Senin, 16 Oktober 2017

Kongres Kaum Ibu



Bedenk dat het voor de eer van de natie is, dat India’s vrouwen dag na dag treden voor de poorten den doods, zodat het yolk van India geboren mag worden duizendmalen vrij!

Sarojini Naidu

Pada penghabisan bulan Desember ini, maka kaum ibu Indonesia akan berkongres di Jogya.

 Bahagialah kongres kaum ibu: Diadakan pada suatu waktu, di mana masih ada sahaja kaum bapak Indonesia yang mengira, bahwa perjoang­annya mengejar keselamatan nasional bisa juga lekas berhasil zonder sokongannya kaum ibu; diadakan pada suatu waktu juga, di mana masih belum banyak tertanam keyakinan, bahwa tiada keselamatan nasional bila tidak terpikul oleh keselamatan kaum bapak d a n kaum ibu, dan bahwa “keselamatan nasional” yang demikian itu ialah keselamatan nasional yang pincang;- diadakan pada waktu yang demikian itu, maka kita sangatlah gembira hati. Dan kita tidak sahaja gembira hati akan kongres itu, oleh karena daripada kaum bapak masih banyak yang kurang pengetahuan akan harganya sokongan kaum ibu itu; kita tidak sahaja gembira hati akan kongres itu oleh karena kaum bapak belum insyaf akan keharusan­nya kenaikan derajat kaum ibu itu, – kita gembira hati ialah teristimewa juga oleh karena di kalangan kaum ibu sendiri belum banyak yang mengetahui atau menjalankan kewajibannya ikut menyeburkan diri di dalam perjoangan bangsa, dan belum banyak yang berkehendak akan kenaikan derajat itu. Adat-istiadat yang berabad-abad, adat-istiadat yang sudah menyulur-akar itu, adalah menyebabkan, yang banyak kaum ibu bangsa kita tak memikirkan soal kenaikan derajat, malahan ada yang memusuhi usaha menaikkan derajat itu: hamba yang bernama kaum ibu itu adalah banyak yang tak insyaf akan perhambaannya sendiri …

 Tetapi, … desakan zaman tak dapat alah, desakan zaman tentu menang. Desakannya zaman ini makin lama makin membukakan keinsyaf­an akan perhambaan kaum ibu itu, dan melahirkan perhatian akan “soal­ wanita” di Indonesia juga.

 Toch … jikalau kita bandingkan dengan negeri-negeri Asia lain, jikalau kita bandingkan dengan Turki, dengan Mesir, dengan India, dengan Japan dan lain sebagainya, di mana derajat kaum perempuan itu belum lama berselang toch juga rendah sekali dan juga terhina sekali, maka Indonesia kini tampak jauh sekali ketinggalan.

Sedang misalnya di negeri-negeri Asia yang lain orang sudah mulai banyak yang mengerti, bahwa agama Islam yang asli ialah tidak merendah­kan derajat kaum ibu, bahkan mempunyai orang-orang perempuan yang ternama dan termasyhur, sebagai Dewi Fatimah yang sering-sering ikut duduk berunding tentang soal-soal yang penting misalnya soal chalifaat, atau Zobeida permaisuri Harun-Al-Rashid yang mengongkosi pembuatan­nya jalan air di Mekkah dan mendirikan lagi kota Alexandria sesudah kota ini dilebur oleh bangsa Griek, atau Fakhroenvissa Sheika Shulda yang membuat ceramah-ceramah di muka umum di Bagdad tentang sastra dan syair, atau pula berpuluh-puluh tabib dan penyair perempuan di kota Cordova … sedang negeri-negeri yang lain-lain itu kaum ibunya sudah melepaskan diri daripada kesesatan tentang memahamkan kehendak­-kehendak Islam yang sejati, maka di Indonesia kaum yang beragama Islam masih banyaklah sekali yang belum terlepas daripada ikatannya kesesatan faham tahadi. Dan bangsa kita kaum ibu yang beragama lainpun, yang memang sebenarnya tiada ikatan yang semacam itu, adalah juga jauh ketinggalan oleh kaum ibu bangsa Asia yang lain tahadi. Lihatlah! Adakah Indonesia-Muda mempunyai seorang perempuan sebagai Halide Edib Hanum dan Nakie Hanum-nya Turki-Muda? Adakah Indonesia-Muda berputeri sebagai Sarojini Naidu atau Sarala Devi-nya India-Muda, se­bagai Soong Ching Ling-nya Tiongkok-Muda, sebagai Zorah Hanum-nya Persia-sekarang? Adakah Indonesia-Muda mempunyai isteri sebagai isterinya Saad Zahlul Pasha di Mesir-Baru? Dan adakah kaum ibu Indo­nesia pernah bergerak sebagai kaum ibunya Korea, yang menentang penghinaannya Jepang? Belum! Tetapi marilah tidak kecil hati.

