang luka, fikirannya yang bingung, perutnya yang lapar? Onderwijs? Oh, di dalam “abad-kesopanan” ini, – begitulah raya tempohari menjawab—, di dalam “abad-kesopanan” ini, menurut angka-angka Kantor Statistik orang laki-laki yang bisa membaca dan menulis belum ada 7%, orang perempuan belum ada … 0,5%.

Pajak-pajak enteng? Menurut penyelidikannya Institute of Financial Investigation di negeri Tiongkok, Indonesia di dalam hal pajak …

 juga pegang rekor! Kesehatan Rakyat atau hygiene? Di seluruh Indonesia hanyalah ada 343 rumah sakit guper­men, kematian bangsa Bumiputera tak kurang dari 20/1000, di kota besar kadang-kadang sampai 50/1000. Perlindungan kepentingan kaum buruh? Peraturan sociale arbeidswetgeving yang melindungi kaum buruh terhadap pada kaum modal tak ada semasekali, arbeidsinspectie tinggal namanya sahaja, hak-mogok, yang di dalam negeri-negeri yang sopan bukan soal lagi, dengan adanya artikel 161 bis dari buku hukum siksa musnalah sama­sekali daripada realiteit, terkabutkan samasekali menjadi impian belaka! Kehakiman yang sempurna? Batcalah sahaja pendapatnya Mr. Sastro­mulyono tentang hal ini tatkala membela perkara saya, atau bandingkanlah cara-bekerjanya landraad dan Raad van Justitie. Kemerdekaan drukpers dan hak-berserikat-dan-bersidang? Amboi, adakah di sini hak kemerdekaan drukpers dan hak berserikat-dan-bersidang? Adakah di sini hak-hak itu, di mana buku hukum siksa masih mentereng dengan artikel-artikel sebagai 153 bis-ter, 154, 155, 156, 157, 161 bis d.l.s., di mana hak “pen-Digul-an” masih ada, di mana perkataan “berbahaya bagi keamanan umum” terdengar sehari-hari, di mana ada persbreidel-ordonnantie, di mana rapat tertutup “kalau perlu” juga boleh dihadliri oleh polisi, di mana stelsel-mata-mata boleh dikata sempurna samasekali, di mana di waktu yang akhir-akhir ini puluhan openbare vergadering dibubarkan?



“Tidak! Di sini tidak ada hak-hak itu!” Dengan macam-macam halangan dan macam-macam ranjau demikian itu, maka kemerdekaan itu tinggal namanya sahaja kemerdekaan, hak itu tinggal namanya sahaja hak; dengan macam-macam serimpatan yang demikian, maka kemer­dekaan-drukpers dan hak-berserikat-dan-bersidang itu menjadi suatu bayangan belaka, suatu impian!

Hampir tiap-tiap journalist sudah pernah merasakan tangannya hukum, hampir tiap-tiap pemimpin Indonesia sudah pernah merasakan bui, hampir tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang mengadakan perlawanan-radikal lantas sahaja terpandang “berbahaya bagi keamanan umum”.



0, Marhaen, hidupmu sehari-hari morat-marit dan kocar-kacir, beban-bebanmu semakin berat, hak-hakmu boleh dikatakan tidak ada samasekali!



Bahwasanya, kamu boleh menyanyi:



“Indonesia, tanah yang mulya, Tanah kita yang kaya;

Di sanalah kita berada,

Untuk selama-lamanya!” .



4. “DI TIMUR MATAHARI MULAI BERCAHYA,

BANGUN DAN BERDIRI, KAWAN SEMUA”



Tetapi hal-hal yang saya ceritakan di atas ini hanyalah kerusakan lahir sahaja. Kerusakan bathinpun ternyata di mana-mana. Stelsel imperialisme yang butuh pada kaum buruh itu, sudah memutarkan semangat kita menjadi semangat perburuhan samasekali, semangat perburuhan yang hanya senang jikalau bisa menghamba. Rakyat Indonesia yang sediakala terkenal sebagai Rakyat yang gagah-berani, yang tak gampang-gampang suka tunduk, yang perahu-perahunya melintasi lautan dan samodra sampai ke India, Tiongkok, Madagaskar dan Persia, – Rakyat Indonesia itu kini men­jadilah Rakyat yang terkenal sebagai “het zachtste yolk der aarde”, “Rakyat yang paling lemah-budi di seluruh muka bumi”. Rakyat Indonesia itu kini menjadi suatu Rakyat yang hilang kepercayaannya pada diri sen­diri, hilang keperibadiannya, hilang kegagahannya, hilang ketabahannya samasekali. “Semangat-harimau” yang menurut katanya professor Veth adalah semangat Rakyat Indonesia di zaman sediakala, semangat itu sudah menjadi semangat-kambing yang lunak dan pengecut.



Dan itupun belum bencana-bathin yang paling besar! Bencana-bathin yang paling besar ialah bahwa Rakyat Indonesia itu p e r c a y a, bahwa ia memang adalah “Rakyat-kambing” yang selamanya harus dipimpin dan dituntun. Sebagai juga tiap-tiap stelsel imperialisme di mana-mana, maka stelsel imperialisme yang ada di Indonesia-pun selamanya menggembar-­gemborkan ke dalam telinga kita, bahwa maksudnya bukanlah maksud mencari rezeki, tetapi ialah “maksud suci” mendidik kita dari kebodohan ke arah kemajuan dan kecerdasan. Sebagai juga tiap-tiap stelsel im­perialisme, ia tak jemu-jemu meneriakkan ia punya “mission-sacree”1). Di atas panji-panjinya imperialisme selamanya adalah tertulis semboyan­-semboyan dan anasir-anasir “beschaving” dan “orde en rust”,—”kesopanan” dan “keamanan umum”.



“Kesopanan” dan “keamanan umum”! Tidakkah kita-ini katanya Rakyat yang masih bodoh dan biadab, yang perlu mendapat guru dan perlu mendapat bapak? Amboi, seolah-olah benar kita pada saat datangnya imperialisme masih bodoh, seolah-olah benar kita zaman dulu Rakyat biadab! Seolah-olah Rakyat kita tidak pernah mempunyai cultuur yang membikin tercengangnya dunia! Jikalau benar stelsel imperialisme tidak buat mentcari rezeki, tidak buat “urusan-fulus”, tidak buat memenuhi nafsu perbendaan, jikalau benar stelsel imperialisme dahaga sekali akan “kerja menyopankan”, apakah sebabnya stelsel imperialisme datang lebih dulu pada Rakyat-Rakyat yang justru berketinggian cultuur, sebagai Indonesia, sebagai India, sebagai Mesir, dan tidak pergi sahaja ke negerinya bangsa Eskimo yang ada dikutub Utara!



Tidak, memang tidak! Itu “suruhan suci” hanyalah omong-kosong belaka, itu “mission-sacree” hanyalah buat menjaga kedudukannya im­perialisme sahaja. Sebab tidak ada satu imperialisme di muka bumi yang



1) Mission-sacree = Suruhan suci.



bisa terus-menerus mengambili rezeki sesuatu Rakyat, sehingga Rakyat itu t a h u dan I n s y a f bahwa rezekinya diambili dan diangkuti; tidak ada satu imperialisme yang “tahan lama”, bilamana Rakyat insyaf bahwa badannya adalah sebagai pohon yang dihinggapi kemadean yang hidup daripada ia punya zat-zat-hidup. Maka oleh karena itulah Rakyat lantas di-injeksi tak berhenti-henti, bahwa imperialisme datangnya ialah buat memenuhi suatu “suruhan yang suci” mendidik Rakyat itu dari kebodohan ke arah kecerdasan, mendidik Rakyat itu dari kemunduran ke arah kema­juan.

Dan Rakyat lantas p e r c a y a akan “suruhan suci” itu; imperial­isme tidak lagi dipandang olehnya sebagai musuh yang harus dienyahkan selekas-lekasnya, tidak sebagai kemadean yang menghinggapi tubuhnya, imperialisme lantas dipandang olehnya sebagai

s a h a b a t yang harus diminta terima kasih …



Jawaharlal Nehru, itu pemimpin Hindustan yang kenamaan, pernah berkata: “Kebesarannya negeri dan Rakyat kita adalah sudah begitu dalam terbenamnya oleh kabut-kepurbakalaan, dan kebesarannya imperialisme adalah begitu sering kita lihat sehari-hari, sehingga kita lupa bahwa kita bisa besar, dan mengira bahwa hanya kaum imperialisme sahaja yang bisa pandai.” Perkataan Jawaharlal Nehru ini, yang menggambarkan ke­rusakan bathinnya Rakyat Hindustan, satu persatunya bolehlah juga dipakai untuk Rakyat Indonesia sekarang ini. Juga kita lupa bahwa kita bisa menjadi besar, juga kita lupa bahwa kemunduran kita ialah karena kita terlalu lama sekali kena pengaruh imperialisme, juga kita lupa bahwa kemunduran kita itu b u k a n suatu kemunduran yang memang karena n a t u u r, tetapi ialah suatu kemunduran yang karena imperialisme, suatu kemunduran bikinan, suatu kemunduran “cekokan”, suatu kemunduran injeksian yang berabad-abad.

Juga kita mengira, bahwa hanya kaum imperialisme sahaja yang bisa pandai, bahwa hanya mereka sahaja yang bisa berilmu, bisa membikin jalan, bisa membikin kapal, bisa membikin listerik, bisa membikin kereta-api dan auto dan bioskop dan kapal-udara dan radio, – dan tak pernah satu kejap mata kita bertanya di dalam bathin, apakah kita kini juga tidak bisa mengadakan semua hal itu, umpamanya kita tidak tigaratus tahun di “sahabati” imperialisme? Ya, juga kita percaya, bahwa kita sekarang ini belum boleh merdeka dan berdiri sendiri …



Bahwasanya, memang sudah “makan” sekali injeksian imperialisme itu. Kita kini sangat gampang dilipat-lipat, – “plooibaar” en “gedwee” – “buntutnya tekanan yang berabad-abad”, sebagai Schmalhausen mengata­kannya. Kita kini sudah 100% menjadi Rakyat kambing. Kita kini kaum putus-asa, kita kaum zonder keperibadian, kita kaum penakut, kita kaum pengecut Kita kaum berokh budak, kita banyak yang jadi penjual bangsa. Kita hilang samasekali kelaki-lakian kita, kita hilang sama‑sekali rasa-kemanusiaan kita. Oleh karena itu, jika terus-menerus begitu, kita akan binasa samasekali tersapu dari muka-bumi, dan p a n t a s binasa di dalam lumpur perhinaan dan nerakanya kegelapan.



Tetapi … Alhamdulillah, di Timur matahari mulai bercahya, fajar mulai menyingsing!



O b a t tidur imperialisme yang berabad-abad kita minum, yang telah menyerap di dalam darah daging kita dan tulang sumsum kita, ya, yang telah menyerap di dalam rokh kita dan nyawa kita, obat tidur itu pelahan-­pelahan mulai kurang dayanya. Semangat-perlawanan yang telah ditidurkan nyenyak samasekali, kini mulai sadar dan berbangkit. Semangat per­budakan mulai rontok, dan timbul semi semangat baru yang makin lama makin besar dan bersirung. Bukan semangat yang mengeluh karena tahu akan kerusakan nasib lahir dan nasib bathin; tetapi semangat yang membangkitkan pengetahuan itu, menjadi kemauan ber­joang dan kegiatan berjoang. Bukan semangat yyyyang menangis, tetapi semangat yang terus menitis menjadi w i l, menjadi daad. Memang bukan waktunya lagi kita mengeluh; bukan waktunya lagi kita mengaduh, walaupun kerusakan nasib kita itu seakan-akan memecahkan kitapunya nyawa. Kita tak dapat terlepas dari keadaan sekarang ini dengan mengeluh dan menangis, kita hanyalah bisa keluar daripadanya dengan ber­cancut-tali-wanda, dengan berjoang, berjoang dan sekali lagi berjoang. Kita harus berjoang habis-habisan tenaga, berjoang walaupun nafas hampir pecat dari kitapunya dada. Kita harus meniru ajarannya itu orang Hindu yang berkata: “Kita sekarang tidak boleh ber­kesempatan lagi untuk menangis, kita sudah kenyang menangis. Bagi kita sekarang ini bukan saatnya buat lembek-lembekan-hati. Berabad-abad kita sudah lembek hingga menjadi seperti kapuk dan agar-agar. Yang dibutuh­kan oleh tanah-air kita kini ialah otot-otot yang kerasnya se­bagai baja, urat-urat-saraf yang kuatnya sebagai besi, kemauan yang kerasnya sebagai batu-hitam yang tiada barang sesuatu bisa menahannya, dan yang jika perlu, berani terjun ke dasarnya samodra!”



Alhamdulillah, kini fajar mulai menyingsing! Pergerakan memang pasti lahir, pasti hidup, pasti kelak membanjir, walaupun obat tidur yang bagaimana juga manjurnya, atau walaupun terang-terangan dirin­tangi oleh musuh dengan rintangan yang bagaimana juga, selama nasib kita masih nasib yang sengsara. Pergerakan memang bukan tergantung dari adanya seseorang pemimpin, bukan bikinannya se­seorang pemimpin, pergerakan adalah bikinannya nasib kita yang sengsara. Ia pada hakekatnya adalah usaha masyarakat sakit yang meng­obati d i r i s e n d i r i.

Ia ada kalau kesakitan masih ada, ia hilang kalau kesakitan sudah hilang. Ia, sebagai dikatakan oleh seorang pemimpin Jerman “di dalam dunia yang tak adil ini selalu mengikuti musuhnya sebagai bayangan, yang akhirnya meliputi musuhnya itu sehingga mati”.



“Tiap-tiap makhluk, tiap-tiap umat, tiap-tiap bangsa tidak boleh tidak, pasti akhirnya berbangkit, pasti akhirnya bangun, pasti akhirnya menggerakkan tenaganya, jikalau ia sudah terlalu-lalu

sekali merasakan celakanya diri yang teraniaya oleh sesuatu daya

yang angkara-murka”, – begitulah saya pernah menulis. “Jangan

lagi manusia, jangan lagi bangsa, – walau cacingpun tentu bergerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit!”



Memang; memang! Pergerakan lahir karena pada hakekatnya dilahir­kan oleh tenaga-tenaga pergaulan-hidup sendiri. Pemimpin­pun bergerak karena hakekatnya tenaga-tenaga pergaulan-hidup itu membikin ia bergerak. Bukan fajar menyingsing karena ayam-jantan berkokok, tetapi ayam-jantan berkokok karena fajar menyingsing …



Tetapi bergerak dan bergerak adalah dua. Benar pergerakan itu pada hakekatnya bikinan nasib kita, bikinan masyarakat kita, bikinan natuur,—tetapi natuur sendiri sering-sering terlalu lambat berjalannya, oleh karena kejadian-kejadian atau proses-proses di dalam natuur itu sering-sering adalah kejadian instinct yang onbewust, yakni kejadian yang “t i d a k insyaf “. Maka pergerakan kitapun akan terlampau lambat jalannya, pergerakan kitapun akan sebagai orang yang pada malam gelap-gulita zonder obor berjalan di atas jalan kecil yang banyak batu dan banyak tikungan, pergerakan kitapun akan “pergerakan instinct” sahaja, jikalau pergerakan kita itu hanya onbewust alias “tidak insyaf”, – yakni suatu pergerakan yang “yah … bergerak karena sengsara”, tetapi tidak insyaf dengan tajam akan apa yang dituju dan bagaimana harus menuju.

Baru jikalau kita berjalan membawa obor, mengetahui presis apa yang kita tuju, mengetahui presis di mana letaknya jalan yang kencang, mengetahui presis segala apa yang akan kita jumpai; baru jikalau kita tidak seolah-olah lagi di dalam malam yang gelap-gulita, tetapi seolah-olah di dalam siang hari yang terang­-benderang, – baru jikalau sudah demikian itu kita bisa mencapai apa yang kita maksud dengan sekencang-kencangnya, selekas-lekasnya, sehatsil-hatsilnya. Oleh karena itulah kita harus mempunyai bentukan pergerakan yang saksama, konstruksi pergerakan yang saksama, – bentukan atau konstruksi pergerakan yang harus cocok dan

s e s u a i dengan hukum-hukumnya masyarakat dan terus menu­ju ke arah doelnya masyarakat, yakni masyarakat yang selamat dan sempurna.



Dengan bentukan atau konstruksi pergerakan yang saksama itu maka pergerakan kita bukan lagi suatu pergerakan yang onbewust, tetapi suatu pergerakan yang bewust sebewust-bewustnya, insyaf seinsyaf-insyafnya.



Dengan ke-bewust-an dan keinsyafan yang demikian itu, maka pergerakan kita lalu berarti mempercepat jalannya proses natuur, suatu pergerakan yang memikul natuur dan terpikul natuur. Dengan ke-bewust-an dan keinsyafan yang demikian itu pergerakan kita juga lalu menjadi tidak bisa ditundukkan, tidak bisa dipadamkan, on­overwirmelijk,- sebagai natuur!



Ia bisa sebentar dirubuhkan, ia bisa sebentar dibubarkan, ia bisa sebentar seolah-olah dihancurkan, tetapi saban-saban kali ia juga akan berdiri lagi dan berdiri lagi, dan maju terus ke arah maksudnya. Ia sekali­sekali seperti binasa samasekali karena terhantam dengan segala kekuatan duniawi yang musuh punya, tetapi kemudian daripada itu ia tokh akan muncul lagi dan berjalan lagi.

Sebagai mempunyai kekuatan rahasia, sebagai mempunyai

kekuatan penghidup, sebagai mempunyai “aji-panca­sona” dan

“aji-candabirawa”, maka pergerakan yang memikul natuur

dan terpikul natuur itu tak bisa dibunuh, dan malahan ia makin lama makin membanjir. Sebagai natuur sendiri, ia tidak boleh tidak pasti datang pada maksudnya!



Oleh karena itu, kaum Marhaen, besarkanlah hatimu, besarkanlah ketetapan tekadmu, besarkanlah kepercayaanmu akan tercapainya kamu­ punya cita-cita. Bukan hanya suatu peribahasa sahaja, kalau saya mengatakan fajar telah menyingsing. Pergerakan kita sudah mulai ber­bentuk, emoh akan haluan yang hanya “cita-cita” sahaja. Pergerakan kita itu sudah mulai jadi pergerakan sebagai yang saya maksudkan di atas tahadi. Garis-garis besar dari bentukan atau konstruksi itu kini terletak di hadapanmu, tergurat di dalam risalah yang kecil ini. Bacalah risalah ini dengan teliti dan saksama, simpanlah segala ajaran-ajarannya di dalam fikiran dan kalbumu, kerjakanlah segala ajaran-ajaran itu dengan ketetapan hati dan ketabahan tekad. Haibatkanlah pergerakanmu men­jadi pergerakan yang bewust dan insyaf, yang karenanya akan menjadi haibat sebagai tenaganya gempa.



Fajar mulai menyingsing. Sambutlah fajar itu dengan kesadaran, dan kamu akan segera melihat matahari terbit.



