Kamis, 19 Oktober 2017

Keadaan di Penjara Sukamiskin, Bandung



Sukamiskin, 17 Mei 1931.

Saudaraku!

Barulah sekarang ada sepucuk surat dari Sukamiskin kepada Saudara. Lebih baik saya katakan daripada tidak sama sekali saya berkirim surat kepada Saudara, karena orang tangkapan seperti macamku ini hanyalah sekali dalam dua minggu boleh berkirim surat. Dua pekan yang lalu ada jugalah kesempatan bagiku untuk mengirimkan surat, tetapi kesempatan itu saya pakai untuk memberi kabar kepada isteriku, bahwa saya sudah dipindahkan ke Sukamiskin, dan dia boleh datang melihat dan berbicara dengan saya dua kali dalam sebulan, serta tidak boleh membawa apa-apa sebagai tanda-kasih atau “oleh-oleh” untukku. Berapakah lamanya, cuma sepuluh menit. Menerima surat bolehlah saya tiap-tiap hari; tentu sahaja diperiksa baik-baik.


Tidak berapa lamanya sesudah masuk ke dalam rumah kurungan,

maka saya lalu bertukar pakaian dengan pakaian orang kurungan

yang berwarna biru; rambutku dipotong hampir menjadi gundul, di milimeter dalam bahasa Belandanya. Hampir segala apa yang saya bawa dari rumah tahanan (di kota Bandung) – itu semuanya diambil. Besok harinya hari besar Islam; jadi saya tak perlu bekerja. Sehari sesudah itu saya mesti pergi berbaris ke tempat … membuat kitab tulisan: di sanalah saya sampai sekarang meladeni satu daripada mesin garis dan mesin potong yang besar­-besar; tiap-tiap hari saya kerjakan berpuluh-puluh rim kertas: memedat barang, memuat dan membongkarnya. Pada malam hari kalau peker­jaan sudah selesai dan sesudah mandi yang lamanya ditentukan enam menit, ya, enam menit, dan membersihkan badan karena kotor oleh minyak mesin yang melekat pada tangan kaki dan pipi; dan kalau saya sudah makan, makan nasi merah dengan sambal yang sederhana, maka besarlah hati saya karena kembali ke dalam bilik kecil yang besarnya 1,50 x 2,50 M, sehingga dapat melepaskan lelah pekerjaan sehari-hari. Badanku sudah letih lesu, dan otakku seolah-olah tertidur (lethargie), sehingga kitab yang terbuka di hadapanku tidak terbaca lagi, dan belajarpun tak ada hasilnya. Sebentar lagi pukul sembilan cahaya mesti digelapkan dengan tidak dapat disangkal lagi; baiklah begitu, karena hari ini sudah bekerja keras, dan besoknya bekerja keras lagi, dan kedua-duanya memaksa saya mesti lekas pergi tidur.



Boleh juga pergi ke bilik tempat bermain-main, ke recreatie-zaal.

Di sana boleh bermain dan bermain catur; dapat membaca kitab perkara sport, perdagangan dan kitab yang berdasarkan agama; membaca ditengah­-tengah saudara-saudaraku yang sedang bersuara: dapat juga berkata-kata. Tetapi hati dan badan yang haus tiadalah dapat dipenuhinya; itupun menurut perasaanku pula. Itulah sebabnya, maka saya hanya sekali-kali sahaja pergi ke sana;

biasanya malam hari saya berkurung dalam bilikku sahaja.



Saya coba-coba mengusahakan supaya waktu dalam bilik kecil

ini besar hasilnya. Sampai sekarang percobaan itu tak ada manfaatnya. Karena tahadi telah saya katakan: saya tak dapat belajar dengan baik, karena badan sudah payah. Otak seolah-olah dapat penyakit kekurangan darah (anaemie), sehingga tidak banyak yang dapat diterima dan difikir­kannya; otakku merasa lekas benar penuh isinya, lekas payah. Alangkah baiknya, sekiranya ada surat-kabar. Tetapi segala surat-kabarku-ditahan, begitu juga surat-berkala; sedangkan “d’Orient” tak boleh saya terima.



Bibliotheek rumah kurungan ini lebih dimaksudkan sebagai pelepas lelah dan untuk mempertebal perasaan agama daripada untuk belajar. Kitab pengetahuan hanya sedikit; untuk keperluanku, yaitu perkara sosial dan sosiologi, tidak ada sama sekali. Memasukkan buku sendiri hanya diizinkan dengan pemeriksaan keras. Dahulu dalam rumah kurungan di Bandung, dapat juga saya meneruskan pelajaranku perkara pergaulan hidup dan sejarah, walaupun dengan beberapa perjanjian yang berat‑berat. Tetapi sekarang pelajaran ini, yaitu untuk mengetahui pergerakan pergaulan hidup, syarat-syarat pergerakan dan pergaulan orang Timur, semuanya itu terpaksalah saya hentikan, tak dapat diluaskan lagi. Bagai­mana jadinya? Hanyalah ini: Sukamiskin ialah tak lebih daripada suatu rumah kurungan, dan saya ini tak lebih daripada seorang-orang hukuman; seorang manusia yang mesti menyembah larangan dan suruhan, seorang manusia yang mesti melupakan kemanusiaannya. Dahulu dalam rumah tahanan hidupku telah dibatasi, sekarang batasnya bertambah sempit lagi. Segalanya di sini dikerjakan dengan suruhan komando; makan, pulang balik ke tempat bekerja, makan, mandi, menghisap udara, keluar masuk bilik kecil, semuanya dikerjakan seperti serdadu berbaris; semua­nya seolah-olah disamakan dengan suatu derajat, tempat kemauan merdeka mesti dihilangkan. Orang hukuman sebenarnya tiada lain dari­pada seekor binatang ternak; orang hukuman menurut kata pengarang Jerman Nietzsche, ialah seorang manusia yang dijadikan manusia yang tiada mempunyai kemauan sendiri, seperti binatang ternak. Sungguh sayang benar hati kita kepada Nietzsche! Kalau dicobanya menghidupkan seorang “uber-Mensch”, dalam suatu rumah kurungan, yaitu orang yang lepas dari segala kebaikan dan keburukan, tentulah akan sia-sia belaka. Alangkah heran hatinya, setelah dibacanya kembali kitabnya, yang bernama “Zarathustra”!

Seperti saya ini tinggal dalam bilik kecil pada malam hari dipandangnya sebagai keburukan yang paling kecil; tinggal dalam kandang yang sempit, tempat manusia dapat insyaf akan dirinya, tempat manusia dapat mengemudikan sedikit-sedikit, walaupun dibatasi betul-betul. Saya tentu akan dibenarkan, kalau saya lebih suka dibuang tiga tahun daripada dihukum 21/2 tahun dalam rumah kurungan … Tetapi entah di mana ada tertulis kalimat ini: “Walau di mana sekalipun, patutlah kemajuan diusahakan!” Hatiku tinggal tetap; selalu insyaf akan diriku; tak pernah saya melupakan suara hatiku. Dan selalu saya mengusahakan kemajuan itu, baik dahulu atau sekarang. Barang siapa yang tidak berusaha menu­ju derajat Uber-Mensch, itulah tandanya ia tak tahu akan suruhan kemajuan. Korban yang sebenar-benarnya dilakukan tentulah tidak akan terbuang-buang sahaja; bukankah Sir Oliver Lodge telah menga­jarkan “no sacrifice is wasted” atau dalam bahasa Jawa “Jer basuki mawa beya”.

Artikel Terkait