Sebab jikalau zaman nanti sudah mau melahirkan lagi kita punya Ratu Wandan Sari atau kita punya puteri Ratu Ibrahim, jikalau zaman nanti sudah mau mengembalikan lagi Ratu Bundo Kandung atau

kita punya Ratu Jangpati, maka pastilah mereka lahir, pastilah mereka kembali juga!

Sekarang hendaklah kita selidiki sebentar, arti yang bagaimanakah harus kita beri pada soal-perempuan di Indonesia itu.

 Soal-perempuan di Indonesia. Menuliskan kata-kata ini, maka dengan tidak disengaja, tergambarlah di dalam angan-angan kita keadaan dan cara-metodenya kumpulan-kumpulan kaum ibu Indonesia di kota-kota besar dan kecil: tidak beda dengan keadaan dan cara-metodenya perhimpunan-perhimpunan perempuan kaum pertengahan di Eropah abad yang lalu, tidak beda dengan mula-mulanya “vrouwenbeweging” di Eropah itu baru lahir di zamannya liberalisme; semuanya belum mengambil soal­ perempuan itu di dalam artinya yang luas, belum mengambil soal itu di dalam artinya sosial-politis yang selebar-lebarnya, yakni belum melan­carkan tangannya keluar pagar-pagarnya perikehidupan “keperempuanan”: … hanya memperhatikan ilmu dapur, belajar menyongket, bersama-sama mengurus perkara beranak, mengadakan kursus ilmu obat-obatan, mem­perhatikan pendidikan,

dan lain-lain.

 Dan sebagaimana pula kaum perempuan di Eropah sesudahnya zaman “keperempuanan” itu lalu meluaskan sedikit lapang pekerjaannya dan lantas berdaya-upaya mencari persamaan-hak dengan hak-hak kaum laki-laki; sebagaimana kaum perempuan di Eropah itu lantas menginjak lapangnya usaha “vrouwen-emancipatie”, dengan belum mengetahui bahwa persamaan-hak dan persamaan-derajat dengan kaum laki-laki itu ialah belum berarti keselamatan, maka di Indonesia-pun kaum ibu pada waktu ini sedikit-sedikit mulai berusaha ke arah persamaan-hak dan persamaan-derajat dengan kaum laki-laki, yakni mulai ikut pula memikirkan “vrouwen – emancipatie” itu. Tetapi sebagaimana August Bebel dalam tahun 1879 membikin terperanjatnya kaum “persamaan-hak” ini dengan peringatannya, bahwa kaum perempuan tidaklah dapat men­capai keselamatan yang sebenar-benarnya dengan persamaan-hak itu sahaja, melainkan ialah harus meluaskan lagi lapang-usahanya dengan ikut bekerja untuk mendatangkan suatu aturan pergaulan­ hidup baru, maka bagi kaum ibu Indonesia haruslah kita peringatkan pula, bahwa persamaan-hak dan persamaan-derajat itu janganlah dipandang sebagai cita-cita yang penghabisan hendaknya! Betul sekali: “keperempuanan” haruslah diperhatikan; “emancipatie” harus dikejar. Tetapi dengan “keperempuanan”, dengan “emancipatie”, kaum ibu Indonesia, jikalau mereka memang ingin mencapai kehidupan yang sem­purna