5. GUNANYA ADA PARTAI



Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena “ideal” sahaja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup minimum seni dan cultuur, – pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan cabang-cabangnya.



Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen, bilamana  masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Sebab stelsel inilah yang sebagai kemadean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur daripada kita, hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita.



Oleh karena itu, maka pergerakan kita janganlah pergerakan yang kecil-kecilan; pergerakan kita itu haruslah pada hakekatnya suatu per­gerakan yang ingin merobah samasekali sifatnya masyarakat, suatu pergerakan yang ingin menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat sampai kesulur-sulurnya dan akar-akarnya, suatu pergerakan yang samasekali ingin menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme. Pergerakan kita janganlah hanya suatu pergerakan yang ingin rendah­nya pajak, janganlah hanya ingin tambahnya upah, janganlah hanya ingin perbaikan-perbaikan kecil yang bisa tercapai hari-sekarang, – tetapi ia harus menuju kepada suatu transformatie yang menjungkir-balikkan samasekali sifatnya masyarakat itu, dari sifat imperialistis-kapitalistis menjadi sifat yang sama-rasa-sama-rata.

Pergerakan kita haruslah dus suatu pergerakan yang pada hakekatnya menuju kepada suatu “omme­keer” susunan sosial.



Bagaimana “ommekeer” susunan sosial bisa terjadi?

Pertama­-tama oleh kemauannya dan tenaganya masyarakat sendiri, oleh “immanente krachten” masyarakat sendiri, oleh “kekuatan-kekuatan rahasia” daripada masyarakat sendiri. Tetapi tertampak-keluarnya, lahirnya, jasmaninya, oleh suatu pergerakan Rakyat-jelata yang radikal, yakni oleh massa aksi. Tidak ada suatu perobahan besar di dalam riwayat-dunia yang ahir-akhir ini, yang lahirnya tidak karena massa-aksi. Tidak ada trans­formatie di zaman akhir-akhir ini, yang zonder massa-aksi. Massa-aksi adalah senantiasa menjadi penghantar pada saat masyarakat-tua melangkah ke dalam masyarakat yang baru. Massa-aksi adalah senantiasa menjadi paraji 1) pada saat masyarakat-tua yang hamil itu melahir­kan masyarakat yang baru. Perobahan di dalam zaman Chartisme di Inggeris di dalam zaman yang lalu, perobahan rubuhnya feodalisme di Perancis diganti dengan stelsel burgerlijke democratie, perobahan-perobahan matinya feodalisme di dalam negeri-negeri Eropah yang lain, perobahan­perobahan rontoknya stelsel kapitalisme bagian perbagian sesudah perge­rakan proletar menjelma di dunia, – perobahan-perobahan itu semuanya adalah “diparajii” oleh massa-aksi yang membangkitkan sap-sapan daripada Rakyat. Perobahan-perobahan itu dibarengi dengan gemuruhnya banjir pergerakan Rakyat-jelata.



1) Paraji – bahasa Sunda. Artinya dukun beranak.



Maka kitapun, bilamana kita ingin mendatangkan perobahan yang begitu maha-besar di dalam masyarakat sebagai gugurnya stelsel imperial­isme dan kapitalisme, kita p u n harus bermassa-aksi.

Kita p u n harus menggerakkan Rakyat-jelata di dalam suatu pergerakan radikal yang bergelombangan sebagai banjir, menjelmakan pergerakan massa yang tahadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu perge­rakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa-aksi yang insyaf akan jalan dan maksud-maksudnya.

Sebab, massa-aksi bukanlah sembarangan pergerakan massa, bukanlah semba­rangan pergerakan yang orangnya ribuan atau bermilyunan. Massa-aksi adalah pergerakan massa yang radikal. Dan massa-aksi yang manfaat seratus prosen hanyalah massa-aksi yang bewust dan insyaf; oleh karena itu maka-massa-aksi yang manfaat adalah dus: suatu per­gerakan Rakyat-jelata yang bewust dan radikal.



Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan yang onbewust dan ragu-ragu dan raba-raba menjadi pergerakan yang bewust dan radikal? Dengan suatu partai. Dengan suatu partai yang mendidik Rakyat-jelata itu ke dalam ke-bewust-an dan keradikalan. Dengan suatu partai, yang menuntun Rakyat-jelata itu di dalam per­jalanannya ke arah kemenangan, mengolah t e n a g a Rakyat-jelata itu di dalam perjoangannya sehari-hari, –

menjadi pelopor dari­pada Rakyat-jelata itu didalam menuju

kepada maksud dan cita-cita.



Partailah yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau­-ranjau itu sehingga menjadi jalan terang. Partailah yang memimpin massa itu di dalam perjoangannya merebahkan musuh, partailah yang memegang komando daripada barisan massa. Partailah yang harus mem­beri ke-bewust-an pada pergerakan massa, memberi kesedaran, memberi keradikalan.



Oleh karena itu, maka partai sendiri lebih dulu harus partai yang bewust, partai yang sedar, partai yang radikal. Hanya partai yang bewust dan sedar dan radikal bisa membikin massa menjadi bewust dan sedar dan radikal. Hanya partai yang demikian itu bisa menjadi pelopor yang sejati di dalam pergerakan massa, dan membawa massa itu dengan selekas-lekasnya kepada kemenangan dan keunggulan. Hanya partai yang demikian itu bisa membikin massa -aksi yang bewust massa-aksi yang dus dengan cepat bisa mengundurkan stelsel yang menjadi buah-perlawanannya.



Orang sering mengira: kita barulah bisa menang kalau Rakyat Indonesia yang 60.000.000 jiwa itu semuanya sudah masuk suatu partai!



Pengiraan yang demikian itu adalah pengalamunan yang kosong, pengala­munan yang mustahil, pengalamunan yang memang tidak perlu terjadi. Jikalau kemenangan baru bisa datang bilamana Rakyat Indonesia yang 60.000.000 itu semuanya sudah masuk suatu partai, maka sampai lebur-­kiamatpun kita belum bisa menang. Sebab Rakyat yang 60.000.000 itu tidak bisa semuanya menjadi anggauta partai, mustahil se­muanya bisa menjadi anggauta partai.



Tidak! Kemenangan tidak u s a h menunggu sampai semua Rakyat­-jelata secindil-abangnya masuk suatu partai! Kemenangan sudah bisa datang, bilamana ada satu partai yang gagah-berani dan bewust menjadi pelopor-sejati daripada massa, yang bisa memimpin dan bisa menggerakkan massa, yang bisa berjoang dan menyuruh berjoang ke­pada massa, yang perkataannya menjadi undang-undang bagi massa dan perintahnya menjadi komando bagi massa. Kemenangan sudah bisa datang, bilamana ada satu partai yang dengan gagah-berani pandai me­mimpin dan membangkitkan bewuste massa-aksi!



Lihatlah mitsalnya, perjoangan di Tiongkok-dulu, lihatlah pergerakan di Mesir sepuluh-limabelas tahun yang lalu, lihatlah pergerakan kaum proletar di Eropah. Di semua negeri itu pergerakan tidak berwujud “tiap-tiap hidung menyjadi anggauta”, tetapi adalah satu partai­ pelopor yang berjalan di muka memanggul bendera: di Mesir dulu partai Wafd, di Tiongkok dulu partai Kuo Min Tang,

di dalam per­gerakan kaum proletar De Internationale. Partai-partai-pelopor inilah yang menjadi motor-nya massa, pengolahnya massa, kampiunnya massa, komandannya massa. Partai-partai-pelopor inilah yang mengemudikan massa-aksi.



Oleh karenanya, buanglah jauh-jauh itu pengiraan salah, bahwa lebih dulu “tiap-tiap hidung harus menjadi anggauta”! Tidak, bukan lebih dulu “tiap-tiap hidung harus menjadi anggauta”, bukan lebih dulu semua Rakyat-jelata secindil-abangnya harus memasuki partai, tetapi Marhaen-Marhaen yang paling bewust dan sedar dan radikal harus menggabungkan diri di dalam suatu partai-pelopor yang gagah-berani! Marhaen-Marhaen yang paling bersemangat, Marhaen-­Marhaen yang paling berkemauan, paling sedar, paling rajin, paling berani, paling keras-hati, – Marhaen-Marhaen itulah sudah cukup untuk menggerakkan massa-aksi yang haibat dan bergelora dan yang datang pada kemenangan, asal sahaja tergabung di dalam satu partai-pelopor yang tahu menggelombangkan semua tenaganya massa.



Satu partai-pelopor? Ya, satu partai-pelopor, dan tidak dua, tidak tiga! S a t u partai sahaja yang bisa paling baik dan paling sempurna, – yang lain-lain tentu kurang baik dan kurang sempurna. S a t u partai sahaja yang bisa menjadi pelopor !



Memang lebih dari satu pelopor, membingungkan massa; lebih dari satu komandan, mengacaukan tentara. Riwayat-duniapun menunjukkan, bahwa di dalam tiap-tiap massa-aksi yang haibat adalah hanya satu partai sahaja yang menjadi pelopor berjalan di muka sambil memang­grul bendera. Bisa ada partai lain-lain, bisa ada perkumpulan lain-lain, tetapi partai-partai yang lain itu pada saat-saat yang penting hanyalah membuntut sahaja pada partai-pelopor itu, – ikut berjoang, ikut memimpin, tetapi tidak sebagai komandan seluruh tentaranya massa, melainkan hanya sebagai sersan-sersan dan kopral-kopral sahaja. Pada saat “historische momenten” maka menurut riwayat-dunia adalah satu partai yang dianggap oleh massa “itulah laki-laki dunia, marilah mengikut laki-laki dunia itu”!



Tetapi partai mana yang bisa menjadi partai-partai-pelopor di dalam massa-aksi kita? Partai yang kemauannya cocok dengan kemauan Marhaen, partai yang segala-galanya cocok dengan kemauan natuur, partai yang memikul natuur

d a n t e r p i k u 1 n a t u u r. Partai yang demikian itulah yang bisa menjadi komandannya massa-aksi kita. Bukan partai burjuis, bukan partai ningrat, bukan “partai-Marhaen” yang reformistis, bukanpun .“partai radikal” yang hanya amuk-amukan sahaja, – tetapi partai-Marhaen yang radikal yang tahu saat menjatuhkan pukulan-pukulannya. Seorang pe­mimpin kaum buruh pernah berkata:

“Partai tak boleh ketinggalan oleh massa; massa selamanya radikal; partai harus radikal pula. Tetapi partai tidak boleh pula mengira, bahwa ia dengan anarcho-syndicalismel) lantas menjadi pemimpin massa. Partai harus memerangi dua haluan: ber­joang memerangi haluan reformis, dan berjoang memerangi haluan anarcho-syndicalist.”



Welnu, partai yang digambarkan oleh pemimpin inilah, – yang dus tidak lembek, tetapi juga tidak amuk-amukan sahaja, melainkan konsekwen-radikal yang berdisiplin -, partai yang demikian itulah yang bisa menjadi partai-pelopor. Masyarakat sendiri akan menjatuhkan hukuman atas partai-partai yang tidak demikian: mereka akan didorong olehnya ke belakang menjadi paling mujur “partai-sersan” saha­ja, atau akan disapu olehnya samasekali, lenyap dari muka-bumi. Oleh karenanya, Marhaen, awas! Awaslah di dalam memilih partai. Pilihlah hanya itu partai sahaja, yang memenuhi syarat-syarat yang saya sebutkan tahadi!



Partai yang demikian itulah yang menuntun pergerakan Rakyat-jelata, merobah pergerakan Rakyat-jelata itu dari onbewust menjadi bewust,



1) Haluan “amuk-amukan”.



memberikan pada Rakyat-jelata b e n t u k a n alias konstruksi dari­pada pergerakannya, membikin terang pada Rakyat-jelata a p a yang dituju dan bagaimana harus menuju, menjelmakan pergerakan Rakyat-jelata yang tahadinya hanya ragu-ragu dan raba-raba sahaja men­jadi suatu massa-aksi yang bewust dan insyaf,-suatu massa-aksi, yang oleh karenanya, segera memetik kemenangan.

Partai yang demikian itulah partai Yang dibutuhkan oleh kaum Marhaen!



6. INDONESIA-MERDEKA SUATU JEMBATAN



Bentukan alias konstruksi! Bentukan yang pertama ialah, sebagai sudah saya kemukakan, bahwa maksud pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan sempurna, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Kita ber­gerak, – begitulah tahadi juga sudah saya katakan -, tidak karena “ideal” yang ngalamun, tetapi karena kita ingin

p e r b a i k a n n a s i b. Kita bergerak karena kita tidak sudi

kepada stelsel kapitalisme dan imperial­isme, yang membikin kita

papa dan membikin segundukan manusia teng­gelam dalam kekayaan dan harta, dan karena kita ingin sama-rata merasakan lezatnya buah-buah dari kita punya masyarakat sendiri. Kita, oleh karenanya, harus bergerak untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme!



Dan syarat yang pertama untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme? Syarat yang pertama ialah: kita harus

m e r d e k a. Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa bercancut-taliwanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme. Kita harus mer­deka, agar supaya kita bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme. Selama kita belum merdeka, selama kita belum bisa leluasa menggerakkan kita punya badan, kita punya tangan, kita punya kaki, selama kita dus masih terhalang di dalam segala kita punya gerak-bangkit,- tidak bisa “kiprah” sehaibat-haibat­nya selama itu maka kita tidak bisa habis-habisan-tenaga menghanjut stelsel kapitalisme dan imperialisme. Selama itu maka kapitalisme dan imperialisme akan tetap sebagai raksasa yang maha-shakti bertakhta di atas singgasana kerezekian Indonesia, tidak bisa digugurkan daripada singga­sana itu hingga mati menggigit debu. Dapatkah Ramawijaya mengalah­kan Rahwana Dasamuka, jikalau Ramawijaya itu mitsalnya terikat kaki dan tangannya, tak dapat mementangkan ia punya jemparing dan tak dapat melepaskan ia punya senjata?



Rakyat yang tidak merdeka adalah Rakyat yang sesungguh-sungguhnya tidak-merdeka. Segala gerak-bangkitnya adalah tidak-merdeka. Segala kemauannya, segala fikirannya, ya segala Rokhnya dan Nyawanya adalah tidak-merdeka. Mau ini tidak leluasa, mau itu tidak leluasa. Mau ini ada ranjau, mau itu ada jurang.

Mau mengeluarkan kritik, ada artikel 154 sampai 157 dari buku hukum siksa; mau menganjurkan kemerde­kaan, ada artikel 153 bis ter; mau menggerakkan kaum buruh, terancam artikel 161 bis; mau mengadakan aksi radikal, gampang dicap “berbahaya bagi keamanan umum”; mau memajukan perniagaan ada rintangan bea, mau memajukan sosial ada macam-macam “syaratnya”, – pendek-kata:

mau ini ada duri, mau itu ada paku.



Oleh karena itu, maka kemerdekaan adalah s y a r a t yang maha penting untuk menghilangkan kapitalisme dan imperialisme,

s y a r a t yang penting untuk mendirikan masyarakat yang sempurna. Gedung Indonesia Sempurna, di mana semua Rakyat-jelata bisa bernaung dan menyimpan dan memakan segala buah-buah kerezekian dan kekulturan sendiri, di mana tidak ada kepapa-sengsaraan pada satu fihak dan keraja-beranaan pada lain fihak, Gedung Indonesia Sempurna itu hanyalah bisa didirikan di atas buminya Indonesia yang Merdeka. Gedung Indonesia Sempurna itu hanya­lah bisa didirikan jikalau pandemen-pandemennya tertanam di dalam tanahnya Indonesia yang Merdeka.



Tetapi, … Gedung Indonesia Sempurna itu juga hanyalah bisa didirikan oleh Marhaen Indonesia, bilamana Marhaen adalah leluasa mendirikannya, – tidak terikat oleh ini, tidak terikat oleh itu, – yakni bilamana Marhaen, dan tidak fihak lain, mempunyai kemerdekaan gerak-bangkit yang tak terhalang-halang. Oleh karena itu, maka Marhaen tidak sahaja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak sahaja harus mengikhtiarkan kemerdekaan-nasional, t e t a p i juga h a r us menjaga yang di dalam kemerdekaan-nasional itu kaum Marhaenlah yang memegang kekuasaan,- dan bukan kaum burjuis Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan kaum musuh-Marhaen bangsa Indonesia yang lain-lain. Kaum Marhaen­lah yang di dalam Indonesia Merdeka itu harus memegang teguh-teguh politieke macht, jangan sampai bisa direbut oleh lain-lain golongan bangsa Indonesia yang musuh kaum Marhaen.



Lihatlah ke negeri Belanda, lihatlah ke negeri Perancis. Lihatlah ke negeri Jerman, Inggeris, Amerika, Italia dan lain-lain. Semua negeri­-negeri itu adalah negeri yang merdeka, semua negeri-negeri itu adalah berkemerdekaan nasional. Semua negeri-negeri itu adalah bebas dari pemerintahan asing. Tetapi tidakkah kaum Marhaen di negeri-negeri itu berat sekali perjoangannya ingin menggugurkan kapitalisme, tidakkah kaum Marhaen di negeri-negeri itu maha-sukar sekali usahanya mendong­kel akar-akarnya kapitalisme, – tidakkah kaum Marhaen di situ sudah hampir satu abad boleh dikatakan sia-sia bermandi keringat, ya, kadang‑kadang bermandi darah, ingin menjebol kapitalisme yang menyengsarakan mereka? Tidakkah kaum Marhaen disitu sampai kini masih bongkok, punggungnya diduduki oleh kapitalisme yang mengingkel-ingkel mereka, mengentrog-entrog mereka, memperbudakkan mereka, – memperbina­tangkan mereka sampai ke dasar-dasarnya neraka kesengsaraan dan meraka­ kelaparan?



Apakah sebabnya begitu? Sebabnya ialah, bahwa kaum Marhaen di negeri-negeri itu sampai kini belum memegang politieke macht, belum memegang kekuasaan negeri, belum memegang kekuasaan pemerintahan. Politieke macht sampai kini adalah di dalam tangannya kaum kapitalisme sendiri, di dalam tangannya kaum burjuis sendiri, di dalam tangannya justru itu kaum yang menjadi tulang punggungnya stelsel yang mereka lawan itu. Segenap apparatnya politieke macht itu adalah dipakai senjata oleh kaum burjuis untuk memagari stelsel kapitalisme dan untuk menghantam aksinya kaum Marhaen yang mau meruntuhkan kapitalisme. Banjirnya pergerakan kaum Marhaen itu saban-saban men­jadi uablah samasekali karena panasnya angin-simum yang keluar dari politieke machtnya kaum burjuis. Maka oleh karena itulah, semboyan pergerakan-radikal daripada kaum Marhaen di negeri-negeri itu kini adalah: “naar de politieke macht!”, “ke arah kekuasaan-pemerintahan!” Kekua­saan-pemerintahan itulah yang kini lebih dulu mereka kejar, kekuasaan­ pemerintahan itulah yang kini lebih dulu mau mereka rebut dari tangannya kaum burjuis. Dengan kekuasaan-pemerintahan di dalam tangan sendiri, dengan senjata-pamungkas di dalam tangan sendiri, maka kaum Marhaen Eropah akan gampang membinasakan stelsel kapitalisme, memelantingkan kapitalisme dari pundaknya yang telah berabad-abad diperkudakan itu.

Kaum burjuis yang tangannya hampa,- yang politieke machtnya direbut oleh kaum Marhaen Eropah kaum burjuis yang demikian itu akan menjadi seperti singa yang hilang giginya dan hilang kukunya, hilang guruhnya dan hilang perbawanya, hilang tenaganya dan hilang kuasanya, lemah, lemas, dan mati semua kutu-kutunya, tak kuasa sedikit juapun melindungi dan mempertahankan stelsel kapitalisme yang mereka sembah dan mereka puja!



Nah, kaum Marhaen Indonesia p u n , oleh karenanya, harus insyaf, bahwa mereka punya perjoangan akan tak perlu mereka perpanjangkan, kalau pada saat datangnya Indonesia Merdeka itu politieke macht jatuh ke dalam tangannya kaum burjuis atau kaum ningrat Indonesia. Kaum Marhaen Indonesia p u n harus insyaf,

bahwa mereka baru bisa segera menjatuhkan stelsel kapitalisme

dan imperialisme, hanya jikalau pada saat berkibarnya bendera kemerdekaan nasional, m e r e k a l a h yang menerima warisan politieke macht dari overheersing asing. Kaum Marhaen Indonesia pun dus harus menjaga, jangan sampai politieke macht itu jatuh ke dalam tangannya fihak burjuis dan ningrat Indonesia.



Menjadi: mereka harus membanting-tulang mendatangkan kemerdekaan-nasional, membanting-tulang menjelmakan kemerdekaan negeri Indonesia, tetapi dalam pada membanting-tulang mendatangkan kemerdekaan negeri Indonesia itu, mereka harus

a w a s dan sekali lagi a w a s, jangan sampai gedung yang mereka dirikan itu kaum burjuis atau ningratlah yang memasukinya.

Dalam pada berjoang habis-habisan mendatangkan

Indonesia Merdeka itu, kaum Marhaen harus menjaga, jangan

sampai nanti mereka yang “kena getah”, tetapi kaum burjuis atau ningrat yang “memakan nangkanya”.



0, memang, pekerjaan-berat mendatangkan Indonesia Merdeka buat sebagian besar hanya kaum Marhaenlah yang bisa melaksanakan, peker­jaan-berat itu buat sebagian besar hanya kaum Rakyat-jelatalah yang bisa menyelesaikan. Pekerjaan-berat itu memang adalah mereka punya “pekerjaan-riwayat”, mereka punya “kewajiban-riwayat”, mereka punya “bagian-riwayat”. Pekerjaan-berat itu memang merekapunya “h i s t o r i s c h e t a a k “. Memang di atas sudah saya katakan, bahwa semua perobahan-perobahan-besar di dalam riwayat-dunia yang akhir-akhir ini adalah dihantarkan oleh massa-aksi, diparajikan oleh massa-aksi, – arti­nya: diparajikan oleh aksinya Rakyat-jelata yang berkobar-kobaran semangat menyundul langit. Tetapi riwayat-duniapun telah memberi contoh-contoh, — mitsalnya di negeri Perancis , – bahwa Rakyat-jelata itu, karena kurang awasnya, kurang bewust, kurang pimpinannya suatu partai Rakyat-jelata yang sejati, akhirnya kecele menjadi “pengupas nangka” belaka, yang “kena getah, tetapi tidak ikut merasakan nangkanya”. Moga-moga Rakyat-jelata Indonesia jangan sampai menambah contoh-contohnya riwayat-dunia itu dengan satu contoh lagi yang baru! Moga-moga Rakyat-jelata Indonesia dus selamanya awas, awas, dan sekali lagi a w a s!



Klassenstrijd? Adakah dus saya kini mengutamakan klassenstrijd? Saya belum mengutamakan klassenstrijd antara bangsa Indonesia dengan bangsa Indonesia, walaupun tiap-tiap nafsu kemodalan di kalangan bangsa sendiri kini sudah saya musuhi. Saya seorang nasionalis, yang selamanya buat mencapai Indonesia Merdeka memusatkan per­joangan kita di dalam perjoangan nasional. Saya selamanya meng­anjurkan, supaya semua tenaga nasional yang bisa dipakai menghantam musuh untuk mendatangkan kemerdekaan-nasional itu, haruslah dihan­tamkan pula.

“D e s o c i a 1 e tegenstellingen worden in onvrije landen in nationale vormen uitgevochten”, “pertentangan s o s i a l di negeri­-negeri yang tak merdeka diperjoangkan secara national”, begitulah juga Henriette Roland Holst berkata. Tetapi kemerdekaan-nasional hanyalah suatu jembatan, suatu syarat, suatu strijdmoment.

Di belakang Indonesia Merdeka itu kita kaum Marhaen masih harus mendirikan kita­ punya Gedung Keselamatan, bebas dari tiap-tiap macam kapitalisme. Oleh karena itu, maka apa yang saya tuliskan di atas, adalah berarti mengan­jurkan supaya Marhaen awas.

Saya menganjurkan jangan sampai Marhaen nanti menjadi “pengupas nangka”, yang hanya mendapat bagian getahnya sahaja.

Saya menganjurkan supaya buah politieke macht, yang dengan

habis-habisan-tenaga terutama oleh Marhaen dipetiknya, juga nanti oleh Marhaen dipegangnya dan dimakannya. Saya seorang nasionalis, tetapi seorang nasionalis Mar haen yang hidup dengan kaum Marhaen, mati dengan kaum Marhaen.



Nah, saya dus bisa menutup bagian 6 dari tulisan ini dengan mengulangi apa sarinya. Mengulangi: bahwa pertama tujuannya pergerakan Marhaen haruslah suatu masyarakat zonder kapitalisme dan imperialisme, bahwa kedua jembatan ke arah masyarakat itu adalah kemerde­kaan negeri Indonesia, bahwa k e t i g a Marhaen harus menjaga, yang di dalam Indonesia Merdeka itu Marhaen lah yang menggenggam politieke macht, menggeng­gam kekuasaan pemerintahan.



Inilah bentukan-bentukan dari kita punya pergerakan, yang harus sangat kita perhatikan.



7. SANA MAU KE SANA, SINI MAU KE SINI



Tetapi sekarang timbul pertanyaan: bagaimana kita melaksanakan, menjelmakan, merealisasikan tiga bentukan itu? Bagaimana kita mendatangkan masyarakat yang bebas dari kapitalisme-imperialisme, bagai­mana kita yang mewaris politieke macht, bagaimana, lebih

d u l u, kita mencapai Indonesia Merdeka?



Untuk bisa mencapai Indonesia Merdeka, kita lebih dulu harus mengetahui hakekatnja kedudukan antara imperialisme dan kita, hakekat kedudukan antara sana dan sini. Hakekat kedudukan sana-sini itulah nanti yang menentukan azas-azas-perjoangan kita, azas-azas-sepak­-terjang kita, azas-azas-strategi kita, azas-azas-taktik kita. Hakekat kedudukan itulah yang nanti harus menentukan “houding” kita terhadap pada kaum sana itu adanya.



Bagaimana hakekat kedudukan itu? Hakekat kedudukan itu boleh kita gambarkan dengan satu perkataan sahaja: pertentangan.

Per­tentangan di dalam segala hal. Pertentangan asal, pertentangan tujuan, pertentangan kebutuhan, pertentangan sifat, pertentangan hakekat. Tidak ada perbarengan, tidak ada persamaan sedikitpun antara sana dan sini.

Tidak ada p e r s e s u a i a n antara sana dan sini. Antara sana dan sini ada pertentangan sebagai api dan air, sebagai serigala dan rusa, sebagai kejahatan dan kebenaran.



Memang riwayat-dunia selamanya menunjukkan pertentangan antara dua golongan. Memang riwayat-dunia selamanya menunjukkan adanya suatu golongan “atas” dan adanya suatu golongan “bawah”, yang berten­tangan satu sama lain, ber-antitese satu sama lain:

di zaman feodal golongan ningrat dengan golongan “kawulo”,

di zaman kapitalisme golong­an kemodalan dengan golongan proletar, di zaman kolonial golongan si penjajah dengan golongan si terjajah. Maka antitese alias perten­tangan yang belakangan inilah yang menguasai segenap sifat hakekatnya perhubungan antara sana dan sini, segenap “wezen-nya” perhubungan antara sana dan sini, sehingga sana dan sini selamanya adalah ketabrakan satu sama lain. Antitese inilah yang oleh kaum Marxis disebutkan d i a l e k t i k-nya sesuatu keadaan, dialektik-nya sesuatu bagian dari­pada riwayat, d i a 1 e k t i k-nya sesuatu bagian di dalam gerak-bangkitnya alam.



Maka oleh karena itu buta dan justalah tiap-tiap orang yang mau memungkiri atau menutupi antitese itu, buta dan justa jugalah tiap-­tiap siapa sahaja yang mau menipiskan pertentangan antara dua fihak itu. Buta dan justalah siapa sahaja yang mau “mengakurkan” fihak sana dengan fihak sini. Tidak! Sana dan sini tidak bisa diakurkan, sana dan sini tidak bisa dipungkiri atau ditipiskan antitesenya, – sana dan sini walau sampai ke zaman kiamatpun akan selamanya berhadap-hadapan satu sama lain sebagai singa dengan mangsanya. Sana dan sini akan selamanya bertabrak-tabrakan satu sama lain, berantitese satu sama lain, sehingga akhirnya sana hilang dari hadapan sini samasekali. Tidakkah sana senang akan terusnya penjajahan Indonesia sampai ke zaman akhirnya alam, tidakkah sana senang akan terusnya kecakrawartian di atas semua bagian daripada masyarakat Indonesia, tidakkah sana hidup justru daripada sini? Tidakkah sebaliknya sini mau selekas-lekasnya merdeka, tidakkah sini mau selekas-lekasnya menyakrawarti masyarakat sendiri?



Buta, sekali lagi butalah siapa sahaja yang mau memungkiri adanya pertentangan ini, tabrakan ini, antitese ini,- yang memang sudah karena dialektiknya alam. Tetapi kita, yang justru membentuk pergerakan yang memikul alam dan terpikul alam, memikul natuur dan terpikul natuur, kita yang tidak mau buta, harus justru mengambil antitese ini sebagai uger-ugernya semua kita punya azas perjoangan dan semua kita punya taktik. Kita harus justru mengalaskan segala kitapunya sepak-ter­jang di atas dialektik ini, mengalaskan segala kita punya “houding” di atas d i a 1 e k t i k ini. Kita harus dengan sekelebatan mata sahaja sudah mengerti, bahwa dialektik ini adalah menyuruh kita selamanya ingkar daripada kaum sana itu, tidak bekerja bersama­s ama dengan kaum sana itu, sebaliknya mengadakan perlawanan z o n d e r damai terhadap pada kaum sana itu,- sampai kepada saat keunggulan dan kemenangan. Kita harus dengan sekelebatan mata sahaja mengerti, bahwa oleh adanya antitese ini, kemenangan hanya­lah bisa kita capai dengan kebiasaan sendiri, tenaga sendiri, usaha sendiri, kepandaian sendiri, keringat sendiri, keberanian sendiri.



Inilah yang biasanya kita sebutkan politik “p e r c a y a pada kekuatan sendiri”, politik “self-help dan non-cooperation”: politik menyusun kitapunya masyarakat secara positif dengan tenaga dan usaha sendiri, politik tidak mau bekerja bersama-sama dengan kaum sana di atas semua lapangnya perjoangan politik, politik memboikot dewan-dewan kaum sana, baik yang ada di sini maupun yang ada di negerinya kaum sana sendiri. Tentang politik ini tempohari saya pernah menulis:



“Non-kooperasi adalah salah satu azas perjoangan (strijd­beginsel) kita untuk mencapai Indonesia Merdeka. Di dalam perjoangan mengejar Indonesia Merdeka itu kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan kebutuhan antara sana dan sini, antara kaum yang menjajah dan kaum yang dijajah, antara overheerser dan overheerste. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang menjadi sebabnya kita punya non-kooperasi. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberi keyakinan kepada kita, bahwa Indonesia Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak menjalankan politik non-kooperasi. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas­perjoangan yang lain-lain, – mitsalnya machtsvorming, massa-aksi, dan lain-lain.



Oleh karena itulah, maka non-kooperasi b u k a n 1 a h hanya suatu azas perjoangan “tidak duduk di dalam raad-raad pertuanan” sahaja. Non-kooperasi adalah suatu actief beginsel, tidak mau bekerja bersama-sama di atas s e g a 1 a

l a p a n g a n politik dengan kaum pertuanan, melainkan mengadakan suatu perjoangan yang tak kenal damai, suatu onverbiddelijkestrijd dengan kaum pertuanan itu. Non-kooperasi tidak berhenti di luar dinding-dindingnya raad-raad sahaja, tetapi non-kooperasi adalah meliputi semua bagian-bagian daripada kita punya perjoangan politik. Itulah sebabnya, maka non-kooperasi adalah berisi radikalisme, impliceren radikalisme,- radi­kalisme hati, radikalisme fikiran, radikalisme sepak-terjang, radikalisme di dalam semua innerlijke dan uiterlijke houding. Non-kooperasi meminta kegiatan, meminta radicale activiteit. 1)



S a l a h satu bagian daripada kita punya non-kooperasi

adalah tidak mau duduk di dalam dewan-dewan kaum pertuanan. Sekarang apakah Tweede Kamer juga termasuk dalam dewan-dewan kaum pertuanan itu? Tweede Kamer adalah termasuk dalam dewan­dewan kaum pertuanan itu. Sebab justru Tweede Kamer itu bagi kita adalah suatu “belichaming”, suatu “pembadanan”, suatu “penjelmaan” daripada koloniserend Holland, suatu “penjelmaan” daripada kekuasaan atau macht yang mengungkung kita menjadi Rakyat yang tak merdeka. Justru Tweede Kamer itu adalah suatu “symbool” daripada koloniserend Holland, suatu “symbool” daripada keadaan yang menekan kita menjadi Rakyat taklukan dan sengsara. Oleh karena itulah maka non-kooperasi kita sudah di dalam azasnya harus tertuju juga kepada Tweede Kamer khususnya dan Staten Generaal umumnya, ya, harus ditujukan juga kepada semua “belichaming-belichaming” lain daripada sesuatu sistim yang buat mengungkung kita dan bangsa Azia, mitsalnya Volkenbond dan lain sebagainya.



Anarchisme? Toch Tweede Kamer suatu parlemen? Memang,

Tweede Kamer adalah suatu parlemen; tetapi Tweede Kamer adalah suatu parlemen Belanda. Memang kita adalah orang anarchis, kalau kita menolak s e g a 1 a keparlemenan. Memang kita orang anarchis, kalau mitsalnya nanti kita menolak duduk di dalam parlemen Indonesia, yang nota bene hanya bisa berada di dalam suatu Indonesia yang M e r d e k a, dan yang akan memberi jalan kepada demo­krasi politik d a n demokrasi ekonomi. Memang! Jikalau seorang. Inggeris memboikot parlemen Inggeris, jikalau seorang Jerman tidak sudi duduk dalam parlemen Jerman, jikalau seorang Perancis meno­lak kursi dalam parlemen Perancis, maka ia boleh jadi seorang anarchis. Tetapi jikalau seandainya mereka menolak duduk di dalam suatu parlemen daripada suatu negeri yang mengungkung negeri mereka, – jikalau kita bangsa Indonesia sudah di dalam azasnya menolak duduk dalam parlemen Belanda maka itu bukanlah anarchisme, tetapi suatu azas perjoangan n a s i o n a l i s

n o n -k o o p e r a t o r yang sesehat-sehatnya!



Lihatlah riwayat perjoangan non-kooperasi di negeri-negeri lain. Lihatlah mitsalnya riwayat non-kooperasi di negeri Ierlandia,- salah satu sumber daripada perjoangan non-kooperasi itu. Lihat‑ lah di situ sepak-terjangnja kaum Sinn Fein. “Sinn F e i n” adalah
mereka punya semboyan, Sinn fein, yang berarti “kita sendiri”.



1)       Tidak semua orang yang tidak duduk dalam raad atau tidak kerja pada gupermen (mitsalnya tukang soto), ada orang “non”



“Kita sendiri!”, itulah gambarnya mereka punya politik; politik tidak mau bekerja bersama-sama dengan Inggeris, tidak mau kooperasi dengan Inggeris, tidak mau duduk di dalam parlemen

I n g g e r i s. “Janganlah masuk ke Westminster, tinggalkanlah Westminster itu, dirikanlah Westminster sendiri!”, adalah propaganda dan aksi yang dijalankan oleh Sinn Fein. Adakah mereka itu kaum anarchis? Mereka bukan kaum anarchis, tetapi kaum nationalis­non-kooperator yang prinsipiil. Nah, non-kooperasi kita haruslah non-kooperasi yang prinsipiil pula.



Orang menganjurkan duduk di Tweede Kamer buat menjalankan politiek-oppositie dan politiek-obstructie, dan memperusahakan Tweede Kamer itu menjadi m i m b a r per­joangan. Politik yang demikian itu boleh dijalankan, dan memang sering dijalankan pula oleh kaum kin, sebagai kaum 0.S.P., kaum komunis, atau kaum C. R. Das cs. di Hindustan yang juga tidak anti parlemen Inggeris. Tetapi politik yang demikian itu tidak boleh di­jalankan oleh seorang nasionalis-non-kooperator. Pada saat yang seorang nationalis-non-kooperator masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan, ya, pada saat yang ia di dalam azasnya suka masuk ke dalam sesuatu dewan kaum pertuanan itu, sekalipun dewan itu berupa Tweede Kamer Belanda atau Volkenbond, – pada saat itu ia melanggar azas, yang disendikan pada keyakinan atas adanya

p e r t e n t a n g a n k e b u t u h a n antara kaum pertuanan itu dengan kaumnya sendiri. Pada saat itu ia menjalankan politik yang tidak prinsipiil lagi, menjalankan politik yang pada hakekatnya melanggar azas n o n – kooperasi adanya!



Kita harus menjalankan politik non-kooperasi yang prinsipiil, – menolak pada a z a s n y a kursi di Volksraad, di Staten Generaal, di dalam Volkenbond. Dan sebagaimana tahadi telah saya terangkan, maka perkara dewan-dewan ini hanyalah s a 1 a h s a t u b a g i a n sahaja daripada non-kooperasi kita. Bagian yang terpenting daripada non-kooperasi kita adalah: dengan mendidik Rakyat percaya kepada

“kita sendiri”, untuk meminjam perkataan kaum non-kooperasi

Ierlandia -, menyusun dan menggerakkan suatu massa-­aksi, suatu machtsvorming Marhaen yang haibat dan kuasa!”



Pembaca telah ingat: ini adalah sebagian daripada tulisan saya di dalam bertukaran fikiran dengan sdr. Mohammad Hatta. Pendirian sdr. Mohammad Hatta, yang masih suka masuk parlemen negeri Belanda itu, memang kurang benar, memang menyalahi azas. Partai Sarekat Islam Indonesia pun di dalam kongresnya yang akhir-akhir ini menolak sesuatu kursi di dalam parlemen negeri Belanda itu!