dan jikalau mereka ingin bernasib manusia yang seselamat­-selamatnya, – kaum ibu Indonesia haruslah pula meluaskan lagi lapang pergerakannya, mengejar hak-hak kita semua laki-perempuan, mengejar hak-hak sebagai bangsa. Sebab apakah kiranya sudah cukup, yang kaum ibu Indonesia menjadi sama haknya dengan kaum bapak Indonesia, – hak kaum bapak Indonesia yang terikat-ikat ini? Apakah kiranya sudah cukup, yang kaum ibu Indonesia menjadi sama derajatnya dengan kaum bapak Indonesia, – derayjat kaum bapak Indonesia yang tak lebih dari­pada derajatnya orang jajahan, tak lebih daripada derajatnya putera negeri yang tak merdeka?  Bahwasanya: jikalau kaum ibu Indonesia hanya ingin sama haknya dan hanya ingin sama derajatnya dengan kaum bapak Indonesia itu; jikalau hanya ingin i t u sahaja dipandangnya sebagai cita-cita yang tertinggi, maka tak lain tak bukan, mereka hanyalah ingin mengganti derajatnya budak kecil menjadi budak besar belaka …

Tidak! Sebagai yang sudah kita tuliskan di muka, maka tujuan kaum ibu Indonesia haruslah lebih tinggi lagi: mereka harus bersikap sebagai saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia yang tak merdeka. Mereka harus mengerti bahwa sebagai Sarojini Naidu mengatakannya, bukan sahaja kaum laki-laki, tetapi kaum perempuan juga harus siap “mengha­dapi gerbangnya maut di dalam usahanya membuat natie” …

Seorang penulis bangsa Timur mengatakan, bahwa “laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung”, yang jika dua sayap itu “dibikin sama kuatnya”, lantas “terbang menempuh udara sampai kepuncaknya kemajuan yang setinggi-tingginya”. Ia bermaksud menuntut supaya “semua pintu harus dibuka seluas-luasnya” bagi kaum perempuan itu; ia bermaksud menuntut persamaan-hak dan persamaan-derajat baginya … Tetapi kaum ibu Indonesia, kaum ibu di tiap-tiap negeri ja­jahan haruslah mengerti, bahwa baginya, burung tahadi ialah burung yang terkurung, burung yang oleh karenanya belum dapat “menempuh udara sampai kepuncaknya kemajuan yang setinggi-tingginya” … Buat kaum ibu Indonesia di negeri-negeri yang tak merdeka, buat tiap manusia di ne­geri-negeri yang tak merdeka, maka bukan sahaja dua sayap itu harus di­jadikan sama, bukan sahaja laki-laki dan perempuan harus dijadikan sama kuatnya dan lalu bekerja bersama-sama, agar supaya burung kebang­saan lantas dapat bertenaga menggerak-bantingkan dirinya di dalam sangkar itu, yang nanti tidak boleh tidak, pasti menjadi terbuka oleh karenanya, sehingga burung kebangsaan itu lalu dapat terbang keluar dan terbang ke atas dengan leluasa menuju segala keindahannya angkasa dan menghi­sap dengan leluasa pula segala hawa-kesegarannya udara yang merdeka!

 Inilah soal-perempuan di Indonesia di dalam sifatnya sosial-politis yang luas. Kita barangkali lalu mendapat tuduhan, bahwa kita terlalu “mem­politikkan” soal ini. Kita tidak terlalu “mempolitikkan” soal ini. Kita memujikan pendirian yang demikian, tak lain tak bukan ialah oleh karena pada hakekatnya soal-perempuan tidak dapat dipisahkan daripada soal laki-laki. Sebab perikehidupan laki-laki dan perikehidupan perem­puan adalah bergandengan satu sama lain, mempengaruhi satu sama lain, menyerapi satu sama lain. Kitapun harus memperingatkan, bahwa yang menderita pengaruhnya sesuatu proses kemasyarakatan, dus juga proses kolonial sebagai di sini, ialah bukan sahaja satu bagian, bukan sahaja kaum laki-laki, tetapi semua manusia l a k i p e r e m p u a n-yang berada di dalam lingkungannya proses kemasyarakatan itu. Oleh karenanya, hen­daklah kaum perempuan mengerti bahwa kerja-perlawanan terhadap pada pengaruh-  nya proses itu, tidaklah harus dijalankan oleh “fihak yang kuat” sahaja, tidaklah harus diserahkan kepada kaum laki-laki sahaja, tetapi haruslah dikerjakan juga oleh “fihak yang lemah” yakni oleh fihak perempuan itu tahadi. Hendaklah saudara-saudara kita fihak ibu sama insyaf, bahwa kerja-perlawanan itu tidak akan berhasil baik dan tidak akan dapat lekas selesai, jikalau tenaga untuk kerja itu tidak dikeluar -kan oleh semua sumber-sumber yang berada di dalam lingkungannya pengaruh proses itu tahadi, ialah jikalau kerja itu tidak dijalankan oleh fihak laki-laki d a n fihak perempuan dua-duanya juga …