Tetapi bagaimanakah jelasnya “kesendirian” yang saya sebutkan di atas tahadi? Bagaimanakah jelasnya politik “segala-gala sendiri”, yakni politik “kemampuan sendiri, tenaga sendiri, usaha sendiri, kepandaian sendiri, keringat sendiri, fi’il-fi’il keberanian sendiri” itu tahadi?



Bagaimana jelasnya? Jelasnya ialah, bahwa “kesendirian” itu haruslah keperibadian, dan bukan kedirian. Jelasnya ialah, bahwa kita, harus berpolitik keperibadian, dan jangan berpolitik kedirian. Teka-teki? Memang, terdengarnya seperti teka-teki. Terdengarnya seperti kemikan pat-pat-guli-pat. Marilah saya terangkan yang agak jelas: Tentang politik “kesendirian” itu di waktu yang akhir-akhir ini banyak sekali orang yang salah faham. Mereka yang salah faham itu tentu sahaja orang-orang yang masih hijau di atas lapangan politik, orang-orang yang tua bangka tapi kurang makan garamnya politik, orang-orang yang tiada “benul” sedikitpun tentang urusan politik. Mereka berkata, bahwa kita, karena kita berazas “kesendirian”, tidak boleh mencari perhubungan samasekali dengan lain-lain bangsa. Mereka pernah mengeritik saya, karena saya di dalam sidang pembantu majalah “Suluh Indonesia Muda” telah memasukkan dua orang Tionghoa, yakni saudara Kwee Kek Beng dan saudara Dr. Kwa Tjoan Siu. Mereka menuduh saya telah melanggar azas “kesendirian” itu!



Mereka dengan tuduhan ini telah membuktikan, bahwa mereka adalah “salah wissel” samasekali, salah faham samasekali, tersesat samasekali. Amboi, – tidak boleh mencari perhubungan samasekali: dengan lain-lain bangsa! Inilah “kesendirian” yang sebenarnya kedirian yang setulen-­tulennya. “Kesendirian” yang demikian itu, yang mau melepaskan semua perhubungan dengan dunia luaran, yang mau “bersarang” di dalam dunia sendiri, yang mau menutup diri sendiri dengan rasa puas-puas dari segala pengaruhnya dunia sekelilingnya, “kesendirian” yang demikian itu adalah sangat berbau butek seperti baunya hawa gudang yang senantiasa tertutup.



“Kesendirian” yang demikian itu adalah kesendirian orang yang sempit budi.



“Kesendirian” yang demikian itu adalah seperti kesendiriannya katak di b a w a h tempurung ! “Kesendirian” yang demikian itu adalah juga kesendiriannya orang yang tiada benul samasekali tentang radicale taktiek, tiada begug samasekali tentang radicale bevrij dingspo­litiek!



Sebab radicale bevrijdingspolitiek adalah justru menyuruh kita mencari perhubungan dengan dunia luaran. Imperialisme yang meraja­lela di Indonesia hanyalah bisa kita kalahkan dengan selekas-lekasnya, kalau kita berjabatan tangan dengan bangsa-bangsa Azia di luar pagar, mengadakan eenheidsfront, barisan persatuan, dengan bangsa-bangsa Azia di luar pagar. Imperialisme yang kini ada di Indonesia bukan lagi imperial­isme Belanda sahaja seperti sediakala, imperialisme yang kini ada di sini sudahlah menjadi imperialisme i n t e r n a s i o n a l jang berma­cam-macam warna. Di dalam bagian 2 dari risalah ini sudah saya terangkan: Raksasa modern-imperialisme yang ada di sini, kini bukan lagi raksasa biasa, tetapi sudah mendjelma jadi raksasa Rahwana Dasamuka yang sepuluh kepala dan mulutnya, – badannya imperialisme Belanda, tapi badan ini memikul kepala imperialisme Inggeris, kepala imperialisme Amerika, kepala imperialisme Jepang, Perancis, Jerman, Italia dan lain-lain: di Sumatera Timur sahaja jumlahnya modal cultures yang bukan modal Belanda adalah f 281.497.000, di tanah Jawa f 214.325.000, di Sumatera Selatan f 33.144.000, diperusahaan minyak nama Shell dan Koninklijke adalah nama yang bukan Belanda lagi. Raksasa Rahwana Dasamuka yang demikian ini tak dapat dikalahkan dengan “kesendirian” yang seperti katak di bawah tempurung. Lenyapkanlah semangat katak itu, lenyapkanlah kedirian itu, tetapi lihatlah betapa Rakyat India kini bergulat mati-matian dengan imperialisme Inggeris, lihatlah betapa Rakyat Philipina habis-habisan tenaga melawan imperialisme Amerika, betapa Mesir menghantam imperialisme Inggeris, betapa Indo-China memukul imperialisme Perancis, betapa Tiongkok berkeluh kesah melawan imperialisme internasional dan imperialisme Jepang. Lihatlah, betapa imperialisme-imperialisme yang diusahakan gugurnya oleh bangsa­-bangsa tetangga itu, satu per-satunya j u g a duduk di atas masyarakat kits, menjadi kepala-kepalanya Rahwana Dasamuka yang kita musuhi itu! Lemparkanlah semangat katak itu jauh-jauh, dan insyafkanlah betapa faedahnya kita berjabatan tangan dengan bangsa-bangsa tetangga itu, yang sebenarnya satu musuh dengan kita, satu lawan dengan kita, satu seteru, satu tandingan! Lemparkanlah jauh-jauh tempurung­mu, dan carilah perhubungan dengan semua musuh-musuhnya Rahwana Dasamuka yang kita musuhi!



Inilah “kesendirian” yang berbedaan bumi-langit dengan kedirian yang sempit-budi. Kesendirian tidak melarang perhubungan dengan lain-lain bangsa, tidak melarang pekerjaan-bersama dengan lain-lain bangsa,- kesendirian hanyalah suatu r a s a-kemampuan, suatu rasa-kebi­saan, suatu rasa-ketenagaan, suatu rasa-keperibadian, yang menyuruh sebanyak-banyak dan seboleh-boleh berusaha sendiri, tetapi tidak mengharamkan pekerjaan-bersama dengan luar pagar bila­mana b e r f a e d a h dan perlu. Imperialismelah, dan bondoroyotnya imperialismelah yang harus kita ingkari, tetapi musuh-musuh imperialisme adalah kawan kita! Lemparkanlah “kesendirian” yang sempit-budi itu dan ambillah kesendirian yang lebar-budi ini, lemparkanlah k e d i r i a n itu dan ambillah keperibadian ini!



0, insyaf, insyaflah bahwa “penjaga” yang menjaga “orde en rust” Indonesia bukanlah lagi “penjaga” Belanda sahaja! Penjaga “orde en rust” itu, sejak adanya opendeur-politiek yang memasukkan macam­-macam imperialisme melalui pintu-gerbang perekonomian Indonesia, adalah penjaga internasional, yang terdiri dari penjaga Belanda, penjaga Inggeris, penjaga Amerika, penjaga Perancis, dan lain-lain. Memang justru buat itulah di sini diadakan opendeur-politiek, justru buat tegulinya penjagaan itulah di sini diadakan politik “pintu-terbuka”.1) Internasional-imperialisme itu, yang masing-masing kini di Indonesia mem­punyai kepentingan yang harus “selamat”, internasional-imperialisme itu kini m a s i n g-m a s i n g menjaga dengan seawas-awasnya jangan sampai “keselamatan” kepentingannya itu terganggu. Internasional­ imperialisme itu masing-masing berkata:

“di Indonesia saya ada menyimpan raja-berana, marilah saya ikut menjaga, jangan sampai raja-berana itu hancur.” Oleh karena itu, tidakkah suatu kebaikan, tidakkah suatu kefaedahan, tidakkah suatu keharusan, yang di muka persekutuan imperialisme-internasional itu kita hadapkan pula persekutuan bangsa­-bangsa yang masing-masing juga melawan imperialisme-internasional itu? Tidakkah dus di dalam hakekatnya suatu pengkhianatan kepada kita punya Grote Zaak, jikalau kita di mukanya persekutuan imperialisme ini mau berpolitik politiknya katak di bawah tempurung?



Duabelas tahun yang lalu benggol-benggolnya internasional-imperialisme telah berkonferensi bersama-sama di kota Washington guna mem­bicarakan “keadaan-keadaan di benua Azia”.

Duabelas bulan yang lalu, lebih sedikit, Albert Sarraut di muka

suatu imperialistisch congress di kota Parijs memperkuat lagi “pembicaraan” ini: “Negeri-negeri yang ber­koloni harus rukun satu sama lain … Mereka kini tak boleh bermusuh­-musuhan lagi, tetapi harus bekerja bersama-sama.” Dan duabelas bulan yang lalu pula, Colijn mengeluarkan nyanyian yang sama lagunya. Maka oleh karena itu, jikalau raksasa-raksasa-imperialisme bekerja bersama-sama, marilah kita, korban-korbannya raksasa-raksasa-imperialisme itu, juga bekerja bersama-sama. Marilah kita juga mengadakan eenheidsfront daripada prajurit-prajurit kemerdekaan Azia. Jikalau Banteng Indonesia sudah bekerja bersama-sama dengan Sphinx dari negeri Mesir, dengan Lembu Nandi dari negeri India, dengan Liong­ Barongsai dari negeri Tiongkok, dengan kampiun-kampiun kemerdekaan



1)       Pertimbangan lain buat mengadakan opendeur-politiek itu ialah buat mengadakan politiek “evenwicht”, yaitu supaya Indonesia jangan “diambil” oleh sesuatu imperialisme lain



dari negeri lain, – jikalau Banteng Indonesia bisa bekerja bersama-sama dengan semua musuh kapitalisme dan internasional ­imperialisme di seluruh dunia -, wahai, tentu hari-harinya internasional-imperialisme itu segera terbilang!



Nah, inilah kesendirian yang sejati, keperibadian yang sejati: percaya pada kekuatan sendiri, percaya pada kemampuan sendiri, seboleh-boleh dan sebanyak-banyak bekerja sendiri,- tetapi mata melihat keluar pagar, tangan dilancarkan keluar pagar itu jikalau berfaedah dan perlu. Keperibadian inilah yang harus mengganti kedirian yang bersemangat katak!



8. MACHTSVORMING. RADIKALISME. MASSA-AKSI



Sana mau ke sana, sini mau ke sini, – begitulah gambarnya pertentangan di sesuatu koloni. Pertentangan inilah yang tahadi membawa kita ke atas padangnya politik selfhelp dan non-cooperation. Tetapi perten­tangan itu membawa kita juga ke dalam kawah candradimukanya politik­machtsvorming, radikalisme dan massa-aksi.



Apa artinya machtsvorming itu? Machtsvorming adalah berarti vormingnya macht, pembikinan tenaga, pembikinan kuasa. Machts­vorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita. Paksaan ini adalah perlu, oleh karena “sana mau ke sana, sini mau ke sini”. Dengarkanlah apa yang tempohari saya katakan dalam saya punya pleidooi:



“Machtsvorming, pembikinan kuasa,- oleh karena soal kolonial adalah soal k u a s a, soal m a c h t. Machtsvorming,

oleh karena seluruh riwayat dunia menunjukkan, bahwa perobahan-perobahan besar hanyalah diadakan oleh kaum yang menang, kalau pertimbangan akan untung rugi menyuruhnya, atau kalau sesuatu macht menuntut­kannya.



“Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak­haknya dengan ridlanya kemauan sendiri,” – “nooit heeft een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan”, begitu­lah Karl Marx berkata … Selama Rakyat Indonesia belum mengadakan suatu macht yang maha sentausa, selama Rakyat itu masih sahaja tercerai berai dengan tiada kerukunan satu sama lain, selama Rakyat itu belum bisa mendorongkan semua kemauannya dengan suatu kekuasaan yang teratur dan tersusun, – selama itu maka kaum imperialisme yang mencahari untung sendiri itu akan tetaplah memandang kepadanya se­bagai seekor kambing yang menurut, dan akan terus mengabaikan segala tuntutan-tuntutannya. Sebab, tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia adalah

m e r u g i k a n kepada imperialisme; tiap-tiap tuntutan Rakyat Indonesia tidaklah akan diturutinya, kalau kaum imperialisme tidak terpaksa menurutinya. Tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia adalah buahnya desakan yang Rakyat itu jalankan, – tiap-tiap kemenangan Rakyat Indonesia itu adalah suatu afgedwongen concessie !1)”



Menjadi dus: machtsvorming adalah perlu oleh karena, berhubung dengan adanya antitese antara sana dan sini, kaum sana tidak mau dengan keridlaannya kemauan sendiri tunduk kepada kita, jika tidak kita p a k s a dengan desakan yang ia tak dapat menahannya.

Dan oleh karena de­sakan itu hanya bisa kita jalankan bilamana

kita mempunyai tenaga, yakni bilamana kita mempunyai kekuatan, mempunyai kekuasaan, mempunyai m a c h t , maka kita harus menyusun macht itu, – me­ngerjakan m a c h t s v o r m i n g itu

dengan segiat-giatnya dan serajin­-rajinnya!



Kita harus jauh dari politiknya kaum lunak, yang selamanya mengira, bahwa sudah cukuplah dengan meyakinkan kaum sana itu tentang keadilannya kita punya tuntutan-tuntutan: mereka mengira, bahwa kaum sana itu, asal sahaja sudah “berbalik fikiran”, tentu akan menuruti segala kita punya kemauan. Amboi, jikalau benar sana begitu, barangkali Indo­nesia sudah lama merdeka! Jikalau benar kaum sana begitu, maka kita semua boleh tidur, dan hanya satu dua orang sahaja daripada kita boleh “bicara” dengan kaum sana itu, “membalikkan fikirannya”! Tetapi kea­daan yang senyatanya tidak begitu.

Keadaan yang senyatanya ialah, bahwa kaum sana di sini itu tidak buat mendengarkan keadilannya kitapunya tuntutan, tidakpun buat menurut kitapunya tuntutan itu bilamana “sudah ternyata adilnya”, tetapi ialah tak lain tak bukan buat urusan sendiri, buat kepentingan sendiri, buat keuntungan sendiri, – adil atau tidak adil. Keadaan yang senyatanya ialah, bahwa “sana mau kesana, sini mau ke sini”.



Maka oleh karena itulah kaum Marhaen Indonesia, yang di dalam politiknya selamanya harus jauh sekali daripada pengalamunan jang ber­tentangan dengan keadaan yang nyata, yang selamanya harus berdiri di atas bumi yang nyata dan tidak boleh terapung-apung di atas awannya gagasan, harus menolak politik otak-angin daripada kaum lunak itu, dan menja­lankan politik mentah sementah-mentahnya, yaitu: menyusun di muka machtnya imperialisme itu m a c h t n y a kaum Marhaen pula. Memang yang sebenar-benarnya disebutkan politik, itu bukanlah kepandaian putar lidah, bukan kepandaian menggerutu dengan hat dendam terhadap pada kaum sana, bukan kepandaian tawar-menawar, tetapi politik buat kaum Marhaen hanyalah menyusun machtsvorming dan mem­perusahakan machtsvorming itu,- machtsvorming yang ter­pikul oleh a z a s yang r a d i k a l. Jawaharlal Nehru, itu pemimpin Rakyat India, pernah berkata: “Dan jikalau kita bergerak, maka haruslah kita selamanya ingat, bahwa cita-cita kita tak dapat terkabul, selama kita belum mempunyai k e k u a s a a n yang perlu untuk mendesakkan terka­bulnya cita-cita itu. Sebab kita berhadap-hadapan dengan musuh, yang tak sudi menuruti tuntutan-tuntutan kita, walaupun yang sekecil-kecilnya. Tiap-tiap kemenangan kita, dari yang besar-besar sampai yang kecil­-kecil, adalah hatsilnya d e s a k a n dengan kita punya tenaga. Oleh karena itu dan prinsip sahaja buat saya belum cukup. Tiap-tiap orang bisa menutup dirinya di dalam kamar, dan menggerutu ini tidak menurut teori, itu tidak menurut prinsip. Saya tidak banyak menghargakan orang yang demikian itu. Tetapi yang paling sukar ialah, di muka musuh yang kuat dan membuta-tuli ini, menyusun suatu macht yang terpikul oleh suatu prinsip. Keprinsipiilan dan keradikalan zonder machtsvorming yang bisa menundukkan musuh di dalam perjoangan yang haibat, bolehlah kita buang ke dalam sungai Gangga. Keprinsipiilan dan keradikalan yang menjelmakan kekuasaan, itulah kemauan Ibu!”



1) Artinya concessie: Kalau si musuh, karena d e s a k a n kita, lantas m e n u r u t i sebagian atau semua tuntutan-tuntutan kita, maka si musuh itu adalah menjalankan concessie.



Perkataan Jawaharlal Nehru ini adalah perkataan yang cocok sekali buat perjoangan Marhaen di Indonesia melawan musuh yang juga kuat dan membuta-tuli itu. Juga kita kaum Marhaen Indonesia tak cukup dengan menggerutu sahaja. Juga kita harus menjelmakan azas atau prinsip kita ke dalam suatu machtsvorming yang maha kuasa. Juga kita harus insyaf seinsyaf-insyafnya, bahwa imperialisme tak dapat dialahkan dengan azas atau prinsip s a h a j a, melainkan dengan machtsvor­ming yang terpikul oleh azas atau prinsip itu!