Ajakan pada kaum perempuan untuk ikut menceburkan diri ke dalam gelombang lautan perlawanan itu, ajakan itu adalah ajakan yang timbul daripada keharusan, yakni ajakan yang memang dipaksa-kan oleh keadaan­nya pergaulan-hidup; ajakan itu ialah tidak “buat menghasut sahaja”, – ajakan itu ialah “nicht aus agitatorischen Grunden”.

 Pendirian tentang soal-perempuan yang kita pujikan di atas ini, pendirian sosial-politis yang mengenai sendi-sendinya kita punya natio­nale vrijheidsbeweging (gerakan kemerdekaan) itu, oleh karena­nya, tidaklah “terlalu keras”. Kita ulangi lagi: pendirian kita yang demikian itu bukanlah pendirian yang terlampau kita “politikkan”, yang oleh karena memang terdorong oleh sesuatu keharusan yang tak dapat dihindari!

Tetapi, kita toch tidak heran juga, k a l a u ada setengah orang yang mendakwa kita “terlalu keras”, dan mendakwa kita seorang politikus yang tak mengetahui batas. Memang hal yang baru selamanya membuat onar. Memang mata kita belum semuanya dapat menerima tajamnya sorot baru. Memang manusia selamanya tak gampang terlepas daripada ikatannya sesuatu kebiasaan! Di dalam hal ini kebiasaan itu ialah kebiasaan pen­dapat, bahwa orang perempuan janganlah dibawa-bawa di dalam urusan­-urusan “yang tidak cocok dengan sifatnya”, “yang tidak cocok dengan keperempuanannya”, – yang tidak cocok dengan “natuurlijke bestem­mingnya”!

 Riwayat, – jikalau memang ada orang yang mendakwa kita melalui batas riwayat balik kembali:

Juga di zaman dahulu, di zaman Revolusi Perancis dan di zaman pertama daripada abad kesembilanbelas, tatkala orang perempuan buat pertama kali mulai sedikit-sedikit menginjak lapangnya usaha mencari “persamaan-hak”; juga di zaman yang kemudian daripada itu, tatkala kaum perempuan itu di bawah kibarannya bendera merah mulai diajak ikut berjoang merobah sama sekali aturan-aturannya pergaulan -hidup yang kapitalistis itu; juga di zaman yang dekat-dekat ini, tatkala kaum ibu di Mesir, di Turki, di India, di Jepang dan lain-lain mulai juga me­naiki mimbar politik ; – juga di zaman “overgang” itu semuanya, maka aksi kaum perempuan itu hanyalah menemui celaan dan cercaan belaka. Dengarkanlah misalnya bagaimana di dalam Revolusi Perancis seorang pemimpin radikal yang bernama Chaumette melabrak pergerakan kaum perempuan yang dipandangnya melewati batas keperempuanannya itu: “Semenjak kapankah, orang perempuan boleh membuang keperempuan­annya dan menjadi laki-laki? Semenjak berapa lamanyakah adanya ini kebiasaan, yang mereka meninggalkan urusan rumah tangga dan meninggalkan tempat bayi, dan datang di tempat-tempat umum untuk berpidato-pidato, masuk dalam barisan-barisan, pendeknya menjalankan kewajiban yang oleh kodratnya alam sebenarnya diwajibkan pada orang laki-laki? Alam berkata pada orang laki-laki: peganglah kelaki-lakianmu!

Perlombaan-perlombaan kuda, pemburuan, pekerjaan tani, politik dan berjenis-jenis pekerjaan berat yang lain-lain, – itulah sudah kamu punya  h a k ! Kepada orang perempuan alam berkata: peganglah keperempuananmu! Pemelihara anak-anakmu, bagian-bagiannya kerja rumah tangga, manisnya kepahitan menjadi ibu, – itulah kamu punya kerja! Wahai, perempuan yang bodoh, apakah sebabnya kamu ingin menjadi laki-laki9  Atas namanya alam, tinggallah di dalam sifatmu sekarang …”

 Tetapi toch … walaupun berpuluh-puluh alasan-alasan yang dicarikan dan diajukan untuk mencegah “kegilaannya” kaum perempuan yang “lupa akan keperempuanannya” itu; walaupun rintangannya kaum-kaum la Chaumette di zaman dahulu dan di zaman kemudian, yang misalnya begitu memarahkan Bebel, sampai kaum itu olehnya disebutkan “kaum kukuk­-beluk yang ada di mana-mana tempat yang gelap dan menjadi kaget dan geger, kalau ada sinar terang jatuh memasuki kegelapannya itu”, – waktu semua cegahan dan halangan itu, maka tak urunglah kaum ibu kini ikut menggetarkan udara pergerakan di Eropah dan Amerika, dan ikut menggoyang-kan tiang-tiangnya pergaulan-hidup di negeri-negeri  Barat itu. Dan di negeri-negeri Asia-pun, – wahai apakah sebabnya kaum ibu di Indonesia kebanyakan masih tidur? Di negeri-negeri Asia-pun kaum ibu tak sedikit suaranya ikut mencampuri dengungnya suara pergerakan-merdeka, tak sedikit tenaganya ikut mendorong terjangnya pergerakan bangsa. Bu­kankah di negerinya pendekar-puteri Sun-Soong Ching Ling, Srikandi isterinya Dr. Sun Yat Sen, bukankah di Negeri-Naga itu kaum perempuan, yang menyokong pergerakan nasional sekuat-kuatnya dengan bekerja di kantor-kantor cetak, berpidato di pinggir-pinggir jalan, mengadakan pemogokan-pemogokan kaum buruh, malahan maju kemedan peperangan memanggul bedil? Bukankah di India ialah kaum perempuan, yang menghaibatkan kekuatannya pergerakan bangsa “dengan mereka punya keberanian yang tak dapat ditakar, kekuatan kemauan, keridlaan mengor­bankan diri, yang memang menjadi wataknya keperempuanan”, dan bukankah di India itu juga seorang puteri, Sarojini Naidu, yang menun­tun Indian National Congress yang keempat-puluh? Bukan-kah kaum perempuan, yang sebenar-benarnya menjadi pengaju-aju kaum laki-laki Mesir di dalam hal mengejar kemerdekaan bangsa, sehingga “kaum laki-laki itu sebenarnya hanya terbawa hanyut di dalam aliran kekuasaannya kaum perempuan, dan oleh karenanya hanya menjadi ekor daripada layang-layang Nasionalisme Mesir?” Bukankah di Mesir itu orang perem­puan juga, yakni isterinya, yang meneguhkan hatinya Saad Zahlul Pasha dengan kata-kata: “jangan takut ini buat Mesir!”, tatkala Sang Pasha dadanya diterjang pelornya seorang pengkhianat bangsa? Bukankah di Turki ialah kaum perempuan, yang ikut membela bangsa, bukankah di Turki menjeritnya Halide Edib Hanum, yang kadang-kadang, “sedang kapal-kapal udara dari kaum sekutu bersambar-sambaran kian kemari mengelilingi menara-menara, dengan api-pidatonya mengobar-kobarkan hatinya (electrified) suatu rapat dari duaratus ribu pendengar, yang mem­protes halnya Smyrna diduduki oleh bangsa Griek” – dan yang belakangan juga ikut memegang bedil di atas medan peperangan mengusir musuh?