Yang terpikul oleh a z a s atau prinsip! Sebab “machtsvorming” yang tidak terpikul oleh azas atau prinsip, sebenarnya bukan machts­vorming, b u k an pembikinan kuasa! “Machtsvorming” yang zonder azas atau prinsip, yaitu “machtsvorming” yang opportunistis alias tawar­-menawar, yang sikapnya sebentar begini sebentar begitu menurut angin­nya kaum sana, yang tidak perempuan tidak laki-laki, – “machtsvorming” yang demikian itu bukan suatu macht yang mau menundukkan kaum sana, tetapi suatu bola yang dipermainkan oleh kaum sana belaka. Tetapi machtsvorming kita haruslah machtsvorming yang terpikul oleh suatu azas: azas  a n t i t e s e antara sana dan sini, azas perlawanan­ zonder-damai antara sana dan sini, azas kemerdekaan ­nasional, azas keMarhaenan, azas bukan tawar-menawar tapi mau menggugurkan stelsel kapitalisme-imperialisme samasekali, azas mau mendirikan suatu masyarakat-b a r u di atas runtuhan-runtuhannya kapitalisme-imperialisme itu, yang terpikul oleh kesama-rasa-sama-rataan. Azas inilah yang boleh dicakup dengan satu perkataan sahaja, yaitu perkataan radikalisme. Radikalisme, – teram­bil dari perkataan radix, yang artinya a k a r -, radikalisme haruslah azas machtsvorming Marhaen: berjoang tidak setengah-setengahan tawar-menawar tetapi terjun sampai ke akar-akarnya kesengitan antitese, tidak setengah-setengahan hanya mencari “untung ini hari” sahaja tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-imperialisme sampai ke akar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau mengadakan pero­bahan-perobahan yang kecil-kecil sahaja tapi mau mendirikan masyarakat baru samasekali di atas akar-akar yang baru, – berjoang habis­habisan tenaga membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru di atas akar-akar yang baru. Radikalisme inilah harus menjadi nyawanya machtsvorming Marhaen. Marhaen harus menolak dengan kejijikan segala sikap setengah-setengahan yang tidak berjoang tetapi hanya tawar-menawar, Marhaen harus mengusir dari kalangan. Marhaen segala opportunisme, reformisme, dan possibilisme yang selama­nya menghitung-hitung untung rugi sebagai juru kedai yang takut uangnya hilang sekepeng. Marhaen harus mengusir jauh-jauh segala poli­tik yang mau menutupi atau menipiskan antitese antara sana dan sini, Marhaen malahan harus menajamkan antitese antara sana dan sini itu, – tidak mau berdamai tawar-menawar dengan kaum sana itu, tetapi ber­joang habis-habisan dengan kaum sana walau ke muka pintu-gerbangnya nerakapun jua adanya. Marhaen harus dengan sekelebatan mata sahaja mengerti, bahwa perjoangannya, yang bermaksud membongkar kapital­isme-imperialisme sampai keakar-akarnya itu, tidak akan bisa berhatsil dengan politik reformisme yang mau “berniaga” dengan kaum kapitalisme itu, yang ismenya mau ia gugurkan itu. Marhaen harus mengambil perkataannya Karl Leibknecht, bahwa “perdamaian antara Rakyat-djelata dengan kaum atasan adalah berarti mengorbankan Rakyat-djelata itu”,- membinasakan Rakyat-­jelata itu.

Marhaen dus, untuk mengulangi lagi, harus berjoang zonder damai sampai keakar-akarnya kesengitan antitese, berjoang zonder damai menjebol akar-akarnya stelsel kapitalisme-imperialisme, berjoang zonder damai menanam akar-akarnya pergaulan hidup yang baru, – berjoang zonder damai dengan bersemangat r a d i k a l i s m e dan sepak-terjang radikalisme!



Tetapi bagaimanakah jalan-jalannya kaum Marhaen menjelmakan machtsvorming yang berazas radikalisme itu? Tidak ada jalan dua, tidak ada jalan tiga, melainkan ada satu jalan sahaja: jalannya massa- a k s i. Dengan massa-aksi kaum Marhaen bisa mengobar­-ngobarkan semangatnya sampai ke puncaknya angkasa, dengan massa-aksi mereka bisa menghaibatkan kemauannya menjadi sehaibatnya gelombang samodra, dengan massa-aksi mereka bisa mengolah merekapunya tenaga menjadi tenaganya gempa. Dengan massa-aksi mereka bisa menyusun-­nyusun mereka punya geest, mereka punya wil, mereka punya daden, – de­ngan massa-aksi mereka bisa menyusun mereka punya m a c h t s v o r m i n g sampai sekuasa-kuasanya. Machtsvorming bukanlah penyusunan tenaga wadag sahaja, machtsvorming adalah juga penyusunan tenaga semangat, tenaga kemauan, tenaga Rokh, tenaga Nyawa. Rokhani dan jasmaninya massa menjadilah seolah-olah disiram air Kahuripan di dalam massa-aksi itu. Apa yang Marhaen satu persatunya tidak bisa menciptakan, apa yang Marhaen satu persatunya tidak bisa “menyemangatkan” dan “memaukan”, dapatlah diciptakan oleh luluhan Marhaen yang sudah menjadi massa itu. Semangatnya massa, kemauannya massa, keberaniannya massa, “apinya” massa, bukanlah sama dengan semangat atau kemauannya Mar­haen satu per satu, bukanpun sama dengan jumlahnya semangat atau kemauan Marhaen-Marhaen itu semuanya, – tetapi massa seolah-olah mempunyai “semangat-massa” sendiri, “kemauan massa” sendiri, “kebe­ranian massa” sendiri, “api massa” sendiri, yang lebih-lebih haibat daripada jumlah semangat-semangat atau kemauan-kemauan itu adanya. “Api massa” inilah melahirkan “perbuatan-perbuatan massa” yang haibatnya bisa sampai menggoyangkan sendi-sendinya masyarakat, ya, sampai menggugurkan masyarakat dengan segala sendi-sendi dan alas-alasnya.



Sebab, apakah arti massa itu? Massa bukanlah cuma “Rakyat-je­lata yang berjuta-juta” sahaja, massa adalah Rakyat-jelata yang sudah terluluh mempunyai semangat satu, kemauan satu, rokh dan

nyawa satu. Massa adalah berarti deeg, jeladren, luluhan.

Ia dus bukan gundukan Rakyat-jelata sahaja yang berlain-lainan semangat dan ke­mauan, ia bukan mitsalnya gundukan Rakyat-jelata pada waktu hari Lebaran, – yang sebagian ingin pergi ke kuburan, yang sebagian ingin pergi berjalan-jalan pamer pakaiannya yang baru, yang sebagian lagi ingin pergi menemui pamili keluarganya untuk bersilaturrahmi ia adalah suatu luluhan yang satu semangatnya, s a t u kemauannya, satu tekad­nya, s a t u rokhani dan jasmaninya. Ia didalam riwayat-dunia selamanya adalah gundukan Rakyat-jelata, yang karena sama-sama menderita tin­dasan daripada kaum atasan dan sama-sama menderita nasib sengsara yang seolah-olah tak dapat terpikul lagi, sama-sama pula timbul rasa ­kemarahannya, sama-sama timbul kehendaknya melawan keadaan yang menyengsarakan mereka itu, sama-sama berjoang membongkar keadaan itu, – sama-sama terluluh menjadi satu luluhan radikal yang gerak-bangkit bergelora sebagai ombak membanting di pantai.



Inilah yang dinamakan massa-aksi: aksinya Rakyat-jelata yang sudah terluluh menjadi jiwa baru, melawan sesuatu keadaan yang mereka tidak s u d i pikul l a g i. Memang massa-aksi adalah selamanya radikal. Memang massa-aksi adalah selamanya membuka dan menjebol a k a r – a k a r n y a sesuatu keadaan. Memang massa-aksi adalah selamanya mau menanam akar-akarnya keadaan yang baru. Pero­bahan-perobahan besar di dalam riwayat dunia selamanya diparajikan oleh massa-aksi,- begitulah saya di atas tahadi berkata. Memang massa ­aksi tidak bisa haibat kalau setengah-setengahan, massa-aksi tidak bisa haibat kalau hanya mau mengejar “keuntungan-keuntungan kecil-ini ­hari” sahaja. Massa-aksi barulah dengan sesungguh-sungguhnya ber­derus-derusan menjadi massa-aksi, jikalau Rakyat-jelata itu sudah berniat membongkar sama-sekali keadaan tua diganti sama-sekali dengan keadaan baru. “Een n i e u w levensideaal moet de massa aanvuren”, “suatu cita-cita pergaulan hidup baru harus menyala di­ dalam dadanya massa”, begitulah menurut seorang pemimpin besar syaratnya massa-aksi. Maka oleh karena itulah bagi kita kaum Marhaen satu kali akan datang saatnya, yang juga massa-aksi kita akan hidup dan bangkit sehaibat-haibatnya: Kita punya cita-cita, kita punya idealisme bukanlah suatu idealisme politik sahaja, kita punya idealisme bukanlah “Indonesia-Merdeka” sahaja, kitapunya idealisme adalah idealisme masyarakat-baru, suatu sociaal idealisme yang gilang-gemilang. Sociaal-idealisme inilah yang menjadi motor pertama dari kita punya massa-aksi!



Kaum lunak di sini juga sering mengemak-kemikkan perkataan “massa-aksi”. Kaum lunak di sini juga mau mengadakan

“massa-aksi”. Amboi! Seolah-olah massa-aksi bisa dipisahkan daripada radikalisme. Seolah-olah Rakyat-jelata bisa menjadi massa karena cita-cita yang bukan cita-cita Rakyat-jelata, yakni cita-cita “bank-bank-an”, “rumah­-sakit-rumah-sakitan”, “warung-warungan”.

Seolah-olah apinya Rakyat­-jelata bisa dipasang dan dijadikan api-massa dengan api melempemnya politik “pelan-pelanan” yang tidak bermaksud lenjapnya kapitalisme­imperialisme sampai keakar-akarnya. Seolah-olah massa-aksi bisa “dibikin” dengan mereka punya politik yang sampai kiamat “berfikir” dan “meng­hitung-hitung”. Seolah-olah riwayat-dunia tidak saban-saban menunjuk­kan, bahwa “nimmer kan de massa langs den weg der zuiver verstandelijke berekening tot heroische daden bezield worden”, bahwa “massa tak pernah bisa disuruh melahirkan perbuatan-perbuatan besar dengan politik menghitung-hitung!”1)



0, kini kita mengerti: mereka memang tidak tahu a p a k a h massa­ aksi itu! Mereka mengira, bahwa massa-aksi adalah vergadering-­vergadering-openbaar yang berbarengan! Mereka mengira sudah “mengadakan massa-aksi”, kalau sudah mengadakan rapat-rapat-umum di mana ­mana ! Haha, mereka mengira bahwa “massa-aksi” itu boleh mulai pukul sembilan pagi dan berhenti pukul satu siang!

Kalau begitu, gampang membikin massa-aksi, kalau begitu gampang massa-aksi boleh “diperintah­kan” menurut “sakersa – sakersanya” juragan pemimpin, barangkali massa-aksi di Indonesia sehaibat-haibatnya, dan … Indonesia sudah merdeka! Tetapi tidak ! –

Massa-aksi bukan “vergadering-vergaderi

ng­openbaar yang berbarengan”, massa-aksi bukanpun suatu kejadian yang boleh “diperintahkan” harus mulai pukul sembilan neng pagi-pagi! Massa­aksi tidak bisa “diperintahkan” atau “dibikin” orang, tidak bisa dipa­berikkan oleh pemimpin, tidak bisa “harus mulai pukul sembilan neng”, massa-aksi adalah didalam hakekatnya bikinan m a s y a r a k a t yang mau melahirkan masyarakat baru, dan karenanya butuh akan “seorang paraji”. Massa-aksi adalah aksinya Rakyat-jelata yang, karena kesengsaraan, telah terluluh menjadi satu jiwa baru yang radikal, dan bermaksud “memarajikan” terlahirnya masyarakat baru!



1)    August Bebel.



Tidak! Kaum lunak dengan kelunakannya itu memang tidak bisa “mengadakan” massa-aksi, mereka memang tidak bisa menjadi motor­nya massa-aksi, mereka memang tidak terpanggil oleh riwayat untuk menjadi motornya massa-aksi, – w a l a u p u n mitsalnya perhimpunannya beranggauta ribuan, ketian, jutaan! Sebab – tahadi sudah saya terang­kan massa-aksi adalah meminta radikalisme, berisi radikalisme, voor­onderstellen radicalisme. Paling mujur kaum lunak itu dengan kelunakannya, kalau bisa menggerakkan beribu-ribu Rakyat-jelata, hanya melahirkan massa-aksi belaka.



Apakah massale a c t i e? Massale actie adalah “pergerakan” Rak­yat, yang benar orangnya ribuan atau ketian atau jutaan, yang benar jumlah orangnya besar sekali, tetapi yang tidak radikal, tidak sociaal-revolutionair, tidak bermaksud membongkar akar-akarnya masyarakat-tua, untuk mendirikan masyarakat baru dengan akar-akar yang baru. Massale actie bukan luluhan Rakyat-jelata

yang menyala-nyala api-massanya, bukan massa di dalam makna jeladren atau deeg yang satu jiwanya dan satu nyawanya, melainkan hanya gerombolan Rakyat belaka yang tidak bernyawa satu.

Massale actie tak bisa melahirkan masya­rakat baru, dan memang bukan parajinya masyarakat yang baru. Lihatlah mitsalnya pergerakan Rakyat Indonesia dulu, tatkala Sarekat Islam baru lahir di dunia. Lihatlah pula pergerakan Rakyat di Ngayodya se­karang, yakni di Mataram. Ribuan, ketian, laksaan, ya milyunan Rakyat sama bergerak, milyunan Rakyat sama “beraksi”, – tetapi aksinya itu hanyalah suatu massale actie belaka. Aksinya bukan suatu

massa­ aksi, oleh karena tidak bersifat luluhan tapi bersifat gerombolan, tidak sociaal-radicaal tapi sociaal-behoudend, tidak bermaksud membuang segenap masyarakat tua tapi hanya

bermaksud menambal amohnya masyarakat itu.



Massa-aksi dan massale actie, – hendaklah pemimpin-pemimpinnya kaum Marhaen senantiasa memperhatikan perbedaannya antara dua perka­taan itu. Hendaklah pemimpin-pemimpin itu jangan lekas tersilaukan mata, kalau melihat “banyak orang” sama “bergerak”, dan lantas mengira: “ha, Indonesia kini lekas merdeka”. Sebab “banyaknya orang”, mitsalnya di zaman baru munculnya Sarekat Islam di dunia, tatkatla semua haluan ada bergerombolan menjadi satu, tatkala di situ ada kaum Marhaennya, ada kaum priyayinya, ada kaum saudagarnya, ada kaum burjuisnya, tatkala Sarekat Islam menjadi gado-gado haluan Islamisme, nasionalisme dan “sosialisme”, tatkala dus pergerakan Sarekat Islam itu bukan pergerakan luluhan tapi hanya suatu pergerakan gerombolan, bukan massa-aksi tetapi massale aksi, –

adakah banyaknya orang dipergerakkan Sarekat Islam itu bisa memarajikan masyarakat baru, bahkan: adakah pergerakan Sarekat Islam itu bisa mendatangkan perobahan-perobahan yang agak besar? Adakah, begitulah saya malahan bertanya, Sarekat Islam itu bisa membangkitkan suatu massa-aksi? Tidak, pergerakan Sarekat Islam yang dulu itu tidak bisa membangkitkan massa-aksi, tidak bisa menjadi motornya massa-aksi, oleh karena ia tidak berdiri di atas pendirian yang r a d i k a l. Ia tidak berdiri di atas a n t i t e s e sana-sini, ia tidak ber­program Indonesia-Merdeka, ia tidak berprogram terang-terangan mau menjebol semua akar-akarnya

stelsel kapitalisme-imperialisme, ia tidak politiek-radicaal, tidak sociaal-radicaal.



Oleh karena itu, make partai Marhaen yang bermaksud menjadi partai pelopornya massa-aksi, haruslah selamanya mempunyai azas-per­joangan dan program yang 100% radikal : antitese, perlawanan zonder damai, kemarhaenan, melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai cara susunan masyarakat baru, – itu semua harus tertulis dengan aksara yang berapi-apian di atas benderanya partai dan di atas panji-panjinya partai. Tetapi azas, azas-perjoangan dan program yang dituliskan di atas bendera dan panji itu akan tidak banyak berarti, akan seakan-akan omong kosong, akan tinggal aksara yang mati belaka, jikalau tidak kita kerjakan dengan habis-habisan kita punya energie, – membanting kitapunya tulang, memeras kita punya keringat, mengulur-ulur kita punya tenaga menjelmakan segala apa yang termaktub di dalam­nya dan segala apa yang dijanjikan kepada massa. Azar, azas-perjoang­an dan program itu akan tinggal aksara yang mati, jikalau kita tidak berjoang dengan segala keuletannya dan kegagahannya partai pahlawan yang lebih sanggup disuruh bekerja mati-matian daripada disuruh berhenti, berjoang mengerjakan sepia kewajibannya suatu partai pelopor, yakni berjoang membangkitkan massa-aksi dan mengomando massa-aksi itu ke arah sorganya keunggulan dan kemenangan.



Dan bagaimana partai-pelopor harus berjoang? Partai-pelopor pertama-tama harus menyempurnakan d i r i sendiri. Ia belum bisa menjadi partai-pelopor yang sempurna, sebelum ia sendiri sempurna di dalam keyakinannya, di dalam disiplinnya, di dalam organisasinya,

di dalam segenap rokhaninya dan jasmaninya. Oleh karena itu ia pertama­tama harus memperkokoh rokhani dan jasmani sendiri lebih dulu, membikin dan menjaga yang segenap sifat-hakekatnya, segenap wezennya, adalah teguh dan kokoh sebagai baja.



Rokhani dikokohkan dengan penyuluhan teori kepada anggauta­anggautanya, penyuluhan dengan kursus dan majalah dan lain sebagainya tentang segala seluk-beluknya nasib mereka, musuh mereka, perjoangan mereka, agar supaya semua anggauta partai menjadi satu keyakinan, satu semangat, satu kemauan-maha-haibat mau berjoang habis-habisan me­nundukkan musuh yang kini nyata-nyata angkara-murkanya, melalui jalan yang kini nyata-nyata terang dan manfaatnya. Hanya dengan penyuluhan teori yang demikian itu, – teori yang radikal -, maka partai-pelopor bisa mengeraskan rokhaninya menjadi rokhani baja, dan bisa menuntun massa ke dalam perjoangan yang radikal.

“Ohne radikale Theorie keine radikale Bewegung”, “zonder teori-radikal mustahil ada pergerakan-radikal”, ada­lah suatu ucapan Marx yang jitu dan berisi kebenaran yang senyata­-nyatanya. Segala seluk-beluk pergerakan, seluk-beluknya azas, azas perjoangan dan program, segala seluk-beluknya strategi dan taktik haruslah menjadi satu keyakinan yang terang-benderang bagi segenap partai, – satu zat perjoangan yang menyerapi darah dagingnya segenap anggauta partai, sehingga partai itu menjadi satu jiwa yang yakin dan tak kenal akan syak-wasangka. Tiap-tiap anggauta partai yang

nyeleweng ke arah reformisme, tiap-tiap fikiran yang nyeleweng ke arah reformisme, harus “dicuci” sebersih-bersihnya, dan kalau tidak bisa men­jadi “bersih”, ditendang dari kalangan partai zonder pardon dan zonder ampun!



Pembaca membantah: kalau begitu tidak ada demokrasi di dalam kalbunya partai! Memang! Partai di dalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi di dalam makna “semua fikiran boleh merdeka”, – tidak boleh berdemokrasi dalam makna segala “isme” boleh leluasa, – partai-hanyalah mengenal satu fikiran dan satu isme: fikiran dan isme radikal yang 100% tanggung mengalahkan musuh. Demokrasi yang boleh di dalam kalbunya partai-pelopor bukan demokrasi biasa, demokrasi partai-pelopor itu adalah demokrasi yang dengan bahasa asing dinamakan demo­cratisch-centralisme : suatu demokrasi, yang memberi kekuasaan pada pucuk-pimpinan buat menghukum tiap-tiap penyelewengan, menendang tiap-tiap anggauta atau bagian-partai yang membahayakan strijdposi­tienya massa. “Di dalam partai tak boleh ada kemerdekaan fikiran yang semau-maunya sahaja; kokohnya persatuan partai itu adalah terletak di da­lam persatuan keyakinan”. Inilah ajaran salah seorang pemimpin besar tentang kepartaian yang sangat harus diperhatikan. Tiap-tiap penyelewengan tak boleh diampuni; tiap-tiap penyelewengan harus didenda dengan dam­pratan yang sepedas-pedasnya atau tendangan yang sesegera-segeranya. Sebab partai-pelopor yang di dalam kalbunya sendiri masih slewang-sleweng, partai-pelopor yang di dalam kalangan sendiri masih ragu-ragu, partai­ pelopor yang demikian itu mustahil bisa memelopori massa!