Pendek kata … bukankah hampir di seluruh Asia itu walaupun cegahannya kaum kuno adat-istiadat, walaupun halangannya kaum fanatik agama, walaupun rintangannya kaum kolot politik, kaum perempuan juga makin maju ke depan mengisi barisan-barisan yang ter­kemuka daripada balatentara kebangsaan, makin maju ke depan di atas lapangannya soal-perempuan sosial-politis sebagai yang kita maksudkan itu?

Bahwasanya: ini memang desakannya zaman! Dan sebagai yang sudah kita katakan di muka: kalau zaman itu memang sudah mendesakkan juga kita punya kaum ibu ke atas lapang sosial-politis itu, kalau zaman itu memang sudah menjalankan segenap k e h a r u s a n n y a di atas kita punja kaum puteri, maka mereka pastilah ditemukan juga beribu-ribu di atas lapang sosial-politis itu, dan pastilah kita lalu mendapat juga kita punya Sun-Soong Ching Ling, kita punya Halide Edib, k i t a punya Sarojini Naidu!

 Maka kita yakin: zaman itu pada saat ini memang sudah mulai menjalankan kerjanya …

Pembaca jangan salah faham. Kita tidak menulis, bahwa soal “keperempuanan” harus diabaikan: kita tidak suruh meremehkan soal persamaan-hak dan soal persamaan-derajat. Kita hanya memperingat­kan, bahwa soal “keperempuanan” dan soal “vrouwen-emancipatie” tidak­lah boleh dijadikan soal yang penghabisan. Kita hanya memperingatkan, bahwa di belakang dua soal ini, ya, seolah-olah melingkupi dua soal ini, masih adalah lagi soal yang lebih besar dan lebih lebar lagi, yakni soal n a t i e – emancipatie adanya! Dan jauh daripada menyuruh mengabaikan soal “keperempuanan” itu, jauh daripada menyuruh meremehkan soal vrouwen-emancipatie itu, maka kita di sini memperingatkan, bahwa soal natie-emancipatie itu tidaklah dapat diudarkan dengan sesungguh-sung­guhnya, tidaklah dapat diselesaikan dengan sehabis-habisnya, kalau soal “keperempuanan” dan soal “vrouwen-emancipa­t i e” tidak d i u d a r k an juga. Tiga soal ini adalah bergandengan satu sama lain; tiga soal ini adalah menyerapi satu sama lain!

 Oleh karena itu, maka hendaklah kaum perempuan Indonesia senantiasa memperhatikan k e t i g a – t i g a n y a soal ini di dalam tali p e r ­h u b u n g a n n y a satu dengan yang lain. Hendaklah kaum puteri senantiasa memperingati dan senantiasa menyubur-nyuburkan “wissel­werkingnya” antara tiga soal tahadi. Hendaklah mereka misalnya bekerja sekeras-kerasnya buat mencapai persamaan-hak, tidak untuk persamaan­ hak itu sahaja, tetapi dengan niat yang tertentu dan keinginan yang keras, menghilangkan barang apa yang memberat-berati kakinya atau menghalang-­halangi langkahnya di dalam perjalanan ikut mengejar keselamatan bang­sa. Hendaklah mereka misalnya juga, dengan setinggi-tingginya budi dan semulia-mulianya tenaga menjalankan kewajiban “keperempuanannya” mendidik putera-puteranya, dengan keinsyafan dan keridlaan-niat yang tertentu, sebenarnya mendidik putera-puteranya n a t i e Hendaklah mereka terutama terhadap pada kewajiban “keperempuanannya” men­didik anak-anaknya itu, sama insyaf dengan seinsyaf-insyafnya, bahwa selamat-celakanya bangsa sebenar-benarnya adalah di dalam genggaman mereka itu. Hendaklah mereka oleh karenanya, semua­nya bertabiat sebagai ibu yang Besar .

 De man heeft grote kunstwerken geschapen; de vrouw heeft de mens geschapen; en Grote moeders maken een Groot ras.