Dan bukan sahaja menghukum penyelewengan ke arah reformisme! Penyelewengan ke arah anarcho-syndicalisme-pun, penyelewengan ke arah amuk-amukan zonder fikiran, penyelewengan ke arah perbuatan-perbuatan atau fikiran-fikiran cap mata-gelap, harus juga segera dikoreksi dan mendapat dampratan. Penyelewengan inilah yang sering mengeluarkan tuduhan “pengkhianatan” alias “verraad”, kalau partai menurut keyakin­annya katanya kurang “kiri”. Penyelewengan inilah yang di dalam kegelapan matanya tak dapat tahu bedanya antara      k e k i r i a n r a d i k a l dan k e k i r i a n  d e s o s i a l, – antara kekirian yang mernikul dan terpikul natuur dan kekirian yang memikul dan terpikul hawa nafsu amarah yang tak terimbang. Partai yang sehat harus selamanya memerangi dua macam penyelewengan itu, – selamanya strijden naar twee fronten -, agar supaya ia bisa menjadi satu penunjuk jalan radikal yang t e g u h dan y a k i n bagi banjirnya massa-aksi yang bergelombang-gelombang menuju kelautan merdeka.



Oleh karena itulah maka salah satu syaratnya partai-pelopor adalah disiplin. Disiplin, disiplin yang kerasnya sebagai baja, disiplin yang zonder ampun dan zonder pardon menghukum tiap-tiap anggauta yang berani melanggarnya, adalah salah satu n y a w a dari. partai-pelopor itu ! Bukan sahaja disiplin terhadap pada i d e o l o g i n y a radikalisme; bukan sahaja disiplin terhadap pada “bagian teori” daripada radikalisme. Tetapi juga disiplin terhadap pada segala halnya partai: disiplin teori, disiplin organisasi, disiplin taktik, disiplin propaganda, – pendeknya partai di dalam segala urat-uratnya dan syaraf-syarafnya harus sebagai suatu mecha­nisme yang tiap-tiap sekrup dan tiap-tiap rodanya berdisiplin hingga saksama.



Dalam pada itu partai tidak boleh menjadi mesin yang tak bernyawa dan tak berobah. Partai yang demikian adalah partai yang tak hidup, dan tofan-zaman akan segeralah menyapunya dari muka bumi.

Partai yang memikul dan terpikul natuur haruslah hidup sebagai natuur sendiri, ber-evolusi sebagai natuur sendiri. Yang harus dicegah dan diperangi bukanlah hidupnya partai, bukanlah evolusinya partai, bukanlah levensprocesnya partai. Yang harus dicegah dan diperangi ialah p e n y a k i t n y a partai, penyakit penyelewengan

yang membahayakan sehatnya badan-radi­kalisme itu. Juga natuur sendiri tidak pernah slewang-sleweng, juga natuur sendiri

selamanya memerangi tiap-tiap penyakit! Tiap-tiap barang baru

yang menyuburkan dan menyehatkan badan-radikalisme itu haruslah diterima dengan gembira, tetapi tiap-tiap penyakit badan itu harus lekas diobati dengan “kejam” dan zonder ampun. Centralisme yang harus ada di dalam kalbunya partai bukanlah centralismenya seorang diktator, central­isme itu harus democratisch centralisme yang partai sendiri menjadi cakrawartinya. Tetapi sebaliknya demokrasi yang

harus di dalam kalbunya partai bukanlah pula demokrasi yang

memberi keleluasaan pada segala apa sahaja, demokrasi itu

haruslah centralistische democratie yang me­merangi segala penjakitnya radikalisme!



Democratisch-centralisme dan centralistische democratie, – itulah sifatnya partai-pelopor bagian ke dalam. Tapi bagaimana partai-pelopor itu memelopori massa? Bagaimana sikapnya keluar? Sikap partai keluar haruslah selamanya cocok dengan kemauan-yang-onbewust daripada massa, cocok dengan instinctnya massa. Tidak boleh ia sedikitpun juga menyimpang daripada instinct ini, tidak boleh sedikitpun jua ia meng­khianati instinct ini. Sebab instinctnya massa itulah yang dinamakan “kekuatan-rahasia” daripada masyarakat.

Siapa yang menyalahi kekuatan­ rahasia ini, mengkhianati kekuatan-rahasia ini, akan segeralah mengalami yang ia dilindas oleh rodanya masyarakat, hancur-lebur menjadi debu. Yang harus dikerjakan oleh partai-pelopor bukannya mengkhianati atau merobah kemauan-yang-onbewust daripada massa, yang harus dikerjakan olehnya ialah membikin kemauan-yang-onbewust itu men­jadi kemauan-yang-bewust, memberi “keinsyafan” kepada instinct itu hingga menjadi kemauan-bewust yang yakin dan terang. Ke­kuatan-kekuatan massa yang tahadinya tenang seolah-olah tidur, haruslah dibangunkan dengan Air-Kahuripannya Keinsyafan menjadi kekuatannya massa-wil yang bangkit dan tak dapat terhalang, ya, yang malahan bila sudah matang sematang-matangnya, menjadi massa-wil yang kehaibatan bang­kitnya bisa menggetarkan dunia.



Inilah pekerjaan partai-pelopor yang pertama: mengolah kemauan­ massa yang tahadinya onbewust itu hingga menjadi kemauan-massa yang bewust. Bentukan dan konstruksinya perjoangan harus ia ajarkan pada massa dengan jalan yang gampang dimengerti dan yang masuk sampai kehati-fikirannya dan akal-semangatnya. Ia harus membuka-buka mata massa, menggugah-gugah keyakinan massa, mengobar-ngobarkan semangat massa tentang segala seluk-beluknya nasib dan perjoangan massa. Ia harus memberi keinsyafan tentang apa sebabnya massa sengsara, apa sebabnya kapitalisme-imperialisme bisa merajalela, apa sebabnya harus menuju ke jembatan Indonesia-Merdeka, bagaimana jembatan itu harus dicapai, bagaimana membongkar akar-akarnya kapitalisme. Ia pendek-kata harus memberi pendidikan dan keinsyafan pada massa b u a t a p a ia berjoang, dan bagaimana ia harus berjoang. Dengan banyak propaganda, massa harus dibuka matanya, dirobek kudung keonbewustannya sehingga menjadi bewust melihat segala rahasianya dunia: rapat-rapat umum harus mendengung-dengungkan seruan partai sampai kepuncak angkasa, surat-surat-majalah dan selebaran harus terbang kian kemari sebagai daun jati yang tertiup angin di musim kemarau, demonstrasi-­demonstrasi harus beruntun-runtunan sebagai runtunannya ombak samodra. Dengan jalan yang demikian itu, – dengan bersikap cocok dengan in­stinctnya massa dan membewustkan instinctnya massa itu dengan jalan yang demikian itu, tidak boleh tidak, massa tentu lantas mengindahkan seruannya partai, tentu lantas memandang kepada partai itu sebagai suatu pelopor yang ia dengan penuh kepercayaan suka mengikuti. Di antara obor-obornya pelbagai partai yang masing-masing mengaku mau menyuluhi perjalanan Rakyat, massa lantas melihat hanya satu obor yang terbesar nyalanya dan terterang sinarnya, satu obor yang terdepan jalannya, yakni obornya kita punya partai, obornya kita punya radikalisme!



Tetapi memberi keinsyafan sahaja belum cukup, memberi kebewust­an sahaja belum cukup. Keinsyafan adalah benar sangat menghaibatkan kemauan massa, keinsyafan adalah benar sangat mengobarkan semangat massa, keinsyafan adalah benar sangat membajakan keberanian massa, – mengusir tiap-tiap kemauan reformisme dari darah-daging massa tetapi keinsyafan sepanjang teori sahaja belum bisa cukup. Rakyat barulah menjadi radikal di dalam segala-galanya kalau keinsyafan itu sudah dibarengi dengan pengalaman-pengalaman sendiri, yakni dengan ervaringen sendiri. Pengalaman-pengalaman inilah yang sangat sekali membuka mata massa tentahg kekosongan dan kebohongan taktik reformisme, – meradikalkan semangat massa, meradikalkan ke­mauan massa, meradikalkan keberanian massa, meradikalkan ideologi dan activiteitnya massa. “Bukan sahaja Rakyat yang tak dapat menulis dan membaca, tetapi juga Rakyat yang terpelajar, haruslah mengalami di atas kulitnya sendiri, betapa kosong, bohong, munafik dan lemahnya politik tawar-menawar, dan sebaliknya betapa kaum burjuis saban-saban men­jadi gemetar bilamana dihadapi dengan suatu aksi yang radikal, yang hanya kenal satu hukum, – hukumnya perlawanan yang tak mau kenal damai”. Inilah ajaran pemimpin besar yang tahadi juga sudah sekali saya pinjam perkataannya. Oleh karena itu, partai-pelopor tidak harus hanya membuka mata massa sahaja; – partai-pelopor harus juga membawa massa ke atas padangnya pengalaman, ke atas p a d a n g­ n y a p e r j o a n g a n. Di atas padangnya perjoangan inipun partai pelopor itu mengolah tenaganya massa, memelihara dan membesar-besarkan kekuatannya, mengukur-ukur dan menakar-nakar keuletannya massa, menggembleng kekerasan-hati dan energienya massa,­men-“train” segala kepandaian dan keberaniannya massa untuk berjoang. “Lebih menggugahkan keinsyafan daripada semua teori adalah perbuatan, perjoangan. Dengan kemenangan-kemenangan perjoangannya mela­wan si musuh, maka partai menunjukkan kepada massa betapa besar kekuatannya massa itu, dan oleh karenanya pula, membesarkan rasa-ke­kuatan massa dengan sebesar-besarnya. Tetapi sebaliknya juga, maka kemenangan-kemenangan ini hanyalah bisa terjadi karena suatu teori, yang memberi penyuluhan kepada massa, bagaimana caranya mengambil hatsil yang sebanyak-banyaknya daripada kekuatan-kekuatannya setiap waktu”, – begitulah perkataan salah seorang pemimpin lain, dengan sedikit perobahan.



Hanya begitulah sikap yang pantas menjadi sikapnya suatu partai ­radikal yang dengan yakin mau menjadi partai-pelopornya massa: menyuluhi massa, dan berjoang habis-habisan dengan massa; menyuluhi massa sambil berjoang dengan massa, – berjoang dengan massa sambil menyuluhi massa. Di dalam perjoangan ini partai-pelopor harus selamanya mengarahkan mata massa dan perhatian massa kepada maksud yang satu-satunya harus menjadi idam-idaman massa: gugurnya stelsel kapitalisme-imperialisme via jembatan. Indonesia-Merdeka. Par­tai-pelopor haruslah selamanya tetap mengonsentrasikan semangat massa, kemauan massa, energie

massa kepada satu-satunya maksud itu, – dan tidak lain.

Tiap-tiap penyelewengan harus ia buka kedoknya di muka massa, tiap-tiap pengkhianatan kepada radikalisme harus ia hukum di muka mahkamatnya massa, tiap-tiap keinginan akan “menggenuki” untung­-untung-kecil-hari-sekarang harus ia bakar di atas dapurnya massa, tiap-tiap aliran yang hanya mau menambal masyarakat-amoh ini harus ia musnakan dengan simumnya radikalisme massa.

Satu tujuan, satu arah perlawanan, satu tekad pergulatan, dan bukan dua-tiga, yakni tujuan radikal, – zonder banyak menolah-noleh melihat dan menggenuki hatsil-hatsil-kecil-ini-hari!



Dus massa tidak boleh beraksi buat hatsil-hatsil-kecil-ini-hari?

Tidak begitu, samasekali tidak begitu! Massa hanya tidak boleh menggenuki aksi buat hatsil-hatsil-kecil-ini-hari itu! Massa hanya tidak boleh tertarik oleh manisnya hatsil-hatsil-kecil itu, sehingga lantas 1 u p a akan maksud besar yang tahadi-tahadinya, atau menomorduakan maksud-besar yang tahadi-tahadinya itu.

Massa sambil berjalan harus tetap menuju dan mengarahkan matanya ke arah puncak gunung Indonesia-Merdeka, dan memandang hatsil-hatsil-kecil itu hanya sebagai bunga-bunga yang ia sambil

l a l u petik dipinggir jalan. Sebab, s e l a m a stelsel kapi­talisme-imperialisme belum gugur, maka massa tidak bisa mendapat perbaikan nasib yang 100% sempurnanya.

Tapi, asal tidak “digenuki”, asal tidak dinomorsatukan, maka perjoangan untuk hatsil-sehari-hari itu malahan adalah balk juga untuk memelihara strijdvaardigheidnya massa. Perjoangan untuk hatsil-sehari-hari itu malahan harus dijalankan sebagai suatu tempat mengolah tenaga dan mengasah hati, – suatu scholing, suatu training, suatu gemblengan-tenaga di dalam perjoangan yang lebih besar. “Ohne den Kampf fiir Reformen gibt es keinen erfolgreichen Kampf filldie vollkommene Befreiung, ohne den Kampf filr die vollkorrunene keinen erfolgreichen Kampf fiir Refor­men”: – “Zonder perjoangan buat perobahan sehari-hari, tiada kemenang­an bagi perjoangan buat kemerdekaan; zonder perjoangan buat kemerdekaan, tiada kemenangan bagi perjoangan buat perobahan sehari-hari.”

Oleh karena itulah maka partai-pelopor harus membikin

pergerakan massa itu menjadi “nationale bevrijdingsbeweging en hervormingsbeweging tegelijk”, pergerakan untuk kemerdekaan dan untuk perbaikan-perbaikan-ini­ hari. Ya, partai-pelopor harus mengerti pula bahwa “die Reform ist ein Nebenprodukt des radikalen Massenkampfes” yakni bahwa “Perbaik­an-kecil-kecil itu adalah rontokan daripada perjoangan massa secara radikal”.



Banyak kaum yang menyebutkan diri kaum: “radikal 100%”, yang emoh akan “perjoangan kecil” sehari-hari itu. Mereka dengan jijik mencibir kalau melihat partai mengajak massa berjoang buat turunnya belasting, buat lenyapnya herendienst, buat tambahnya upah-buruh, buat turunnya tarif-tarif, buat lenyapnya bea-bea, buat perbaikan kecil sehari­-hari, dan selamanya dengan angkuh berkata: “Seratus prosen kemerde­kaan, – dan hanya aksi buat seratus prosen kemerdekaan Akh, mereka tidak mengetahui, bahwa di dalam radicale politiek tidak adalah pertentangan antara perjoangan

buat perobahan-sehari-hari dan per­joangan buat kemerdekaan yang leluasa, tetapi justru suatu hubungan yang rapat sekali, suatu “perkawinan” yang rapat sekali, suatu “wissel­werking” yang rapat sekali. “Zonder perjoangan buat perobahan sehari-hari, tiada kemenangan bagi perjoangan buat kemerdekaan; zonder perjoangan buat kemerdekaan, tiada kemenangan bagi perjoangan buat perobahan sehari-hari”! Inilah a-b-c-nya radicale actie, inilah ha-na-ca-ra-­ka-nya perlawanan radikal: perlawanan-kecil sebagai “moment” daripada perlawanan yang besar, perlawanan-kecil sebagai schakel di dalam rantai perlawananyjang besar, – berbedaan samasekali setinggi langit dengan “perlawanannya” kaum reformis yang hingga buta

menggenuki perjoang­an sehari-hari untuk perjoangan sehari-hari. Semboyannya “kaum 100%” yang berbunyi: “Seratus prosen kemerdekaan, dan hanya aksi buat seratus prosen kemerdekaan”, semboyan itu harus kita koreksi menjadi “seratus prosen kemerdekaan, dan aksi a p a sahaja yang mencepatkan seratus prosen kemerdekaan!”, dan politik reformisme harus kita enyahkan ke dalam kabutnya ketiadaan, kita usir ke dalam liang-kuburnya kematian, – melalui kumidi bodor ketawaannya Rakyat.

Demikian, dan hanya demikian partai-pelopor harus bekerja!



Tetapi tokh masih ada satu hal lagi dari “kaum 100 %” itu yang harus kita kasih koreksi: mereka biasa sekali mendo’akan Rakyat menjadi lebih sengsara, katanya supaya Rakyat lantas suka bergerak habis-habisan! Mereka suka-syukur, kalau belasting dinaikkan, kalau upah-buruh diturun­kan, kalau bea-bea diberatkan, kalau tarif-tarif ditinggikan, kalau Marhaen disengsarakan, – semua “supaya Marhaen lebih rajin suka bergerak”. 0, suatu pendirian yang jahat sekali, suatu pendirian yang durhaka sekali. Orang yang mempunyai pendirian yang demikian itu pantas ditutup di dalam penjara seumur hidup! Kaum “pemimpin-pemimpin” yang demikian inilah yang selamanya saya namakan pemimpin-bejat yang kepalanya penuh dengan kebutekannya orang yang putus-asa, pemimpin-bejat yang pikiran­nya keblinger dan penuh dengan ” wanhoops t h e o r i e”. Wanhoops­theorie, keputusasaan, oleh karena mereka dengan kesengsaraan Rakyat yang sekarang ini tidak bisa membewustkan Rakyat, dan lantas mengharap supaya Rakyat menjadi lebih sengsara, lebih melarat. Wanhoopstheorie, oleh karena mereka lekas putus-asa kalau mengalami bahwa Rakyat tak gampang dapat dibewustkan dengan satu-dua-tiga, dan lantas mengharap supaya Rakyat lebih lagi mendekati maut, katanya agar Rakyat lantas gampang sedar dan sukar bergerak secara radikal! 0, pemimpin bejat! Pemimpin kejam! Bergerak tidak buat meringankan nasib Rakyat, tapi bergerak buat … bergerak! “Pemimpin” yang demikian itu boleh merasakan sendiri apa

artinya makan hanya satu kali satu hari! Mengharap tambahnya kesengsaraan Rakyat! Apakah Rakyat kini belum cukup sengsara? Belum cukup megap-megap? Belum cukup dekat dengan maut? Belum cukup menjatuhkan air-mata sehari-hari?



Tambahnja kesengsaraan diharapkan buat tambahnya radikalisme? Pemimpin-bejat, buat saya, lemparkanlah kalau perlu semua radikalisme ke dalam samodra, asal kesengsaraan Rakyat hilang! Pe­mimpin bodoh, – mengira bahwa kesengsaraan sahaja sudah bisa melahirkan radikalisme massa! Radikalisme massa tidak bisa lahir dengan hanya kesengsaraan sahaja, tidak bisa subur dengan hanya kemelaratan s a h a j a. Radikalisme massa adalah lahir daripada perkawinannya kesengsaraan massa dengan didikan massa, perkawinannya kemelaratan massa dengan perjoangan massa! Jikalau kesengsaraan s a h a j a sudah cukup buat melahirkan radikalisme massa, amboi, barangkali seluruh Rakyat Indonesia kini sudah radikal mbahnya radikal, ya barangkali Indonesia sudah merdeka! Tetapi tidak! Kesengsaraan saha­ja tidak cukup! “Kesengsaraan memang benar melahirkan radikalisme massa, tetapi hanya kalau massa itu t i d a k memikul kesengsaraan itu dengan diam-diam nrimo, melainkan berjoang habis­-habisan melawan kesengsaraan itu saban hari”,- begitulah Liebknecht pernah berkata.1 Hanya jikalau kesengsaraan itu dibarengi dengan didikan massa, dibarengi dengan perjoangan massa, dengan perlawanan massa, dengan aksi massa menentang kesengsaraan itu, maka kesengsaraan bisa melahirkan dan menyuburkan radikalisme di antara kalangan massa. Maka oleh karena itu, dengan kesengsaraan yang s e k a r a n g ini sahaja, – zonder harus mengharapkan lagi tambahnya, sebagai kaum Wanhoopstheorie partai-pelopor sudah bisa membikin seluruh massa menjadi satu lautan radikalisme yang bergelombang-gelombangan, asal sahaja ia pandai membuka mata massa dan pandai mengolah tenaga massa melawan kesengsaraan itu!



Dan kaum Wanhoopstheorie memberi bukti tidak bisa mengerjakan hal yang belakangan ini. Terkutuklah mereka kalau lantas mendo’akan tambahnya kesengsaraan Rakyat! Audzhubillah himinasj syaitonirrodzjim! Tetapi kaum partai-pelopor yang sejati, kamu harus bisa mengerjakan syarat itu! Adakanlah propaganda di mana-mana, adakanlah kursus di mana-mana, adakanlah perlawanan di mana-mana, adakan anak-anak‑organisasi, adakan vakbond-vakbond, adakan sarekat-sarekat-tani, – ya terutama vakbond dan sarekat-tani -, adakan majallah‑majallah dan pamflet-pamflet dan risalah-risalah, pendek-kata adakanlah aksi di mana-mana, dan massa yang tahadinya tidur seakan-akan tergendham oleh japa-mantramnya imperialisme, niscaya akan bangunlah tertiup oleh angin-hangatnya aksimu itu. Kamu sanggup bekerja, – wahai beker­jalah menurut perjanjianmu. Bekerjalah dengan segala organisatie­ talentmu, bekerjalah sepuncak keuletanmu, bekerjalah memeras tenaga­mu menyusun dan membangkitkan partai beserta vakbond­vakbond dan s a r e k a t -t a n i sekali lagi terutama vakbond dan sarekat-tani! -, bekerjalah pula dengan penamu, dengan mulutmu, dengan gurungmu, dengan lidahmu!

Ya, di dalam massa-aksi ada faedahnya juga banyak bergembar-gembor! Gemborkanlah juga gurungmu sampai sua­ramu memenuhi alam, gerakkanlah juga penamu sampai ujungnya menyala-nyala. Kaum reformis mengejekkan kamu, bahwa kamu terlalu banyak bergembar-gembor? Haha, itu kaum ngalamun! Tidak menge­tahui bahwa tiap-tiap massa-aksi di tiap-tiap waktu pergolakan adalah berupa banyak mengorganisasi d a n banyak bergembar-gembor, banyak menyusun, banyak mendirikan, banyak krachten-constructie dan-fonnatie dan-combinatie, tetapi juga banyak bergembar-gembor dengan mulut dan dengan pena. Biar mereka mengejek, biar mereka terus ngalamun, merekapunya politik toch segera akan kedinginan di dalam kabut-pengala­munannya itu. Dan mereka menyebutkan kita kaum “destructief”, yakni kaum yang “hanya bisa merusak sahaja”, katanya tidak “constructief” se­perti mereka, yang “politik”nya ada “buktinya” yang berupa rumah-sakit atau warung-koperasi atau bank atau rumah anak-yatim?



1)       Die Verelendung wird zu ether Ursache der Radikalisierung der Massen, aber nur deshalb, weil die Massen die wachsende Verelendung nicht passiv ertragen, sondern einen taglichen Kampf gegen die Verelendung fiihren.



0, perkataan jampi-jampi, o, perkataan peneluh, o, perkataan mantram, o, tooverwoord “constructief” dan “destructief”, – begitulah saya pernah marah-marah dalam S.I.M.1) dan F.R.2 Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia kini seolah-olah kena dayanya tooverwoord itu, seba­gian besar daripada pergerakan Indonesia seolah-olah kena gendhamnya mantram itu! Sebagian besar daripada pergerakan Indonesia mengira, bahwa orang adalah “constructief” hanya kalau orang mengadakan barang-barang yang boleh d i r a b a sahaja, yakni h a n y a kalau orang mendirikan warung, mendirikan koperasi, mendirikan sekolah-tenun, men­dirikan rumah anak-anak-yatim, mendirikan bank-bank dan lain-lain sebagainya sahaja, pendek-kata hanya kalau orang banyak mendirikan badan-badan sosial sahaja! -, sedang kaum propagandis politik yang sehari-ke sehari “cuma bitcara sahaja” di atas podium atau di dalam surat-kabar, yang barangkali sangat sekali menggugahkan k e i n s y a f a n politik daripada Rakyat-jelata, dengan tiada ampun lagi diberinya cap “destructief” alias orang yang “merusak” dan “tidak mendirikan suatu apa”!



Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa semboyan “jangan banyak bicara, bekerjalah!” harus diartikan di dalam arti yang luas. Tidak sekejap mata masuk di dalam otak kaum itu, bahwa “bekerja” itu tidak hanya berarti mendirikan barang-barang yang boleh dilihat dan diraba sahaja, yakni barang-barang yang tastbaar dan materiil. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa perkataan “mendirikan” itu juga boleh dipakai untuk barang yang abstract, yakni juga bisa berarti mendirikan semangat, mendirikan keinsyafan, mendi­rikan harapan, mendirikan ideologi atau geestelijk gebouw atau geestelijke artillerie yang menurut sejarah-dunia akhirnya adalah salah satu artillerie yang haibat buat menggugurkan sesuatu stelsel. Tidak sekejap mata kaum itu mengerti bahwa terutama sekali di Indo­nesia dengan masyarakat yang merk-kecil dan dengan imperialisme yang industriil itu, ada baiknya juga kita gembar-gembor, di dalam arti membanting kitapunya tulang, mengucurkan kitapunya ke­ringat, memeras kitapunya tenaga untuk membuka-bukakan matanya Rakyat-jelata tentang stelsel-stelsel yang menyengkeram padanya, meng­gugah-gugahkan keinsyafan-politik daripada Rakyat-jelata itu, dibarengi dengan menyusun-nyusunkan segala tenaganya

di dalam organisasi-organisasi yang sempurna tekniknya dan sempurna disiplinnya, mitsalnya vakbond dan sare­kat-tani, – pendek-kata menghidup-hidupkan dan membesar-besarkan massa-aksi daripada Rakyat­ jelata itu adanya!



1)       “Suluh Indonesia Muda”.

2)       “Fikiran Rakyat”.



Kita boleh mendirikan warung, kita boleh mendirikan koperasi, kita boleh mendirikan rumah-anak-yatim, kita boleh mendirikan badan-badan ekonomi dan sosial, ya, kita ada b a i k n y a mendirikan badan-badan­ ekonomi dan sosial, asal sahaja mengusahakan badan­badan-ekonomi dan sosial itu sebagai tempat-tempat­ pendidikan persatuan radikal dan sepak-terjang r a d i k a 1. Kita ada b a i k n y a mendirikan badan-badan-ekonomi dan sosial itu, asal sahaja kita tidak “me n g g e n u k i” pekerjaan-ekonomi dan sosial itu menjadi pekerjaan yang pertama, sambil melupakan bahwa Indonesia-Merdeka hanyalah bisa tercapai dengan politieke m a s s a  ­a k t i e daripada Rakyat Marhaen yang haibat dan ra­d i k a l. Pendek-kata ada baiknya mendirikan badan-badan-ekonomi dan sosial itu, asal sahaja kita mengusahakan badan-badan ­ekonomi dan sosial itu sebagai alat-alat daripada politieke massa-aktie yang haibat dan radikal itu! Kita, kaum massa-aksi, kita jangan terkena “constructivisme” yang me­njuruh kita h a n y a mendirikan warung-warung dan kedai-kedai s a h a j a. Kita harus insyaf, bahwa constructivisme kita bukanlah con­structivismenya kaum reformis yang warung-warungan dan kedai-kedaian itu, tetapi ialah constructivismenya radikalisme: constructivisme yang tiap-­tiap hal yang ia dirikan, baik wadag maupun halus, baik benda maupun semangat, adalah dengan tertentu bersifat radicaal-dynamisch membong­kar tiap-tiap batu-alasnya gedung stelsel imperialisme dan kapitalisme.



Constructivisme yang mendirikan!

Tetapi juga constructivisme yang membongkar!

Dan kaum reformis boleh terus mengejek atau menggerutu!



9. DI SEBERANGNYA JEMBATAN EMAS



Ya, kaum reformis boleh terus mengejek dan menggerutu, sebagai kaum reformis India mengejek dan menggerutu, tapi kemudian kedinginan di dalam kabut-pengalamunannya, tatkala Jawaharlal Nehru di dalam National Congress yang ke 44 menjatuhkan vonnis maha-berat di atas pundak mereka dengan kata-kata: “Saya seorang nasionalis. Tetapi saya juga seorang sosialis dan republikein. Saya tidak percaya pada raja-­raja dan ratu-ratu, tidakpun pada susunan masyarakat yang mengadakan raja-raja-industri yang berkuasa lebih besar lagi dari raja-raja di za­man sediakala Saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah nasionalisme radikal daripada si melarat dan si lapar, yang bersumpah membongkar susunan masyarakat yang menolak padanya sesuap nasi!” Memang tiap-tiap orang, yang di dalam abad keduapuluh ini masih berani bernasionalisme ngalamun-ngalamunan dan takut akan nasionalisme ­radikal yang mentah-mentahan, akhirnya akan kedinginan tertinggal oleh hangatnya proses natuur sendiri, ia akhirnya binasa tertinggal oleh hangat­nya proses natuur sendiri. Memang natuurnya abad keduapuluh bukanlah pengalamunan yang manis sebagai di zaman wayang-wayangan, – natuurnya abad keduapuluh adalah rebutan hidup cang mentah-mentahan. Memang Marhaen bergerak, – begitulah di atas telah saca kemukakan tidak karena “ideal-idealan”, tidak karena “cita-citaan”, Marhaen bergerak ialah tak lain tak bukan buat mencari hidup dan mendirikan hidup. Hidup kerezekian, hidup kesosialan, hidup kepolitikan, hidup kekulturan, hidup keagamaan, – pendek-kata hidup kemanusiaan yang leluasa dan sempurna, hidup-kemanusiaan yang secara manusia dan selayak manusia.



Adakah Indonesia-Merdeka bagi Marhaen menentukan hidup-kemanusiaan yang demikian itu? Indonesia-Merdeka sebagai saya katakan di atas adalah menjanjikan tetapi belum pasti menentukan bagi Marhaen hidup kemanusiaan yang demikian itu. Perjanjian itu barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen mulai sekarang sudah awas dan waspada, sedar dan prayitna, menjaga pergerakannya dan menyaring-nyaring maksud-­maksud pergerakannya itu jangan sampai kemasukan zat-zat yang sebe­narnya racun bagi Marhaen dan merusak pada Marhaen. Perjanjian itu barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen sedari sekarang sudah insyaf seinsyaf-insyafnya bahwa Indonesia-Merdeka hanyalah suatu jem­batan, – sekalipun suatu jembatan emas! – yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprayitnaan, jangan sampai di atas jembatan itu Kereta-Kemenangan dikusiri oleh lain orang selainnya Marhaen.

Sebe­rang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke Dunia Keselamatan Marhaen, satu kedunia kesengsaraan Marhaen; satu ke Dunia Sama-rata­ sama-rasa, satu ke dunia sama-ratap-sama-tangis. Cilakalah Marhaen, bilamana Kereta itu masuk ke atas jalan yang kedua, menuju kealamnya kemodalan Indonesia dan keburjuisan Indonesia! Oleh karena itu, Mar­haen, awaslah awas! Jagalah yang Kereta Kemenangan nanti tetap di dalam kendalian kamu, jagalah yang politieke macht nanti jatuh di dalam tangan kamu, di dalam tangan besi kamu, di dalam tangan baja kamu!



Kamu sekarang mendengar dari kanan-kiri semboyan kerakyatan. Kaum radikal bersemboyan kerakyatan, kaum reformis bersemboyan kerakyatan, kaum banci bersemboyan kerakyatan, ya kaum burjuis dan ningratpun bersemboyan kerakyatan. Kamu sering mendengar semboyan demokrasi, tetapi apakah satu-satunya demokrasi yang bagi Marhaen dan dari Marhaen? Apakah satu-satunya demokrasi yang oleh partai-pelopor harus dituliskan dengan aksara-aksara api di atas benderanya, sehingga terang bisa terbaca di saat terang, dan lebih terang lagi di saat rintang­-rintangan yang gelap gulita? Di dalam revolusi Perancis-pun orang berteriak-teriak demokrasi, berpekik dan bersemboyan demokrasi, ber­gembar-gembor dan bersumpah demokrasi, tetapi adakah Marhaen Peran­cis, yang ikut-ikut berteriak demokrasi dan membeli dengan darahnya kedatangan demokrasi itu, akhirnya mendapat demokrasi yang sebenar­-benarnya, – tidakkah Marhaen Perancis itu sendiri ditelan habis-habisan oleh demokrasi itu yang sampai kini saban-saban menghantam anak­ cucunya dan menelan turun-turunannya?



Ya, marilah kita ingat akan pelajaran revolusi Perancis itu. Marilah ingat akan bagaimana kadang-kadang palsunya semboyan demokrasi, yang tidak menolong Rakyat-jelata bahkan sebaliknya mengorbankan Rakyat­-jelata, membinasakan Rakyat-jelata sebagaimana telah terjadi di dalam revolusi Perancis itu. Marilah kita awas, jangan sampai Rakyat-jelata Indonesia tertipu oleh semboyan “demokrasi” sebagai Rakyat-jelata Peran­cis itu, yang akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum burjuis yang bergembar-gembor “demokrasi”, – kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan – , tetapi sebenarnya hanya mencari kekuasaan sendiri, keenakan sendiri, keuntungan sendiri! Riwayatnya penipuan Perancis ini?



Sebelum silamnya abad kedelapanbelas, maka negeri Perancis adalah negeri yang feodal dengan cara-pemerintahan otokrasi: Kekuasaan­pemerintahan adalah di dalam tangannya seorang-orang raja, yang tiap perkataannya menjadi wet, tiap pendapatnya menjadi hukum, tiap titah­nya menjadi nasib seluruh negeri. Ia memandang dirinya sebagai wakil Allah di dunia, memandang kekuasaannya sebagai gantinya kekuasaan Allah di muka bumi, ia berkata bahwa sebenarnya “staat” tidak ada, – staat adalah dia sendiri. Dan kekuasaan seorang-diri ini, yang Rakyat-jelata samasekali tidak mendapat bagian seujung kukupun jua, kekuasaan ini ia bentengi dengan kesetiaannya kaum ningrat dan kaum penghulu-agama, ia bentengi dengan ketuhanannya kaum adel dan kaum geestelijkheid. Teguh maha-teguhlah tampaknya feodalisme ini di tengah-tengah lautan masyarakat Eropah, berdiri seakan-akan batu-karang ditengah lautan itu lebih dari sepuluh abad lamanya, sampai … sampai pada waktu silamnya abad kedelapanbelas lautan itu sekonyong-konyong bergelombang-gelom­bangan dan berarus-arusan, bergelombang membanting di atas karang itu dan memecahkan segala bagian-bagian dari karang itu.



Apa yang telah terjadi? Dari dalam dasar-dasarnya lautan masyarakat feodal itu lambat-laun timbullah satu golongan-manusia baru, satu kelas baru, satu elemen baru yang penghidupannya ialah dari mengusahakan tenaga orang lain: kelas baru atau elemen baru daripada kaum burjuis. Mereka punya perusahaan, merekapunja perniagaan, mereka punya pertu­kangan, mereka punja arti-ekonomi mulai timbul. Tetapi tidak bisa subur perusahaan dan perniagaan ini dan pertukangan ini, selama cara pemerin­tahan masih cara feodal, selama semua kekuasaan-pemerintahan masih digenggam si otokrat raja, – selama bukan kaum burjuis sendiri yang mengemudi perahu pemerintahan. Sebab merekalah, hanya merekalah, dan bukan kelas lain, – bukan kelas ningrat, bukan kelas penghulu­ agama, bukanpun raja sendiri hanya merekalah yang lebih tahu mana hukum-hukum, mana aturan-aturan, mana cara-pemerintahan yang paling baik buat suburnya mereka punya perusahaan dan mereka punya perniagaan. Oleh karena itu maka mereka lalu bersedia-sedia merebut kekuasaan­pemerintahan dari tangannya raja, menggugurkan stelsel feodalisme

yang menghalang-halangi suburnya mereka punya perusahaan dan perniagaan itu dari singgasananya yang ia duduki lebih dari sepuluh abad itu!



Tetapi, akh, kaum burjuis tidak mempunyai kekuatan. Kaum burjuis tidak mempunyai cukup kekuatan untuk menghancurkan siti­inggilnya otokrasi yang dibentengi dengan kesetiaannya kaum ningrat dan kaum penghulu-agama itu. Ha, jatuhlah merekapunya mata pada Rakyat ­jelata yang milyun-milyunan itu. Sejak puluhan tahun kaum burjuis itu memang saban-saban mendengar guruh pelan-pelan yang keluar dari kalangan Rakyat-jelata itu, gemertaknya gigi Rakyat-jelata yang marah karena nasib yang kelewat sengsara. Memang di zaman feodalisme itu Rakyat-jelata ditindas habis-habisan, diperas semua kepunyaannya, diram­pas semua hak-haknya sehingga tinggal hak-menurut dan hak-mengambing belaka. Memang Rakyat-jelata sudah lama sekali kesal akan nasib yang lebih jelek daripada nasib binatang itu. Tidakkah gampang kalau kaum burjuis di dalam usahanya merebut politieke macht daripada raja dan ningrat, memakai tenaga Rakyat-jelata itu? Tokh Rakyat-jelata tidak sedar, tokh Rakyat-jelata tidak bewust, tokh Rakyat-jelata tidak akan tahu-menahu bahwa ia hanya disuruh “mengupas nangka” dan “kena getah” sahaja, – burjuis nanti yang “makan nangkanya”!