 Memang! Di dalam pertanyaan: Besar atau tidak besarnya kaum ibunya, di dalam pertanyaan itu buat sebagian adalah terletak jawabnya pertanyaan akan selamat atau celakanya sesuatu bangsa. Ibu-ibu kita Besar, atau kecil; ibu-ibu kita sadar atau ibu-ibu kita lalai, – itulah buat sebagian berisi jawabnya soal Indonesia akan Luhur atau Indonesia akan hancur … Tidakkah Mustapha Kemal Pasha juga berkata, bahwa kita punya kemerdekaan, kebangsaan, kekuasaan, dan lain-lain hal yang bagus, adalah tergantung daripada kebudimanannya kita punya puteri-puteri di dalam hal didik-mendidik? Tidakkah budiman pula, kalau seorang patriot Timur yang juga insyaf akan harganya “Ibu-Besar” itu, memu­jikan supaya: bilamana tak cukup uang sekolah untuk dua anak, lebih baik anak p e r e m p u a n yang lebih dulu disekolahkan, yakni “oleh karena ialah yang akan menjadi ibu, dan oleh karena pendidikan itu mulainya ialah sudah pada waktu memberi air susu”?  Ringkasannya kata: buat kaum perempuan Indonesia, adalah bertimbun-timbun banyaknya kerja yang menunggu. Di dalam tiap-tiap lapisan, di dalam tiap-tiap bagian, baik bagian “keperempuanan”, maupun bagian “vrouwen-eman­cipatie”, maupun “natie-emancipatie”, – di dalam tiap-tiap bagian itu, yang begitu menyerupai satu sama lain, sehingga pengabaian salah satu daripadanya sudah membuat tak sempurnanya hasil dan oleh karenanya harus diperhatikan semuanya bersamaan, – di dalam tiap-tiap bagian itu mereka sangatlah kurang majunya.

 Moga-moga Kongres Mataram menginsyafi hal ini. Moga-moga kongres itu bukan kongres kaum perempuan sahaja, tetapi ialah sebenar‑benarnya kongres puteri-puteri Indonesia yang sejati.

Moga-moga impian kaum putera-putera Indonesia yang kita kutip di bawah ini, dapat terkabul: Moga-moga kongres itu buat kita semua berarti pembaharuannya Zaman!

 “Sudah lama bunga Indonesia tiada mengeluarkan harumnya, semenjak sekar yang terkemudian sudah menjadi layu. Tetapi sekarang bunga Indonesia sudah kembang kembali, kembang ditimpa cahaya bulan persa­tuan Indonesia; dalam bulan yang terang benderang ini, berbaulah sugandi segala bunga-bungaan yang harum, dan menarik hati yang tahu akan harganya bunga sebagai hiasan alam yang diturunkan Tuhan Ilahi. Kembangnya bunga ini, ialah bangunnya bangsa Indonesia menurut langkah yang terkemudian sekali, didahului oleh bangunnya laki-laki Indonesia beserta pemudanya. Langkah yang terkemudian, tetapi jejak yang per­tama sekali dalam sejarah Indonesia, dan permulaan zaman baru.

 Sudah lama Indonesia kehilangan ibu, sudah lama Indonesia kehilangan puterinya, tetapi berkat: disinari cahaya persatuan Indonesia bertemulah anak piatu dengan ibu yang disangka sudah hilang, berjabatan tanganlah dengan puteri yang dikatakan sudah berpulang. Pertemuan anak piatu dengan ibu kandung, ialah saat

yang semulia-mulianya dalam seja­rah anak piatu yang ber-ibu kembali. Saat ini tiada dapat dilupakan: sedih dan suka, pedih dan pilu bercampur-baur, karena kenang-kenangan yang sudah berlaku dan oleh karena nasib baru yang akan dimulai. Baru se­karang Persatuan Indonesia ada romantiknya; apa guna gamelan dalam pendopo kalau tiada dibunyikan, terletak sahaja jadi pemandangan

kaum keluarga turun-menurun? Gamelan Indonesia berbunyi kembali, berbunyi dalam pendopo Indonesia dan melagukan persatuan Indonesia, pada waktu bulan purnama-raya, penuh dengan bau bunga dan kembang yang harum. Indonesia piatu sudah ber-ibu kembali.

“Suluh Indonesia Muda”, 1928

Artikel Terkait