Dan burjuis lalu menjalankan kecerdikan ini! “Hiduplah demokrasi!”, “hiduplah kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan!”, “hiduplah liberte, egalite dan fraternite !”, – semboyan-semboyan ini ia dengung­-dengungkan sehingga memenuhi angkasa, semboyan-semboyan ini ia kobar‑kobarkan di kalangan Rakyat-jelata. Sebagai simum Rakyat-jelata lantas bergerak, api-kehaibatan pergerakannya sampai menjilat langit, bung dan angkasa Perancis gemetar dan pecah seakan-akan Krishna berti­wikrama. Lautan masyarakat Perancis yang tenang berabad-abad kini menjadi bergelombang-gelombangan molak-malik, – lautan mendidih yang hantaman-hantamannya membikin remuknya batu-karang feodalisme: Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu-agama runtuh, oto­krasi runtuh, diganti dengan cara-pemerintahan baru yang bernama demokrasi. Di negeri diadakan parlemen, Rakyat “boleh mengirimkan utusan-utusannya ke parlemen itu”, – diikuti oleh negeri-negeri Eropah Barat dan Amerika, yang semuanya kini juga meniru bersistim “demo­krasi”.



Ya, Inggeris kini mempunyai parlemen, Jerman kini mempunyai parlemen, negeri Belanda kini mempunyai parlemen, negeri Amerika, negeri Belgia, negeri Denemarken, negeri Zweden, negeri Swis, – semua “negeri sopan” kini mempunyai parlemen, semua “negeri sopan” kini bersistim “demokrasi” …



Tetapi … di semua “negeri-negeri sopan” itu kini hidup dan subur dan merajalela hantu kapitalisme! Di semua “negeri-negeri sopan”

itu kini Rakyat-jelata tertindas hidupnya, nasib Rakyat-jelata nasib kokoro, jumlahnya kaum penganggur yang kelaparan melebihi bilangan manusia. Di semua “negeri-negeri sopan” itu Rakyat-jelata tidak selamat, bahkan sengsara-keliwat-sengsara! Inikah hatsil “demokrasi” yang mereka kera­matkan itu? Inikah “kerakyatan” yang di negeri Perancis mereka beli dengan ribuan mereka punya nyawa, dengan ribuan merekapunya bangkai, dengan ribuan pula kepalanya raja

dan kaum ningrat?



Akh, kaum burjuis! Kaum burjuis telah menipu mereka, memperkudakan mereka, mengabui mata mereka. Demokrasi yang mereka rebut dengan harga nyawa yang begitu mahal itu, demokrasi itu bukanlah demo­krasi kerakyatan yang sejati, melainkan suatu demokrasi burjuis belaka, – suatu burgerlijke demokrasi yang untuk kaum burjuis dan menguntungkan kaum burjuis belaka. Akh, parlemen! Tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa ikut memilih wakil dan ikut dipilih jadi wakil ke dalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa “ikut memerintah”. Ya, tiap-tiap kaum proletar kini namanya bisa mengusir minister-minister, menjatuhkan minister-minister jatuh terpelanting dan kursinya. Tetapi pada saat yang ia namanya bisa menjadi “raja” di dalam parlemen itu, pada saat itu-juga ia sendiri bisa diusir dari peker­jaan di mana ia bekerja menjadi buruh dengan upah-kokoro, diusir dilemparkan di atas yjalan-rayanya pengangguran, yang basah karena air­mata bini dan anak-anak yang kelaparan! Pada saat yang ia namanya bisa menjadi “raja” di dalam parlemen, pada saat itu-juga ia tak berkuasa sedikitpun jua menuntut upah-perkulian yang agak pantas, tak berkuasa sedikitpun menghalangi, yang stelsel kapitalisme menelan segenap ia punya badan dan segenap ia punya nyawa!



Bahwasanya, kaum Rakyat-jelata yang tahadinya dipakai tenaganya oleh kaum burjuis untuk merebut “demokrasi”, tetapi yang kemudian ternyata kecele telah mendatangkan demokrasinya kapitalisme, kaum Rakyat-jelata itu kini pantas berbalik menolak demokrasi-palsu itu dengan perkataan­-perkataan Jean Jaures, pemimpin kaum buruh Perancis, yang berbunyi: “Kamu, kaum burjuis, kamu mendirikan republik, dan itu adalah kehor­matan yang besar. Kamu membikin republik teguh dan kuat, tak boleh dirobah sedikitpun jua, tetapi justru karena itu kamu telah mengadakan pertentangan antara susunan politik dan susunan ekonomi. Karena alge­meen kiesrecht, karena pemilihan umum, kamu telah membikin semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat yang seolah-olah rapat dari­pada raja-raja. Merekapunya kemauan adalah sumbernya tiap wet, tiap hukum, tiap pemerintahan; mereka melepas mandataris, mereka melepas wetgever dan minister. Tetapi pada saat yang si buruh menjadi tuan di da­lam urusan politik, pada saat itu juga ia adalah budak-belian di atas lapangan ekonomi. Pada saat yang ia menjatuhkan minister-minister, maka ia sendiri bisa diusir dari pekerjaan zonder ketentuan sedikit jua­pun apa yang esok harinya akan ia makan. Tenaga-kerjanya :hanyalah suatu barang belian, yang bisa dibeli atau ditampik semau-maunya kaum majikan. Ia bisa diusir dari bingkil, karena ia tak mempunyai :hak ikut menentukan aturan-aturan-bingkil, yang saban hari, zonder dia tapi buat menindas dia, ditetapkan oleh kaum majikan menurut semau-maunya sendiri.



Sekali lagi: inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu?

Boleh­kah ini demokrasi menjadi impian kita? Tidak, dan sekali lagi  tidak! Ini tidak boleh menjadi demokrasi yang harus kita tiru, tidak boleh menjadi demokrasi yang dengan aksara api harus dituliskan di atas bendera-bendera partai-pelopornya massa-aksi Indonesia.

Saba !) “demokrasi” yang begitu hanyalah “demokrasi” parlemen sahaja, “demokrasi” politik sahaja. Demokrasi-ekonomi, kerakyatan-ekonomi, kesama-rasa-sama-rataan-eko­nomi tidak ada, tidak adapun bau-baunya sedikit juga.



Ya, demokrasi politik itupun hanya bau-baunya sahaja! Bukan? –

Di negeri-negeri modern itu benar ada parlemen, benar ada “tempat perwakilan Rakyat”, benar Rakyat namanya “boleh ikut memerintah”, tetapi akh, kaum burjuis lebih kaya daripada Rakyat-jelata, mereka dengan harta-kekayaannya, dengan surat-surat-kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan midrasah-midrasahnya, dengan propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempenga­ruhi semua akal fikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua jalannya politik. Mereka rnitsalnya membikin “kemerdekaan pers” bagi Rakyat-jelata menjadi suatu omongan kosong belaka, mereka menyulap “kemerdekaan fikiran” bagi Rakyat-jelata menjadi suatu ikatan fikiran, mereka memper­kosa “kemerdekaan berserikat” menjadi suatu kejustaan publik. Mere­ka punya kemauan menjadi wet, mereka punya politik menjadi politiknya staat, mereka punya perang menjadi peperangannya “negeri”. Oleh karena itu, benar sekali perkataannya Caillaux, bahwa kini Eropah dan Amerika ada di bawah kekuasaannya feodalisme baru: “Tetapi kini kekuasaan feodal itu tidak digenggam oleh kaum tanah sebagai sediakala, kini ia digenggam oleh perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya terhadap kepada staat.” Benar sekali juga perkataan de Brouckere, bahwa “demokrasi” sekarang itu sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme! “Demokrasi” yang demikian itu harus kita lemparkan ke dalam samodra, jauh dari angan-angan dan keinginan massa!



Bagaimana dan demokrasi yang harus dituliskan di atas bendera kita, – yang harus kita adakan di seberang jembatan-emas? Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi sejati, demokrasi yang sebenar­-benarnya pemerintahan Rakyat. Bukan “demokrasi” a l a Eropah dan Amerika yang hanya suatu “portret dari pantatnya” demokrasi-politik sahaja, bukanpun demokrasi yang memberi kekuasaan 100% pada Rak­yat di dalam urusan politik sahaja, tetapi suatu demokrasi politik dan ekonomi yang memberi 100% kecakrawartian pada Rakyat-jelata di­ dalam urusan politik dan urusan ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi inilah satu-satunya demokrasi yang boleh dituliskan di atas bendera partai, – ditulis dengan aksara-aksara-api sebagai di atas saya katakan, agar supaya menyala-nyala tertampak dari ladang dan sawah dan bingkil dan paberik di mana Marhaen berkeluh-kesah mandi keringat mencari sesuap nasi.



Dengan demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi itu, maka nanti di seberangnya jembatan-emas masyarakat Indonesia bisa diatur oleh Rakyat sendiri sampai selamat, – dibikin menjadi suatu masyarakat yang tiada kapitalisme dan imperialisme. Dengan demokrasi-politik dan ekonomi itu, maka nanti Marhaen bisa mendirikan staat Indonesia yang tulen staatnya Rakyat, suatu staat yang segala urusannya politik dan ekonomi adalah oleh Rakyat, dengan Rakyat, bagi Rakyat. Bukan sistim feodalisme, bukan sistim mengagungkan raja, bukan sistim constitutioneel monarchie yang walau memakai parlemen tokh masih memakai raja, bukanpun sistim republik yang sebagai di Perancis-sekarang atau di Amerika-sekarang yang sebenarnya suatu sistim-republik daripada “demokrasinya” kapitalisme, – tetapi sistim politiek-economische republiek yang segala-galanya tunduk kepada kecakrawartian Rakyat. Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan kultur, urusan apa sahaja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah di bawah kecakrawartian Rakyat itu: Semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, – staatnya Rakyat, dan bukan staatnya burjuis atau ningrat semua hatsil-hatsil perusahaan-perusahaan

itu bagi keper­luan Rakyat, semua pembahagian hatsil itu di bawah pengawasan Rakyat. Tidak boleh ada satu perusahaan lagi yang secara kapitalistis menggemuk­kan kantong seseorang burjuis ataupun menggemukkan kantong burger­lijke staat, tetapi masyarakatnya Politiek-Economische Republik Indonesia adalah gambarnya satu kerukunan Rakyat, satu pekerjaan-bersama dari­pada Rakyat, satu kesama-rasa-sama-rataan daripada Rakyat.



Inilah demokrasi sejati yang kita cita-citakan, dan yang saya sebutkan dengan nama-baru sosio-demokrasi. Inilah demokrasi-tulen yang hanya bisa timbul dari nasionalisme Marhaen, dari nasionalisme yang di­ dalam bathinnya sudah mengandung kerakyatan-tulen, yang anti tiap-tiap macam kapitalisme dan imperialisme walaupun dari bangsa sendiri, yang penuh dengan rasa-keadilan

dan rasa kemanusiaan yang menolak tiap-tiap sifat keburjuisan dan keningratan,—nasionalisme-kerakyatan yang saya sebutkan pula dengan nama-baru sosio-nasionalisme. Hanya sosio-nasional­isme bisa melahirkan sosio-demokrasi, nasionalisme lain tidak bisa dan tidak akan melahirkan sosio-demokrasi. Siapa yang berkemak-kemik “sosio-demokrasi” tetapi dadanya masih berisi sifat-sifat keburjuisan atau keningratan walau sedikitpun jua, ia adalah seorang munafik yang b e r ­muka dua!



Nasionalisme partai-pelopor hanyalah boleh satu: sosio-nasionalisme, dan tidak lain! Lemparkanlah jauh-jauh nasionalisme keburjuisan dan nasionalisme keningratan, bantingkanlah menjadi debu nasionalisme­ keburjuisan dan nasionalisme-keningratan itu di atas siti bantala-nya ke­rakyatan massa! Pembaca belum tahu nasionalisme-keburjuisan, belum mengerti nasionalisme-keningratan? Amboi, masih banyak sekali orang-­orang di antara nasionalisten kita, yang saban hari bercita-cita “menasio­nalismekan” negeri kita menjadi “negeri-besar” seperti Jepang atau Amerika atau Inggeris, kagum melihat armadanya yang ditakuti dunia, kota-kotanya yang haibat, bank-banknya yang tersebar di seluruh dunia, benderanya yang berkibar

di mana-mana, – kagum ingin moga-moga negeri Indonesia kelak juga menjadi “negeri-besar” semacam itu. Akh, ini kaum nasionalis-burjuis! – Mereka tak terkena hati bahwa baring yang dinamakan haibat-haibat itu adalah hatsilnya kapitalisme, alat-alatnya kapitalisme, dan bahwa Rakyat-jelata di negeri-negeri yang disebutkan “negeri jempol” itu adalah tertindas dan sengsara. Memang mereka pu­nya nasionalisme bukanlah nasionalisme kemanusiaan, bukan nasionalisme yang ingin keselamatan massa, mereka punya nasionalisme adalah nasionalisme burjuis yang paling jauh hanya ingin Indonesia-Merdeka sahaja, dan tidak mau merobah susunan masyarakat sesudah Indonesia-Merdeka. Mereka bisa juga revolusioner, tetapi burjuis-revolusioner, tidak Mar­haenistis-revolusioner, tidak sosio-revolusioner! 1)



Dan nasionalisme-keningratan? Haha, itu juga masih banyak sekali pengikutnya. Mereka pengikut nasionalisme ini memang biasanya kaum ningrat, yang darahnya ningrat, adatnya ningrat, hatinya ningrat, segala jasmani dan rokhaninya ningrat. Mereka masih hidup di dalam keadatan feodalisme, angler di dalam tradisi feodalisme, yang

m e r e k a menjadi “kepala-kepalanya” Rakyat, dan m e r e k a menjadi “pohon beringin” yang melindungi Rakyat. Mereka biasanya setia sekali pada kaum per­tuanan, setia sekali pada kaum yang di atas, – okh, juga di zaman feodalisme mereka setia-tuhu kepada Sang Nata tetapi ada di antara mereka yang ngalamun Indonesia-Merdeka. Tetapi menurut cita-citanya, di dalam Indonesia-Merdeka itu merekalah yang harus menjadi “kepala”, m e r e k a- lah yang tetap harus menjadi kaum yang memerin­tah, m e r e k a !, yang sejak zaman purbakala, sejak feodalisme-Hindu dan sejak feodalisme ke-Islam-an tokh sudah menjadi “pohon beringin” yang melindungi kaum “kawulo”.



Awas, kaum Marhaen, awas dengan nasionalisme-keburjuisan dan nasionalisme-keningratan itu! Ikutilah hanya itu partai sahaja yang benderanya menyala-nyala dengan semboyan sosio-nasionalisme dan sosio-­demokrasi, teriakkanlah semboyan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu dengan suara yang mendengung menggetarkan langit, gemuruh sebagai guruhnya guntur. Dengungkanlah sampai melintasi tanah-datar dan gunung dan samodra, bahwa Marhaen di seberangnya jembatan-emas akan men­dirikan suatu masyarakat yang tiada keningratan dan tiada keburjuisan, tiada kelas-kelasan dan tiada kapitalisme.



Dan bukan sahaja mendengungkan suara! Partai-pelopor harus dari kini mendidik massa itu ke dalam “prakteknya” sosio-demokrasi dan sosio­-nasionalisme, “menyediakan” massa untuk laksananya janji sosio-demo­krasi dan sosio-nasionalisme. Partai-pelopor harus dari kini sudah menebar-nebarkan benih kesama-rata-sama-rasaan di dalam kalbunya massa, menebar-nebar-pula benih “gotong royong” di dalam hatinya massa, agar supaya massa yang berabad-abad kena penyakit individualisme 2) itu, sudah dari kini mulai menjadi “manusia baru” yang merasa dirinya “ma­nusia masyarakat” yang selamanya mementingkan keselamatan umum. Partai-pelepor harus mendidik teorinya dan prakteknya “kemasyarakatan”



itu dengan tak jemu-jemu menunjukkan kejahatan individualisme, membongkar-bongkar kejahatannya kapitalisme, menganjurkan dan memfiilkan pekerjaan bersama, mendirikan dan menjalankan koperasi-­koperasi yang radikal, mendirikan dan memperjoangkan vakbond-vakbond dan sarekat-sarekat-tani radikal,— terutama koperasi-radikal, vakbond radikal, sarekat tani radikal ! -, pendek-kata mulai sekarang dengan cara radikal menjelmakan Insan-manusia-masyarakat di dalam tiap-tiap per­joangannya, di dalam tiap-tiap sepak-terjangnya, di dalam tiap-tiap poli­tiknya.



1)         Buat arti “revolusioner” lihatlah saya punya pleidooi.

2)         Individualisme = perseorangan diri.



Strijdprogram dan staatprogram partai-pelopor itu harus strijd­program dan staatprogramnya Manusia-masyarakat, strijdprogram dan staatprogram itu haruslah suatu oorlogsverklaring alias penan tangan­perang kepada segala macam individualisme. Segala azasnya partai, segala azas-perjoangannya partai, segala taktiknya partai, segala perjoangannya partai, – perjoangan mendatangkan Indonesia-Merdeka, perjoangan memberantas aturan-aturan yang jelek, perjoangan buat perbaikan-perbaikan-ini-hari d.1.s. -, segala gerak-bangkit jasmani dan rokhaninya partai itu haruslah suatu hantaman kepada individualisme, suatu malapetaka kepada individualisme, untuk keprabon Insan Manu­sia-masyarakat.



Bahagialah partai-pelopor yang demikian itu!

Bahagialah massa yang dipelopori partai yang demikian itu!

Hiduplah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi!



10. MENCAPAI INDONESIA-MERDEKAI



Sekarang, kampiun-kampiun kemerdekaan, majulah ke muka, susun­lah pergerakanmu menurut garis-garis yang saya guratkan di dalam risalah ini. Haibatkanlah partainya Marhaen, agar supaya menjadi partai­-pelopornya massa. Hidupkanlah semua semangat yang ada di dalam dadamu, haibatkanlah semua kecakapan-mengorganisasi yang ada di dalam tubuhmu, haibatkanlah semua keberanian banteng yang ada di dalam nyawamu, tumpahkanlah semangat dan kecakapan-mengorganisasi dan keberanian-banteng itu ke dalam tubuhnya partai, tumpahkanlah kelaki­-lakian itu ke dalam badannya massa, agar supaya massa seolah-olah ketitisan kembali oleh segala kelaki-lakiannya dari zaman sediakala, ketitisan pula oleh kelaki-lakian baru daripada moderne massa-aksi. Kamu kampiun­-kampiunnya pena, gerakkanlah penamu setajam udung Jemparingnya Rama, kamu kampiun-kampiun organisator, susunlah bentengnya harapan Rakyat menjadi benteng yang menahan gempa, kamu kampiun-kampiun­nya mimbar, dengungkanlah suara-bantengmu hingga menggetarkan udara.



Tumpahkanlah segenap jiwa-ragamu ke dalam partainya massa, tumpah­kanlah segenap jasmani dan rokhanimu ke dalam perjoangannya massa, tumpahkanlah segenap nyawamu menjadi api-kesedaran dan api-kemauan massa.



Hidupkanlah massa-aksi, untuk mencapai Indonesia-Merdeka!

Artikel Terkait